Monday, August 27, 2007

Kolom IBRAHIM ISA -- MENGENANG KORBAN, MELAWAN LUPA! - (1)

Kolom IBRAHIM ISA
-----------------------------
Senin, 27 Agustus 2007

MENGENANG KORBAN, MELAWAN LUPA! - (1)
< Memperingati Hari Ultah Widji Thukul - 26 Agustus 1963 >

Kalau ia masih hidup, umur WIDJI THUKUL, pada hari Minggu, tanggal 26 Agustus 2007 kemarin, akan mencapai 44 tahun. Tetapi Widji Thukul, telah tiada. Ia telah menjadi ORANG HILANG (1998). Tak diketahui dimana rimbanya, - -- kalaupun ia masih hidup. Tak tahu pula dimana kuburnya bila ia sudah menjadi korban dalam perjuangan demi rakyat miskin di akar rumput, demi keadilan dan KEMANUSIAAN. Hanya ada satu fihak yang kiranya bisa memberikan jawaban mengenai keberadaan WIDJI THUKUL. Yaitu aparat keamanan rezim Orba.

Widji Thukul dikenal oleh begitu banyak penggemar poësi dan sajak dan oleh tak dilupakan oleh 'orang-orang biasa'. Tentu, oleh orang-orang yang dalam di jiwanya bergelora semangat menentang kesewenang-wenangan dan ketidak adilan. Yang nuraninya diilhami cita-cita untuk demokrasi dan HAM. Nama Widji Thukul tak terpisahkan dengan salah satu bait sajaknya yang terkenal, bahkan sampai ke seluruh dunia:

HANYA ADA SATU KATA, LAWAN !

* * *

Untuk memperingati serta memelihara kenangan kita semua pada penyair dan pejuang nasib orang-orang miskin, pejuang demokrasi dan keadilan, mulai tanggal 26 Agustus Minggu kemarin, yaitu hari lahir Widji Thukul, sampai dengan 31 Agustus 2007, sepekan lamanya di Jakarta dilangsungkan 'A WEEK TO REMEMBER', Mengenang Korban, Melawan Lupa.

Khusus sebuah panitia bersama telah dibentuk terdiri dari pelbagai organisasi dan lembaga kebudayaan, demokrasi dan hak-hak azasi manusia, sbb: AFAD (Asian Federation against Involuntary Disappearances), IKOHI, Masyarakat Perfilman Indonesia (MPI), Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), KineForum, Praxis, Yappika, PEC, KontraS, IGJ, HIVOS, Panon Photo, Ruang Rupa, Black Box, DEMOS, LBH Jakarta, HRWG, Forum Asia, Voice of Human Rights.

Kegiatan yang dimulai pada tanggal 26 Agustus 2007 itu, diawali dengan PERINGATAN ULTAH WIJI THUKUL & PELUNCURAN BUKU KEBENARAN AKAN TERUS HIDUP. Peringatan ulang tahun Widji Thukul ke-44 di barengi dengan peluncuran buku 'Kebenaran Akan Terus Hidup' yang berisi tulisan Wiji Thukul dan tulisan berbagai kalangan mengenai diri, gagasan dan kehidupan Wiji Thukul.

Hari ini Senin tanggal 27 Agustus, acaranya meliputi 'TRIBUTE TO VICTIM'. Suatu kegiatan seni budaya yang dipersembahkan untuk korban penghilangan paksa dan korban pelanggaran HAM lain yang kasusnya belum selesai sampai saat ini Kegiatan seni budaya ini dipersembahkan oleh aktivis HAM dan Prodemokrasi, Mahasiswa, Pemusik dan Kelompok seni lainnya. Persembahan ini berupa pementasan teater, musik, pembacaan puisi dan lagu-lagu perjuangan.

Pembukaan Acara 'A Week To Remember' dilakukan oleh Mugiyanto, ketua IKOHI. Sambutan oleh Ibu Shinta Nuriyah. Pemutaran Video Dokumentasi Wiji Thukul. Pembacaan Puisi oleh Sastrawan & Sastrawati Perwakilan dari; Cyber Sastra, Bunga Matahari, Forum Sastra Pembebasan, Dewan Kesenian Jakarta, Jaringan Kerja Budaya, dan Pelajar SMU. Thukul dimata kawan-kawan: Romo Bhaskara, Linda Christanty, Pemenang Baca Puisi Wiji Thukul. Pemotongan tumpeng oleh keluarga Wiji Thukul dan simbolis penyerahan buku.

AKSI KE KEJAKSAAN AGUNG.
Pada Hari Rabu, 29 Agustus 2007 akan dilakukan aksi ke Kejaksaan Agung, untuk mendorong kasus penghilangan '97 - '98 yang saat ini sedang terhambat di meja Kejaksaan Agung setelah proses penyelidikan oleh KOMNAS HAM. Aksi ini dilakukan oleh panitia bersama pekan Penghilangan Paksa dan keluarga korban, berkumpul di TIM menuju ke Kejaksaan Agung.

Pada hari Kamis, 30 Agustus 2007 dilangsungkan PELUNCURAN DAN DISKUSI BUKU 'NUNCA MAS! 'Nunca Mas' berarti “Jangan Lagi” merupakan laporan CONADEP yang sangat terkenal di dunia. Buku 'Nunca Mas' saat ini sangat relevan di Indonesia, karena memberikan inspirasi bagi gerakan korban pelanggaran HAM di Indonesia. Keberadaan kasus penghilangan paksa di Indonesia yang sekarang sedang diselidiki oleh Kejaksaan Agung dan menjadi perdebatan nasional merupakan momentum tepat untuk peluncuran buku ini.

AUDIENSI KE DEPARTEMEN LUAR NEGERI.
Jum'at, 31 Agustus aksi diarahkan ke Deplu RI. Audiensi ini dilakukan untuk mendorong pihak Departemen Luar Negeri untuk melakukan langkah-langkah kongkrit yang dibutuhkan dalam upaya ratifikasi konvensi anti penghilangan paksa. Konvensi ini sendiri sangat penting untuk menjamin setiap orang bebas dari kejahatan penghilangan paksa.


Selanjutnya dilakukan PEMUTARAN FILM TENTANG PENGHILANGAN PAKSA (Senin – Jum’at, 27 s.d. 31 Agustus 2007) - Film tentang Penghilangan Paksa akan diputar di Studio 1, TIM 21 Jakarta. Dalam pekan ini juga dilangsungkan PAMERAN MEMORABILIA KORBAN PENGHILANGAN PAKSA Pameran benda-benda korban penghilangan paksa dan juga pelanggaran HAM di Indonesia.( Bahan-bahan mengenai acara dan kegiatan diperoleh dari Panitia Bersama - Penulis)

* * *

Diatas, sengaja dimuat agak lengkap mengenai kegiatan yang digerakkan oleh Panitia Bersama, untuk memperingati Widji Thukul. Agar pembaca memperoleh gambaran jelas tentang besarnya penghargaan masyarakat budaya terhadap tokoh penyair WIDJI THUKUL. Pula betapa luas panitia yang mendukung kegiatan tsb. Meskipun masa kegiatan dalam hidupnya amat terbatas: (Widji Thukul hilang ketika berumur 25 th) , tetapi masa remajanya sepenuhnya diabdikannya bagi cita-cita mulya. Yang itu dilakukannya justru pada tingkat akar rumput, di kalangan rakyat kecil dan miskin, serta di bawah ancaman, persekusi dan kejaran aparat keamanan rezim Orba.

Dalam rangka pekan Widji Thukul ini, disiarkan kembali sebuah artikel yang meskipun ditulis 4 tahun yang lalu, namun, bagi pembaca yang belum mengetahuinya, kiranya masih punya arti informatif:

MBAK PON (ISTRI WIDJI THUKUL Dan PIAGAM WERTHEIM
-----------------------------------------------------------------------------------
IBRAHIM ISA – NOTISI TRANSPARAN, .
Solo, 21 Agustus 2003.
Tidak mudah dimengerti tapi benar adanya!
Lebih dari duabelas tahun yang lalu, 4 Juli 1991, setelah Stichting Wertheim, Leiden, Holland, memilih a.l. WIJI THUKUL, penyair muda dan pejuang, sebagai pemenang PIAGAM WERTHEIM, --- namun, barulah pada tanggal 21 Agustus 2003 yang lalu ini, MBAK PON, istri WIJI THUKUL, mengerti dan tahu apa isi dari PIAGAM WERTHEIM.
Lebih dua tahun yang lalu MBAK PON menerima manuskrip PIAGAM WERTHEIM tsb dalam keadaan kumal, yang diterimanya dari tangan ke tangan. Dengan teliti dan hati-hati Mbak Pon membukanya, merumatinya dan kemudian diberi bingkai dan dipasangnya dengan penuh kebangaan menghiasi dinding rumahnya.
Dengan PIAGAM WERTHEIM menghiasi dindingnya, dalam hati Mbak Pon semakin kuat keyakinan, bahwa WIJI THUKUL punya kawan dimana-mana, sampai ke Nederland sejauh itu. Semakin kuat pula keyakinan Mbak Pon bahwa apa yang dinyanyikan Wiji Thukul dalam syair-syairnya adalah penuh mengandung humanisme sekaligus sarat dengan perlawanan terhadap ketidak-adilan. Yang amat melegakan hati Mbak Pon, ialah, bahwa karya-karya WIJI THUKUL mendapat penghargaan mancanegara.
Lebih dari duabelas tahun yang lalu, Stichting Wertheim menilai a.l. WIJI THUKUL sebagai salah seorang penyair teladan Indonesia, yang pada umurnya yang masih muda telah memberikan sumbangannya terhadap usaha EMANSIPASI RAKYAT INDONESIA.
Timbul pertanyaan kecil: -- Mengapa begitu lama Mbak Pon baru menerima ditangannya sendiri, PIAGAM WERTHEIM tsb? Nyatanya, baru kemarin pada tanggal 21 Agustus 2003, Mbak Pon mengerti apa sesungguhnya isi Piagam Wertheim yang dipasangnya dengan penuh hormat pada dinding rumahnya yang amat sederhana, --- kalau tidak hendak dikatakan terus terang, sungguh rumah seorang yang "tidak berpunya".
Rasa terharu dan hormat mengisi rongga dadaku, ketika aku berkesempatan mengunjungi rumah Mbak Pon di Solo, pada tanggal 21 Agustus y.l. Dengan gembira, sebagai Sekretaris Stichting Wertheim, kusampaikan salam hangat dan hormat Pengurus Stichting Wertheim kepada Mbak Pon. Mbak Pon yang sudah begitu lama menanti, baru dua tahun belakangan ini menerima di tangannya sendiri Piagam Wertheim yang telah diserahkan oleh St Werheim.
Pada saat inilah aku berkesempatan untuk membacakan kembali teks PIAGAM PENGHARGAAN ST. WERTHEIM dalam teks bahasa Belandanya, dan kemudian menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, seperti terlampir dalam tulisandi bawah ini.
Mengapa sampai terjadi begitu? Banyak faktor yang menyebabkannya.
Namun, penyebab yang terpokok, ialah --- bahwa penyair kita WIJI THUKUL, pada periode Orba, telah dijadikan orang buronan politik dikejar-kejar terus, sehingga Wiji boleh dikatakan tidak pernah tinggal di rumah sejak itu, selalu berpindah tempat tinggal. Rumahnya yang ketika itu hanya ditinggali Mbak Pon dan dua orang anak-anaknya, seorang putri dan seorang putra yang masih kecil, berkali-kali didatangani aparat, dan dengan bengis mengancam menanyakan kepada Mbak Pon, dimana Wiji Thukul!
Menjelang jatuhnya Suharto, ketika tindakan-tindakan teror Orbanya Suharto semakin mengganas, tiba-tiba tidak terdengar lagi berita sedikitpun dari dan tentang WIJI THUKUL. Siapapun tak tahu dimana rimbanya. Wiji Thukul mengalami nasib ORANG HILANG. Kemungkinan Wiji telah menjadi korban intel Orba yang keji itu.
Jatuhnya Suharto telah membawa sedikit perubahan pada keadaan Mbak Pon.
Namun, sampai kini tetap tidak ada berita tentang Wiji Thukul. Mbak Pon yang mengalami penderitaan diisolasi dan dinajiskan oleh penguasa, karena dirinya adalah istri Wiji Thukul, belakangan ini, nyatanya semakin menjadi tempat penduduk sekitar menanyakan segala sesuatu bila menghadapi pelbagai soal kehidupan, khususnya mengenai urusan yang menyangkut penguasa setempat. Kejujuran, keberanian dan semangat memperhatikan nasib para tetangga dan penduduk setempat, menimbulkan respek yang wajar di kalangan penduduk setempat terhadap Mbak Pon.
Demikianlah suka-duka yang dihadapi oleh Mbak Pon, sebagai istri dari penyair teladan dan pejuang Wiji Thukul.
Dalam rangka usaha mengenangkan kembali tokoh Wiji Thukul, Stichting Wertheim, Leiden, dalam waktu dekat ini akan meluncurkan edisi kedua KUMPULAN SYAIR-SYAIR WIJI THUKUL, dalam bahasa Belanda.

****

---------------------------------------------------------------------------------------
LAMPIRAN =
PIAGAM PENGHARGAAN STICHTING WERTHEIM

Het Bestuur v.d. WertHeim Stichting heeft besloten om de aanmoedigingsprijs v.d. Stichting toe te kennen aan de Indonesiche dichter, Wiji Thukul, voor zijn verdiensten voor de emancipatie v.h. Indonesishce volk in het bijzonder op het gebied van de letteren en de theater kunsten.
De prijs wordt o 4 julie 1991 in de aula v.d Universiteit van Amsterdam, uitgereikt door Prof. W.F. Wertheim.
Amsterdam, 4 juli 1991.
Sekretaris: C.J.G. Holtzappel Voorzitter:
J. Huizer.
------------------------------------------------------

Pengurus Yayasan Wertheim memutuskan untuk memberikan penghargaan Yayasan kepada penyair Indonesia Wiji Thukul untuk jasa-jasanya bagi emansipasi rakyat Indonesia teristimewa di bidang sastra dan seni teater.
Penghargaan diberikan pada tanggal 4 Juli 1991 di Aula Universitas Amsterdam oleh Prof. Dr. W.F. Wertheim.
Amsterdam, 4 Juli 1991.
Sekretaris: C.J.G. Holtzappel Ketua: J.
Huizer.
* * * * *

Friday, August 24, 2007

IBRAHIM ISA -- BIODATA - SINGKAT

----------------------------------
BIODATA SINGKAT.
-----------------------------------


*Nama: IBRAHIM ISA, ALIAS BRAMIJN*
Kelahiran Jakarta, 20 Agustus 1930.

Kegiatan utama dewasa ini adalah sebagai P u b l i s i s, penulis
esay-esay politik Indonesia;
berdomisili di Amsterdam, Holland.

Anggota Pengurus dan Sekretaris: WERTHIM FOUNDATION

Ibrahim Isa adalah salah seorang ‘political dissidents’, disiden
politik, yang sejak 1966, termasuk dalam daftar hitam penguasa, sehingga
tidak bisa kembali ke Indonesia. Ia tidak bisa pulang, karena sikap dan
perlawanan politiknya terhadap rezim Jendral Suharto (Orba). Karena
keyakinan politik dan kegiatannya itu, penguasa di Jakarta yang
dikepalai oleh Jendral Suharto memberikan cap ‘pengkhianat bangsa’
kepada Ibrahim Isa.
Kongkritnya, ialah disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan I. Isa
menjelang dan selama Konferensi Trikon­tinental (Asia-Afrika-Amerika
Latin) di Havana, Kuba, Januari 1966.

//

Didalam konfrensi tsb Ibrahim Isa, sebagai Ketua Delegasi Indonesia ke
Konferensi Trikontinental di Havana, untuk pertama kalinya, dimuka suatu
konferensi internasional Asia-Afrika-Amerika Latin, menjelaskan tentang
situasi gawat Indonesia, setelah peristiwa G30S, dimana Jendral Suharto,
memulai kampanye pembunuhan masal terhadap rakyat yang tidak bersalah,
yang dituduh komunis, Kiri dan pengikut Bung Karno.

Di dalam Konferensi Trikonental Asia-Afrika-Amerika Latin, Ibrahim Isa,
atas nama Delegasi Indonesia, telah menyerukan kepada dunia
internasional, untuk memberikan sokongan dan setiakawan terhadap
perjuangan rakyat Indonesia melawan rezim tirani Suharto. Konferensi
Trikontinental sebagai respon terhadap seruan tsb telah mengambil
resolusi menyokong perjuangan rakyat Indonesia melawan persekusi dan
teror kaum militer Kanan Indonesia.


Dalam pertemuan yang diadakan Menteri Kumdang Yusril Izha Mahendra (Yang
datang membawa Instruksi Presiden Abdurrahman Wahid No. 1, Th 2000,
untuk mengurus orang-orang Indonesia yang terhalan pulang) , di KBRI di
Den Haag, Belanda, pada bulan Januari 2000, dengan orang-orang Indonesia
yang tidak bisa pulang, sesudah peristiwa G30S,---- Ibrahim Isa dengan
resmi mengajukan kepada pemerintah, untuk mencabut TAP-MPRS No,
XXV/1966, serta memulihkan hak-hak politik dan sipil jutaan warganegara
Indonesia, yang secara tidak adil dan tidak sah telah dipersekusi dan
didiskriminasi atas tuduhan terlibat dengan peristiwa G30S.


Aktif di Amnesty International Nederland, bersama dengan beberapa orang
Indonesia lainnya, Ibrahim Isa mendirikan sebuah lembaga penelitian di
Amsterdam, yaitu “Stichting Azie Studies, Onderzoek en Informatie”. Pada
permulaan berdirinya lembaga penelitian tsb, Ibrahim Isa adalah anggota
pengurus dan sekretaris dari lembaga tsb.


Sejak permulaan tahun limapuluhan, kecuali sebagai guru, Ibrahim Isa
juga aktif di pelbagai organisasi kemasyarakatan, seperti lembaga
pendidikan Perguruan “KRIS”, sebagai Sekret­garis Umum. Sejak 1959,
Ibrahim Isa adalah Sekretaris Jendral Organisasi Setiakawan
Rakyat-Rakyat Asia-Afrika (OISRAA).


Pada tahun 1960, dengan bekerjasama dengan Kementerian Luarnegeri RI,
Isa dikirim ke Sekretariat Tetap Organisasi Setiakawan Rakyat
Asia-Afrika di Cairo, Mesir, untuk mewakili Indonesia, dalam badan
Asia-Afrika tsb. Isa juga menjabat Sekretaris dari Komite Dana
Asia-Afrika yang berkantor di Conackry, Guinea, pada paruh pertama tahun
enampuluhan.


Antara permulaan tahun limapuluhan sampai tahun enampuluhan, Ibrahim
Isa, berkali-kali mewakili Indonesia dalam pelbagai konferensi
internasional Asia-Afrika (NGO), untuk menyokong gerakan kemerdekaan di
negeri-negeri tsb.

Dalam tahun 2002 telah terbit di Jakarta, buku Ibrahim Isa berjudul
SUARA SEORANG EKSIL.

Sejak 1998 Ibrahim telah menulis lebih dari 450 esay-esay mengenai
perkembangan politik Indonesia sejak Reformasi.


* * * *

Thursday, August 23, 2007

Kolom IBRAHIM ISA -- 'PAKORBA' SALA Terbitkan 'ORAL HISTORY'

Kolom IBRAHIM ISA

Kemis, 23 Agustus 2007

-------------------------------


'PAKORBA' SALA Terbitkan 'ORAL HISTORY'


Pagi kemarin sampai siang aku kedatangan tamu seorang sahabat baik cendekiawan Belanda, Kees Mesman Schultz dari Universitas Leiden. Bersama Prof. Dr Leo J. van der Kamp, Kees Mesman belum lama kembali dari kunjungannya ke Indonesia. Rencananya pagi kemarin itu mereka akan datang berdua, tetapi rupanya 'afspraak' mereka 'enggak nyambung'. Sehingga hanya Kees Mesman yang datang. Sebelum berangkat ke Indonesia, kami bertemu dan tukar fikiran. Atas permintaan sahabat-sahabat itu, aku sarankan beberapa nama dan lembaga yang baik mereka temui di Indonesia dalam rangka rencana mereka untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan untuk penulisan mereka nanti.


Kali ini tulisanku belum mengenai isi pembicaraan kami pagi dan siang kemarin. Maksudnya pada kesempatan lain akan dibicarakan di sini.


* * *


Yang hendak disinggung dalam pembicaraan kali ini, ialah mengenai buku yang kuterima sebagai kenang-kenangan dari Ir Setiadi Reksoprodjo, pimpinan PAKORBA (Paguyuban Korban Orde Baru) Jakarta, yang dititipkan oleh Ir Setiadi lewat Kees Mesman. Buku tsb di-edit oleh Hersri -- berjudul: 'KIDUNG Untuk KORBAN . Diterbitkan oleh Pakorba Sala, dengan bantuan (dana dll) dari YSIK (Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan).


Peranan 'Pakorba Sala', bukan sekadar menerbitkan buku mengenai korban Orde Baru. Menurut Ketua YSIK, Zumrotin KS, 'Pakorba Sala' sedang dan akan terus memperjuangkan pemulihan hak-hak sipil dan politik anggotanya dan para korban lain sesamanya. Dewasa ini para anggota Pakorba itu sudah menjadi orang-orang tua yang berusia di atas 60 tahun.


Mereka yang luput dari pembunuhan, lanjut Zumrotin, ---- sepanjang tahun-tahun pasca 'Gerakan 30 September' itu, harus menjalani hukuman hanya dengan alasan kesewenang-wenangan. Diantara mereka yang telah dihukum tanpa proses hukum itu, ada yang sampai 14 tahun ditahan dan atau diasingkan, banyak yang samasekali tidak mempunyai hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan PKI. Tidak sedikit yang anggota militer aktif dan bahkan perwira intelijen. Mereka tidak tahu persis kesalahan mereka yang membuatnya dihukum, kecuali bahwa mereka mengaku sebagai Sukarnois.


Ada pula seorang pengusaha yang ditangkap karena mempekerjakan orang-orang yang menjadi buron militer. Padahal ia mempekerjakan bukan karena alasan politik, melainkan karena alasan murni kemanusiaan saja. Oleh karena pengusaha itu tidak mau menunjukkan nama dan alamat buruh-buruhnya tsb, ia kemudian disiksa, ditahan dan akhirnya diasingkan ke Pulau Buru selama 14 tahun tanpa peroses pengadilan.


Masih penjelasan Zumrotin: Sebagai organisasi yang anggota-anggotanya terdiri dari para korban politik, Pakorba memiliki misi untuk memperjuangkan pengembalian hak-hak sipil dan politik mereka, agar dapat hidup merdeka di tengah-tengah masyarakat tanpa stigmatisasi seperti sekarang ini. Sampai sekarang, setelah 'era reformasi' berumur lebih dari delapan tahun, mereka masih tetap mengalami diskriminasi baik secara hukum maupun sosial dan politik.Sebagai contoh, salah satu di antara sekian banyak, ialah soal KTP ( Kartu Tanda Penduduk). Menurut peraturan, bagi warganegara yang berumur di atas 65 tahun, mereka berhak mendapat KTP seumur hidup. Tapi pada praktiknya peraturan itu tidak berlaku bagi mereka. Setiap lima tahun sekali mereka harus memperpanjang masa berlaku KTP mereka. Benar, huruf 'ET' (Eks-Tapol) tidak tertera lagi di belakang deretan nomor KTP itu. Tapi kewajiban memperpanjang masa berlaku KTP itu sendiri, sudah memperlihatkan 'perlakuan istimewa' yang diberikan rezim terhadap warganegara yang eks-tapol.

Kiranya cukup jelas apa yang dituturkan oleh ketua YSIK itu.


* * *


Buku 'KIDUNG Untuk KORBAN' yang terdiri dari 291 halaman. Terbit Oktober 2006, dengan kata pengantar dari aktivis HAM, sejarawan muda HILMAR FARID. Sudah setahun buku tsb terbit, tetapi apa yang dikisahkan di situ , tuturan-tuturan sepuluh narasumber Eks-Tapol, adalah tetap penting. Malah penting sekal! Bukan saja untuk tahun ini, tetapi akan selalu penting dalam catatan sejarah modern Indonesia.


Buku ini adalah bagian dari sejarah itu sendiri. Orang meyebutnya -- 'oral history. Suatu penulisan yang dikisahkan oleh para korban itu sendiri. 'Oral history' -- 'sejarah tuturan' , menduduki tempat penting dalam penulisan sejarah dewasa ini. Benar kata Hilmar Farid, sejarah yang resmi tertulis, hitam diatas putih, itupun banyak bersandar pada laporan-laporan dan penulisan yang bila diperiksa juga bersumber pada tuturan, pada yang 'oral'. 'Oral history', bahkan punya nilai khusus, karena ia berasal langsung dari yang bersangkutan, yang terlibat dalam peristiwa sejarah itu.


Buku 'KIDUNG Untuk KORBAN' menuturkan kisah-kisah yang sesungguhnya terjadi. Fakta-fakta sejarah itu selama tigapuluh tahun lebih dibungkam oleh rezim Orba. Kejadian-kejadian yang ditutup terhadap dunia luar itu, adalah lembaran gelap-hitam dalam sejarah Indonesia. Yang digelapkan itu adalah suatu 'kejahatan terhadap kemanusiaan' (Crime Against Humanity). Pelakunya yang bertanggung jawab adalah rezim Orba di bawah Presiden Jendral Suharto.



* * *


Buku yang dibicarakanini, telah melestarikan kisah-kisah para penutur, sbb: Nyadran di Bengawan Solo, oleh Lingkar Tutur Perempuan; J. Bronto - Perwira Staf I Brigif VI Surakarta: Ketika Nakhoda Tidak Satu; Laki-Laki Dimanfaatkan Tenaganya, Perempuan Seluruh-Luruhnya, oleh Sarbinatun (anggota Lekra cabang Sala; Seribusatu Kisah Dari Kebodohan, oleh Subandi, Guru Sekolah Dasar dan Menengah; Bekal Tapol Berani dan Waspada, oleh Sumidi, Pangusaha Batik; Diselamatkan Janin di Perut, oleh Paulina Sriningdadi, Pimpinan Gerwani Cabang Rembang; Ketika Hidup di Tengah Nasib, oleh Suprapto, Pegawai Jawatan Gedung-Gedung; Saksi Pembantaian Jembatan Bacem, oleh Bibit, penari Genjer-Genjer; Aku Tidak Malu Menjadi ET, oleh Christina Sriharyani, Sukwan Pemuda Rakyat; Dalam Bayangan Ada Bayang, oleh Sri Slamet, Guru Sekolah Dasar; Penjara Dan Siksa - Kunci Gereja Umat Kristus, oleh Supeno, Guru Sekolah Teknik.


Hilmar Farid dalam Pengantar buku tsb.: Kumpulan tulisan ini memberi banyak informasi baru yang belum pernah diungkap, seperti kasus pembunuhan massal terhadap 71 orang di Sala; lalu digunakannya kompleks paroki Gereja Antonius, Balai Kota dan banyak tempat yang tidak diduga-duga sebelumnya sebagai tempat penahanan; kenyataan bahwa aktivis KAMI dan KAPPI tidak sekadar berdemonstrasi di jalan-jal;an dan menjadi moral force, tetapi juga melakukan penyiksaan yang sangat tidak bermoral di Balai Kota dan Sasono Mulyo; kekerasan yang dialami orang Tionghoa di Sala dan keterlibatan mereka dalam berbagai gerakan untuk membela diri; kerja paksa yang dijalani para tapol untuk membangun bendungan Sukodono di bawah perintah Zipur IV Magelang, pengalaman anak-anak yang dibawa oleh orangtua mereka ke dalam tahanan, sampai ikut ke kamp tahanan di Pulau Buru dan peran mereka untuk meringankan penderitaan tahanan di Pulau Buru; soal hubungan tapol dengan istri pejabat kamp, pengendakan seama tapol dan berbagai affair seksual lainnya; uang tebusan yang diminta oleh penguasa kamp kepada keluarga tapol, yang membuktikan bahwa kekerasan msassal di masa itu semata-maa masalah kekuasaan dan tidak ada hubungannya dengan 'penyelamatan bangsa dan negara dari bahaya komunis' seperti yang didengungkan selama ini.


'Dari keterangan lisan ini pula muncul kisah-kisah perlawanan. Kisah hidup yang ditampilkan dalam kumpulan ini membongkar mitos 'hantu komunisme' yang d ibuat oleh penguasa Orde Baru. Mereka bukanlah pemuja setan yang haus darah, melainkan orang yang relatif terididk dan, seperti banyak orang muda di masa itu, ingin berbuat sesuatu untuk membangun republik. Bahwa pilihannya kemudian jatuh pada Partai Komunis Indonesia (PKI), yang saat itu merupakan partai terbuka seperti halnya partai politik sekarang ini, adalah perkara pilihan politik. Banyak dari mereka itu ikut berjuang dan setelah perang memilih bekerja sebagai guru untuk mendidik masyarakat. Keterlibatan dalam organisasi massa bagi mereka adalah bentuk pengabdian kepada rakyat, karena melalui organisasi itulah mereka dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi perbaikan.


'Namun, jika korban bukan setan seperti yang digambarkan penguasa Orde BAru, mereka pun bukan malaikat. Ada banyak masalah di kalangan mereka yang menjadi sasaran kekerasan massa itu. Seperti cerita Bibit, seorang aktivis kemudian menjadi 'tukang tunjuk', yang iktu mengejar, menangkap dan bahkan menyaksikan penyiksaan serta pembunuhan terhadap aktivis lainnya antara pertengahan 1966 sampai akhir 1968. Semua itu dilakukannya karena 'tidak mau menjadi korban dan mati konyol. Saya mencari selamat'. Bibit tentu bukan satu-satunya aktivis yang berbuat begitu. Di dalam tahanan, korban kerap diperiksa oleh orang yang sebelumnya menjadi pimpinan organisasi tempatnya aktif, dan bahkan oleh 'mentor' yang merekrut mereka ke dalam gerakan.. Di pulau Buru dan kamp tahanan lainnya pun ada beragam masalah, mulai dari tapol cecunguk yang melaporkan aktivitas sesama tahanan kepada penguasa kamp dan para penjilat yang kerjanya mencari muka pada penguasa dan mengorbankan solidaritas, dan seperti dikatakan Subandi, 'rasa saling curiga menyusup hati setiap tapol, sehingga nyaris tidak ada hubungan pergaulan tapol antar-barak.'


'Cerita para korban tentang keadaan sebelum 1965 juga mengungkap banyak hal baru. Dalam pemahaman Orde Baru, kader PKI adalah orang yang sangat terlatih, selalu mementingkan ideologi komunis yang tidak mengenal Tuhan, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka. Kesaksian yang dikumpulkan dalam buku ini memperlihatkan bahwa orang yang tergabung dalam organisasi massa kiri atau PKI adalah orang biasa yang ingin menyumbangkan tenaga dan pikirannya demi kebaikan hidup masyarakat. Mereka mengusung cita-cita keadilan sosial dan perjuangan melawan imperialisme seperti halnya pejuang nasionalis umumnya. Adalah Orde Baru dan para pendukungnya yang kemudian menganggap cita-cita itu sebagai kejahatan, tidak lain untuk membenarkan kebijakan ekonomi dan politiknya yang mendukung modal internasional, pengusaha besar dan tuan tanah. Cerita tentang keterlibatan mereka dalam gerakan kiri memperlihatkan bahwa PKI dan organisasi massa kiri lainnya lebih menyerupai sebuah komunitas perjuangan yang besar ketimbang himpunan professional revolutionaries a la Bolshevik di bawah Lenin. Demikian Hilmar Farid, yang cukup panjang dikutip disini karena mengungkap, seperti dikatakannya, yang banyak orang belum tahu sebelumnya.


Sungguh tajam dan lugu yang diungkap oleh Sepuluh Narasumber, dan yang ditanggapi oleh Hilmar Farid dalam Pengantar buku.


Siapa saja, yang punya respek pada fakta-fakta sejarah, memahami arti penting buku seperti buku KIDUNG Untuk KORBAN. Khususnya dalam usaha mengungkap masa gelap pelanggaran HAM oleh rezim Orba, dalam usaha menarik pelajaran dari sejarah kita sendiri. Dan dalam usaha merintis ke Pelurusan Sejarah, Rehabilitasi para korban dan Rekonsiliasi Nasional. Maka semakin terasa keperluan lebih banyak lagi terbitnya buku-buku seperti ini.


* * *


Catatan Penerbit buku KIDUNG Untuk KORBAN.:

PAKORBA adalah organisasi korban dan keluarga korban pertistiwa 1965. Organisasi ini memfokuskan pada usaha-usaha untuk pelurusan sejarah dengan melakukan penelitian dan pendokumentasian mengenai peristiwa 1965 dan akibatnya bagi kehidupan korban dan keluarga korban 1965. Organisasi ini bersifat nasional namun mengakui otonomi tiap-tiap daerah yang menjadi wilayah kerja Pakorba. Paguyuban Korban Orde Baru ada di beberapa kota. Salah satunya pengurus Cabang Solo. Mereka melakukan mandat kepengurusan pusat untuk mengkordinasi korban yang ada di Solo dan sekitarnya (Keresidenan Surakarta). Setiap cabang PAKORBA melakukan kegiatan secara mandiri namun tetap berkordinasi dengan pusat.


* * *

Wednesday, August 22, 2007

IBRAHIM ISA'S - SELECTED NEWS & VIEWS, 22 August 2007

-----------------------------------------------------------------
IBRAHIM ISA'S - SELECTED NEWS & VIEWS, 22 August 2007
-----------------------------------------------------------------
QUALITY EDUCATION -- The Jakarta Post Editorial, 22.08.07
THE RED-AND-WHITE FLAG, ALWAYS A BURNING ISSUE
THE MANY FACES OF POVERTY ININDONESIA
PRESS COUNCIL WARNS AGAINST BILL ALLOWING GOVT CONTROL OF MEDIA
PRESS COUNCIL WARNS AGAINST BILL ALLOWING GOVT CONTROL OF MEDIA
CALIPPHATE CAMPAIGN PUTS NATIONAL UNITU AT RISK
------------------------------------------------------------------
QUALITY EDUCATION -- The Jakarta Post Editorial, 22.08.07
"We want our children to benefit from a quality education," President Susilo Bambang Yudhoyono said in his Independence Day speech last week. To achieve that, the President said, education would get the largest budget allocation. We definitely share the President's wish. All of us want our children to get a quality education, the best available. But reality is often different.For those of us who live in big cities and can afford good education, we have many choices available, from kindergarten to university. We have western-style kindergartens, complete with English as a medium of instruction, international and national plus schools, as well as international-standard universities. For us, quality is number one.
However, for those who live in small villages in the country and for those who cannot afford even basic education, good schools are beyond the imagination. Elementary schools in Papua, for example, often have one teacher per school -- and who is also the headmaster. For these people, quality is not an issue. If they can send their children to school, that's good enough.
From here, we can see that quality will improve in line with rising demand. More and more national plus schools and international-standard universities will be built whenever the demand for such schools keeps rising. However, driving up demand is not an easy undertaking as it correlates directly with purchasing power, and creating purchasing power takes time. But people cannot wait. Here is the role of the government, to drive up quality from the supply side.
The government has done its part by giving the education sector the highest budget allocation. The president revealed that next year, the education sector would get Rp 61.4 trillion (US$6.7 billion), an increase from Rp 52.4 trillion this year, but he did not elaborate on how this money would translate into quality education. He only promised to continue the government's school operational assistance program and scholarships for poor students, and continue extending special allocation funds to local governments to rehabilitate schools and purchase educational equipment.
Of course, we could not expect the President to go into the details of how to translate an increase in education spending into a rise in the quality of our education system. But the President should at least share his vision for what kind of quality education he wants to see at the end of next year or at the end of his term in 2009.
The budget is an effective tool to drive up education quality. Only through the budget can the government raise teachers' salaries, finance training for teachers and thus improve their quality, provide better textbooks for students and build more versatile school buildings -- all of which are important factors in improving quality. From the budget side, our Constitution has already ensured that the government must allocate enough money for education. The constitution says that 20 percent of the budget must go to education, which is strengthened by our education law, which stipulates the 20 percent spending does not include teachers' salaries.
Here lies the problem. As teachers' salaries are not included in the calculation of the education budget, the government will never be able to meet its Constitutional obligation. Next year's education budget, for example, amounts to only 12.4 percent of the government's total spending. The government simply cannot increase its education spending to 20 percent because if it does so, it will jeopardize the whole budget. This means the government cannot do anything but break the law.
Therefore, we support a proposal from Vice President Jusuf Kalla to amend our education bill, to incorporate teachers' salaries into our education budget. If teachers' salaries, which total Rp 30 trillion, are included, it would automatically boost the government's education spending to 17.5 percent. By amending the education law, we help prevent the government from continuously breaking the law and hopefully end the controversy surrounding the education budget.
However, such big spending for education would not necessarily result in an improvement in education quality. It needs a lot of work in planning, implementation and oversight to make sure that the budgeted money goes to the right projects and right targets, especially those who cannot afford education. Only then would an increase in education spending mean an increase in quality.
----------------------------------------------
THE RED-AND-WHITE FLAG, ALWAYS A BURNING ISSUE
Emmy Fitri, Jakarta
If the theories below are even close to being accurate, Aceh Governor Irwandi Yusuf must feel like he's being torn between two lovers these days.One theory says elements in the now-defunct Free Aceh Movement (GAM) are behind the burning and lowering of red-and-white flags in Lhokseumawe, with the apparent romantic motive of rekindling old sentiment against the Unitary State of Indonesia Republic.
Another theory, still with the pro-independence movement as the main character, says repentant guerrillas are dissatisfied with Irwandi's performance or, in a larger context, the Indonesian government, which is moving the tsunami-battered Aceh's economic growth at a snail's pace. Though formerly a respected intelligence commander in the movement, Irwandi is now seen as the representative of the Indonesian government. Thus, the symbol of a statehood in the province, the national flag, is the right object on which to vent anger.
But on the other hand, regardless of his present political status, Irwandi can still be seen as an integral part of the movement, so whatever alleged wrongdoings are committed by GAM members, he will get the blame. His critics too will quickly ride such issues to damage his integrity. In a recent discussion, former president Abdurrahman Wahid even said Irwandi was responsible for the flag burning and asked the central government to dismiss him from his current post, which he won through a democratic election last December.
Abdurrahman may have reasons for pointing his finger at the governor and so to may the millions of Indonesians who are irked by the flag burning. Although, to be honest, Indonesians have often seen flags from other countries -- like the U.S. Stars and Stripes and Australia's flag -- being burned and stepped on by protesters in many rallies here, but few people have ever complained about such activities, and many agree with them.
But when they see or hear about our national flag being burned, anger inevitably sets in. With the case of the flag burnings in Aceh, the public anger, though not creating a nationwide uproar, is not beyond belief. But with Aceh's complex backdrop the theories mentioned earlier are far too simple to fabricate.
By nature and by law Aceh is definitely delicate. Is it that easy? Most likely no, because there is another theory that might banish them all at once. A few days before Aug. 17 -- in the same week as the incidents in northern Sumatra -- Papuan students studying at Yogyakarta and Denpasar, Bali came under a series of threats from an unknown group of young men for not hoisting the national flag in front of their dormitories. Whose work was this? The likelihood is it will turn out to be an ultranationalist group or paranoid one. But that's an entirely different story, because what happened to the Papuan students drew little attention from the media, while the Aceh incidents have been well brought up to national scale.
What happened in Yogyakarta and Denpasar died down the day after Independence Day. Although different in nature, whoever was behind what happened in Lhokseumawe, Yogyakarta and Denpasar has picked the right object, the flag, to stir chaos. The "Merah Putih" is a symbol of the independence heroes' truthfulness and courage in fighting for freedom. White represents their integrity while the red, as in blood, constitutes courage and their sacrifice for the nation.
The philosophy and ensuing values behind the flag are perceived so deeply that it has been considered sacred to a certain degree in terms of how people must raise it and the days on which it must be raised. Upholding the philosophy and values of the red-and-white has been perceived a crucial. At least once a year, people must reflect on the history of the nation and the freedom fought for by independence fighters.
The government has always allocated billions of rupiah for recruiting the best high school students from across the country to be militantly trained as flag carriers in the flag-raising ceremony at the State Palace to remember the independence proclamation read out by founding father Sukarno.
Some people do know what the red and white symbolize, what the cloth stands for. And whoever is burning and pulling down the flags in Aceh knows the kind of reaction they can spark. A nation's flag epitomizes the existence of a sovereign state. Without a flag, no country is represented and without a flag, anyone can come and claim the territory. The culprits in Aceh want to see the government, the public and the media blaming GAM or Irwandi. But is it that simple?
Another theory -- which has been proved in the past in other areas with simmering separatist sentiments -- is that the country's intelligence unit is using an old-fashioned method to test the local waters. Rumors have it that a small unit of intelligence operatives has been activated in Aceh and nothing has been done by the central government despite reports and complaints made by the local government. As the police investigation is still underway, it's too early to conclude anything. But if the police manage to capture the culprits, question them and announce their success to the media, the rest of the story is not too hard to predict.
If the last theory is closes to realist, does Irwandi need to burn his bridges? If he does, it may not be because of the flag incidents. The governor may have played a role in the events prior to the Independence Day celebrations by not speaking aloud what he had seen and heard about the activated intelligence unit. Suspicions of disgruntled soldiers or angry military units who lost friends in the years of fighting with GAM or merely lost their opportunity to earn more money from local merchants, are scattered facts that wait to be pieced together. In that case, Irwandi doesn't have to be torn between two lovers.
Apparently, if the theory proves to be true, an institution or two should go back to square one and devise new ways to measure stability. For once, for the greater good, the institutions must give peace a chance.
The author is a staff writer for The Jakarta Post.
---------------------------------------------
THE MANY FACES OF POVERTY ININDONESIA
Roy Voragen, Bandung
Intuition many hold that pluralism in society is a destabilizing factor for democracy. There seems to be only so much diversity a society can handle. Many Indonesians fear that ethnic, linguistic, cultural and religious plurality could cause disintegration or even "balkanization".
In recent years violence has occurred in Aceh, Poso, Ambon, Papua, Bali and Jakarta -- this list is indeed long. Secular Indonesians fear that applying (parts) of sharia in some cities, for example, endangers inclusive citizenship as enshrined in the 1945 Constitution. Religious people, on the other side, fear that sexed-up trash on TV will morally corrupt the young.
While discussions on Islam, Pancasila and secularism are important for the future of Indonesia's democracy, there is another more pressing problems: structural poverty. All this talk about public morality seems to obscure the economic fact that 100 million Indonesians have to live on Rp 20,000 (about US$2) a day, and 10 million of them on less than Rp 10,000 per day (these numbers are from the World Bank; see www.worldbank.org/id).
The differences between Muslims and non-Muslims, or religious people and secularists are not as important as the gap between the rich and the poor. It is this gap that could endanger the democratization of this country. Can a democracy flourish when such huge inequality persists?
It is possible with Rp 20,000 a day to get enough food to live. But living is more than eating. For the poor their situation becomes much like a curse, which stays in the family for at least seven generations, because it is impossible to educate their children. Public education is still very expensive, despite the government's continuous efforts to allocate more money for the sector.
Housing is also complex. As architect John Turner once said: "Housing is a verb." There are many trade-offs to be dealt with. Illegal settlements are seldom free. These settlements are illegal because the occupants lack land tenure -- and thus the legal security that comes with it -- but the occupants have to pay "rent" to get an informal form of safety.
And the farther away from a city center the cheaper housing is, the more money has to be spent on transportation. Sometimes it is easier to sleep in the open air, close to -- possible -- jobs.
Toll roads, high-rise apartment buildings and malls are seen as essential parts of modern life. Urban kampungs have been and are being demolished to make way for these developments. These urban settlements are seen by the rich as the sour spots of a city, and modernization is used as justification for their demolition.
Is the (global) market the only answer? And what is then the role of the Indonesian state? The language of the market sounds fair: you will have a chance to succeed if you use your talents and work hard. In short, meritocracy.
Meritocracy is a society where socio-economic status is derived from one's own efforts and capabilities. In such a society one should not get rich because of one's family name, or skin color, or religion, or place of birth or party membership.
In Indonesia, though, unemployment (masked by underemployment) is so massive that a meritocratic is simply unfeasible. Even with good macro-economic prospects most Indonesians will not enjoy the -- literal -- fruits of these prospects. This leads to a widening gap between the rich and the poor, and it can also lead to conflicts (for instance the returning occurrence of anti-Chinese violence).
Not all poor are, of course, jobless. A job is no guarantee that one can escape poverty. A poor person with talent will have difficulty prospering. It will be very hard to leave the kampung behind. If the ideal of meritocracy is the hard currency it will seem as if poverty is one's own fault: One is just too lazy to make use of one's own capacities. But without networks one cannot advance. It is easy to stigmatize the poor, and to see them as an amorphous mass that can be pushed around.
Poverty is indeed a major threat to democracy, perhaps even more than fundamentalism. The writer lives in Jakarta and teaches philosophy at Parahyangan University
---------------------------------------------------------------------------
PRESS COUNCIL WARNS AGAINST BILL ALLOWING GOVT CONTROL OF MEDIA
The Jakarta Post, Jakarta
For the sake of democracy, the Press Council has asked the government to cancel its plan to revise Law No. 40 of 1999 on the press because it could restore the government's control over the mass media.Bambang Harymurti and Abdullah Alamudi, members of the council, said Tuesday it was important to preserve the freedom of the press gained during the reform era. Bambang said it was essential to protect the freedom of the press. Abdullah said, "In a democratic country, the government doesn't have the right to interfere with the public's affairs". "And the press is a part of the public."
It has been widely reported over the past two months the Information and Communication Ministry was planning to revise the Press Law. The ministry was to insert articles which would allow the government to close down any mass media company that violated those articles. In the new bill, paragraph 2 of article 4 stipulates the government has the right to shut down media companies that publish news or pictures which are unethical, threaten national security or disparage certain religions.
Some activists fear a revision of the law would take the country back to the authoritarian rule that existed in the Soeharto period when the media was under tight censorship control and any criticism of the government was made difficult. Abdullah said the revision of the Press Law was not really urgent. "(The law) isn't perfect, but it's the best (press law) in our country's history," he said. "As long as the government controls the press, it will only have one news source, which is the government."
The new bill also stipulates in paragraph 4 of article 9, the prerequisite to founding a media company is government permission. In a democratic country, the press is supposed to act as a watchdog, or functions as the Fourth Estate, for the government -- the legislative, executive and judicial branches.
"The press should be controlled by the public because it is the extension of the public's hands," Abdullah said. The government did not need to control the press as the public itself would choose the most reputable media, while the "rubbish" would not survive, he said. According to Press Council data, only 30 percent of the media in Indonesia is making profit.
"Since the reform era in 1998, more than 1,000 publications have ceased," Abdullah said. "Compare that to 57 years of both Soekarno and Soeharto, when 400 publications were closed down. "The public isn't stupid," he said. Legal expert Bambang Widjojanto said the government had the right to draft a bill on the press as long as it did not threaten the freedom of the press. "The press plays an important role in checks and balances," Bambang said. "The public also needs the freedom of the press so people (have access to) important and relevant information."
Koesparmono Irsan, former member of the National Commission on Human Rights (Komnas HAM), said the freedom of the press was a part of the people's sovereignty and it was very important the government guaranteed it. Djadjat Sudradjat, deputy news director of Media Indonesia daily, said the media was currently facing a systematic threat from the legislative, executive and judicial branches. "The press might need the help of a legal aid center," Djadjat said.

CIVIL LAWSUIT AGAINST SOEHARTO MAY CONTINUE
JAKARTA: The civil lawsuit filed by the Attorney General's Office (AGO) against former president Soeharto's Supersemar Foundation is likely to continue after a series of out-of-court meetings ended in a deadlock, said Junior Attorney General for State Administrative Crimes Alex Sato Bya on Tuesday.
"The meetings ended (with) both camps maintaining their rigid positions, especially regarding the money involved and the special letter of approval from President Susilo Bambang Yudhoyono (for the Attorney General to carry on with the prosecution)," Alex told detik.com. Before the case commenced, judges asked both camps to settle out of court. Initial hearings for the Rp 11.5 trillion lawsuit started Aug. 9.
One final attempt to settle is slated for Thursday. Soeharto's lawyers have questioned the validity of Yudhoyono's letter, saying it was issued to the then-Attorney General Abdul Rahman Saleh. The case is being tried under the current AGO, Hendarman Supandji.
The office said the letter was issued to the Attorney General without mentioning his name. -- JP
----------------------------------------------------------
CALIPPHATE CAMPAIGN PUTS NATIONAL UNITU AT RISK
Muhammad Nafik, Jakarta
Friday was the 62nd anniversary of Indonesian independence. We celebrated it as usual, with flag-raising ceremonies, speeches and games as well as other community festivities nationwide.The celebrations reminded us of how this plural Indonesia was built into the prosperous nation that spans Sabang in Aceh on Sumatra island to Merauke in Papua province, the most eastern part of the country.

"Unity in diversity" is the key to the soul of this huge nation's survival amid separatist challenges from community groups in several regions disadvantaged by the country's socio-economic development. A serious threat to national integration is also emerging now from Islamist groups that have been campaigning for the enforcement of sharia in the world's third-largest democracy, after India and the United States. Yet, many of us, the government in particular, seem to be ignorant that increasing fundamentalism and sectarianism could pose a real danger to national integration and development. This year's independence anniversary was a timely moment to renew and strengthen the nation's commitment to the unity-in-diversity principle and pluralism mandated in the state ideology Pancasila and the Constitution.

President Susilo Bambang Yudhoyono alluded to this issue in his state-of-the-nation address Thursday, saying the four basic pillars of the state -- Pancasila, the 1945 Constitution, the Unitary State of Indonesia and pluralism -- are non-negotiable and final. But the statement lacked clarity and weight since the President failed to unveil specific measures to deal with Islamist movements that offer sectarian ideologies to replace Pancasila and reject democracy. It would have been laudable if the President had used the annual address to heed the repeated calls from the Muslim moderates for the central government to revoke the sharia ordinances being enforced in some regencies and provinces across the nation.

In this case Yudhoyono, who is likely to run for reelection in 1999, appeared hesitant to get tough on sectarian groups, fearing he would lose support from Muslim voters. The fundamentalism issue is more relevant for a serious discussion today as trans-national Islamist groups, including Hizbut Tahrir Indonesia, are increasingly propagating national disintegration through their campaigns for sharia and an Islamic state. Five days prior to Independence Day, Hizbut Tahrir Indonesia convened in Jakarta for a conference on Aug. 12 to call for a caliphate, khilafah in Arabic, or an Islamic state to govern the world. The hardline group, banned in several Middle Eastern countries, aims to unite all Muslim countries in a caliphate, ruled by Islamic law and led by an elected head of state or caliph.

It says the caliphate, which was applied during the early years of Islam after the Prophet Muhammad, should be revived because it is the only system that enables Muslims to enforce sharia comprehensively. Failure or refusal to establish a caliphate is a "big sin" for Muslims, the group claims. At the conference Hizbut Tahrir spokesman Muhammad Ismail Yusanto blasted secularism as "the mother of all destruction" on earth, and called for an end to it by establishing a caliphate based on the prophetic tradition.

The International Caliphate Conference got significant attraction worldwide as it received wide coverage from the foreign media. Since the massive rally held at the national Bung Karno sports stadium attracted some 80,000 Hizbut Tahrir supporters, it created an image that suggested Indonesian moderate Islam was now shifting to fundamentalism. The claim gained justification with the presence at the forum of prominent Muslim scholar Din Syamsuddin, who leads the country's second largest Muslim organization Muhammadiyah, and the once popular preacher Abdullah "Aa Gym" Gymnastiar. What is called a caliphate is merely a historical romanticism by Hizbut Tahrir because it is not be viable in the changing and modern Muslim world.

There are no authentic references in the Koran and the Sunnah or throughout Islamic history for Muslims to establish an Islamic state and enforce sharia as understood by some Muslims here today. The term of khalifah is only mentioned in Verse 30 of Sura Baqara, concerning the creation of humans on earth. Interpreting this verse, most classical Muslim scholars said the mandate of khalifah on earth is not to establish a caliphate but to ensure a prosperous life in the world (in any democratic political system). The caliphate, according to famous Muslim historian Ibnu Khaldun, as quoted by noted Indonesian scholar Azyumardi Azra, ended with the deaths of the four al-Khulafa al-Rasyidun -- Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan and 'Ali bin Abi Thalib. And the Islamic political entities -- the dynasties of Umaiyah, Abbasiyah and Utsmaniyah -- which existed after the al-Khulafa al-Rasyidun period, were not caliphs, but Islamic kingdoms or sultanates, Azyumardi further said in an opinion piece published Saturday in a national newspaper.

In this way, Hizbut Tahrir's campaign for the revival of a caliphate to reign over the world is reasonably questionable and misleading since the idea has lost its historical context and textual references in Islam. But the Aug. 8 conference at the Bung Karno stadium should remain a grim concern for all of us because the event will give further weight to the movement for the enforcement of sharia in Indonesia by the Hizbut Tahrir, the Indonesian Mujahidin Council of former terror convict Abu Bakar Ba'asyir and other Islamist groups including the Prosperous Justice Party. Any claim that the state can enforce sharia should be completely rejected because the idea undermines democracy and endangers pluralism, thus triggering disintegration. What the government should do is to join hands with the moderate Muslim groups to perpetually counter the campaign with concrete action to oppose such an anti-pluralist idea.

Public debate is to be promoted consistently among all levels of Muslim communities, focusing on the idea that Islam should stay away from the state and that sharia is an individual obligation, not a state one. The author is a staff writer at The Jakarta Post.

* * *

Sunday, August 19, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - OEY HAY DJOEN - 'TOKOH KEBANGSAAN'

Kolom IBRAHIM ISA
17 Agustus 2007
------------------
OEY HAY DJOEN - 'TOKOH KEBANGSAAN'
Kutulis artikel ini,dalam rangka memperingati Ultah ke-62 Hari
Kemerdekaan Indonesia. Dengan memfokuskan pada tokoh Oey Hay Djoen,
dimaksudkan agar, bersama kita mengkhayati dalam fikiran dan pemahaman
tentang makna KEBANGSAAN INDONESIA. Bahwa nasion ini, selain terdiri
dari sukubangsa-sukubangsa, yang sering disebut BUMIPUTERA atau
PRIBUMI, bahwa bangsa yang sedang tumbuh dan berkembang ini,
bagian-bagiannya, anggota-anggotanya juga terdiri dari pelbagai etnik
asal asing, seperti etnik Tinghoa (ini yang paling banyak ketimbang
lainnya), India, Eropah, Arab, Tamil, dll.

Tidak adanya kesatuan fikiran dan pemahaman mengenai sejarah dan
identitas nasion kita, a.l. menyebabkan sementara fihak dari pelbagai
jurusan, dengan maksud jahat,(baik yang datang dari luar maupun dari
dalam negeri), -- menggunakannya untuk mengadu domba
'kita-sama-kita'. Juga untuk mengalihkan perhatian masyarakat umum
dari masalah yang riil (seperti kemiskinan, ketidak-adilan, korupsi,
kesewenang-wenangan aparat dan birokrasi, ketidaksiapan menghadapi
bencana alam, dsb) yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Kasarnya
mencari 'kambing hitam' untuk lepas tangan dari tanggungjawab sendiri.
Catatan sejarah kita menunjukkan 'aksi-aksi atau kekerasan
anti-Tionghoa' sering digunakan oleh penguasa dan sementara kaum
reaksioner untuk 'mengalihkan perhatian masyarakat' dan atau dengan
gampang-gampangan menuding 'kambing hitam'.

Mengenai apa atau siapa yang dinamakan bangsa Indonesia, atau
bagaimana identitas nasion ini, tidak sedikit yang kurang mamahaminya,
atau punya pemahaman dan interpretasi berbeda. Sebagai contoh
sederhana: mungkin tidak banyak yang tau bahwa salah satu tokoh
penting pejuang kemerdekaan Indonesia, tokoh nasionalis Mohammad Husni
Thamrin, kakeknya, adalah seorang usahawan berbangsa Inggris. Pejuang
kemerdekaan Dr Douwes Dekker, adalah asal Belanda. Mantan Menteri
Republik Indonesia, Siauw Giok Tjan (Kabinet Presiden Sukarno, 1945),
adalah keturunan etnik Tionghoa. Tokoh Nasionalis Mr. Utrecht, adalah
asal Indo-Belanda. Dr.Magnus Franz Suseno, asal Jerman, dll.

* * *

Ada pelbagai pertimbangan mengapa kali ini tulisan difokuskan pada seorang
tokoh Kebangsaan Indonesia OEY HAY DJOEN, asal etnis-Tionghoa.
Pasalnya, ialah, karena dalam sejarah kita sejak abad ke-18
berkali-kali terjadi aksi-aksi, gerakan ataupun kampanye anti-etnis
Tionghoa di Indonesia. Sering dalangnya atau sumbernya adalah
penguasa. Menunjukkan bahwa mengenai asal etnis-Tionghoa di Indonesia,
masalahnya tidak sesederhana soal orang-orang asal etnis asing
lainnya. Satu dan lain hal disebabkan oleh jumlah penduduk Indonesia
yang asal etnis-Tionghoa jauh lebih beasr dari yang asal etnis
lainnya. Juga kedudukan asal etnis-Tionghoa dalam masyarakat, di
lapangan kegiatan ekonomi negeri sedemikian rupa, sehingga menimbulkan
macam-macam soal. Amat mudah pula dilakukannya penghasutan rasialis
yang bermuara pada kekerasan dan pembunuhan.

* * *

Penamaan atau titel sebagai 'TOKOH KEBANGSAAN', untuk OEY HAY DJOEN,
bukanlah penemuan atau karanganku sendiri. Penamaan tsb diberikan
oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), suatu parpol yang dibangun
pada awal periode gerakan Reformasi. PKB didirikan dan dibimbing
oleh Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Republik Indonesia. Wahid
juga dikenal sebagai salah seorang pimpinan penting NU. Selain itu
Gus Dur diakui sebagai salah seorang kiayi Islam Indonesia dewasa
ini. Wahid dihargai dan dihormati karena pandangannya yang konsisten
demokratis, pluralis dan sekular.

Penamaan sebagai 'Tokoh Kebangsaan' untuk Oey Hay Djoen, dinyatakan,
ketika PKB memberikan 'GUSDUR AWARD' (Juli 2007) kepada Oey Hay
Djoen sebagai pengakuan dan penghargaan atas peranan positif Oey Hay
Djoen dalam kehidupan dan kegiatan sebagai orang Indonesia.

Siapapun , atau lembaga manapun yang menamakan Oey Hay Djoen sebagai
TOKOH KEBANGSAAN, nama itu sepenuhnya tepat. PAS pada tokoh OEY HAY
DJOEN. Dengan itu dinyatakan (diingatkan) kepada seluruh bangsa,
bahwa sebagai seorang 'keturunan' Tionghoa, jelas, --- Oey Hay Djoen
-- , memang sejak masa mudanya adalah pejuang konsisten demi
kemerdekaan Indonesia, demi keadilan dan kemakmuran bagi bangsa.
Sebagaimana halnya banyak tokoh-tokoh keturunan Tionghoa lainnya,
antara lain, Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Tan Ling Djie, Tan Po
Goan, Oey Tjoe Tat, Tjoa Sek In, Yap Thian Hien, dan banyak lainnya ,
mereka-mereka itu:
----- Adalah bagian dari potensi politik nasion Indonesia, bagian
dari kekuatan REVOLUSI KEMERDEKAAN INDONESIA. Yang telah mengabdikan
bagian terpenting dari kehidupan mereka pada negeri dan nasion Indonesia.

* * *

Sering terjadi bahwa kita mengira telah mengenal baik seseorang
sahabat karib, yang memang sudah lama dikenal. Tetapi, ternyata
pengenalan kita mengenai sahabat lama itu, jauh dari cukup.
Ternyata yang baru dikenal itu hanya 'puncaknya dari gunung és',
seperti kata pepatah. Itulah yang terjadi dengan aku.

OEI HAY DJOEN, yang memang sudah lama kukenal, baru kemudian
bertambah pengenalanku. Adalah sesudah lengsernya Suharto, makin
kukenal siapa OEY HAI DJOEN, siapa dia sebenarnya. Tahun 1960-an,
ketika itu, aku sesungguhnya baru mengenalnya sebagai sebagai salah
seorang tokoh pimpinan Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat. Orangnya
sangat energetik. Luar biasa hangat terhadap kawan, serta punya rasa
solidaritas yang tinggi. Selalu gembira dan antusias. Lebih-lebih lagi
ia optimis terhadap haridepan bangsa dan tanah air.

Kemudian terjadilah 'G30S', 1 Oktober 1965'. Hari itu dimulai kudeta
merangkak Jendral Suharto. Presiden Republik Indonesia Sukarno
digulingkan. Peneliti (Researcher) John Rosa, dalam bukunya yang
terbit tahun lalu, menamakan 'G30S, 'A pretext for a mass murder'.
Dalam peristiwa 1 Oktober itu, enam orang jendral dan seorang perwira
muda TNI dibunuh. 'Gerakan 30 September', menurut pernyataan para
pencetus dan pelakunya sendiri, melakukan gerakan militer mereka
dengan tujuan, untuk menggagalkan rencana Dewan Jendral yang
berrencana mengkup Presiden Sukarno. Tujuan mereka adalah untuk
menyelamatkan Presiden Sukarno.

Dalam serentetan aksi-aksi kekerasan yang didalangi oleh fihak militer
di bawah Jendral Suharto, dengan dukungan lapisan sipil, dilakukan
penangkapan besar-besaran, pembunuhan besar-besaran dan pemenjaraan
dan pembuangan besar-besaran. Itu semua demi menghancurkan dan
memusnahkan samasekali PKI, kekuatan Kiri lainnya, dan semua yang
dianggap pendukung atau simpatisan PKI dan pendukung-pendukung
Presiden Sukarno.

* * *

Oey Hay Djoen, yang ketika itu adalah anggota DPR (sebelumnya anggota
Konstituante RI), juga 'diamankan' dan dikirim ke pulau pembuangan P.
Buru. Empatbelas tahun Oey Hay Djoen dipenjarakan oleh Orba bersama
ribuan warganegara Indnesia tak bersalah dan setia kepada Republik
Indonesia. Apa salah mereka? Sebagian besar dari mereka tidak
mengetahui apa salah mereka, bahkan tidak tahu apa tuduhan yang
difitnahkan pada mereka.

Oey Hay Djoen, sebagaimana ribuan warganegara tak bersalah lainnya,
dibuang ke P Buru pada tahun 1969, tanpa proses pengadilan yang
bagaimanapun. Sesudah 10 tahun meringkuk dan merana di pulau
pengasingan itu, ia 'dibebaskan' dalam bulan Desember 1979. Rezim
Orba melepaskannya dengan dengan pernyataan: Tidak terdapat cukup
bukti akan keterlibatan dengan G30-S (1979-1998). Lepas dari pulau
Buru, Oey Hay Djoen hakikatnya masih tetap tidak bebas. Karena,
sebagai ET – Eks Tapol, duapuluh tahun lamanya, sampai 1998, ia
harus melapor sekali seminggu – kemudian sekali sebulan -- pada
instansi KODIM – sebagai tahanan kota.

Mengapa Oey kemudian tidak perlu lagi lapor sejak tahun 1998?

Sebabnya jelas! Adalah Gerakan Reformasi yang menggelora dan
menggulingkan Jendral Suharto, itulah yang menyebabkan, Oey Hay Djoen
dan banyak ET lainnya tidak perlu melapor lagi kepada aparat.
Sebenarya perlakuan Orba selama lebih dari tigapuluh tahun, merupakan
pelanggaran HAM yang amat biadab, merupakan 'CRIME AGAINST HUMANITY'.
Kejahatan terhadap kemanusiaan. Menahan dan membuang warganegara
sendiri yang tidak bersalah, tanpa proses pengadilan apapun. Membunuh
dan 'menghilangkan' banyak orang tak bersalah.

Namun, 'warisan Orba tsb', yang merupakan kejahatan yang bukan main
kejamnya dan luar biasa luas skalanya, tokh masih belum diurus dan
ditangani pemerintah. Para korban masih belum DIREHABILITASI nama
baik serta hak-hak politik dan hak-hak kewarganegaraannya. Meskipun
pemerintah-pemerintah silih berganti sejak jatuhnya Suharto sering
bicara soal Reformasi, Demokrasi dan Rekonsiliasi.

Nasib Oey Hay Djoen ini, 'masih untung', kata sementara orang di
kampung. Karena Oey tidak 'dihabisi', tidak dibunuh. Pada masa
berkecamuknya teror Jendral Suharto terhadap warganegaranya sendiri,
banyak orang-orang Kiri dan PKI yang pada tengah malam buta, diangkut
dari rumah masing-masing dengan truk-truk militer. Dan . . . . mereka
tidak kembali lagi untuk selama-lamanya. Sampai dewasa ini, ribuan
istri, ibu, bapak, adik dan abang tidak mengetahui dimana orang-orang
yang mereka cintai itu dikubur.

* * *

Tidak sedikit para ET - Eks Tapol -- yang tidak tahu apa yang harus
mereka kerjakan, sesudah mereka dilepas dari penjara. Karena kampanye
Orba terhadap mereka (a.l. peraturan 'bersih lingkjungan'), yang
hakekatnya adalah 'chracter assassination' terhadap orang-orang
Kiri dan pendukung Presiden Sukarno, para Eks-Tapol dianggap manusia
yang martabatnya lebih rendah dari kaum 'kasta Paria', kasta terrendah
di kalangan pengikut Hindu. Mereka sering juga disebut 'the
untouchables'. Sesudah lepas dari penjara, para ET tidak mungkin
mencari pekerjaan di lembaga pemerintahan, meskipun tadinya banyak
yang pegawai negeri , bahkan tidak sedikit yang tadinya pejabat tinggi
kementerian, dsb. Bagi Oey Hay Djoen, kesulitan-kesulian sesudah
'dibebaskan' dari pulau Buru, dihadapinya sebagai tantangan dalam
perjuangan demi cita-cita mulya untuk keadilan dan pembebasan dalam
arti kata sebenarnya dari rakyat Indonesia.

Setelah ia `bebas dari pulau Buru', dengan tekad mantap dan semangat
tinggi, Oey melakukan kegiatan dalam rangka membantu generasi muda
Indonesia untuk memperoleh literatur berguna. Oey mulai secara khusus
menerjemahkan buku-buku pengetahuan dan teori ilmu sosial, politik
dan ekonomi. Umumnya literatur progresif dan sosialis.

Memahami arti penting literatur progresif, Sosialis dan Marxis yang
oleh rezim Orba dilarang dan dimusnahkan, Oey Hay Djoen memncurahkan
segenap tenaga dan fikirannya untuk mengisi kekosongan akan literatur
Sosialis. Tidak kurang dari 29 karya-karya hasil pemikiran para
peneliti ilmu sosial dan ekonomi, teoretikus-teoretiks sosialis dan
Marxis yang telah diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen. Antaranya,
misalnya buku klasik Karl Marx dan Frederich Engels, Das Kapital
Jilid, 1,2 dan 3. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam
literatur sosialis berbahasa Indonesia di sepanjang sejarah kita. Juga
karya Prof. Dr W. F. Wertheim, 'Gelombang Pasang Emansipasi'. Kemudian
karya progresif mutakhir karangan Dan Lev dan Ruth McVey, 'MAKING
INDONESIA', juga sudah diterjenmahkan oleh Oey Hay Djoen. Dan banyak
lainnya lagi.

Apa yang dilakukan oleh Oey Hay Djoen, sesuatu yang memerlukan
ketekunan, ketelitian dan dedikasi yang tinggi serta konstan
terhadap cita-cita untuk ikut menyadikan pemikiran penulis-penulis
dan pejuang sosialisme, dimaksudkan agar pemikiran-pemiliran dunia
progresif menjadi pengetahuan generasi baru, angkatan muda sebagaimana
dikatakan oleh Oey. Untuk itu Oey Hay Djoen dibantu oleh sejumlah
kawan-kawannya, Editor Jusuf Isak, serta dari golongan muda seperti
cendekiawan Hilmar Farid, dll.

Dalam kegiatannya, khususnya untuk menerbitkan, Oey Hay Djoen,
bekerjasama dengan dan mendapat bantuan sejumlah penerbit seperti
penerbit buku bermutu HASTA MITRA.

Kutulis artikel ini untuk menggaris-bawahi, bahwa penganugerahan
'GUS DUR AWARD' kepada Tokoh Kebangsaan OEY HAY DJOEN, SEPENUHNYA TEPAT!

***

Wednesday, August 15, 2007

Kolom IBRAHIM ISA -- DIRGAHAYULAH INDIA !

Kolom IBRAHIM ISA
15 Agustus 2007

* * *
DIRGAHAYULAH INDIA !
Hari ini India memperingati dan merayakan Ultah Ke-60 KEMERDEKAAN INDIA. Sebagai sesama negeri dan bangsa Asia yang di masa yang lalu, bahu membahu, bersolidaritas dalam perjuangan untuk kemerdekaan nasional; sebagai sesama negeri Asia (Bung Karno dan J. Nehru) yang mengambil prakarsa mempersatukan Asia dan Afrika dalam perjuangan untuk kemerdekaan nasional, melalui KONFERENSI ASIA-AFRIKA (Bandung, April 1955), pada tempatnya:

KITA MENGUCAPKAN SELAMAT DAN DIRGAHAYULAH INDIA! Semoga pertumbuhan ekonomi India yang dewasa ini menggebu-gebu, berlomba-lomba dengan lajunya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, hasilya akan diinikmati oleh seluruh lapisan rakyat India.

Cita-cita bapak nasion India, MAHATMA GANDHI dan J. Nehru , adalah lahirnya satu India merdeka yang bersatu. Jalannya sejarah berbeda dengan fikiran kedua tokoh India itu. Sama-sama pejuang kemerdekaan lainnya, Mohammad Ali Jinah, berpendapat lain. Ia khawatir bahwa Partai Kongres India yang dominan di India ketika itu, yang dianggapnya sebagai suatu partai yang terutama di dominasi oleh kaum nasionalis India yang beragama HINDU, kelak, setelah tercapai kemerdekaan nasional India akan menggantikan dominasi Inggris (atas kaum Muslim India).

Dalam suatu kekuasaan negara dimana yang dominan adalah suatu partai yang dianggapnya partai Hindu, maka penduduk yang beragama Islam merupakan minoritas yang dikhawatirkannya tidak akan punya hak sama dengan golongan Hindu. Maka Ali Jinnah memperjuangkan suatu negara tersendiri dimana penduduk yang beragama Islam dari 'British India' zaman kolonial, punya negaranya sendiri yang bebas serta bisa berkiprah atas dasar ajaran Islam. Sesuai dengan cita-cita filosof dan penyair besar Muslim India, Mohamad Iqbal, bahwa pada suatu ketika kaum Muslim India akan memiliki nasionnya sendiri.Maka lahirlah berdampingan Pakistan merdeka dan India merdeka.

* * *

Dalam rangka menyambut Ultah Ke-60 Hari Kemerdekan India, kali ini disiarkan kembali bagian-bagian dari tulisanku sesudah melakukan kunjungan ke New Delhi, pada musim panas tahun 2003, atas undangan Organisasi India untuk Perdamaian dan Setiakawan.

KUNJUNGAN KE NEW DELHI (Musim Panas 2003)
Memulihkan Tali Persahabatan dan Setiakawan!
INDIA— Siapa tidak kenal nama ini.
Terakhir aku mengunjungi India, adalah pada tahun 1962. Ketika itu aku ditugaskan oleh Komite Dana Asia-Afrika, untuk menghubungi beberapa negeri di Asia dan Afrika dalam rangka meraih dukungan politik yang lebih besar terhadap gerakan solidaritas Asia Afrika, kongkritnya untuk pengumpulan dana bagi perjuangan kemerdekaan di dua benua ini, terutama di Afrika. Oleh tuanrumah India, aku ditemukan dengan Kreshna Menon, Menteri Pertahanan India. Kufikir, urusannya adalah untuk dana perjuangan A-A, kok dipertemukan dengan menteri pertahanan, seorang terkemuka dari Partai Kongres. Dijelaskan kemudian, bahwa di dalam kabinet Nehru, Kreshna Menon, a.l. adalah yang paling progresip. Agar misiku dapat hasil maka sebaiknya menghubungi yang progresif dulu di kalangan yang berkuasa di India.

Kali ini kunjungan ke New Delhi, India, 28 Mei – 4 Juni 2003, adalah atas undangan AIPSO – All India Peace and Solidarity Organization –, untuk menghadiri Asia-Pacific Regional Meeting of the World Peace Council, yang akan dilangsungkan pada tanggal 30 — 31 Mei, 2003, di New Delhi.

Ya, INDIA - Siapa tidak kenal negeri dan kebudayaan bangsa ini. Tradisi dan budaya bangsa ini sudah ribuan tahun usianya. Ketika aku masih kanak-kanak aku suka nonton wayang golek. Begitu nonton wayang golek, maka itu berarti semalam suntuk, sampai pagi. Anehnya kok tidak ngantuk. Jelas tidak akan mengantuk,karena ceritera yang dipentaskan di atas panggung dan kemahiran sang dalang sungguh mencengkam, banyak pelajaran yang bisa ditarik dari padanya, tidak kalah dari ceritera “Hamlet the Prince of Denmark” yang kenamaan itu, karya Shakespeare. Akibatnya “tidak ada satupun – dari penonton - yang berniat pulang”, sebelum pertunjukkan selesai. Sesekali aku juga nonton wayang kulit. Tapi aku tidak sadar ketika itu bahwa lakon-lakon yang dipentaskan disitu, adalah berasal dari buku Mahabharata atau Ramayana, yang aslinya ditulis dalam bahasa Sanskrit. Nenek-moyang kita mengenal sastra dan kultur ini dari kaum pedagang dan imigran – diantaranya pendeta-pendeta - dari India, kurang-lebih seribu tahun yang lalu.

Tidak peduli siapa, jika orang berkunjung ke Bali, tidak ada yang meragukan bahwa kebudayaan rakyat Bali, adalah kebudayaan Hindu Bali. Asal muasal kebudayaan ini dari India.

Yang terkadang bikin aku keheranan, ialah, tidak sekali dua teman dan kenalanku dari India, baik yang lama mupun yang baru, tercengang melihat begitu suburnya kebudayaan Hindu hidup di Indonesia. Ini kesan mereka ketika berkunjung ke candi Borobudur, Mendut dan Prambanan. Ketika mereka menyaksikan sendiri betapa harmonisnya hubungan orang-orang Bali yang beragama Hindu dengan orang-orang Indonesia lainnya yang beragama Islam, Kristen, Budha, dan keyakinan hidup Konghucu, mereka tidak dapat lagi menyembunyikan kekagumannya terhadap rakyat kita.

K.M. Khan, M.P., seorang anggota DPR India dari Partai Kongres India, dan salah seorang Sekjen dari AIPSO – All Indian Peace and Solidarity Organization -- yang diperkenalkan kepadaku oleh Romesh Chandra (Ketua Kehormatan Dewan Perdamaian Dunia –WPC ) mengatakan kepadaku dengan penuh kekaguman: “Kami harus belajar dari sikap hidup yang toleran dari rakyat Indonesia”.

Aku fikir, kita juga bisa banyak belajar dari India dewasa ini. India terkenal sebagai salah satu negeri di Asia yang paling banyak menghasilkan tenaga intelektual, sarjana dan teknisi. Ingat nama Bengalore, sebagai “Silicon valley-nya Asia”. Dewasa ini India adalah “pengekspor” ribuan sarjana di pelbagai bidang pengetahuan ke negeri-negeri Timur Tengah, bahkan ke Amerika dan Eropah (terutama di bidang pengetahuan informatika). Halmana menunjukkan keberhasilan mereka dalam menangani masalah sumberdaya manusia. Tidak heran, Minsiter Councillor Kedutaan Besar Indonsia di New Delhi, Suhadi M.Salam, berucap padaku ketika aku mengunjungi beliau, bahwa ia merasa beruntung anak-anaknya bisa studi di salah satu universitas di Bengalore. Ia berharap agar lebih banyak mahasiwa-mahasiswa Indonesia di hari depan pergi belajar ke India. Karena dari segi mutu, perguruan tinggi di India tidak kalah dengan Amerika maupun Australia. Sedangkan dari segi pembiayaan, belajar di India jauh lebih murah. Demikian Kuasa Usaha RI di New Delhi, Suhadi M. Salam padaku.

Di bidang industri, termasuk industri berat, dewasa ini India sudah merupakan saingan yang tidak bisa diremehkan bagi Jepang. Apalagi di dunia perindustrian film. Hasil industri film India adalah yang kedua terbesar sesudah Hollywood. Maka, di India ada Hollywood “lain”, yang populer dikenal sebagai Bollywood. Kita lihat saja pengaruh budaya dan sutradara India dalam sinetron Indonesia sekarang ini. Tahulah kita betapa besar pengaruh India pada Indonesia di bidang ini. Dan lagu-lagu dengan beat DANGDUT, yang amat populer di kalangan rakyat. Dari mana itu kalau bukan dari India.

Dari segi politik, --- dari sudut manapun memandangnya, harus diakui, bahwa, India adalah SATU-SATUNYA negeri dan nasion, di Asia dan Afrika, yang setelah mencapai kemerdekaannya, terus-menerus hidup dalam sistim politik demokrasi parlementer. Banyak orang bilang itu adalah “demokrasi Barat”. Nyatanya sejak India merdeka, apayang dikatakan ‘demokrasi Barat’itu bisa berlangsung terus di India. Dan cocokdi India. Siapa berani berucap bahwa India itu bukan negeri Timu. Namun, tokh mempraktekkan dengan baik demokrasi parlementer “Barat” yang sering dikatakanorang, itu sistim politik barat yang tidak cocok dengan “kultur” Timur.

Sejak berdirinya Republik India lebih 55 tahun yang lalu, pemerintah yang mengurus negeri itu, selalu adalah pemerintah pilihan rakyat, lewat pemilihan umum. Jika aku tak salah, sebelum pemilu Indonesia, 1955, DPR RI dan pemerintah ketika itu, bersepakat mengirimkan sebuah misi parlementer ke India, untuk b e l aj a r. Belajar bagaimana menyelenggarakan pemilu yang jurdil. Dalam periode itu kita cukup rendah hati, untuk belajar dari India.
Kedekatan hubungan Indonesia dengan India, tidak aneh. Karena sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dan bangsa kita terlibat perang kemerdekaanmelawan tentara Jepang, Inggris, kemudian tentara NICA, KNIL dan KL dari Belanda, --- India yang pada waktu itu belum mencapai kemerdekaan penuh, telah mengulurkan tangan solidaritas dan persahabatannya terhadap bangsa kita. Kita ingat Pan Asian Conference di New Delhi (1947 – perlu dicek lagi kapan persisnya, tapi pasti sebelum tahun 1950) yang diprakarsai oleh Nehru dari Partai Kongeres India, dimana India menyatakan sokongan penuhnya terhadap perjuangan kemerdekaan kita. Fakta sejarah ini jangan sekali-kali kita lupakan. Supaya selalu ingat siapa yang mengulurkan tangan setiakawan dan persahabatan dikala masa sulit kita.

Para senioren kita, a.l. Francisca Fanggidaej, mantan anggota DPR-GR, salah seorang pejuang kemerdekaan nasional, bisa bercerita bagaimana RI mengirimkan misi diplomatik ke luar negeri. Bagaimana pada tahun-tahun awal revolusi dilancarkan ofensif diplomatik untuk menggarap solidaritas internasional terhadap Revolusi Kemerdekaan Indonesia, dan secara kongkrit pula untuk melawan ofensif diplomasi Belanda, yang menuduh RI sebagai negara boneka Jepang, serta menuduh Bung Karno, Presiden Pertama Republik Indonesia, sebagai kolaborator Jepang. Pada saat-saat krusial RI melancarkan ofensif diplomatiknya di dunia internasional, -- para pemimpin India, khususnya Nehru c.s dan Partai Kongres-nya, dengan tulus memberikan bantuan kongkrit kepada pejuang-pejuang muda diplomasi kita.

Selain itu, India juga mengirimkan bantuan obat-obatan dan kapal terbang sendiri untuk mengangkutnya ke daerah kekuasaan RI yang aman dari intaian fihak militer Belanda. Namun, sebuah kapal terbang India yang datang membawa bantuan untuk RI sempat ditembak jatuh dekat Jogja. Suatu pengorbanan yang dipersembahkan bangsa India demi kemerdekaan bangsa dan negeri kita.

Dari segi lainnya juga adalah suatu fakta sejrah pula, bahwa Republik Indonesia tidak semata-mata menerima bantuan dari India. Republik Indonesia tidak berpeluk tangan, ketika India mengalami bahaya kelaparan yang serius, berhubung dengan musim pacelik yang berkepanjangan di India ketika itu. Meskipun bangsa dan tanah air kita masih dalam keadaan sulit dan terlibat dalam perjuangan hidup-mati melawan Belanda, namun RI dan bangsa kita bercancut-taliwondo mengumpulkan beras untuk dikirimkan ke India, dalam rangka membantu saudara seperjuangannya yang sedang dilanda bahaya kelaparan. Ketika itu kota pelabuhan Banyuwangi, Jatim, menjadi harum namanya, karena adalah dari pelabuhan kecil ini, beras Indonesia dikirimkan untuk membantu India.

Tali setiakawan dan persahabatan antara Indonesia dan India dimulai dan dibangun dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme untuk kemerdekaan nasional.
Jangan ketinggalan pula menyebut Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955, dimana Indonesia dengan 4 negeri Asia lainnya, termasuk India merupakan pemrakarsa dan organisator dari Konferensi Bandung yang punya arti sejarah luar biasa itu. Dalam perkembangan situasi selanjutnya, gerakan Non-Blok yang punya peranan penting dalam menjaga keseimbangan kekuatan politik dunia antara Blok Barat dan Blok Timur, dimana kerjasama dan solidritas antara Indonesia dan India merupakan poros penting, punya arti besar dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan perdamaian dunia.

Dalam perjalanan dan perkembangan politik selanjutnya, hubungan Indonesia dengan India, tampak mendingin. Apakah yang menyebabkannya? Apakah ini terjadi semasa Orba? Ataukah sudah dimulai sejak periode pemerintahan Presiden Sukarno? Apakah itu terjadi ketika meletus perang antara India dan Pakistan yang menghasilkan pemisahan Bangladesh dari Pakistan dan berdirinya negara Bangladesh? Atau yang menyangkut masalah Kashmir? Dimana mengenai kasus-kasus itu, fihak India melihat sikap Indonesia sebagai berat sebelah. Halmana berarti bahwa Indonesia berpfihak pada Pakistan?
Hal-hal tsb masih harus dipelajari terus dengan seksama, agar daripadanya dapat ditarik kesimpulan yang bermanfaat bagi pemulihan dan pengokohan hubungan persabatan, kerjasama yang menguntungkan keduabelah fihak dan solidaritas antara Indonesia dengan India.

India adalah suatu negeri yang penting dan cukup besar dengan penduduk terbesar di dunia sesudah RRT. Dengan negeri ini, Republik Indonesia, teristimewa gerakan rakyatnya seyogianya harus mempertahankan dan memperkokoh hubungan persahabatan dan setiakawan. Apalagi dalam situasi dunia dewasa ini, sesudah Perang Dingin berakhir, dimana AS,-- sebagaimana tercermin dari politik “unilateralisme” dan “pre-emptive strike”-nya terhadap Irak, serta dalam menghadapi pelbagai masalah internasional lainnya, -- menampilkan diri dan bertindak sebagai satu-satu negara besar supra yang punya hak untuk bertindak sebagai “polisi dunia”, berhak menentukan mana yang benar dan mana yang salah.

***

Sunday, August 12, 2007

IBRAHIM ISA MENGAJAK: - BACA ASWI Ttg Istilah 'GERAKAN 30 SEPTEMBER'

IBRAHIM ISA MENGAJAK:
----------------------------
Rabu, 05 APRIL 2007

BACA ASWI Ttg Istilah 'GERAKAN 30 SEPTEMBER'

Hari Minggu y.l. (01.04.07) dapat dibaca sebuah wawancara yang menarik
sekali. Itu diberikan oleh sejarawan generasi muda kita ASWI WARMAN
ADAM mengenai istilah 'GERAKAN 30 SEPTEMBER, yang menurutnya adalah
lebih obyektif terbanding istilah 'G30S/PKI', versi Orba.

Kukatakan Aswi Adam adalah sejarawan muda 'KITA'. Karena aku percaya
akan kejujuran Aswi Adam mengenai FAKTA-FAKTA SEJARAH. Sebagaimana
juga aku mempercayai sejarawan muda yang belum lama kukenal, BONNIE
TRIYANA. Kedua-dua sejarawan muda ini, gairah dan serius sekali dalam
meneliti dan menstudi fakta-fakta sejarah yang telah dibengkokkan dan
dipalsu oleh Orba seperti yang antara lain dilakukan oleh sejarawan
Angkatan Darat, Nugroho Notosusanto, dan sebangsanya.

Tidak sedikit sejarawan muda dewasa ini, yang berusaha keras untuk
'meluruskan sejarah' (isilah Aswi) Indonesia. Atau seperti istilah
Bonnie 'Mengklarifikasi' fakta sejarah Indonesia. Kiranya tidaklah
berkelebihan untuk menaruh harapan terhadap sejarawan-sejarawan
generasi baru, seperti Aswi dan Bonnie, juga Bambang Purwanto, dan
lain-lainnya. Mereka gairah, maju terus meski menghadapi pelbagai
rintangan. Termasuk ancaman dan intimidasi 'preman' seperti yang
dialami oleh Aswi Adam dan keluarganya belakangan ini. Rintangan dan
intimidasi tsb dilakukan terhadap setiap usaha untuk mengungkap
kebenaran, membeberkan fakta-fakta sejarah Indonesia, khususnya yang
menyangkut masa sejak diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia; lebih
khusus lagi yang menyangkut sekitar 'Peristiwa 1965'. Karena adalah
pada periode itu, selama lebih dari 30 tahun Orba telah
memutarbalikkan fakta-fakta sejarah Indonesia. Dan belakangan ini, --
memuakkan sekali, sampai-sampai Kejaksaan Agung ikut-ikutan, dengan
keputusannya melarang buku-buku sejarah kurikulum 2004, yang tidak
mencantumkan nama 'PKI' sesudah nama 'G30S'.

Harapanku bertambah besar terhadap para sejarawan muda kita yang
berani dan mampu menangkis 'brainwashing' Orba, antara lain setelah
membaca tulisan-tulisan (Adam dan Bonnie). Lebih mengesankan lagi dari
perkenalan pribadi dengan Aswi di Leiden beberapa tahun yang lalu, dan
baru-baru ini pertemuan dan percakapanku dengan Bonnie. Ketika
mendengarkan tuturnya mengenai pemahamannya tentang sejarah negeri dan
bagsa kita. Di sini kiranya perlu disebut satu nama lagi dari
generasi muda kita yang berusaha keras menyajikan fakta-fakta yang
benar sekitar sejarah bangsa kita, seperti Lexi Rambadetta (dengan
cameranya), dengan siapa baru ini saja aku terlibat dalam percakapan
panjang lebar menyangkut masa kini dan haridepan Indonesia, serta
peranan kaum muda di dalamnya.

* * *

Wawancara Aswi seperti yang diberikannya kepada dua orang jurnalis
TEMPO, Endri Kurniawati dan fotografer Bismo Agung, telah disiarkan
oleh TEMPO dan mailist WAHANA, kemudian disiarkan-ulang di bawah ini.

* * *

ISTILAH 'GERAKAN 30 SEPTEMBER' LEBIH OBYEKTIF
Asvi Warman Adam, Sejarawan

(TANYA: Istilah apa yang digunakan untuk menyebut pembunuhan enam
jenderal pada 30 September 1965 ketika itu)

JAWAB: Pada 1 Oktober 1965, istilah yang dipakai adalah "Gerakan 30
September". Tidak disingkat menjadi G-30-S, tapi ditulis penuh. Itu
menurut dokumen yang dikeluarkan pada 1 Oktober. Dalam
perkembangannya, bahkan 40 hari setelah peristiwa itu, Jenderal
Nasution menulis buku yang diterbitkan Departemen Pertahanan berjudul
40 Hari Kegagalan "G30S". Istilah G-30-S itu dipakai sampai
pertengahan Desember 1965. Pelakunya sendiri menyatakan Gerakan 30
September.

(TANYA - Siapa pelakunya?)

JAWAB: Untung, Latif, memakai istilah itu. Dalam dokumennya, Untung
menggunakan istilah Gerakan 30 September.

(TANYA -Dokumen apa itu?)

JAWAB - Dokumen yang mereka keluarkan pada hari pertama (setelah
pemberontakan) yang menyatakan mereka membentuk Dewan Revolusi dan
lain-lain. Tapi gerakan itu mereka sebut sebagai Gerakan 30 September.
Setelah itu Bung Karno menggunakan istilah Gestok, Gerakan Satu
Oktober. Itu ditandingi oleh Angkatan Darat dan kelompok Islam dengan
istilah Gestapu untuk diasosiasikan dengan Gestapo (Nazi-Jerman).
Tapi, kalau dilihat dari bahasa Indonesia, itu kan kurang tepat. Sejak
awal ada "pertarungan" antara Gestok dan Gestapu. Baru setelah 1966
dipakai istilah PKI.

(TANYA - Sejak Orde Baru berkuasa?)

JAWAB - Ya, sejak Soeharto makin kuat kedudukannya dipakai istilah
G-30-S/PKI. Alasan lainnya, ketika itu ada Mahkamah Militer Luar Biasa
(Mahmilub). Yang diadili pertama kali adalah Nyono, Ketua CC PKI
Jakarta Raya. Sejak itu dikaitkan (dengan PKI). Tapi kita tahu yang
diadili bukan hanya pengurus PKI. Tapi juga perwira Angkatan Darat
(AD), Angkatan Udara (AU), Wakil Perdana Menteri, dan Menteri Luar
Negeri Soebandrio, yang bukan pengurus PKI, bukan anggota AD atau AU.
adi ada empat kelompok yang diadili. Di pengadilan, pelakunya
dinyatakan terbukti terlibat makar. Tapi tidak ada putusan Mahmilub
yang menyatakan bahwa partai ini terlibat makar.

(TANYA - Dari semua istilah itu, istilah apa yang paling mendekati
kenyataan?)

JAWAB - Menurut saya, bukan paling mendekati kenyataan. Tapi paling
obyektif secara ilmiah adalah berdasarkan pelakunya menyebut gerakan
mereka. Seharusnya ditulis dengan lengkap "Gerakan 30 September".
Tidak disingkat. Menurut saya, itu lebih obyektif, ilmiah.
Istilah Gestok, sebutan Bung Karno itu, misalnya. Secara logis,
kejadian itu tepat pada 1 Oktober. Pelakunya tidak menyebut demikian,
tapi Gerakan 30 September.

(TANYA -Apakah penggunaan istilah G-30-S/PKI itu digunakan mendadak
oleh rezim Orde Baru?)

JAWAB - Tidak, tidak mendadak. Sejak 1966 ditulis G-30-S/PKI. Makin
lama makin dikukuhkan. Pada 1990, ada museum pengkhianatan PKI di
Lubang Buaya, Jakarta, yang diresmikan Soeharto. Pada 1994,
Sekretariat Negara mengeluarkan buku putih berjudul Pemberontakan
Partai Komunis Indonesia. Makin lama makin dilestarikan mitos yang
diiringi oleh pemberian stigma terhadap partai itu, orang-orang dan
keluarga mereka, bahwa mereka melakukan pemberontakan.

(TANYA - Apakah sebagian besar pelaku pemberontakan berasal dari PKI?)

JAWAB - Tidak. Tidak ada alasan yang jelas. Misalnya Soebandrio, apa
alasan untuk menangkap dan mengadili dia? Dia bukan PKI. Saya melihat
ini upaya menghancurkan orang-orang di sekeliling Bung Karno. Jika ini
dilihat sebagai rangkaian kudeta merangkak, pertama untuk
menghancurkan PKI sebagai pesaing AD yang paling kuat.
Pada 1 Oktober, ada segi tiga kekuatan politik. Ada Soekarno, di
bawahnya AD dan PKI. Dalam mengambil kekuasaan dari Bung Karno, PKI
akan menyingkirkan pesaingnya. Karena sesudah PKI dibubarkan pada 12
Maret 1966, pada 15 Maret ada 15 orang menteri yang ditangkap,
termasuk Soebandrio. Yang ditangkap itu menteri-menteri yang loyal
terhadap Bung Karno, untuk melumpuhkan kekuatannya.
Sesudah 15 menteri ditangkap, Cakrabirawa--pasukan pengawal yang loyal
kepada Presiden Soekarno yang kekuatannya sekitar 4.000-5.000
orang--dibubarkan dan dikembalikan ke induk pasukannya ke daerah.
Kalau dianalisis dari kudeta merangkak, kelihatan masing-masing
kekuatan yang mendukung dan dekat dengan Bung Karno itu dihancurkan.

(TANYA - Istilah apa yang paling banyak dipakai?)

JAWAB - Pada 1965 belum ada istilah G-30-S/PKI. Yang ada "G-30-S"
atau "Gerakan 30 September". Yang menonjol pada Oktober sampai
Desember, koran-koran militer, seperti Berita Yudha, melancarkan
kampanye hitam dengan cara menghancurkan Gerakan Wanita (onderbouw PKI).
Ini cara paling mudah karena sulit untuk menghancurkan PKI yang
sama-sama militan. Caranya dengan menyatakan anggota Gerwani melakukan
tarian mesum di Lubang Buaya dan menyilet kemaluan para jenderal.
Kampanyenya, menurut saya, sangat ampuh. Masyarakat akan berpikir
perempuan kiri demikian kejamnya, apalagi yang laki-laki. Kampanye di
masa berikutnya mereka dinyatakan anti-Tuhan.

(TANYA - Seberapa dominan kampanye itu menguasai buku sejarah atau
media?)

JAWAB - Sangat dominan. Pada 1 Oktober, semua koran dibreidel selama
sepekan kecuali koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.
Koran-koran kan sudah takut. Setelah terbit, mereka hanya mengutip
berita-berita soal politik dari kedua koran itu. Sangat dominan.
Berita tentang anggota Gerwani menyilet kemaluan para jenderal bukan
hanya ditulis di Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata, tapi juga
diikuti oleh Duta Masjarakat, koran (milik) NU, dan Sinar Harapan (SH)
(Protestan). Walaupun dalam berbagai kasus SH cukup independen. SH
satu-satunya koran yang menulis tentang visum para jenderal yang tewas
karena tembakan, tidak ada yang disilet kemaluannya. Soeharto tahu,
tapi dia biarkan saja informasi itu.

(TANYA - Kalau yang tertulis dalam buku-buku sejarah?)

JAWAB - Yang menarik sesudah 1965. Yang tidak boleh dipakai pertama
kali adalah buku Sejarah Indonesia tulisan Anwar Sanusi. Anwar yang
ini adalah guru di Bandung. Buku ini terbit pada 1949 dan dicetak
ulang terus sampai 1965. Ini membuktikan buku itu terpakai di sekolah
meski (materinya) terbatas. Ceritanya tentang masa lampau. Bahkan
(dalam buku itu) Buddha tidak dikenal, jadi Hindu saja yang ada.
Sejak peristiwa itu, buku ini dilarang. Alasannya, nama penulis buku
ini sama dengan Anwar Sanusi yang CC PKI. Padahal ini Anwar Sanusi
guru dan anggota Masyumi. Ironis, dilarang hanya karena namanya sama.

(TANYA - Sejak kapan G-30-S/PKI masuk buku sejarah untuk sekolah?)

JAWAB - Sesudah peristiwa itu, saya tidak ingat persis tanggalnya pada
1966-1967. Kalau mau ke belakang lagi, pada 1964 terbit buku sejarah
yang disusun oleh Front Nasional.

(TANYA - Siapa Front Nasional itu?)

JAWAB - Kumpulan tokoh partai yang didominasi kelompok kiri. Dibentuk
Bung Karno untuk "menyeimbangkan" kabinet dan parlemen. Sebetulnya
nggak jelas kerjanya. Front membuat pengaderan, memberikan ceramah
tentang revolusi. Kumpulan dari ceramah-ceramah itu diterbitkan
menjadi buku yang judulnya Sejarah Revolusi.

(TANYA - Buku sejarah sumbernya ceramah?)

JAWAB - Buku ini tidak untuk diajarkan di sekolah, tapi disampaikan
kepada masyarakat semacam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
untuk pengkaderan. Dalam buku itu, mereka bercerita tentang kejayaan
Indonesia masa lampau, tapi mereka tidak bercerita tentang revolusi di
Indonesia. Mereka bercerita tentang perbandingan revolusi di Tiongkok,
revolusi Vietnam.
Nasution melihat pemberontakan Madiun nggak ada di situ. Seakan-akan
peran tentara nggak ada. Yang ada hanya peran rakyat. Nasution
membentuk tim beranggota dosen-dosen Universitas Indonesia, Nugroho
Notosusanto dan kawan-kawan. Ini cikal-bakal Pusat Sejarah ABRI itu.
Pada 1964 terbit juga sejarah Gerakan Angkatan Bersenjata RI, yang
memperlihatkan keberhasilan tentara (menumpas pemberontakan).
Nasution getol menggarap ini karena lagi nganggur. Sejak 1962, dia
seperti "dipecat" jadi Kepala Staf AD oleh Soekarno. Ia dianggap
bertanggung jawab atas meriam yang ditodongkan ke Istana. Tapi Bung
Karno susah (mencari) penggantinya jadi dipanggil lagi.

(TANYA - Apa yang dilakukan Nugroho?)

JAWAB - Setelah mendirikan Pusat Sejarah ABRI sekitar 1966,
barangkali, yang pertama kali dibuatnya adalah membakukan sejarah
ABRI. Berdasarkan standardisasi sejarah ABRI, dia mengajukan
standardisasi sejarah Indonesia. Ini diterima Kongres Sejarah
Indonesia, tapi bukunya disusun pada 1974. Tim disusun untuk menulis
sejarah Indonesia.
Bukunya enam jilid. Ada zaman purbakala, zaman Hindu, Islam, dieditori
orang lain. Nugroho mengeditori soal Indonesia di masa kontemporer dan
mencoba memasukkan kepentingan pemerintah waktu itu. Buku ini namanya
buku babon.

(TANYA -Sengaja dipilih jilid 6?)

JAWAB - Ya, paling strategis. Nugroho membuat ringkasan jilid 6 untuk
buku SD sampai SMA. Isinya mengkultuskan Soeharto dan merendahkan
Soekarno. Buku Sejarah Nasional Indonesia untuk SMP dan SMA itu
dirujuk oleh buku-buku yang lain. Ada sedikit variasi, tapi rujukannya
itu.

(TANYA - Buku babon sudah mencantumkan istilah G-30-S/PKI?)

JAWAB - Setahu saya sudah. Ditulis tidak hanya keterlibatan PKI saja,
tapi juga keterlibatan Soekarno dalam peristiwa itu.

(TANYA - Bagaimana Soekarno terlibat dalam kudeta terhadap dirinya
sendiri?)

JAWAB - He-he-he.... B.M. Diah marah-marah ketika buku itu terbit.
Dia menurunkan editorial beberapa hari berturut-turut menghantam
Nugroho. Ada sedikit perubahan, tapi tetap saja Soekarno dikecilkan.
Nugroho juga menyingkirkan Soekarno dengan membuat konsep tentang hari
lahir Pancasila.
Sejak dulu tertulis hari lahir Pancasila 1 Juni 1945 pada saat
Soekarno pidato. Tapi, pada 1970, Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban (dikomandani Soedomo) melarang. Seorang sejarawan
Prancis mengatakan Soekarno dibunuh dua kali pada Juni 1970 itu. Ia
dibunuh pemikirannya dan dibunuh pelan-pelan secara fisik.
Pada 1970 juga Nugroho mengeluarkan buklet tentang Pancasila.
Dikatakannya, Pancasila merupakan hasil pemikiran nenek moyang kita
dari dulu sampai sekarang. Yang tepat, hari lahir Pancasila itu 1
Agustus 1945 saat disahkan sebagai dasar negara. Sebelumnya, masih
calon dasar negara (tertawa).

(TANYA -Usahanya komplet?)

JAWAB - Ada upaya sistematis sejarah digunakan sebagai kepentingan
politik. Melalui buku, Pancasila, dan monumen yang dibuat untuk
mengagungkan Soeharto. Monumen Serangan Umum 1 Maret dan diorama di
Monas. Sebelum 1965, diorama Monas itu sudah dirancang. Hari lahir
Pancasila pada 18 Agustus 1945 diubah pada diorama itu. Ganefo
dihilangkan dari rancangan diorama yang jadi pada 1970 itu.
Yang ditambahkan Supersemar. Digambarkan Soeharto terbaring sakit
ketika tiga jenderal mendatanginya di rumahnya. Kesannya dia pasif dan
tidak berambisi pada kekuasaan.

(TANYA - Apakah buku sejarah yang tidak merujuk pada buku babon
semuanya dirombak?)

JAWAB - Tidak dirombak karena sebelumnya memang tidak ada rujukan mana
yang akan dipakai.

(TANYA - Adakah yang tidak merujuk pada buku babon?)

JAWAB - Tidak berani. Bukunya Anwar Sanusi yang tidak ada persoalan
dengan politik saja tidak dipakai lagi. Ini membuktikan orang tidak
berani mencoba (menyajikan buku) yang lain. Jika ada yang berbeda akan
dilarang.
Yang jelas pelarangan dilakukan terhadap buku Pemberontakan Partai
Komunis Indonesia, yang terbit pada 1994, dan buku Di Bawah
Bayang-bayang PKI, yang diterbitkan Institut Studi Arus Informasi pada
1995.
Buku itu sebetulnya bercerita tentang versi lain selain dari PKI.

(TANYA - Buku babon menulis G-30-S/PKI?)

JAWAB - Sudah G-30-S/PKI. Pelakunya satu-satunya PKI. Tidak versi
lain, seperti ada CIA, Angkatan Darat, tidak ada.

(TANYA - Adakah pelanggaran dalam buku untuk SMP itu?)

JAWAB - Ini upaya kembali ke masa Orde Baru yang mudah melarang buku.
Kali ini dengan alasan yang tidak jelas, tidak logis.

(TANYA - Bagian mana yang tidak logis?)

JAWAB - Buku untuk kelas I SMP dikatakan tidak mencantumkan
pemberontakan pada 1948 dan 1965. Memang tidak dicantumkan karena
masih menguraikan sejarah kerajaan di Nusantara. Buku kelas II tentang
perlawanan rakyat terhadap kolonialisme juga dilarang. Ceritanya
tentang Diponegoro, Imam Bonjol, dan sebagainya.

(TANYA - Apanya yang dianggap melanggar?)

JAWAB - Ya, karena tidak memuat (pemberontakan 1948 dan 1965) itu.
Tidak memuat karena waktunya belum sampai ke situ. Ini kan aneh.
Buku kelas III dilarang karena tidak mencantumkan PKI. Jadi hanya
mencantumkan G-30-S saja. Ada beberapa buku yang begitu dan dilarang.
Tapi beberapa buku lainnya, terbitan Grasindo, sudah menggunakan
G-30-S/PKI, dilarang juga. Ini kan membingungkan. Tidak jelas pesannya.
Saya melihatnya tidak profesional, tidak berdasar pelarangan ini.
Apakah mereka membaca semuanya secara terperinci? Kalau dibaca
terperinci, memang tidak dimuat karena masanya belum sampai ke situ.
Kalau (buku-buku) ini dilarang, kenapa terjemahan Das Kapital yang
ditulis Karl Marx tidak dilarang? Ini kan juga menyebarkan komunisme.

(TANYA - Sebaiknya bagaimana?)

JAWAB - Kalau tidak mencantumkan PKI, kenapa bukan buku itu saja yang
dilarang. Kenapa harus buku sejarah seluruh Indonesia. Kenapa Menteri
Pendidikan tidak memanggil Pusat Perbukuan yang bisa memberitahukannya
kepada penerbit? Penerbit akan terikat kalau diminta mencantumkan
istilah itu. Ini bisa diselesaikan di dalam.

-----------------

BIODATA
Nama: Asvi Warman Adam
Tempat dan tanggal lahir: Bukittinggi, 8 Oktober 1954
Pendidikan:
- DEA dan doktor di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales
Paris, Prancis, 1984-1990
- Sarjana Sastra Prancis, Universitas Indonesia, 1980
- Sarjana Muda Sastra Prancis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
1977
- Sekolah Menengah Atas Don Bosco Padang, 1973
- Sekolah Menengah Pertama Xaverius Bukittinggi
- Sekolah Dasar Fransiscus Bukittinggi

Pekerjaan:
- Wartawan majalah Sportif, 1981-1983
- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1983-sekarang
- Lektor bahasa dan sastra Indonesia di Institut National des
Langues et Civilisation Orientales), Universite de la
Sorbonne-Nouvelle, Paris, 1984-1986

Pengalaman:
Anggota Tim Pengkajian dan Penyelidikan Pelanggaran Berat oleh
Soeharto yang dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
koran

* * *