Sunday, August 5, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - INDONESIA -- BELANDA TERJALIN DNG DARAH (2)

Kolom IBRAHIM ISA
29 April 2007
------------------------------------------------------------------------
INDONESIA -- BELANDA TERJALIN DNG DARAH (2)


* * *
Tulisan ini, (Bg ke-2), sesungguhnya bukan sekadar untuk mengenangkankan bahwa di kalangan para pejuang perlawanan bawah-tanah Belanda melawan pendudukan Jerman, pada periode Perang Dunia II, juga terdapat ORANG-ORANG INDONESIA, TERUTAMA DARI KALANGAN perkumpulan poitik PERHIMPUNAN INDONESIA, PI Belanda. Kolom ini diitulis, menjelang 'BEVRIJDINGSDAG', hari 'PEMBEBASAN' negeri Belanda, yang akan berlangsung pada tanggal 05 Mei yang akan datang. Dengan demikian, maksud khusus tulisn ini ialah untuk mengenangkan mahasiswa-mahasiwa dan orang-orang Indonesi yang ada di Belanda ketika itu, yang telah gugur dalam perjuangan anti-fasis demi pembebasan negeri Belanda dari pendudukan Jerman Hitler.

Dalam tulisan Bagian 1, telah diperkenalkan beberapa nama dari kalangan orang-orang Indonesia di Belanda yang langsung ambil bagian dalam perjuangan bawah-tanah melawan pendudukan Jerman Hitler atas negeri Belanda. Kita kenal kembali nama-nama IRAWAN SOEJONO, MOEN SOENDAROE dan SIDARTAWAN. Ketiga-tiganya telah gugur dengan mulya sebagai pejuang anti-fasis. Mereka mengumandangkan semangat solidaritas-internasional para mahasiwa dan orang-orang Indonesia di Belanda, (kebanyakan anggota PI, maupun yang tidak). Pada bagian berikut dari kolom ini, akan diperkenalkan beberapa orang Indonesia lagi yang berjuang untuk pembebasan Belanda.

Di bawah ini, dengan persetujuannya, dimuat lengkap tulisan DJAYENG PRATOMO . Djayeng Pratomo, adalah seorang Indonesia yang dalam thaun 1936, berangkat ke Belanda untuk belajar. Ketika Perang Dunia II meletus dan negeri Belanda diduduki Jerman Hitler, Djayeng Pratomo, anggota PI, sedang menempuh studinya. Namun, dengan hati dan fikiran yang dipenuhi oleh masalah perjuangan demi kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda, tokh, - - - tanpa keraguan sedikitpun, bersama-sama kawan-kawan Indonesia lainnya, ia bergabung dan ambil bagian dalam perjuangan bawah-tanah kaum patriot Belanda melawan pendudukan Jerman Hitler. Dalam proses perjuagan Djayeng Pratomo ditangkap polisi Jerman. Akhirnya disekap Jerman Hitler di kamp konsentasi di Dachau bersama pejuang-pejuang anti-fasis Indonesia dan Belanda lainnya.

* * *

R.M. DJAJENG PRATOMO:
------------------------------------

'ORANG-ORANG INDONESIA DALAM GERAKAN
PERLAWANAN DI NEDERLAND'

Pada bulan Juni 1941, Sicherhetisdienst (SD)dari kaum nazi mengadakan penggeledahan di berbagai tempat tinggal mahasiswa Indonesia di Leiden. Mereka mencari empat anggota pimpinan dari grup perlawanan Indonesia --- 'Perhimpunan Indonesia'. Dua di antara mereka tertangkap, yaitu R.M. Sidartawan dan P. Lubis, sedang yang lain dapat meloloskan diri.

Pagi-pagi hari tanggal 18 Januari 1943 SD mengadakan penggeledahan kembali di tempat tinggal orang-orang Indonesia di Den Haag. Mereka menangkap dua orang mahasiswa dan dua orang buruh. R.M. Sundaru, R.M. Djajeng Pratomo, Kajat, dan Hamid. Empat orang tawanan ini diseret dari kamp konsentrasi yang satu ke kamp yang lain: Schoorl, Amersfoort, Vught, Neuengamme, Buchenwald, Granienburg-Saxenhausen, Dachau. Dua orang dari mereka tewas karena siksasn dan penderitaan di kamp-kamp tsb. Sidartawan di Dachau dan Mun Sundaru di Neuengamme.

Pada tanggal 13 Januari 1945, mahasiswa muda Indonesia R.M. Irawan Sujono di Leiden mengangkut perlengkapan stensil yang baru saja direparasi untuk mencetak penerbitan-penerbitan ilegal. Ia bertemu dengan pasukan SS yang sedang melakukan razzia. Irawan berusaha melarikan diri, tapi dengan tak semena-mena ia ditembak mati. Yang menjadi korban ini adalah putra Raden Ario Adipati Sujono, menteri Indonesia pertama dalam pemerintah Belanda di London. Irawan adalah anggota grup perlawanan bersenjata dari Perhimpunan Indonesia.

Beberapa orang korban tersebut diatas adalah dari grup kecil orang-orang Indonesia di Belanda, k.l. 100 orang. Mereka sebagai anggota Perhimpunan Indonesia, organisasi politik yang terlarang dan bekerja di bawah tanah, berjuang bahu-membahu dengan pejuang-pejuang perlawanan Belanda. Mengenai grup perlawanan Indonesia ini tidak banyak ditulis. Orang-orang Belanda generasi muda samasekali tidak mengetahui akan hal ini. Sebabnya tidak sulit dikaji. Pertama-tama, kebanyakan dari orang-orang Indonesia yang pernah ambil bagian dalam perlawanan ini telah pulang ke Indonesia segera sesudah perang selesai. Kedua, sesudah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, terjadilah persengketaan yang sengit antara Belanda dan Indonesia.

Hal ini menyebabkan perang antara Belanda dan Republik Indonesia yang masih muda ini.

Pada tahun 1952 R.M. Sunito, salah seorang pimpinan pejuang-pejuang perlawanan Indonesia masa pendudukan Jerman, ditangkap oleh justisi Belanda dan diusir dari Belanda. Sedangkan Sunito bahkan telah diangkat menjadi anggota Komisi Penasihat Nasional atas rekomendasi organisasi gerakan ilegal. Jelaslah, bahwa dalam keadaan yang demikian ini tidak cocok dalam kesempatan-kesempatan peringatan pembebasan Nederland juga memperingati perlawanan di bawah tanah dari grup kecil orang-orang Indonesia.

MENGAPA ORANG-ORANG INDONESIA IKUT AMBIL BAGIAN DALAM GERAKAN PERLAWANAN?
Sering diajukan pertanyaan, terutama oleh orang-orang muda, mengapa orang-orang Indonesia di Belanda ambil bagian dalam gerakan perlawanan di bawah tanah untuk pembebasan Nederland, negeri yang menjajah, mengeksploitasi dan menindas Indonesia, negeri tumpah darah mereka?

Untuk memahami soal ini perlulah kiranya mengenal sedikit tentang tentang sejarah. Untuk mengikuti jejak langkah saudara-saudara setanahairnya di negeri tumpah-darahnya, pada 1908 mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Belanda mendirikan perkumpulan untuk dapat menyatakan ide-ide Gerakan Nasional (Indonesia Merdeka).

Pada tahun 1922 perkumpulan tsb diberi nama 'Perhimpunan Indonesia'.

Pada tahun-tahun tiga puluhan Perhimpunan Indonesia (PI) menjadi salah satu organisasi yang paling penting bagi orang-orang Indonesia di Belanda.

Kemudian PI merupakan inti daripada gerakan peralawanan anti-fasis bagi orang-orang Indonesia. Pada mulanya, semboyan perjuangan Perhimpunan Indonesia yalah: INDONESIA MERDEKA. Ide non-koperasi, yaitu menolak kerja sama apapun dengan kekuasaan penjajah (kaum berkuasa penjajah -- menjadi azas pembimbing organisasi itu. Oleh pemerintah Belanda Perhimpunan Indonesia dinyatakan terlarang bagi pegawai dan calon pegawai ambtenaar atau calon ambtenaar). Mengingat bahwa kebanyakan dari mahasiswa Indonesia di kemudian hari akan terpaksa harus bekerja pada 'Pemerintah Hindia' di 'Hindia Belanda', maka larangan ini berarti bahwa kebanyakan mahasiswa hanya bisa secara rahasia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. Itulah sebabnya maka organisasi ini terpaksa bekerja setengah ilegal demi keselamatan anggota-anggotanya.

TIMBULNYA FASISME
Pada waktu fasisme mulai menongolkan kepalanya pada tahun-tahun tiga puluhan, orang-orang Indonesia telah menyadari bahwa dari sudut itulah akan datang bahaya besar yang mengancam. Ini dibuktikan oleh diktatur-diktatur fasis di berbagai negeri dengan recana-recananya yang agresif, dengan pogrom, kebencian ras dan penindasan atas tiap hak manusia. Negara-negara yang agresif ini menaruh hasrat tamaknya pada negeri-negeri koloni. Jepang memulai dengan perang-penaklukkannya: Menaklukkan Manchuria pada tahun 1931 dan menyerang Cina pada tahun 1937.

Hitler memproleh kekuasaan di Jerman; di situ orang-orang Jahudi, kam Komunis, Sosialis dan Demokrat lainnya diperkusi. Dengan dianeksasinya Ausria oleh Hitler dan diserahkannya Cekoslovakia kepada Hitler, maka tidak hanya bahaya fasisme menjadi lebih serius, melainkan bahaya perang juga menjadi amat besar. Orang-orang Indonesia di Belanda melihat bahaya ini dengan jelas.

Itulah sebabnya maka mereka waktu itu deng anaktif mengambil bagian dalam manifestasi-manifestai menentang ancaman fasisme dan untuk perdamaian. Mereka mengorganisasi a.l bantuan kepada Cina yang menjadi korban agresi Jepang. Mereka ambil bagian dalam pertemuan-pertemuan nasional untuk perdamaian, a.l di Brussel, Paris dan New York. Juga di Indonesia sendiri kaum nasionalis Indonesia melihat bahaya fasisme itu. Mereka menyatukan diri. Asas 'non-koperasi' dtinggalkan. Gerakan Nasional menyatakan diri siap untuk bekerja sama dengan siapapun untuk menanggulangi serangan fasis. Namun mereka beranggapan bahwa kerjasama itu harus dilaksanakan atas dasar demokrasi penuh dan sama derajat. Sehubungan dengan itu dituntut a.l adanya parlemen yang sempurna untuk Indonesia. Sesuai dengan sikap ini dikatakan dalam prakata dari nomor peringatan majalah Perhimpunan Indonesia dalam kesempatan ultah ke-30 berdirinya pada tahun 1938:

'Dewasa ini, di mana hal yang paling berharga daripada peradaban manusia -- demokrasi -- menghadapi serangan dahsyat oleh mereka yang hendak 'menyelamatkan' manusia dengan pogram dan kekerasan yang kejam, maka suatu kerjasama antara rakyat Indonesia dan gerakan nasionalnya dengan pengemban tradisi demokrasi Belanda, diinginkan dan perlu; suatu kerjasama antara dua rakyat yang berpijak atas persamaan dan saling menghargai'.

Pengurus Besar Perhimpunan Indonesia menyatakan, dalam nomor-peringatan yang sama sbb:

'Di tahun-tahun belakangan ini agresi fasis mengancam Belanda dan Indonesia. Satu-satunya jalan yang dapat membebaskan kedua rakyat ini dari bahaya yang mengancam mereka yalah adanya kerjasama antara rakyat Indonesia dan Gerakan Nasionalnya dengan Belanda yang demokratis atas dasar persamaan dan saling menghargai. . . . Dengan kesadaran bahwa suatu rakyat tak dapat memenuhi kewajibannya tanpa adanya hak-hak demokrasi, maka Perhimpunan Indonesia berjuang untuk perubahan-perubahan demokratis dan untuk perlakuan yang sama bagi kedua rakyat di bidang ekonomi, politik dan militer.'

Sayang, semua keinginnan yang adil dari Gerakan Nasional ini ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Belanda pada masa itu. Dalam hubungan ini sikap pemerintah Belanda yang mengungsi di London itu mengejutkan. Menteri Indonesia Sujono yang telah disebut di atas, di dalam sidang kabinet bulan Oktober 1942 sampai tiga kali dengan berapi-api meminta kepada menteri-menteri lainnya untuk memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada Indonesia. Permintaan ini dijawab dengan angkuh 'TIDAK'. Menurut saksi mata, menteri Sujono waktju itu menjadi pusat pasi. Penolakan ini rupanya begitu menusuk hatinya sampai ia beberapa bulan kemudian meninggal mendadak pada tanggal 5 Januari 1943. Dua tahun kemudian putranya, Irawan, ditembak mati oleh SS di Leiden.

HOLANND DIDUDUKI
Serangan mendadak oleh nazi Jerman atas Nederland merupakan fase baru bagi perjuangan orang-orang Indonesia. Sebagai orang-orang demokrat mereka menyadari bahwa nasional-sosialisme pada saat itu adalah musuh utama. Di bawah nazi-isme pembebasan bagi rakyat-rakyat yang dijajah tidaklah mungkin dicapai! Karena itu perlulah berjuang melawan fasisme dengan menggalang kerjasama dengan siapapun, dengan tidak pandang kepercayaan politik maupun agama. Itulah sebabnya mengapa Perhimpunan Indonesia menggabungkan diri ke dalam gerakan perlawanan di bawah tanah di Belanda.

Tugas-tugas yang dipikul Perhimpunan Indonesia dalam pekerjaan perlawanan ini mempunya banyak segi. Pertama-tama dipandang perlu untuk menyadarkan sebanyak mungkin orang Indonesia -- terutama yang di luar Perhimpunan Indonesia, baik mahasiswa maupun buruh -- akan bahaya fasisme, dan mendorong mereka untuk ambil bagian dalam gerakan perlawanan. Dengan didudukinya Belanda, kapal-kapal RotterdamseLloyd dan Maatschappij Nederland tidak bisa lagi berlayar keluar. Awak kapal dari kapal-kapal ini kebanyakan terdiri dari pelaut Indonesia. Perhimpunan Indonesia menganggap sebagai tugasnya untuk mencegah jangan sampai pelaut-pelaut yang terdampar di Rotterdam dan Amsterdam itu jatuh di tangan kaum nazi dan akan digunakan untuk tujuan fasistis.

Karena itu diperlukan perkerjaan penerangan yang intensif untuk para pelaut tsb yang sebagian besar buta huruf, supaya mereka tidak terperosok ke dalam perangkap propaganda Jerman dan NSB. Perhimpunan Indonesia berhasil menghindarkan mereka dari cengkeraman nazi. Sementara dari awak-awak kapal itu kemudian juga aktif ambil bagian dalam gerakan perlawanan.

PEMOGOKAN MAHASISWA
Perhimpunan Indonesia mempunyai cabang-cabangnya di kota-kota universitas-universitas dan sekolah-sekolah tinggi: Amsterdam, Leiden, Utrecht, Delft, Rotterdam, Wagengingen dan juga di Den Haag. Pada hati Sabtu tanggal 23 November 1940, mahasiswa-mahasiwa Sekolah Tinggi di Delft memutuskan untuk mengadakan pemogokan untuk menentang pemecatan guru-guru besar dan dosen-dosebn Yahudi, a.l Prof. Josephus Jitta, Prof. Waterman dan Prof Dantzig. Tapi banyak mahasiswa yang sudah pulang sebelum akhir minggu. Senin pagi tanggal 25 November para mahasiswa yang mengetahui tentang semboyan pemogokan (di antaranya orang-orang Indonesia dari Perhimpunan Indonesia) menunggu mereka yang pulang pada akhir minggu di pintu gerbang sekolah, di perhentian-perhantian trem dan di stasiun, untuk mendorong mereka menggabungkan diri dalam pemogokan. Pemogokan itu praktis menjadi pemogokan umum.

Jerman menutup STT itu. Dalam bulan Desember menyusul suatu razzia di kalangan mahasiswa Delft. Orang-orang Indonesia anggota Perhimpunan Indonesia menghindarkan diri. Di Leiden terjadi pemogokan mhahasiwa pada hari Selasa 26 November, menentang pemecatan guru-guru besar Yahudi, a.l Prof. Meijers. Pemogokan di sini juga menjadi pemgokan umum. Juga di sini yang ambil bagian aktif dalam aksi-aksi protes a.l adalah R.M. Sunito, R.M. Maruto Darusman, R.M. Setiadjit, R.M. Sidartawan, P. Lubis, M. Ildrem.

KERJASAMA DENGAN PERS DI BAWAH TANAH
Pada waktu itu juga mulai diakan kerjasama yang erat antara grup perlawanan Indonesia dengan penerbitan-penerbitan di bawah tanah, seperti 'De Vrije Katheder', 'Vrij Nederland', 'Het Parool', 'De Waarheid'. Sudah sejak dari mulanya R.M. Setiadjit merupakan seorang dari redaksi 'De Vrije Katheder'. Mahasiswa-mahasiwa Indonesia membantu menyebarkan pernerbitan ini di Amsterdam, Leiden, Den Haag, Delft, Rotterdam, Utrecht dan Wagenignen. Kemudian orang-orang Indonesia juga menulis artikel-artikel dalam penerbitan-penerbitan itu, a.l dalam nomor-Indonesia dari 'Vrij Nederland''. H.M. Randwijk, kepala redaksi 'Vrij Nederland' waktu itu, menulis pada tanggal 25 Mei 1945 tentang kerjasama dengan orang-orang Indonesia dalam gerakan perlawanan sbb.:

' . . . . dalam tahun-tahun pendudukan yang gelap itu, yang sekarang telah lewat, tumbuh di antara kami suatu kerjasama atas dasar persamaan dan keakraban kawan. Kami semua adalah sukarelawan dalam pasukan di bawah tanah yang sama. Kami saling belajar untuk lebih mengerti satu sama lain, dan kami menyadari bagaimana kami bersama-sama berjuang, masing-masing di posnya sendiri, untuk ide-ide yang sama, yaitu kebebasan, kemanusiaan, keadilan dan kebenaran. Semoga pengalaman dan azas-azas luhur ini akan membimbing kita dalam kerjasama baru di kemudian hari antara dua rakyat.'

Bagian perlawanan dari Perhimpunan Indonesia di Rotterdam memiliki percetakan rahasia yang ditempatkan di sebuah rumah di Aelbrechtskade. Di situlah dicetak dan disebarkan untuk Rotterdam, selain penerbitan perlawanannya sendiri -- 'DeBevrijding' (tentang ini akan lebih banyak diuraikan kemudian) -- dan selebaran-selebaran, juga 'De Vrije Katheder'. Pada suatu waktu,, karena penangkapan, 'De Waarheid' di Rotterdam yang ilegal itu tidak bisa terbit; orang-orang Indonesia diminta apakah mereka dapat mencetaknya. Permintaan itu segera dipenuhi. Hal yang sama juga terjadi di Amsterdam. Orang-orang Indonesia menerima ketikan stensil di jalan dan de 'De Waarheid' idcetak oleh mereka dimasukkkan kopor dan diserahkan ke alamat di Stadionweg. Pekerjaan ini dilakukan oleh orang-orang Indonesia selama tiga sampai empat hulan.

PENERBITA PERLAWANAN KEPUNYAAN SENDIRI
Akhir Mei 1943, segera sesudah adanya kewajiban menyerahkan pesawat radio, Perhimpunan Indonesia di Den Haag, bersama dengan beberapa pejuang perlawanan Belanda, memutuskan untuk menerbitkan secara ilegal surat kabarnya sendiri: 'Feiten'. Karena pengkhianatan, Sicherheits polizei dapat menangkap tiga orang anggota redaksi dari surat kabar tsb., di antaranya Dradjat Durmakeswara. Ia kemudian dijatuhi hukuman 3 tahun penjara. Ia masih hidup keluar dari perang. Penerbitan 'Feiten' harus dihentikan.

Namun, dua bulan kemudian orang-orang Indonesia menerbitkan lagi penerbitan perlawanannhya sendiri: 'Pembebasan', semula di Leiden, kemudian juga di Den Haag dan Rotterdam. Tiap kota mempunyai redaksinya sendiri yang menyusun penerbitannya sendiri. Hanya editorial yang penting kadang-kadang diambil oleh kurir dari redaksi pusat di Leiden. Di Rotterdam, dengan bantuan seorang pejuang perlawanan Yahudi di bawah tanah redaksi dapat mendirikan post pendengar radio di rumah di Burgemeester Meneszlaan, dengan demikian redaksi menerima beria-berita terakhir dari sekutu. Kerjasama juga dilakukan dengan penerbitan perlawanan 'Trouw'. Di Leiden mahasiswa-mahasiwa Indonesia membantu pengangkutan huruf cetak timah yang berat ke percetakan. Mengingat bahwa oang-orang Indonesia dasarnya bukan orang-orang yang tegap kuat, maka untuk dapat melakukan pekerjaan berat itu tanpa menimbulkan kecelakaan, mereka harus melakukan olahraga dengan giat lebih dulu.

PERLAWANAN BERSENJATA
Grup perlawanan Indonesia di Rotterdam menyadari benar-benar, bahwa jika mereka kedapatan oleh Jerman, maka akan habislah riwayatntya. Tambahan lagi ada seorang di antara mereka di Den Haag yang tertangkap sehubungan dengan kegiatan-kegiatan perlawanan yang lain. Karena itu mereka memutuskan untuk mempersenjatai diri. Seorang dari mereka dapat merebut empat pistol-Walther. Kemudian orang-orang Indonesia di Rotterdam mendapat lebih banyak senjata dari teman-teman seperlawanan Belanda, a.l dua karaben dan lima pistol lengkap dengan pelurunya. Senjata-sentaja ini berasal dari serdadu-serdadu Wehrmacht yang sudah jemu perang dan menghilang dan bersembunyi di tempat orang-orang Belanda. Orang-orang Indonesia mendapat latihan menggunakan senjata-senjata itu dari seorang dari mereka seorang 'Gefreiter'.
T. Mudadalam Jusuf juga ambil bagian dalam penyergapan pada suatu kantor-distribusi kupon bahan makanan di Den Haag. Penyergapan itu dilakukan dengan bersepeda.

Pada awalnya aksi itu berhasil, tetapi karena orang-orang perlawanan itu bersepeda, maka tidak dapat dengan cepat melarikan diri, sehingga mereka dapat disergap oleh Jerman di tempat mereka berkumpul. Mudadam Jusuf dapat meloloskan diri dengan membawa serta parabellumnya sendiri, sebuah pistol-FN dan sebuah granat tangan. Kemudian Perhimpunan Indonesia grup Rotterdam , dengan menempuh banyak bahaya dan risiko, dapat dengan gerobak-sepeda mengambil sembilan karung goni granat tangan, stengun-stengun yang sudah dibongkar dengan pelurunya dari Watergeusstraat, tempat seorang perlawanan Belanda yang telah kehilangan hubungan. Senjata-senjata tsb berasal dari pendropan R.A.F.

Pada bulan September 1944, di Leiden diputuskan untuk mendirikan Seksi Mahasiswa dari Kekuatan Bersenjata Dalamnegeri Leiden. Seksi ini terderiri dari empat grup. Grup ke-empat terdiri dari khusus mahasiswa-mahasiwa Indonesia di bawah pimpinan 'Theo' , nama samaran mahasiswa Indonesia anggota Perhimpunan Indonesia, Alex Ticoalu.

Persediaan senjata yang dikumpulkan oleh grup perlawanan Indonesia Rotterdam, harus dipindahkan ke Leiden. Semua itu harus dilakukan dengan bersepeda, melalui jalan-jalan sepi dan lorong-lorong dan melalui pos-pos pemeriksaan Jerman. Sesudah bersepdea berhari-hari berhasillah berpuluu-puluh stengun, dua karung goni granat tangan, pistol-pistol dengan pelurunya diangkut dari Rotterdam ke Leiden tanpa menemui aral rintangan. Di Leiden orang-orang Indonesia mengadakan latihan-latihan di ruang bawah pabrik wol dan lakan, dan di Amsterdam di rumah tunangan seorang Indonesia di Amstelkade. Grup pejuang bersenjata Indonesia mula-mula diberi nama 'Suropati', seorang pahlawan dalam perjuangan pembebasan Indonesia. Kemudian waktu seorang anggotanya, Irawan, ditembak mati oleh Jerman, maka nama itu diubah menjadi 'Irawan', sebagai pernyataan hormat kepada pejuang perlawanan ini.

BANTUAN KEPADA ORANG-ORANG YAHUDI
Berbagai bagian dari Perhimpunan Indonesia, mengatur kesibukannya dengan membantu secara intensif orang-orang dari gerakan perlawanan dan orang-orang Belanda Yahudi yang dicari kaum nazi. Mereka menyiapkan alamat-alamat persembunyian, a.l Rotterdam, Delft, Den Haag dan Leiden, menyediakan kupon bahan makanan dan kartu pengenal.

Demikianlah, pada tahun-tahun 1942 - 1943 dua rombongan anak-anak Yahudi dibawa oleh orang-orang Indonesia dari Amsterdam ke hutan-hutan Veluwe dan diurusnya. Empat puluh tahun kemudian, secara kebetulan, berjumpalah seorang dari anak-anak itu -- dalam pada itu ia sudah menjadi dokter -- dengan seorang dari orang-orang Indonesia yang telah menyelematkannya dulu.

GAMBARAN RINGKAS
Dengan tulisan ini diusahakan untuk memberikan gambaran secara ringkas tentang sumbangan yang diberikan oleh kelompok orang Indonesia kepada gerakan perlawanan di bawah tanah, dengan demikian juga kepada pembebasan Nederland.

Ilustrasi ini jauh daripada sempurna. Ini hanya memberikan kesan tentang perlawanan orang-orang Indonesia, khususnya tentang grup perlawanan dari Perhimpunan Indonesia. Sebagai tanda pengakuan atas pekerjaan perlawanan ini dimasukkanlah orang-orang Indonesia ke dalam Komisi Penasihat Agung Ilegalitas (R.M. Setiadjit) dan ke dalam Komisi Penasihat Nasional (R.M. Sunito). Di Leiden, R.M. Hadiono Kusumo Utojo, karena jasa-jasanya dalam gerakan perlawanan mendapat penghargaan dengan diangkatnya sebagai angggota dewan gemeente darurat Leiden pada tahun 1945.

Segera sesudah pembebasan, pada tanggal 25 Mei 1945 ulangtahun ke-37 Gerakan Nasional Indonesia diperingati di Stadsgehoorzaal di Leiden. Dalam pertemuan ini juga berbicara Prof. Mr. R.P. Cleveringa yang pada bulan November 1941 memberikan sinyal untuk melakukan protes keras atas pemecatan teman-teman sejawatnya orang-orang Yahudi. Dalam pertemuan peringatan itu ia mengatakan a.l:

'Kalau kita berbicara tentang gerakan perlawanan di Nederland ini, kita tidak perlu bertanya:

Dimanakah orang-orang Indonesia berada? Mereka ada dan berdiri di posnya. Mereka telah memberikan pengorbanannya. Mereka berada di kamp-kamp konsentrasi, mereka berada di penjara-penjara, mereka berada di mana-mana . . . . . .'
(Bersambung)

* * *

No comments: