Thursday, February 26, 2009

Kolom IBRAHIM ISA - MANA MUNGKIN 'REKONSILIASI' . JIKA MENUNTUT . . . .

Kolom IBRAHIM ISA
-----------------------------
Rabu, 25 Februari 2009


MANA MUNGKIN 'REKONSILIASI' -- JIKA NUNTUT

FIHAK LAIN MELEPASKAN KEYAKINANNYA



Dalam diskusi di Teater Utan Kayu, Jakarta, ketika peluncuran buku JJ Kusni ('Menoleh Silam, Melirik Esok' - Penerbit Ultimus Bandung, Feb. 2009), diajukan saran (oleh moderator Ikranegara) untuk mengadakan diskusi dan berusaha mencapai 'REKONSILIASI' bahkan 'perdamaian total'. <>.


Ternyata, dalam diskusi Teater Utan Kayu itu, masih ada fikiran sementara orang (penyair Taufik Ismail) , -- bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, ---- bahwa setiap manusia punya hak azasi untuk memiliki keyakinan sendiri baik itu politik, falsafah maupun religi, serta hak dengan bebas menyatakan fikirannya ---, masih punya angan-angan hendak mencapai 'rekonsiliasi' bahkan 'perdamaian total' dengan prasyarat salah satu fihak melepaskan pandangan falsafah atau keyakinan politiknya.


* * *


Sebaiknya dibaca sendiri selengkapnya 'CERITA MATA' oleh Yonathan Rahardjo: 'Tentang Garis Lurus Taufik Ismail, Ikranegara dan JJ Kusni', seperti yang disiarkan oleh mailist 'Sastra Pembebasan' (24 Februari 2009). Secara pokok-pokok tulisan Rahardjo melaporkan tentang jalannya dan isi diskusi yang berlangsumg pada tanggal 22 Februari di Teater Utankayu, Jakarta. Temanya seperti tertera dalam undangan adalah mengenai DIALOG 'LEKRA' - 'MANIKEBU'. Suatu dialog yang diadakan dalam rangka peluncuran buku JJ Kusni.


Terima kasih tertuju pada Yonathan Rahardjo yang dalam batas tertentu berhasil memberikan gambaran substantif mengenai apa yang terjadi dalam dialog siang itu.

Digelarnya suatu diskusi mengenai polemik 'Lekra', 'Lembaga Kebudayaan Rakyat' vs 'Manikebu', 'Manifes Kebudayaan', yang berlangsung pada akhir pertengahan tahun 1960-an --- namun tidak rampung keburu dibubarkannya 'Manikebu' oleh Menteri PPK Prof Priyono, lalu naiknya Orba yang melarang 'Lekra', kemudian banyaknya tokoh dan anggota Lekra yang dibunuh mapun yang dipenjarakan atau dibuang ke Pulau Buru --- , pasti menarik perhatian masyarakat. Dan betul, ternyata, seperti laporan Rahardjo ruangan Teater Utan Kayu penuh sesak.


Membaca laporan Rahardjo mengenai DIALOG UTAN KAYU tsb, orang dapat kesan bahwa yang didiskusikan samasekali BUKAN MENGENAI KONSEP SENI YANG MENJADI TEMA DIALOG LEKRA VS MANIKEBU pada pertengahan tahun 1960-an.


Seperti yang pernah ditulis di ruangan ini mengenai DIALOG UTAN KAYU, substansi polemik 'Lekra' vs 'Manikebu' itu adalah mengenai dua konsep seni. Yang satu adalah konsep 'SENI untuk SENI', serta kaitannya dengan pandangan Humanisme Universil. Ini pendapat 'Manikebu'. Konsep yang satu lagi adalah konsep 'SENI UNTUK RAKYAT'. Ini konsep 'Lekra'. Polemik dulu itu tidak sampai berakhir mencapai kesimpulan. Maka bila diangkat kembali dan pendiskusian diteruskan, dalam suasana REFORMASI dan DEMOKRATISASI, maka bukan saja tidak ada salahnya. Tetapi akan merupakan suatu pengalaman baik bagi seniman, sastrawan generasi muda kita. Bukan untuk mencari siapa yang kalah dan siapa yang menang. Tidak untuk memuja yang satu serta mengganyang yang lainnya. Tetapi untuk menggugah generasi muda untuk menstudinya, berani memikirkannya secara idependen, dan kemudian mengambil kesimpulannya sendiri. Diskusi atau polemik seperti itu, bila dilangsungkan dengan semangat 'fair-play', transparan serta mengindahkan 'aturan main', atas dasar saling menghargai pendapat yang berbeda, maka itu akan merupakan pendidikan baik bagi generasi muda, yang haus mencari sumber inspirasi bagi karya-karya mereka. Dalam rangka membangun seni dan kebudayaan Indonesia yang BERKEPRIBADIAN INDONESIA.


* * *


Laporan Yonathan Rahardjo, seperti yang di-edit kembal, sbb: Secara menyolok penyair Taufik Ismail penuh semangat mengarahkan sasarannya pada Komunisme. Ia memojokkan komunisme dengan pernyataan-pernyataan tentang adanya sebuah jalinan antara Jakarta dengan benua Barat kala itu. Dendam Taufik Ismail terhadap lawan politiknya, sedemikian rupa sampai mengedepankan kebangkitan dari kubur para pendiri paham yang keras dan kokoh pada keyakinan. Bahkan dari dalam kubur di London dan Moskow dibangkitkan Karl Marx dan Lenin, yang dengan rantai panjang disulurkan dari kegelapan masa silam, membelenggu pengikutnya hingga masa kini. Laporan Rahardjo a.l menguraikan bagaimana Taufik Ismail berorasi hendak menjelaskan bahwa ajaran-ajaran Marx dan Lenin masih berpengaruh di Indonesia.


'Cerita-mata' Rahardjo tentang Taufiq Ismail menguraikan betapa lihainya Taufiq Ismail yang menunjukkan bahwa dendam itu dimiliki oleh para pengikut Marx dan Lenin, dan bahwa dia (Taufik Ismail) sedih karenanya. Tidak seperti yang dilakoni Malaysia yang menghapuskan diskriminasi partai komunis Malaysia dan Afrika Selatan yang mampu menyelenggarakan rekonsiliasi nasional. Taufik Ismail menyesali, mengapa Indonesia tidak mampu lepas dari dendam itu.


Yang anehnya, begitu Rahardjo dalam laporannya, Taufiq Ismail mengatakan, dendam ini adalah pada kaum kiri. Dan dia menggempur dengan pernyataan, bahwa, mestinya kaum (kiri) ini mau melupakan dendam itu dan sedia menciptakan perdamaian total dengan kelompoknya.

Rahardjo menjelaskan dalam laporannya, bahwa Taufik Ismail yang bukan korban kebiadaban pembantaian berjuta-juta orang PKI, malah minta para 'orang kalah' dalam pertarungan di bawah Orde Baru itu untuk melupakan dendam dan mau berdamai dalam suatu 'perdamaian total'.


Dari seluruh sikap dan emosi nada bicaranya, sangat tampak justru dialah (Taufik Ismail) yang mengidap dendam. Sebuah dendam yang sangat aneh bagi sebagian besar orang yang hadir sore itu. "Bukankah Taufiq bukanlah orang yang kalah dan menderita serta terrampas hak-hak azasinya selama puluhan tahun seperti halnya orang-orang Lekra? Apa alasan utama Tauf Ismail harus menunjukkan rasa dendam dengan menuding orang-orang itu?" . Dendam kesumatnya terhadap ideologi komunis dengan nyata dikaitkan dengan keberadaan Lekra dan tentu saja JJ Kusni, yang dianggapnya mewakili Lekra pada acara dialog yang diselenggarakan oleh Teater Utan Kayu. Demikian Rahardjo.


Lalu, seorang anak muda menyeletuk, "Taufiq pendendam!". Angin dendam macam itu pun menjadi nyawa-nyawa yang telah binasa, namun, tetap bergentayangan mencari kebenaran. Seorang hadirin menanggapi, bahwa, presentasi 'Rekonsiliasi' yang ditawarkan merupakan hal yang sangat terlambat. Sebab hal itu sudah dilakukan sejak lama.

Putu Oka Sukanta, yang hadir di situ, menceritakan kisah terlunta-luntanya ia mencari harkat dan mengadakan perdamaian dengan berbagai kalangan yang dulu menganiayanya. Bahkan, penganiayaan itu pun baru berkurang tahun lalu, soal kepemilikan KTP seumur hidup bagi orang seumurnya yang baru didapat setahun silam.


* * *


Ikranagara selaku moderator pun mengatakan rekonsiliasi sebetulnya sudah berlangsung bertahun-tahun silam, seperti terjadi di Taman Ismail Marzuki (TIM) di mana para seniman bebas untuk berkarya bersama tanpa memandang dia aliran kiri atau kanan; Lekrais ataupun Manikebuis. Di antara pembicara ada yang mengemukakan bahwa untuk rekonsiliasi tentulah pihak-pihak yang berdamai, seyogianya ada pada kedudukan hukum yang sama. Sungguh aneh, bilamana dalam rekonsiliasi satu pihak, Lekra, masih saja dirampas hak-haknya. Setidaknya secara hukum mereka dihapuskan dari cap bersalah dan terlarang. Karena nyatanya sampai sekarang belum dihapuskan TAP MPRS No XXV tahun 1966 tentang pembubaran dan pelarangan PKI dan ormas-ormasnya, termasuk Lekra yang dicap juga sebagai underbouw PKI.

Beberapa hadirin tampak sepakat tentang ketidakadilan dalam tawaran 'perdamaian' macam ini. Sungguh aneh bila yang berkuasa menuntut perdamaian bagi sang pesakitan dan terhukum, tanpa ada saling mendudukkan perkara. Padahal yang disebutkan rekonsiliasi nasional di Afrika Selatan, sejatinya sebelum rekonsiliasi nasional Pemerintah telah lebih dulu mengadakan pengadilan secara hukum. Dalam bukunya JJ Kusni berusaha menjawab kejanggalan-kejanggalan tawaran Taufik ini.


* * *


Taufik Ismail, dalam diskusi tsb tanpa basa-basi melakukan penindasan intelektual terhadap ideologi komunis. Selama 30 tahun Taufik Ismail adalah bagian dari kekuasaan Suharto. Meskipun sudah melalui reformasi, hatinya tak terketuk untuk bicara lebih moderat. Taufik Ismail berbeda dari Goenawan Mohammad yang juga bicara sore itu. Taufik Ismail samasekali tidak menyisakan sebuah pencarian baru guna menjembatani Indonesia, menuju masa depan dengan masalah kekinian yang ditawarkan oleh Ikranegara. Demikian anatara lain tulis Rahardjo.


Taufik Ismail masih tetap anti-komunis. Ia menuntut kaum Marxis dan yang sefaham, agar membuang jauh-jauh ideologi Marxis-Leninis, untuk (bisa) berjabat tangan dengan 'kelompoknya' -- entah kelompok yang mana -- dalam suatu 'perdamaian total'.


* * *


Pendeknya, lapor Rahardjo, ---- sore itu Taufik Ismail adalah anti-komunis dan menganggap bahwa JJ Kusni dan Lekra itu komunis. Kusni yang mengaku Marxis itu, menyatakan bahwa Lekra itu bukan PKI. Dari bukunya, tersirat Marxis macam apa JJ Kusni itu. Demikian Rahardjo.



Moderator Ikranegara yang menyatakan tak tau-menahu tentang pertentangan Lekra - Manikebu (ketika itu ia masih duduk di SMP) menyatakan bahwa yang hadir dan ambil bagian dalam diskusi, hanya mewakili dirinya masing-masing.



Yonathan Rahardjo akhirnya menyimpulkan antara lain sbb: Taufik Ismail adalah penandatangan Manikebu yang belum berubah. Taufik ketinggalan dibandingkan dengan rekan-rekannya seperti Goenawan Mohammad, Arief Budiman, apalagi Sanento Yuliman (almarhum) yang mengaku betul-betul m e n y e s a l ikut menandatangani Manikebu. Kesadaran itu timbul setelah ia tau ada militer di belakangnya. Juga hal itu yang membuat WS Rendra tidak mau hadir dalam acara pandantanganan Manifes Kebudayaan ketika itu.


Yang perlu diperhatikan ialah begitu banyaknya mahasiswa/mahasiswi dari salah satu universitas di Jakarta, yang hadir dalam DIALOG UTAN KAYU itu.


Bagi yang sudah tau duduk perkaranya, semua ini semakin memperkokoh pemahaman betapa kosongnya yargon-yargon dendam tanpa pembelajaran itu. Membaca buku JJ Kusni, akan diperoleh jawaban sejauh mana keyakinan terhadap perjuangan anti-penindasan dan anti-penghisapan dapat mewujudkan cita-cita bersama dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di saat perjuangan dewasa ini, segala kelompok tak perduli dari golongan manapun, harus bahu membahu membebaskan bangsa dan negeri dari penindasan dan penghisapan kolonialisme. Mestinya perbedaan ideologi tak menyebabkan pertikaian. Semua harus duduk dalam satu front-bersama menghadapi tantangan bersama.

Demikian kutipan dan cuplikan dari laporan Yonathan Rahardjo, mengenai DISKUSI UTANKAU dengan acara POLEMIK 'LEKRA' - 'MANIKEBU'.


Diskusi di Teater Utan Kayu, paling tidak membantu kita , menyadari betapa tidak mudahnya usaha mencapai REKONSILIASI apalagi PERDAMAIAN TOTAL, bila itu benar-benar didasarkan atas kebenaran dan kedilan, atas dasar dilempangkannya pemelintiran sejarah yang berlangsung selama lebih 30 tahun rezim Orba .



* * * * *




Kolom IBRAHIM ISA - MANA MUNGKIN 'REKONSILIASI' . JIKA MENUNTUT . . . .

Kolom IBRAHIM ISA
-----------------------------
Rabu, 25 Februari 2009


MANA MUNGKIN 'REKONSILIASI' -- JIKA NUNTUT

FIHAK LAIN MELEPASKAN KEYAKINANNYA



Dalam diskusi di Teater Utan Kayu, Jakarta, ketika peluncuran buku JJ Kusni ('Menoleh Silam, Melirik Esok' - Penerbit Ultimus Bandung, Feb. 2009), diajukan saran (oleh moderator Ikranegara) untuk mengadakan diskusi dan berusaha mencapai 'REKONSILIASI' bahkan 'perdamaian total'. <>.


Ternyata, dalam diskusi Teater Utan Kayu itu, masih ada fikiran sementara orang (penyair Taufik Ismail) , -- bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, ---- bahwa setiap manusia punya hak azasi untuk memiliki keyakinan sendiri baik itu politik, falsafah maupun religi, serta hak dengan bebas menyatakan fikirannya ---, masih punya angan-angan hendak mencapai 'rekonsiliasi' bahkan 'perdamaian total' dengan prasyarat salah satu fihak melepaskan pandangan falsafah atau keyakinan politiknya.


* * *


Sebaiknya dibaca sendiri selengkapnya 'CERITA MATA' oleh Yonathan Rahardjo: 'Tentang Garis Lurus Taufik Ismail, Ikranegara dan JJ Kusni', seperti yang disiarkan oleh mailist 'Sastra Pembebasan' (24 Februari 2009). Secara pokok-pokok tulisan Rahardjo melaporkan tentang jalannya dan isi diskusi yang berlangsumg pada tanggal 22 Februari di Teater Utankayu, Jakarta. Temanya seperti tertera dalam undangan adalah mengenai DIALOG 'LEKRA' - 'MANIKEBU'. Suatu dialog yang diadakan dalam rangka peluncuran buku JJ Kusni.


Terima kasih tertuju pada Yonathan Rahardjo yang dalam batas tertentu berhasil memberikan gambaran substantif mengenai apa yang terjadi dalam dialog siang itu.

Digelarnya suatu diskusi mengenai polemik 'Lekra', 'Lembaga Kebudayaan Rakyat' vs 'Manikebu', 'Manifes Kebudayaan', yang berlangsung pada akhir pertengahan tahun 1960-an --- namun tidak rampung keburu dibubarkannya 'Manikebu' oleh Menteri PPK Prof Priyono, lalu naiknya Orba yang melarang 'Lekra', kemudian banyaknya tokoh dan anggota Lekra yang dibunuh mapun yang dipenjarakan atau dibuang ke Pulau Buru --- , pasti menarik perhatian masyarakat. Dan betul, ternyata, seperti laporan Rahardjo ruangan Teater Utan Kayu penuh sesak.


Membaca laporan Rahardjo mengenai DIALOG UTAN KAYU tsb, orang dapat kesan bahwa yang didiskusikan samasekali BUKAN MENGENAI KONSEP SENI YANG MENJADI TEMA DIALOG LEKRA VS MANIKEBU pada pertengahan tahun 1960-an.


Seperti yang pernah ditulis di ruangan ini mengenai DIALOG UTAN KAYU, substansi polemik 'Lekra' vs 'Manikebu' itu adalah mengenai dua konsep seni. Yang satu adalah konsep 'SENI untuk SENI', serta kaitannya dengan pandangan Humanisme Universil. Ini pendapat 'Manikebu'. Konsep yang satu lagi adalah konsep 'SENI UNTUK RAKYAT'. Ini konsep 'Lekra'. Polemik dulu itu tidak sampai berakhir mencapai kesimpulan. Maka bila diangkat kembali dan pendiskusian diteruskan, dalam suasana REFORMASI dan DEMOKRATISASI, maka bukan saja tidak ada salahnya. Tetapi akan merupakan suatu pengalaman baik bagi seniman, sastrawan generasi muda kita. Bukan untuk mencari siapa yang kalah dan siapa yang menang. Tidak untuk memuja yang satu serta mengganyang yang lainnya. Tetapi untuk menggugah generasi muda untuk menstudinya, berani memikirkannya secara idependen, dan kemudian mengambil kesimpulannya sendiri. Diskusi atau polemik seperti itu, bila dilangsungkan dengan semangat 'fair-play', transparan serta mengindahkan 'aturan main', atas dasar saling menghargai pendapat yang berbeda, maka itu akan merupakan pendidikan baik bagi generasi muda, yang haus mencari sumber inspirasi bagi karya-karya mereka. Dalam rangka membangun seni dan kebudayaan Indonesia yang BERKEPRIBADIAN INDONESIA.


* * *


Laporan Yonathan Rahardjo, seperti yang di-edit kembal, sbb: Secara menyolok penyair Taufik Ismail penuh semangat mengarahkan sasarannya pada Komunisme. Ia memojokkan komunisme dengan pernyataan-pernyataan tentang adanya sebuah jalinan antara Jakarta dengan benua Barat kala itu. Dendam Taufik Ismail terhadap lawan politiknya, sedemikian rupa sampai mengedepankan kebangkitan dari kubur para pendiri paham yang keras dan kokoh pada keyakinan. Bahkan dari dalam kubur di London dan Moskow dibangkitkan Karl Marx dan Lenin, yang dengan rantai panjang disulurkan dari kegelapan masa silam, membelenggu pengikutnya hingga masa kini. Laporan Rahardjo a.l menguraikan bagaimana Taufik Ismail berorasi hendak menjelaskan bahwa ajaran-ajaran Marx dan Lenin masih berpengaruh di Indonesia.


'Cerita-mata' Rahardjo tentang Taufiq Ismail menguraikan betapa lihainya Taufiq Ismail yang menunjukkan bahwa dendam itu dimiliki oleh para pengikut Marx dan Lenin, dan bahwa dia (Taufik Ismail) sedih karenanya. Tidak seperti yang dilakoni Malaysia yang menghapuskan diskriminasi partai komunis Malaysia dan Afrika Selatan yang mampu menyelenggarakan rekonsiliasi nasional. Taufik Ismail menyesali, mengapa Indonesia tidak mampu lepas dari dendam itu.


Yang anehnya, begitu Rahardjo dalam laporannya, Taufiq Ismail mengatakan, dendam ini adalah pada kaum kiri. Dan dia menggempur dengan pernyataan, bahwa, mestinya kaum (kiri) ini mau melupakan dendam itu dan sedia menciptakan perdamaian total dengan kelompoknya.

Rahardjo menjelaskan dalam laporannya, bahwa Taufik Ismail yang bukan korban kebiadaban pembantaian berjuta-juta orang PKI, malah minta para 'orang kalah' dalam pertarungan di bawah Orde Baru itu untuk melupakan dendam dan mau berdamai dalam suatu 'perdamaian total'.


Dari seluruh sikap dan emosi nada bicaranya, sangat tampak justru dialah (Taufik Ismail) yang mengidap dendam. Sebuah dendam yang sangat aneh bagi sebagian besar orang yang hadir sore itu. "Bukankah Taufiq bukanlah orang yang kalah dan menderita serta terrampas hak-hak azasinya selama puluhan tahun seperti halnya orang-orang Lekra? Apa alasan utama Tauf Ismail harus menunjukkan rasa dendam dengan menuding orang-orang itu?" . Dendam kesumatnya terhadap ideologi komunis dengan nyata dikaitkan dengan keberadaan Lekra dan tentu saja JJ Kusni, yang dianggapnya mewakili Lekra pada acara dialog yang diselenggarakan oleh Teater Utan Kayu. Demikian Rahardjo.


Lalu, seorang anak muda menyeletuk, "Taufiq pendendam!". Angin dendam macam itu pun menjadi nyawa-nyawa yang telah binasa, namun, tetap bergentayangan mencari kebenaran. Seorang hadirin menanggapi, bahwa, presentasi 'Rekonsiliasi' yang ditawarkan merupakan hal yang sangat terlambat. Sebab hal itu sudah dilakukan sejak lama.

Putu Oka Sukanta, yang hadir di situ, menceritakan kisah terlunta-luntanya ia mencari harkat dan mengadakan perdamaian dengan berbagai kalangan yang dulu menganiayanya. Bahkan, penganiayaan itu pun baru berkurang tahun lalu, soal kepemilikan KTP seumur hidup bagi orang seumurnya yang baru didapat setahun silam.


* * *


Ikranagara selaku moderator pun mengatakan rekonsiliasi sebetulnya sudah berlangsung bertahun-tahun silam, seperti terjadi di Taman Ismail Marzuki (TIM) di mana para seniman bebas untuk berkarya bersama tanpa memandang dia aliran kiri atau kanan; Lekrais ataupun Manikebuis. Di antara pembicara ada yang mengemukakan bahwa untuk rekonsiliasi tentulah pihak-pihak yang berdamai, seyogianya ada pada kedudukan hukum yang sama. Sungguh aneh, bilamana dalam rekonsiliasi satu pihak, Lekra, masih saja dirampas hak-haknya. Setidaknya secara hukum mereka dihapuskan dari cap bersalah dan terlarang. Karena nyatanya sampai sekarang belum dihapuskan TAP MPRS No XXV tahun 1966 tentang pembubaran dan pelarangan PKI dan ormas-ormasnya, termasuk Lekra yang dicap juga sebagai underbouw PKI.

Beberapa hadirin tampak sepakat tentang ketidakadilan dalam tawaran 'perdamaian' macam ini. Sungguh aneh bila yang berkuasa menuntut perdamaian bagi sang pesakitan dan terhukum, tanpa ada saling mendudukkan perkara. Padahal yang disebutkan rekonsiliasi nasional di Afrika Selatan, sejatinya sebelum rekonsiliasi nasional Pemerintah telah lebih dulu mengadakan pengadilan secara hukum. Dalam bukunya JJ Kusni berusaha menjawab kejanggalan-kejanggalan tawaran Taufik ini.


* * *


Taufik Ismail, dalam diskusi tsb tanpa basa-basi melakukan penindasan intelektual terhadap ideologi komunis. Selama 30 tahun Taufik Ismail adalah bagian dari kekuasaan Suharto. Meskipun sudah melalui reformasi, hatinya tak terketuk untuk bicara lebih moderat. Taufik Ismail berbeda dari Goenawan Mohammad yang juga bicara sore itu. Taufik Ismail samasekali tidak menyisakan sebuah pencarian baru guna menjembatani Indonesia, menuju masa depan dengan masalah kekinian yang ditawarkan oleh Ikranegara. Demikian anatara lain tulis Rahardjo.


Taufik Ismail masih tetap anti-komunis. Ia menuntut kaum Marxis dan yang sefaham, agar membuang jauh-jauh ideologi Marxis-Leninis, untuk (bisa) berjabat tangan dengan 'kelompoknya' -- entah kelompok yang mana -- dalam suatu 'perdamaian total'.


* * *


Pendeknya, lapor Rahardjo, ---- sore itu Taufik Ismail adalah anti-komunis dan menganggap bahwa JJ Kusni dan Lekra itu komunis. Kusni yang mengaku Marxis itu, menyatakan bahwa Lekra itu bukan PKI. Dari bukunya, tersirat Marxis macam apa JJ Kusni itu. Demikian Rahardjo.



Moderator Ikranegara yang menyatakan tak tau-menahu tentang pertentangan Lekra - Manikebu (ketika itu ia masih duduk di SMP) menyatakan bahwa yang hadir dan ambil bagian dalam diskusi, hanya mewakili dirinya masing-masing.



Yonathan Rahardjo akhirnya menyimpulkan antara lain sbb: Taufik Ismail adalah penandatangan Manikebu yang belum berubah. Taufik ketinggalan dibandingkan dengan rekan-rekannya seperti Goenawan Mohammad, Arief Budiman, apalagi Sanento Yuliman (almarhum) yang mengaku betul-betul m e n y e s a l ikut menandatangani Manikebu. Kesadaran itu timbul setelah ia tau ada militer di belakangnya. Juga hal itu yang membuat WS Rendra tidak mau hadir dalam acara pandantanganan Manifes Kebudayaan ketika itu.


Yang perlu diperhatikan ialah begitu banyaknya mahasiswa/mahasiswi dari salah satu universitas di Jakarta, yang hadir dalam DIALOG UTAN KAYU itu.


Bagi yang sudah tau duduk perkaranya, semua ini semakin memperkokoh pemahaman betapa kosongnya yargon-yargon dendam tanpa pembelajaran itu. Membaca buku JJ Kusni, akan diperoleh jawaban sejauh mana keyakinan terhadap perjuangan anti-penindasan dan anti-penghisapan dapat mewujudkan cita-cita bersama dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di saat perjuangan dewasa ini, segala kelompok tak perduli dari golongan manapun, harus bahu membahu membebaskan bangsa dan negeri dari penindasan dan penghisapan kolonialisme. Mestinya perbedaan ideologi tak menyebabkan pertikaian. Semua harus duduk dalam satu front-bersama menghadapi tantangan bersama.

Demikian kutipan dan cuplikan dari laporan Yonathan Rahardjo, mengenai DISKUSI UTANKAU dengan acara POLEMIK 'LEKRA' - 'MANIKEBU'.


Diskusi di Teater Utan Kayu, paling tidak membantu kita , menyadari betapa tidak mudahnya usaha mencapai REKONSILIASI apalagi PERDAMAIAN TOTAL, bila itu benar-benar didasarkan atas kebenaran dan kedilan, atas dasar dilempangkannya pemelintiran sejarah yang berlangsung selama lebih 30 tahun rezim Orba .



* * * * *




Kolom IBRAHIM ISA - REHABILITASI Bagi Penyair Pejuang Turki NAZIM HIKMET

Kolom IBRAHIM ISA

Sabtu, 21 Feb. 2009.

--------------------------------------------------

REHABILITASI Bagi Penyair Pejuang Turki

NAZIM HIKMET



Bisa saja kalangan sastra dan budayawan Indonesia dewasa ini, tidak atau belum kenal nama penyair Turki terkenal abad ke-xx dan Pejuang NAZIM HIKMet (1902 - 1963). Meskipun Indonesia sudah melewati prahara RERFORMASI yang berlangsung sepuluh tahun yang lalu. Hal mana memberikan syarat baik bagi siapa saja yang berkepedulian di Indnesia untuk mengakses dokumentasi situasi sastra dan seni dunia selama Perang Dingin. Untuk akhirnya menemukan nama NAZIM HIKMET.



Aku tergugah menuliskan sepatah dua kata mengenai NAZIM HIKMET. Tergugah dan tersentak, dengan berita BBC yang kudengar pada suatu beberapa hari yang lalu, sbb: Pemerintah TURKI MEMUTUSKAN MEREHABILITASI PENYAIR NAZIM HIKMET. Aku heran juga mendengar kebijakan rehabilitasi ini karena pemerintah Turki dalam perpolitikan Turki dewasa ini, adalah suatu pemerintah yang cenderung pada Islamisme. Bukankah suatu kekuasaan Islam oleh pers Barat sering diidentikkan dengan konservatisme? Lebih-lebih lagi jadi tercengang ketika mendengar alasan yang dikemukakan pemerinah Turki untuk merehabilitasi Nazim Hikmet.



Wakil PM Turki Cemil Cicek menyatakan bahwa saat ini sudah waktunya <46> bagi pemerintah untuk mengubah pandangannya. Pasti orang bertanya kiranya dulu itu bagaimana pandangan pemerintah Turki persisnya, dan bagaimana pula pandangan sesudah berubah sekarang ini. Kata Wakil PM Turki Cemil Cicek selanjutnya: 'Kejahatan-kejahatan (yang dilakukan Nazim Hikmet) yang memaksa pemerintah Turki merenggutkan kewarganegaraanya itu (1951), tidak lagi diangggap sebagai suatu kejahatan'. Lalu dijelaskannya bahwa tergantung pada keluarga Nazim Hikmet yang masih ada untuk mengambil keputusan bila mereka menghendaki jenazahnya diambil dari Moskow, sesuai dengan kehendak wasiat Nazim Hikmet yang ingin dikuburkan di bawah sebatang pohon di pekuburan Anatolia, tempat kelahirannya di Turki.



Meskipun agak terlambat pemerintah Turki tiba pada kesedaran dan kesimpulan baru untuk MEREHABILITASI KEHORMATAN NAZIM HIKMET, namun kebijakan tsb, apapun pertimbangannya, pantas dihargai.



Aku teringat pada seorang cenais Belanda bernama JORIS IVENS. Joris Ivens dikirim oleh pemerintah Belanda ke Indonesia untuk membuat film dokumenter kembalinya Belanda ke INDONESIA (1945). Di Indonesia Joris yang Komunis anggota CPN itu, tergugah dan bersimpati dengan perjuangan kemerdekaan INDONESIA. Seperti Poncke Prinsen, Joris berbalik, 'membelot' menjadi penentang politik Den Haag yang hendak mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Ivens lalu membuat film dokumenter terkenal bernama 'INDONESIA CALLING'. Film dokumenter itu menyerukan kepada dunia untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Keruan saja, Joris Ivens dicap pengkhianat oleh pemerintah Belanda ketika itu. Kewarganegaraannya dirampas. Joris Ivens selanjutnya hidup sebagai orang eksil di Paris.



Pada periode kabinet Lubbers di Belanda (Tahun 1980-an), pemerintah mengubah pandangannya. Den Haag merasa vonis terhadap Ivens dulu itu adalah keliru. Selanjutnya pemerintah Lubbers mengirimkan Menteri Kebudayaannya Elco Brinkman, sendiri datang ke Paris menemui si 'pembelot' Joris Ivens. Di Paris Menteri Kebudayaan Belanda itu minta maaf kepada Joris Ivens. Dengan itu merehabilitasi nama baik Joris Ivens sebagai cineais Belanda. Selanjutnya di Belanda nama Joris Ivens dipakai untuk pemberian 'Joris Ivens Award', bagi film-film dokumenter terbaik di Belanda.

Haaa , siapa bilang penguasa Indonesia pantas-pantasnya RENDAH HATI BELAJAR DARI KEBIJAKAN BERANI SELF-KOREKSI SEPERTI YANG DILAKUKAN OLEH ORANG-ORANG BELANDA . . . . DAN orang-orang Turki.



* * *



Dihadapkan pada peristiwa REHABILITASI NAZIM HIKMET penyair Turki, dan cineaIs Belanda JORIS IVENS, fikiranku meluncur ke seniman-seniman progresif Indonesia yang dipersekusi Orba, yang dituduh dan nama baik mereka diburukkan sedemikian rupa. Mereka dicap sebagai 'orang bermasalah' serta didiskriminasi. Kapanpun tidak bisa dibenarkan kesewenang-wenangan dan diskriminasi rezim Orba terhadap seniman, sastrawan, kritikus, penerjemah dan budayawan seperti: Pramudya Ananta Tur, S. Kuntjahyo, Banda Harahap, Agam Wispi, Nyoto, Jubaar Ayub, Widji Thukul, Oei Hay Djun, A.S. Dharta dan banyak lainnya lagi, yang sudah tiada dan nama baik mereka masih BELUM DIREHABILITASI PEMERINTAH. Juga orang akan teringat pada mereka-mereka yang masih hidup yang namanya masih belum dibersihkan dari tuduhan dan fitnahan penguasa selama rezim Orba.



* * *



Nazim Hikmet adalah seorang penyair dan penulis drama terkenal yang punya banyak penggemar dan pencintanya di dalam maupun di luar Turki. Untuk karya-karya sastranya itu Nazim Hikmet memperoleh penghargaan 'Hadiah Internasional untuk Perdamaian Dunia'. Ia meninggal dunia dalam eksil di Moskow dalam tahun 1963. Karena berani memperjuangkan kebebasan, kebenaran dan keadilan, Nazim Hikmet dipenjarakan bertahun-tahun lamanya di Turki. Kemudian kewarganegaraannya dicabut atas tuduhan 'melakukan kegiatan menentang negara'. Sebab yang sesungguhnya mengapa Nazim Hikmet dipersekusi ialah karena ia berani dan teguh melakukan kegiatan sebagai seorang seniman kritis yang memperjuangkan keadilan bagi rakyat Turki dan demi perdamaian dunia.



* * *



Pada periode 'Perang Dingin', apa yang dilakukan Nazim Hikmet, bagi pemerintah Turki yang anggota NATO (persekutuan militer blok Barat di bawah komando AS) itu adalah sesuatu yang 'tabu' dan merupakan 'dosa tak berampun'. Persekusi dan pencabutan kewarganegaraan Nazim Hikmet, penyebab utamanya ialah karena keyakinan politiknya. Nazim Hikmet adalah seorang MARXIS. Kalangan budayawan mancanegara menilai karya-karya Nazim Hikmet pada tahun 1930-an ketika itu telah memainkan peranan amat penting dalam proses perevolusioneran seni sastra Turki. Karyanya telah diterjemahkan dalam lebih dari 50 bahasa di dunia ini.



Pada periode Presiden Sukarno, seniman-seniman Lekra sempat menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia beberapa sajak Nazim Hikmet. Selama rezim Orba, logis, tak satupun sajak atau drama Nazim Hikmet yang pernah muncul di dalam kehidupan literatur Indonesia.



Bisa dibuka kembali dokumentasi media pada periode Presiden Sukarno, pasti akan ditemukan sebuah dokumen yang menunjukkan satu-satunya lembaga politik Indonesia yang menyatakan solidaritasnya pada NAZIM HIMET dan menuntut pembebasannya dari penjara pemerintah Turki: Lembaga itu adalah Kongres Ke-V PKI (1954) yang mengambil resolusi mengenai tuntutan pembebasan Nazik Hikmet.



* * *

Kolom IBRAHIM ISA - Dialog 'LEKRA' - 'MANIKEBU' Di UTAN KAYU

Kolom IBRAHIM ISA

-----------------------------

Selasa, 17 Februari 2009


Dialog 'LEKRA' - 'MANIKEBU' Di UTAN

KAYU


Sewajarnyalah disambut baik prakarsa/rencana kegiatan kebudayaan yang akan diselenggarakan KOMUNITAS UTAN KAYU, pada hari Rabu, besok. Mereka akan menggelar diskusi di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Menjadi tema diskusi adalah buku JJ Kusnsi berjudul 'Menoleh Silam Melirik Esok', terbitan Ultimus, Bandung, Februari 2009.


Menurut berita, direncanakan kehadiran tokoh-tokoh Lekra serta organisasi yang terlibat polemik di Indonesia tahun 60-an. Mereka itu a.l. Josoef Isak, Goenawan Mohammad, Amarzan Lubis, Putu Oka Sukanta, Amrus Natalsya dll. Penyelenggara diskusi juga mengharapakan agar sastrawan dan aktivis generasi muda hadir dan ambil bagian aktif dalam diskusi besok itu.


* * *


Hampir setengah abad yang lalu, di Indonesia terjadi perdebatan penting antara 'LEKRA' (Lembaga Kebudayaan Rakyat) versus 'MANIKEBU' (Manifes Kabudayaan). Perdebatan tsb terfokus pada dua konsep kesenian dan kebudayaan. Secara konfrontatif, dua konsep seni itu dikemukakan sebagai visi 'SENI UNTUK SENI' yang dianut oleh Manikebu, versus visi seni Lembaga Kebudayaan Rakya, yaitu 'SENI UNTUK RAKYAT'. Tak terelakkan perdebatan menyinggung masalah politik aktuil.


Tercatat bahwa keadaan ketika itu, seluruh bangsa sedang terlibat dalam perjuangan hidup-mati, khususnya perjuangan pembebasan Irian Barat melawan Belanda (anggota persekutuan militer Barat - NATO). Selain itu sedang hebat-hebatnya dilaksanakan politik Konfrontasi Lawan 'Malaysia'. 'Malaysia' -- oleh Presiden Sukarno dan politik resmi pemerintah RI ketika itu dinilai sebagai suatu proyek neo-kolonialisme Inggris, dengan ujung tombak disasarkan terhadap Republik Indonesia. RI berada dalam perjuangan membebaskan Irian Barat. Sambil mempertahankan politik luarnegeri yang bebas dan aktif sesuai Semangat Bandung (Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955)


Polemik atau perdebatan tsb a.l. mempersoalkan: Tidakkah Seni/Sastra/Budaya itu seharusnya diabdikan demi kepentingan perjuangan nasional. Ataukah Seni itu sewajarnya adalah untuk Seni, terlepas dari perjuangan (politik) aktuil rakyat. Apakah kesenian itu bisa bebas dari politik, terlepas samasekali dari pengaruh kekuasaan yang riil? Tidakkah seniman, pencipta seni, sudah sewajarnya menimba inspirasinya dari rakyat. Selanjutnya mengabdikan seni untuk kepentingan rakyat dan haridepannya. Apakah diperbolehkan kebebasan dalam mencipta? Apakah kebebasan mencipta itu bukan hak azasi setiap insan yang tidak boleh dilanggar? Apakah seni akan bisa murni dan indah bila bermotivasi politik. Kemudian dipertanyakan apakah dalam kenyataan hidup ada seni/budaya yang samasekali lepas dari sesuatu ideologi?


Demikianlah a.l soal-soal yang diperdebatkan secara nasional, dalam rangka mencari apa yang diperlukan bangsa dalam membangun seni dan sastranya, membangun kebudayaannya. Bisa jadi ditampilkannya permasaalahan seerti dikemukakan diatas kurang lengkap. Oleh karena itu disayangkan banyak catatan dan dokumentasi mengenai polemik itu sudah tiada. Lebih-lebih lagi disayangkan bahwa banyak peserta polemik itu sudah tiada, menjadi korban dari periode dimana kaum kiri menjadi sasaran persekusi dan pemusnahan. Sehingga perdebatan LEKRA vs Manikebu itu terhenti tanpa kesimpulan. Tanpa adanya kesimpulan masyarakat yang memadai.


* * *


Diskusi yang berlangsung menjadi tajam dan gawat disebabkan sangkut pautnya dengan suasana 'PERANG DINGIN' antara Blok Sosialis (Uni Sovyet, RRT dan negeri-negeri sosialis lainnya) versus Blok Kapitalis (AS, Inggris, Perancis yang tergabung dalam NATO). Disebut juga konfrontasi antara 'Oldefo - Old Established Forces atau imperialisme dkk vs 'The New Emerging Forces', seperti dikemukakan oleh Bung Karno ketika beliau mengungkapkan visinya mengenai situasi dunia ketika itu.


Perdebatan terbuka antara Lekra dan Manikebu tak berlangsung mulus. Ia berhenti di tengah jalan. Golongan Manikebu menganggap LEKRA sebagai bagian dari gerakan KIRI/PKI, yang sedang berada 'diatas angin' menggunakan pengaruhnya, untuk memberangus MANIKEBU. Manikebu dibubarkan. Namun, nyatanya pembubaran Manikebu, adalah atas instruksi Menteri PPK Prof. Priyono dari Partai Murba, yang justru dalam perpolitikan Indonesia ketika itu adalah saingan PKI.


Adalah penting untuk dicatat bahwa suatu ketika, terungkap adanya pendapat Nyoto, salah seorang tokoh pimpinan LEKRA yang juga adalah Wakil Ketua II CC PKI, sehubungan masalah perdebatan antara Lekra vs Manikebu. Nyoto mempertanyakan lebih-lebih menyayangkan mengapa ketika itu pemerintah membubarkan Manikebu. Nyoto berpendapat bahwa adalah lebih baik bagi pendidikan politik masyarakat bila perdebatan antara LEKRA dan Manikebu berlangsung sampai selesai. Beberapa waktu sesudah terjadinya peristiwa 'G30S' dan dibubarkannya PKI oleh Panglima Kopkamtib, Jendral Suharto, Nyoto dibunuh oleh aparat tanpa peroses pengadilan apapun. Juga tanpa diiketahui dimana kuburannya.


Sejak berdirinya Orba, Lekra dibubarkan. Manikebu berada di atas angin. Sayang Mankebu tidak menggunakan kesempatan tsb untuk membuka kembali polemik antara dua konsep SENI untuk SENI versus SENI Untuk RAKYAT.


Ketika Pramudya Ananta Tur memperoleh 'Raymon Magsausay Award' untuk buku-buku Pulau Burunya kontan Mochtar Lubis (juga permenang 'Raymon Magsaysay Award') mengembalikan penghargaan yang diberikan kepadanya, sebagai protes diberikannya penghargaan kepada Pram.

Pandangan yang diametral menentang Lekra, dan Pram sebagai tokoh Lekra, mengklaim bahwa Lekra berdiri di belakang pembubaran Manikebu. Tuduhan tsb dibantah oleh Pram ketika ia masih hidup. Pram menyatakan bahwa ia sepenuhnya menyokong adanya polemik. Pram menyatakan bahwa adalah mereka-mereka yang menentangnya itulah yang meninggalkan polemik.



* * *


Semua itu berlangsung di masa lampau. Hampir setengah abad sudah berlalu. Situasi dan keadaan berkembang terus. Pemikiran manusia juga berkembang. Apakah akan diambil sikap 'biar yang lalu berlalu' , 'lebih baik melihat kedepan' ?


Tokh kuat anggapan bahwa, dari dialog atau polemik antara dua konsep seni, kiranya dapat ditarik pelajaran yang berharga. Mungkin buku JJ Kusni adalah suatu usaha serius untuk menjawab soal-soal yang muncul dari perdebatan atau polemik itu.


* * *


Untuk memperoleh gambaran bagaimana kira-kira diskusi di Teater Utan Kayu besok, baik kita ikuti pemberitaan yang menyertai pengumuman akan dilangsungkannya peluncuran buku JJ Kusni, besok itu. Ambillah secuplik dari Kata pengantar Gunawan Mohammad untuk buku JJ Kusni. Ditulisnya buku JJ Kusni baik bagi mereka yang ingin meneliti lebih jauh sekitar polemik sastra dan seni ditahun 1960-an, yang umumnya disederhanakan sebagai 'polemik antara Lekra dan Manikebu'. Dijelaskan pula bahwa ada statement Taufik Ismail yang dimaksudkan untuk menyambut 'perdamaian total', atau 'rekonsiliasi' antara kedua 'kubu' tsb. Terhadap statemen Taufik Ismail, Kusni menyusun jawabannya yang ditulis dalam bahasa yang santun dan jelas.


Maka sebuah dialog tampaknya kembali dibuka -- meskipun saya tak tahu pasti apakah dengan demikian kita akan bisa menyaksikan sebuah 'rekonsiliasi'. Sangat mungkin yang terjadi adalah sebuah daur ulang - meskipun tak berarti hanya sia-sia. Demikian Goenawan Mohammad dalam Pengantar buku Kusni JJ tsb.


Lalu dikutip kata-kata Taufik Ismail yang dimaksudkan memberi makna terhadap 'Tentang Rekonsiliasi. Tentang 'perdamaian total', sbb:

'Sebuah audit dendam akan berkepanjangan dan tak jelas kesudahannya. Dan dari kuburnya Marx dan Lenin tetap saja mengulurkan rantai kesumat yang di Indonesia ujungnya masih membelit bangsa. Saya menyarankan perdamaian total, lebih maju selangkah ketimbang rekonsiliasi . PERDAMAIAN TOTAL. Rantai dendam yang membelit bangsa itu harus segera dipotong habis; . Demikian Taufik Ismail.


Akhirnya dikutip setidikit dari JJ Kusni, sbb:

'Dogmatisme, keusangan, kerapuhan, dan kekroposan terjadi baik pada kalangan kiri dan maupun golongan kanan'. Demikian JJ Kusni.


* * *

Apakah benar solusi terbaik dari polemik itu, adalah lahirnya suatu 'rekonsiliasi' atau 'perdamaian total'? Itu sulit diramal.


Namun, bila diambil suatu sikap yang bertolak dari kenyataan hidup banga yang berragam etnik, kultur dan keyakinan, serta dirasa perlu dan medesak mempersatukan seluas mungkin bangsa ini demi haridepan yang lebih baik, maka sikap atau pandangan yang sesuai adalah pandangan hidup 'BHINNEKA TUNGGAL IKKA', -- yaitu 'BERBEDA-BEDA TAPI SATU' atau 'KESATUAN DALAM PERBEDAAN'. Bisa juga dikatakan sebagai suatu pentrapan kebijakan Timur yang MEMBIARKAN SERATUS BUNGA MEKAR BERSAMA DAN SERATUS FIKIRAN BERSAING BERSUARA. Tentu dengan landasan sikap saling menghormati pandangan yang berbeda bahkan bertentangan satu sama lainnya.


Dalam suatu masyarakat yang multikultural, transparan, toleran, seyogianya dua konsep kesenian, seperti 'SENI UNTUK RAKYAT' dan 'SENI UNTUK SENI', dibenarkan untuk berkoeksistensi dan berkompetisi secara wajar. Bahkan konsep-konsep kesenian lainnyapun punya hak hidup selama ada penganut dan pembelanya.


* * *

Kolom IBRAHIM ISA - Tigapuluh Th. REVOLUSI IRAN

Kolom IBRAHIM ISA

Kemis, 12 Februari 2009

--------------------------------

Tigapuluh Th. REVOLUSI IRAN


Tampaknya tidak banyak yang menulis tentang 30 Th REVOLUSI IRAN (11 Februari 1979). Secara menyolok Iran menandai hari peringatan ultah revolusinya dengan meluncurkan satelit pertama Iran, yang diberi nama OMID (Harapan). Dengan itu Iran memaklumkan kepada dunia bahwa Iran telah mencatat kemajuan-kemajuan penting di bidang ilmu dan teknologi.


Di Belanda, karena keberadaan seorang sastrawan kenamaan Iran, Kader Abdollah., pemancar TV Belanda, NOS Journaal, secara khusus mewawancarai Kader Abdollah. Kader adalah seorang eksil Iran yang mengambil kewarganegaraan Belanda dan aktif terus sebagai penulis Iran - dalam bahasa Belanda.


Kiranya jelas, bagi Indonesia Revolusi Iran 30 th yang lalu, punya pengaruh cukup besar. Revolusi yang dijuluki 'Revolusi Islam' itu paling tidak menimbulkan keyakinan baru di kalangan umat Islam Indonesia, bahwa kekuatan politik yang berideologi Islam, telah berhasil menumbangkan rezim reaksioner Syah Reza Pahlevi. Mampu menggantikan suatu rezim kerajaan yang dalam waktu panjang ditopang satu negara adikuasa, Amerika Serikat. Sekalipun umum tak banyak memahami sejarah Iran, tetapi tidak sulit untuk melihat bahwa dukungan AS pada rezim Syah Iran, pertama-tama demi kepentingan AS sendiri atas sumber minyak di Timur Tengah. Sebab lainnya ialah bahwa AS bertolak dari kepentingan strategi Perang Dingin-nya menghadapi blok Sovyet.


Bagaimana pemahaman orang-orang Indonesia mengenai Revolusi Iran. Belum lama dalam suatu diskusi dengan tema masalah ISLAM KONTEMPORER di Indonesia, seorang pembicara yang menekuni masalah ISLAM KONTEMPORER di Indonesia, membenarkan bahwa perkembangan Islam kontemporer di Indoneis, selain disebabkan sejumlah faktor lainnya, faktor penting yang memberikan pengaruh tumbuh pesatnya pengaruh Islam di Indonesia, adalah REVOLUSI IRAN (1979).


* * *


Artikel ini bukan dimakudkan untuk menganalisis tentang Revolusi Iran. Bukan suatu studi mengenai bagaimana tumbuh dan perkembangannya sekarang. Tulisan ini, terutama dan pertama-tama hendak memperkenalkan pendapat seorang sastrawan Iran, KADER ABDOLLAH. Dalam usia 24 tahun, ia ikut ambil bagian aktif dalam revolusi menumbangkan Syah Pahleivi. Kekuasaan negara di Iran hasil revolusi yang didukung lapisan masyarakat yang luas, di bawah pimpinan Ayatollah Khomeini, dalam perkembangannya berubah menjadi suatu kekuasaan totaliter berdasarkan ajaran Islam. Rezim Khomeini tidak mentolerir oposisi dan pandangan lain terhadap rezimnya. Itulah yang menyebabkan Kader Abdollah sebagai seorang sastrawan revolusioner yang berfikiran independen meninggalkan Iran dan menjadi orang eksil di negeri Belanda.


Dalam kolomnya di s.k. Belanda, 'de Volkskrant', 09 Feb 2009, Kader Abdollah yang menggunakan penname MIRZA menulis sebuah esay berjudul 'Dertig jaar voorbij', artinya 'Tigapuluh tahun berlalu'. Penulisannya bukan dengan gaya seorang historikus atau politikus dengan titel Ph.D. Kader Abdollah menulis sebagai seorang sastrawan revolusioner. Singkat tetapi hampir semua yang penting ada di situ.


Beberapa dari pokok-pokok pandangannya adalah sbb:


--- Revolusi Iran menakjubkan, menyakitkan dan sekaligus indah


--- Revolusi Iran adalah revolusi yang dalam bentuk klasik merupakan yang terakhir


--- Revolusi Iran lebih besar dan mengesankan terbanding revolusi-revolusi lainnya yang kita kenal karena para ayatollah bisa menggunakan satelit, pesawat terbang dan TV.


--- Menyesal? Tidak pernah! Bagi kami semua peristiwa tsb adalah yang paling mengesankan pada masa kami. Dan bagi saya peristiwa itu menjadi fundamen atas mana saya membangun hidup saya selanjutnya. Datangnya kaum ayatollah tak mungkin dicegah.


--- Revolusi tsb tidak salah, bukan suatu kesalahfahaman generasi kami, bukannya suatu pemberontakan yang disebabkan oleh ketidakmengertian. Ayatollah harus muncul. Generasi kami tak dapat mencegahnya.


--- Syah Persia dengan sengaja membiarkan kami dalam kebodohan. Syah adalah rajaboneka Amerika. Selama 35 tahun kekuasaannya kami tidak pernah tau apa itu demokrasi, ia tak pernah menunjukkan betapa perlunya kebebasan berbicara.


--- Penjara-penjara Syah penuh sesak dengan kaum intelekuil, mahasiswa dan kaum disiden yang melancarkan kritik terhadapnya.


--- Saya harus mengenyampingkan kebencian pribadi saya terhadap rezim tsb.


--- Kami tidak boleh melihat Iran sebagai sesuatu yang mutlak salah , sebagai suatu negeri yang berbahaya.


--- Masih ada imam-imam lainnya, yang dalam pemerintahan Islam dewasa ini bisa menempuh politik yang independen. Salah satu contohnya adalah Mohammad Khatami.


--- Iran telah menjadi suatu kekuatan penting yang stabil di Timur Tengah. Kita tidak bisa meremhkan kenyataan ini. .



* * *



Situasi dunia dewasa ini sedang mengalami pergolakan dan perubahan terus. Di Amerika Serikat telah terjadi prubahan penting dengan kemenangan Barack Obama dalam pemilihan Presiden 2008. Berbeda dengan Presiden Bush, Barack Obama bersedia untuk berdialog dengan Iran. Dengan latar belakang ini bisa di lihat arti dan makna apa yang diutarakan Kader Abdollah dalam esaynya itu.


Melalui suatu dialog diharapkan akan tercipta suatu saling pengertian yang akan mendorong maju perkembangan politik di Timur Tengah dan dunia Islam, demi stablitas dan perdamaian. Dengan itu juga dimaksudkan perkembangan usaha demokratisasi di Iran.


Kita bertanya sekarang: Apa peranan Indonesia dalam usaha ke arah yang dimaksud tsb? Bisakah Indonesia berperanan, sebagai suatu negeri dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia ini? Andaikata Indonesia saat ini punya pemimpin, negarawan bervisi seperti Presiden Sukarno, tidak diragukan lagi Indonesia akan mampu memberikan sumbangan berarti ke arah perekembangan positif di Timur Tengah.


Perkembangan dunia sekarang, dengan munculnya pemerintah-pemerintah pilihan rakyat yang berhaluan sosialis di Amerika Latin, dengan kemenangan seorang tokoh Afro-Amerika menjadi presiden di Amerika Serikat, serta muncultnya fakta-fakta keras yang menunjukkan rapuhnya sistim perkonomian kapitalis dunia, --- pasti orang ingat kembali betapa relevannya visi BUNG KARNO mengenai bangkitanya THE NEW EMERGING FORCES di dunia.



* * *



Kolom IBRAHIM ISA - KEBEBASAN PERS Dan

Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 10 Pebruari 2009
------------------------



KEBEBASAN PERS Dan

'MEDALI EMAS' Untuk PRESIDEN SBY


Hari Pers Nasional 09 Februari kemarin diperingati di Jakarta. Pada kesempatan itu, seorang Presiden, dalam hal ini Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dianugerahi 'MEDALI EMAS KEMERDEKAAN PERS HPN 2009'. Penghargaan itu disampaikan oleh 'seorang tokoh pers nasional' yang juga adalah Pemimpin Umum Harian Kompas, Jakob Oetama. Bersamaan dengan itu juga TNI dapat 'Medali Emas'. Selain itu dua orang wartawan lainnya dianugerahi 'Adinegoro Award', sebagai penghargaan terhadap 'Spirit Junalisme' mereka.


Menurut pemberitaan kalangan yang memberikan penghargaan tsb. : TNI dan Yudhoyono dinilai sebagai instansi dan tokoh berpengaruh sangat luas untuk bangsa dan negara dan s e l a l u menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ketika bermasalah dengan pemberitaan.


Yang mendengar atau membaca beritanya senang mengetahui dinyatakannya komitmen Presiden SBY ketika menerima MEDALI EMAS tsb yang diucapkannya, sbb:


*'Saya ingin menjadi bagian dari makin kuatnya kebebasan pers. *

*Saya akan terus menjadi student of democracy yang baik'.*


Tentu komitmen Presiden SBY tsb disambut baik. Masyarakat mengharapkan komitmen Presiden terhadap KEBEBASAN PERS dan DEMOKRASI di Indonesia benar-benar dilaksanakan dalam praktek kinerja pemerintahannya. Pernyataan tegas seorang Presiden yang sedang berfungsi tsb menggembirakan. Apalagi, karena kita pernah mengalami bagaimana pemerintah Orba dengan sewenang-wenang memberangus semua pers oposisi (sejak akhir 1965), mengontrol pemberitaan, melakukan tekanan dan intimidasi terhadap wartawan, serta memvonis siapa saja jang berani menulis dan/atau bicara kritis terhadap penguasa.


* * *


Bahwa TNI dan Yudhoyono dinilai sebagai instansi dan tokoh berpengaruh sangat luas untuk bangsa dan negara dan s e l a l u menggunakan UU No 40, Th 1999 tentang pers, ketika bermaslah pemberitaan , itu boleh-boleh saja. Itu adalah hak yang memberikan penilaian tsb.


Sepanjang pengetahuan kita, biasanya yang memperoleh Award sebagai penghargaan, khusus mengenai masalah KEBEBASAN PERS dan HAK KEBEBASAN MENYATAKAN PENDAPAT, adalah tokoh-tokoh atau instansi yang dalam kegiatan hidupnya langsung terlibat dalam perjuangan aktuil di masing-masing negeri yang otoriter dan penuh ancaman, termasuk ancaman masuk penjara atau diteror. Rasanya jarang atau bahkan tak pernah suatu penghargaan untuk masalah KEBEBASAN PERS, diberikan kepada pejabat negara yang berkuasa, atau instansi kekerasan seperti tentara atau polisi.


Kebijakan seperti memberikan 'award' kepada tokoh atau lembaga kekuasaan seperti itu adalah suatu kejanggalan, seakan-akan SUATU BREAKING NEWS.


Ini soal besar: Memberikan penghargaan sampai berupa MEDALI EMAS sehubungan dengan KEBEBASAN PERS, kepada seorang Presiden. Notabene Presiden SBY baru saja menandatangani u.u. Pornografi yang oleh sebagian luas masyarakat, termasuk tokoh-tokoh keagamaan sebagai usaha pengekangan hak-hak demokrasi. Menghadiahkan 'Medali Emas' kepada TNI benar-benar menimbulkan macam-macam tanda tanya. Apa maskud sesungguhnya? Masih segar dalam ingatan, bahwa TNI punya latar belakang tanggung jawab besar mengenai pelanggaran hak-hak azasi manusia, seperti dalam peristiwa pembantaian masal dalam Peristiwa 1965 terhadap warga yang tidak bersalah. Demikian juga kerlibatan TNI dalam pelanggaran HAM dalam peristiwa invasi dan pendudukan serta referendum di Timor Timur, dll.


Apakah dengan pemberian penghargaan tsb tidak memburengkan serta mengacaukan pengertian dan pemahaman masyarakat mengenai apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan KEBEBASAN PERS itu.


Memberikan 'penghargaan' atau 'award' adalah hak demokratis seseorang atau organisasi kepada yang bersangkutan mengenai masalah tertentu. Misalnya penulis yang eks tapol pulau Buru, Pramudya Anantra Toer, novelis Tetralogi terkenal dan bestseller, yang oleh kalangan sastrawan mancanegara, termasuk di Indonesia, dianggap novel terbesar Indonesia sampai kini, telah menerima pelbagai Award dari luar negeri. Seperti dari Australia, Amerika, Eropah. Pramudya di antaranya menerima 'WERTHEIM AWARD' (Leiden).


Ketika Pramudya Ananta Tur dianugerahi 'Raymon Magsaysay Award' (Filipina - sering dianggap sebagai Hadiah Nobel Asia), terjadi sedikit ramé-ramé. Sementara penulis Indonesia termasuk mantan wartawan s.k. 'Indonesia Raya' dan penulis Mochtar Lubis waktu itu protes keras terhadap pemberian penghargaan kepada Pramudya. Mochtar Lubis mengembalikan 'Raymon Magsaysay Award' yang pernah diperolehnya. Orang fikir Mochtar Lubis tidak rela, mengapa seorang Pramudya yang adalah mantan pimpinan LEKRA (yang dianggap berafiliasi dengan PKI) kok sampai bisa diberi penghargaan seperti itu. Tapi kalangan 'Raymon Magsaysay Award' di Manila konsisten dengan putusan mereka memberikan Award kepada Pramudya. Mereka tidak menggubris protes Muchtar Lubis tsb.


Tokoh-tokoh nasional jurnalis senior negeri kita yang tangguh, konsisten dan berprinsip dalam memperjuangkan kebebasan pers, seperti budayawan GOENAWAN MOHAMMAD dan JOESOEF ISAK (pemimpin Penerbit Hasta Mitra yang mula menerbitkan karya-karya pulau Buru Pramudya, juga telah memperoleh pelbagai penghargaan dari luar negeri untuk andil mereka dalam perjuangan demi KEBEBASAN PERS di Indonesia. Khusunya pada periode Orba.


Dalam tahun 2005, Goenawan Mohammad dan Joeseof Isak telah dianugerahi 'WERTHEIM AWARD 2005' oleh Stichting Wertheim di Nederland. Masih segar dalam ingatan, ketika kedua tokoh jurnalis senior tsb menerima 'Wertheim Award' bertempat di Kedutaan Besar Republik Indonesia, Den Haag, Holland. Kedua tokoh jurnalis Indonesia tsb diberi penghargaan untuk andil mereka dalam perjuangan aktuil EMANSIPASI BANGSA INDONESIA, teristimewa dalam memperjuangkan kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan pers selama periode rezim Orba.


Juga penyair Indonesia kenamaan RENDRA dan pejuang demokrasi penyair WIDJI THUKU (yang hinga kini menjadi 'orang hilang' tak tau dimana rimbanganya) memperoleh penghargaan serupa dari Stichting Wertheim, untuk andil mereka dalam perjuangan emansipasi bangsa Indonesia.


Terakhir, BENNY G.SETIONO, aktivis HAM dan salah seorang pendiri organisai INTI (Indonesia Tionghoa), telah dianugrahi 'WERTHEIM AWARD 2008' untuk penulisan bukunya 'TIONGHOA DALAM PUSARAN POLITIK'. Buku tsb dinilai telah memberikan sumbangan terhadap pemahaman dan pengertian mengenai etnis Tionghoa di Indonesia dan peranannya dalam pembangunan nasion Indonesia. Buku itu adalah andil Benny G Setiono dalam pejuangan emansipasi nasion Indonesia.


* * *


Dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia, Filipina dan Muangthai, dikatakan orang, dalam beberapa tahun belakangn ini, Indonesia merupakan negeri Dunia Ketiga yang dalam hal pemberlakuan sistim demokrasi parlementer termasuk stabil. Maka ada sementara pers mancanegara, sperti mingguan 'The Economist' (London) pernah mengangkat dan memuji Indonesia. Bahkan dikatakannya situasi politik Indonesia lebih stabil dibandingkan dengan India, yang pernah dijuluki sebagai 'the oldest democracy in Asia'.


Kalau benar keadaan demokrasi di Indonesia seperti digambarkan diatas, seyogianya penghargaan terhadap KEBEBASAN PERS, kiranya lebih pantas dimanifestasikan dengan pemberian award atau bahkan MEDALI EMAS, kepada pejuang-pejuang demokrasi sejati seperti JOESOEF ISAK dan GOENAWAN MOHAMMAD.





* * *




Kolom IBRAHIM ISA - Masalah PENDIDIKAN INDONESIA Dan J.K.I.

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 09 Februari 2009
-----------------------

Masalah PENDIDIKAN INDONESIA Dan J.K.I.

*

Sabtu, 07 Februari 2009, kemarin dulu, aku ikut hadir dalam sebuah rapat Jaringan Kerja Indonesia, JKI, di Amsterdam. Hadir di situ sekitar 30-an mahasiswa dan sementara kompatriot di Belanda dan Perancis. Bagiku rapat tsb punya arti penting. Antara lain karena di situ dibicarakan masalah situasi PENDIDIKAN DI INDONESIA yang mencemaskan dewasa ini. Dalam hal ini diangkat dan disoroti terutama tidak seriusnya pemerintah menangani masalah tsb.


Bahkan ditandaskan bahwa pemerintah telah melanggar UUD RI 1945 yang berlaku sekarang ini, mengenai masalah pendidikan nasional. Juga DPR telah pelanggaran yang sama terhadap UUD RI 1945 tsb. Sehingga diajukan pendapat karena pelanggaran tsb pemerintah SBY harus 'di-impeach'.


* * *


Salah seorang rekan JKI, dosen pada sebuah universitas di Jerman, yang belum lama berkunjung ke Indonesia, melukiskan keresahannya mengenai situasi pendidikan di Indonesia sbb:


Sejak beberapa lama ini saya terus concern dengan masalah pendidikan di Indonesia. Mestinya tema pendidikan ini harus galak kita diskusikan. Negara kita saat ini kepayahan kalah oleh negara2 tetangga terutama karena investasi pemerintah kita terhadap pendidikan sangat minimal, kalau tak bisa dibilang kurang. Jadinya SDM bangsa Indonesia pun tetap jalan di tempat.
Anggaran pendidikan pada APBN masih terlalu sedikit. Sekolah2 dan Universitas2 negeri mestinya bebas SPP. Atau, kalaupun dikenakan SPP, maka harus bisa dijangkau kalangan miskin. Beasiswa pendidikan maupun beasiswa untuk riset ilmiah mestinya digalakkan. Rasanya para siswa dan mahasiswa kita selama ini hanya memperoleh beasiswa dari luar negeri saja. Tak ada inisiatif beasiswa yang cukup dari pemerintah RI.

Dulu kalau diterima di Universitas Negeri calon mahasiswa tidak perlu bayar apa-apa lagi. Sekarang belum juga perkuliahan dimulai, orang tua mahasiswa langsung ditanya: 'Berapa Ibu/Bapak bisa bayar??? . . . . . . . Semakin pendidikan dikomersialisasikan, semakin anak-anak miskin akan terpinggirkan, tak ada akses sama sekali terhadap pendidikan. Padahal mendapatkan pendidikan adalah hak untuk setiap warga negara. Bukan suatu privilege atau hak istimewa!



Seorang rekan JKI lainnya menambahkan sbb:

Mengenai pendidikan, Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu tujuan untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa". Untuk memenuhi amanat itu pulalah MPR periode 1999-2004 menambahkan ayat 4 pada BAB XIII, Pasal 31 UUD 1945 yang berbunyi "...anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah....".


Oleh karena itu, adalah melanggar ketentuan UUD 1945 bila sebuah pemerintah pusat atau pemerintah daerah tidak mengalokasikan 20% dari APBN dan APBD masing-masing daerah untuk pembeayaan pendidikan. Dari sini dapat kita lihat betapa seenaknya pemerintah melanggar UUD yang seharusnya menjadi pegangan kita dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Tidak masuk akal samasekali bila dengan alasan "APBN kita tidak cukup", pemerintah melanggar UUD. Yang diharuskan oleh UUD kita bukan jumlah nominal anggaran pendidikan, melainkan persentasenya. Bila, misalnya APBN kita 100 trilliun, maka sekurang-kurangnya 20 trilliun harus dialokasikan untuk pembeayaan pendidikan.


Anehnya, DPR yang mengatasnamakan wakil rakyatpun ikut menyetujui pelanggaran terhadap UUD 1945 hasil amandemen ini. Begitulah sulitnya rakyat mendapatkan haknya untuk pendidikan. Meskipun telah dicantumkan dalam UUD negara, toh masih tetap dilanggar oleh pemerintah kita. Apalagi mau menuntut yang lain-lainnya yang menjadi hak warganegara, tetapi tidak tercantum dalam UUD. Pelanggaran terhadap ketentuan UUD ini telah ikut "memperbodoh" bangsa kita, yang seharusnya bila amanat UUD dilaksanakan, maka akan lebih tinggilah tingkat SDM bangsa. Kita mendesak agar pemerintah menghentikan pelanggaran terhadap UUD 1945 Hasil Amandemen dan menjalankannya secara konsekwen ! Adalah hak setiap warganegara menuntut agar pemerintah berjalan menurut UUD !


* * *


Rekan JKI lainnya a.l. menggarisbawahi pentingnya masalah pendidikan dengan kata-kata sbb:


Masa depan Indonesia tidak lepas dari pelaksanaan sistem pendidikan yang dilancarkan pemerintah. Ketimpangan-ketimpangan dalam pendidikan dewasa ini memang sesuatu yang sangat memilukan. Dua hal yang bisa ditonjolkan sebagai kesalahan pemerintah (penyelenggara negara):


Pertama, pemerintah tidak melaksanakan apa yang sudah ditetapkan dalam UUD'45, yaitu jumlah 20% dari APBN untuk pendidikan. Berarti Presiden seharusnya diimpeach karena melangggar UUD'45.


Kedua, pemerintah menerapkan sistem neo-liberalisme di segala bidang kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Hutan sudah digunduli, sumber-sumber kekayaan alam dikuras, kemudian menjerat pendidikan rakyat. Tampak dan terasa sekali bagi rakyat beratnya untuk menyekolahkan anaknya, agar supaya anaknya bisa melanjutkan sekolah. Untuk itu semua harus ada dompet tebal. Itulah kommersialisasi pendidikan akibat dijalankannya politik neoliberalisme.


** * **


Sungguh pas sekali JKI, Jaringan Kerja Indonesia, yang terutama terdiri dari generasi muda, mahasiswa post-graduates dan orang-orang Indonesia yang bermukim di Belanda, yang berkepedulian dengan nasib haridepan Indonesia, mengangkat a.l. soal teramat penting MASALAH PENDIDIKAN INDONESIA.

Sampai sekarang, di negeri kita masih belum tampak adanya gerakan Reformasi dan Demokratisasi yang bersifat nasional, bersatu serta serempak langkahnya. Namun, kekuatan baru itu eksis, tumbuh dan berkembang. Di satu segi, kita pasti tambah bersemangat dan optimis menyaksikan bahwa, dalam keadaan sulit bagaimanapun, generasi muda Indonesia, termasuk mahasiswa dan intelektuilnya, tidak sedikit yang mengkhayati kepedulian besar terhadap haridepan bangsa dan tanah air. Lebih penteing lagi ialah bahwa mereka langsung aktif dalam praktek kegiatan aktual.

Di lain fihak, masalah pendidikan di Indonesia masih jauh dari penananganan sesuai UUD RI 1945 yang berlaku sekarang. Perhatian dan program pemerintah banyak hanya diomongkan saja.

Yang menyedihkan ialah, bahwa masalah pendidikan, yang merupakan masalah vital suatu bangsa, dijadikan SARANA UNTUK CARI UANG SEMATA. Dijadikan bisnis untuk memperkaya diri. Sehingga dengan demikian kesempatan untuk memperoleh pendidikan, apalagi pendidikan tinggi, menjadi semakin kecil, bagi warga yang tak mampu. Anak-anak muda yang putus-sekolah bertambah terus dari tahun ke tahun. Mereka adalah penganggur baru yang menambah jutaan barisan penganggur yang belakangan ini membengkak terus karena krisis finansil-global.

Yang mendesak mendapat perhatian besar sehubungan dengan masalah pendidikan Indonesia, ialah masih besarnya pengaruh WARISAN ORBA di bidang pendidikan, yang telah menjadikan bangsa kita TIDAK MANDIRI dalam berfikir.

Kebijakan pendidikan rezim Orba, telah menjadikan kaum terpelajar kita, orang-orang yang tidak bebas berfikir, yang takut dan patuh seratus persen pada penguasa. Segala sesuatu yang dilakukan, harus menurut PENGARAHAN dan PETUNJUK ATASAN.

KHUSUS mengenai masalah pendidikan SEJARAH INDONESIA adalah yang paling gawat. Di bawah rezim Orba pencatatan dan penulisan sejarah bangsa harus menurut interpretasi penguasa. Merupakan monopoli pemerintah. Maka sejarah bangsa yang ditulis adalah sejarah yang diplintir, direkayasa dan dipalsu. Kebijakan ini harus diakhiri.


Sebagai misal bisa dilihat bahwa, nyatanya sampai sekarang, di sekoklah-sekolah text-book sejarah Indonesia, yang bersangkutan dengan Peristiwa G30S, penulisannya mutlak harus menurut interpretasi penguasa. Peristiwa 'G30S' harus dirumuskan sebaggai 'G30S/PKI' , sesuai penaksiran ORBA. Harus ada kata 'PKI' untuk menunjukkan bahwa 'G30S' adalah ulah PKI. Buku-buku sejarah yang tidak menuliskannya seperti interpretasi pemerintah, dinyatakan sebagai buku TERLARANG dan harus ditarik dari peredaran. Ini sekadar satu contoh bagaimana pendidikan sejarah periode Orba , masih dipertahankan.

Usaha melakukan pendidikan ilmu harus digalakkan. Hal ini harus dicengkam. Sepenuhnya tepat. Selain itu, yang lebih penting lagi ialah: Menggalakkan PENDIDIKAN JIWA DAN SEMANGAT BERDIKARI, BERDIKARI DALAM BERFIKIR, berani BEBAS BERFIKIR.

Bangsa ini memerlukan garis pendidikan nasional yang memberlakukan falsafah PANCASILA, seperti diuraikan dalam Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945.

Nasion ini memerlukan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan prinsip BHINNEKA TUNGGAL IKA, SEKULARISME dan MULTI-KULTURISME. * * *


IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita - 'WINTERNACHTEN' – (2)

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Selasa, O3 Febuari 2009*
----------------------------

'WINTERNACHTEN' – (2)

Dengan Nuruddin Farah


Cerita ini adalah lanjutan tulisanku berjudul 'Winternachten”-1 , Senin 19 Januari 2009. Masalahnya sekitar ceramah tokoh sastrawan Somali Nuruddin Farah. Kemudian sedikit mengenai penulis Iran, Kader Abdollah, seorang 'eksil', yang mengambil kewarganegaraan Belanda.


Atas pertanyaan yang diajukan dalam percakapan dengan FARAH, di forum 'Winternachten', 15 Januari 2009, mengenai pandangannya tentang keadaan dunia sekarang dan situasi Somali khususnya, Farah menjawab singkat saja:


Waktu bangun pagi, saya melihat dunia cerah, dan saya merasa o p t i m i s . Malam harinya menjelang tidur, ketika kembali merenungkan keadaan dunia sehari itu, saya jadi p e s i m i s . Maka, katakanlah, saya ini seorang: 'PESOPMIS', 'pesimis dan 'optimis' sekaligus'. Menjelang tidur malam saya 'pesimis'. Keesokan harinya, cerah . . . . saya optimis lagi. Demikian Farah.


Masalah migrasi dan eksil, adalah masalah yang senantiasa memenuhi fikiran Nuruddin Farah. Termasuk masalah IDENTITAS orang migran dan orang 'eksil'. Tema ini dibawakannya pada malam tanggal 15 Januari 2009 itu. Mengenai apa dan mengapanya. Disinggungya masalah terbentuknya identitas seseorang manusia. Farah mengajukan pertenyaan tsb pada dirinya sendiri, sebagai orang yang pernah berdomisili di lebih dari setengah lusin negeri Afrika,


Seperti dikatakannya sendiri, Nuruddin Farah adalah seorang 'self-exiled'. Ia berdomisili di Kaapstad, Afrika Selatan. Sebelumnya mengembara ke Sudan, Ghana dan beberapa negeri Afrika lainnya. Ia menulis dalam bahasa Inggris, sedangkan ia mahir berbahasa Somali, Arab dan Itali. Semua ini menyebabkan sementara orang, menjuluki Nuruddin Farah sebagai seorang 'kosmopolit'. Tentu, yang menjadi faktor utama julukan 'kosmopolit' itu, adalah karena pandangan-pandangan yang diajukannya.


Fikiran Farah senantiasa dipenuhi oleh pertanyaan berikut ini:


Apa arti dan makna (negeri) Somali bagi dirinya sendiri. Pertanyaan itu memang bagi orang yang nasibnya mirip Nuruddin Farah, lebih-lebih lagi merupakan pertanyaan yang selalu muncul dan memerlukan jawaban semestinya.


Apa faktor-faktor yang menentukan identitas seseorang. Atau kelompok masyarakat, bangsa dsb. Apakah yang menentukan identitas itu adalah tempat dimana ia dibesarkan. Apakah faktor itu, adalah negeri asal mereka. Ataukah itu kulturnya dimana ia lahir dan dibesarkan? Atau yang menentukan identitas itu adalah paspor yang ada disakunya? Bisakah terjadi bahwa identitas itu terbentuk oleh . . . . sesuatu yang kebetulan?


* * *


Sayang, amat sedikit waktu diberikan penyelenggara diskusi malam 'Winternachten', Jumat, 15 Januari itu, untuk berlangsungnya diskusi yang berarti antara Farah dengan publik. Aku tak sempat samasekali mengajukan pendapat. Waktu keburu habis.


Namun, aku masih sempat melakukan sedikit 'pekerjaan rumahku' – 'my homework', seperti kata orang Inggris. Masih tersimpan goresan sedikit catatan pada buku agendaku mengenai isu yang diajukan oleh Farah sekitar masalah identitas seorang eksil. Demikian catatanku:


Pertama-tama, harus dilihat dulu bagaimana latar belakang (sejarah) dari 'eksil', atau 'pelarian politik' yang bersangkutan sebelum ia menja seorang 'eksil', ketika ia masih di tanah airnya. Kemudian melihat pula bagaimana sikap dan pandangannya setelah ia menjadi seorang 'eksil'.


Intermezo: Istilah 'pelarian politik', sebenarnya tidak tepat. Sebab orang 'eksil' yang bersangkutan tidak mesti adalah orang yang disebabkan masalah politik lalu 'lari' dari negerinya. Bisa saja ia 'dibuang' oleh penguasa ke luarnegeri. Mungkin juga, ia kebetulan sedang ada urusan di luarnegeri. Penguasa menggunakan kesempatan itu menempatkannya di 'daftar hitam'. Kalau ia kembali ke negerinya, pasti dijebloskan di penjara. Atau 'dihilangkan' oleh penguasa, seperti apa yang dilakukan penguasa Orba terhadap Wiji Thukul, penyair dan aktivis demokrasi dan HAM, yang sampai sekarang tak tau dimana rimbanya. Atau, mungkin juga si calon 'eksil' 'didorong' untuk keluarnegeri, seperti halnya sikap penguasa MYANMAR (Birma). Suatu ketika rezim Yanggon (Ranggun), 'mempersilahkan' AUNGSAN SUKYI, pemimpin gerakan demokratis Myanmar yang sudah belasan tahun dikenakan tahanan rumah, untuk pergi ke Norwegia menerima Hadia Nobel. Kemudian menangkalnya pada waktu ia kembali ke Yanggon, Myamar. Dengan demikian menjadikan Aungsan Syuki seorang 'eksil' di Norwegia atau di London. Aungsan Syuki adalah seorang pejuang tangguh dan konsisten, berani dan sabar. Beliau menolak jalan keluar 'eksil' yang ditawarkan oleh penguasa Myanmar.


Mungkin saja proses yang bersangkutan menjadi eksil itu, penyebabnya adalah persekusi penguasa yang otoriter dan anti demokratis. Disebabkan oleh perbedaan pandangan politik, agama atau etnis.

Disebabkan oleh kegiatan perjuangan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM,


Dalam hal seperti itu, maka tidak ada masalah IDENTITAS bagi 'eksil' yang bersangkutan. Karena ia sudah punya identitas sebagai seorang aktivis/pejuang demokrasi dan HAM demi rakyat dan negerinya.


Masalah berintegrasi dengan masyarakat di tempat tinggal yang baru adalah masalah lain berikutnya. Selama sang 'eksil', mempertahankan keyakinan politik dan pandangan hidupnya, selama ia mencintai tanah airnya serta punya kepedulian besar terhadap haridepan bangsa dan tanah airnya, selama itu pula usaha untuk berintegrasi dengan masyarakat tempat tinggal yang baru, bukan merupakan soal besar. Tak peduli di tempat mana seseorang 'eksil' itu berada, selama ia menghormati dan menghargai kultur dan tata-hukum tempat baru yang ditinggalinya, maka tak ada masalah IDENTITAS baginya. Karena ia sudah memiliki identitas dan tetap mempertahankan identitasnya itu. Demikian catatan goresan pada buku agendaku.


* * *


KADER ABDOLLAH

Dalam hal ini bisa diambil contoh unik, Kader Abdollah, seorang 'eksil' dari Iran yang kini sudah berwarganegara Belanda. Ia menyelamatkan diri dari Iran dalam tahun 1985. Sejak 1988, sebagai peminta suaka di Belanda, ia masuk 'azielcentrum Apeldooren'. Kemudian menjadi w.n. Belanda, dengan mempertahankan pendirian dan pandangannya sebagai seorang patriot dan demokrat Iran.



Tapi, Kader Abdollah adalah seorang realis. IA MEMPERTAHANKAN IDENTITAS SEBAGAI PATRIOT IRAN, namun dengan mantap dan berhasil berintegrasi dalam masyrakat Belanda. Dalam hal ini boleh dikatakan Kader Abdollah bisa dijadikan TELADAN. Berintegrasi dan mempertahankan IDENTITASNYA sebagai seorang Iran.


Kader Abdollah adalah seorang penulis, aktivis dan pejuang pada masa berkuasa rezim Syah Iran, dan kemudian rezim Ayatolah Khomini. Ia aktif sejak mahasiswa dan menulis dalam penerbitan ilegal di Iran. Dari namanya, bisa dilihat bahwa Kader Abdollah demi menghormat dua kawan separtainya ( Kader dan Abdollah masing-masing anggota sebuah partai kiri di Iran), yang dieksekusi oleh penguasa.


Sejak menjadi w.n Belanda Kader Abdollah telah bertekad bahwa ia harus terus mempertahankan identitasnya sebagai penulis Iran. Ia tau untuk menjadi penulis yang dibaca dan difahami oleh masyarakat baru dimana ia tinggal, ia harus belajar bahasa dan kultur Belanda. Begitu tekun dan besarnya usaha Kader belajar kultur dan bahasa Belanda, sehingga dalam waktu 8 tahun, Kader Abdollah telah selesai menulis dan menerbitkan novel pertamanya dalam bahasa Belanda, 'De Adelaars'. Begitu terbit novel Kader itu meraih hadiah-debutan 'Het Gouden Ezelsoor'.


Selanjutnya Kader berturu-turut menerbitkan tulisannya, seperti 'Het Huis van de Moskee', yang menjadi bestseller, dll-nya. Kini Kader Abdollah adalah seorang kolumnis tetap di sebuah s.k nasional Belanda, 'de Volkskrant', dengan menggunakan nama MIRZA.


Diantara banyak karya Kader Abdollah, yang terpenting antaranya ialah tulisan Kader Abdollah berjudul 'De Boodschapper' (tentang Nabi Mohammad SWA) dan Kor´an, terjemahan Al Quran. Buku-buku tsb ia tulis, karena ia hendak memberikan informasi dan pengertian kepada masyarakat Belanda, siapa itu nabi umat Islam, Mohammad SWA. Dan apa itu yang disebut Al Quran. Bagaimana pula bunyi ayat-ayatnya.


Memang unik. Kader Abdollah menulis tentang Nabi Mohammad dan Al Quran, tetapi sekaligus menjelaskan bahwa ia sendiri pribadi bukan orang yang religius. Ia hanya ingin agar orang-orang Belanda mengerti siapa itu Mohammad SAW, nabinya umat Islam, dan apa itu Al Quran. Agar jangan asal saja bicara mengenai Islam dan Al Quran, tetapi sesungguhnya tidak tau apa-apa dan tidak mengerti apa yang dibicarakannya itu. Hanya membeo saja apa kata orang lain!


* * *


Agak panjang sedikit cerita tentang Kader Abdollah ini. Bukan dimaksudkan untuk membanding-bandingkannya dengan penulis Somali, Nuruddin Farah.


Tulisan mengenai Kader Abdollah dimaksudkan agar pembaCA mengetahui mengenai seorang 'eksil' lainnya. Yang samasekali tidak mengemban masalah IDENTITASNYA .


(Bersambung)


IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita - 'Imlek', 'Taonbaru Cine'

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Selasa, 27 Januari 2009
-----------------------------

'Imlek', 'Taonbaru Cine', atau

'Tahun Baru Tionghoa!

Suasana di Indonesia kiranya masih diliputi perayaan Tahun Baru Imlek yang meriah. Sahabat karibku di Beijing, menceriterakan melalui e-mail, bagaimana meriahnya rakyat Tiongkok, khususnya penduduk kota Beijing merayakan hari raya Imlek. Ia menyarankan kami, kalau mau, melihat sendiri di siaran TV Beijing.



Murti dan aku beruntung sempat merayakan Imlek di rumah keluarga kawan lama di Amsterdam. Mereka sekeluarga mengundang kami bersama-sama merayakan tahun baru Imlek. Dengan suguhan santapan yang lezat-lezat, termasuk kué ranjang, ba'cang, sekoteng dan buah léngkéng segala! Keesokan harinya di ruma, kami saksikan siaran Garuda TV yang juga mentayangkan acara-acara sekitar Imlek yang dirayakan secara meriah dan besar-besaran di Indonesia, termasuk pertunjukan barongsai dan tari goyang Inul dengan iringan musik dangdut. Pokoknya meriah!



Sejak periode pasca Suharto, hari raya Imlek di Indonesia dirayakan secara nasional. Memang begitulah seyogianya! Sudah waktunya angin Reformasi benar-benar menyapu bersih angin-sakal anti-Tionghoa yang bertiup gemuruh sejak mula berdirinya Orba. Bagaimana memperlakukan hari raya Imlek, sepantasnya tak berbeda dengan sikap kita terhadap Hari Natal, Tahun Baru, dan Idil Fitri. Dengan demikian memberikan makna yang lebih kongkrit pada semboyan BHINNEKA TUNGGAL IKA, pluralisme dan toleransi dalam kemultikulturan Indonesia. Ini dianggap sebagai kelanjutan wajar dari keputusan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid <>



Situasi demikian itu, sungguh menyenagkan, melegakan hati kita. Jug di negeri Belanda sini, koran-koran tidak ketinggalan memberitakan sekitar perayaan Tahun Baru Imlek. Di Den Haag misalnya WalikotaVan Aartsen dan Dubes RRT di Belanda hadir dalam perayaan tsb.



* * *



'IMLEK', 'TAHUN BARU TIONGHOA', 'TAON BARU CINÉ', 'SPRING FESTIVAL', 'CHINESE LUNAR NEW YEAR' ATAU 'CHUN JIE'.



Sahabat-sahabatku orang Tiongkok, yang dalam berkomunikasi berbahasa Inggris, menyebut hari raya Tionghoa itu 'Spring Festival' atau 'Chinese Lunar New Year'. Penterjemah-penterjemah bahasa Indonesia di Beijing yang kukenal, biasa menggunakan kata 'Chun Jie'. Dulu ketika masih anak-anak kuingat, orang-orang Betawi mengenal hari raya Imlek sebagai 'Taon Baru Ciné'.



Dalam tulisanku kali ini satu hal yang ingin dikedepankan. Yaitu mengenai sementara tulisan di pers Indonesia yang dalam suasana Imlek ini. Mereka memperbincangkan masalah 'ETNIS TIONGHOA' di negeri kita. Bagaimana sangkut pautnya dengan masalah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang masih berlangsung terus disana-sini, karena ulahnya sementara pejabat yang bertindak demi mencari keuntungan pribadi. Juga disinggung masalah menggunakan nama apa apa sebaiknya terhadap warga Indonesia yang asal etnis Tionghoa. Apakah menggunakan nama 'Cina' deperti digunakan atas perintah rezim Orba. Atau seperti sebelumnya, yaitu menggunakan nama 'TIONGHOA' untuk etnis Tionghoa. Dan menggunakan nama 'Republik Rakyat Tiongkok' (RRT), bukan 'Republik Rakyat Cina'.


Disinilah aku tertarik pada sebuah tulisan di 'Tarakan Online' , 29 Januari 2009. Judulnya saja sudah menarik : 'Hollands Spreken, Peranakan dan Totok'. Yang dibicarakan artikel tsb antara lain tentang saling hubungan antara tiga kelompok migran Tionghoa di Indnesia. Tentang saling 'prasangka' di kalangan meteka itu.



Kebijakan pemerintah VOC yang diteruskan dan dibakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap kaum migran Tionghoa di Indonesia, menempatkan status soial-ekonomi mereka membawahi penduduk 'pribumi', dengan segala hak-hak istimewa yang mereka peroleh dari pemerintah Hindia Belanda. Tulisan di 'Tarakan Online' itu membagi migran Tionghoa itu dalam tiga kelompok, yaitu: 'Totok', 'Keturunan' dan yang 'Hollands spreken'. Ketiga golongan Tionghoa masing-masing bersikap eksklusif satu sama lainnya. Termasuk di situ pelbagai purbasangka terhadap sesama migran.



Dari situ, saling purbasangka dan ekslusifisme di kalan kelompok migran Tionghoa keseluruhannya semakin keras. Ini di bawa keluar menjadi eksklusif terhadap mayoritas 'pribumi'.Faktor-faktor tsb merupakan ramuan sampai meletusnya peristiwa-peristiwa 'kekerasan anti-Tiomghoa' selama ini. Lebih-lebih lagi sejak beridirinya Orba yang jelas menempuh politik anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa ketika itu . Hal mana sangat merusak hubungan etnis di Indonesia, serta hubungan negara antara Indonesia dan Tiongkok.



Mengenai penggunaan nama, mana yang paling baik dan tepat, 'CINA' atau 'TIONGHOA', artikel di 'Tarakan Online' dengan jenaka tetapi masuk akal memberikan analisis dan jawaban yang baik. Baik ikuti kutipan tulisan itu sbb:



'Dalam bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan Tionghoa adalah yang paling menyenangkan. Tionghoa sudah berarti ’’orang dari ras cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia’’. Kata Tionghoa sudah sangat enak bagi suku cina tanpa terasa ada nada, persepsi, dan stigma mencina-cinakan. Kata Tionghoa sudah sangat pas untuk pengganti sebutan ’’nonpri’’ atau ’’cina’’.

Selanjutnya, tulis artikel itu: . . . 'sejak awal Orde Baru, sejak ada desain dari penguasa waktu itu bahwa penyebutan kata ’’cina’’ bukan lagi untuk identifikasi ras saja, tapi juga untuk ’’menyudutkan’’ ras tersebut. Yakni, untuk ’’mencina-cinakan’’ mereka dalam konotasi yang semuanya jelek . .



'Saya harus mengucapkan terima kasih kepada pemimpin INTI, khususnya Eddy Lembong yang sangat cerdas itu. Entah bagaimana, Eddy Lembong bisa menemukan adanya salah satu ayat dalam ajaran Islam yang kalau diterjemahkan artinya begini: ’’Panggillah seseorang itu dengan panggilan yang mereka sendiri senang mendengarnya’’.

Ini dia. Saya dapat kuncinya. Saya dapat magasin berikut pelurunya. Maka, saya pun menjelaskan bahwa tidak ada orang ’’cina’’ yang tidak suka kalau dipanggil Tionghoa. Sebaliknya, banyak orang Tionghoa yang tidak senang kalau dipanggil ’’cina’’. Dengan logika itu, apa salahnya kita menuruti ayat dalam ajaran Islam tersebut dengan memberikan panggilan yang menyenangkan bagi yang dipanggil?



'Mengapa kita harus memanggil ’’si gendut’’ untuk orang gemuk atau ’’si botak’’ terhadap orang yang tidak berambut, meski kenyataannya demikian?



'Untuk ini, saya harus mengucapkan terima kasih kepada pemimpin INTI, khususnya Eddy Lembong yang sangat cerdas itu. Entah bagaimana, Eddy Lembong bisa menemukan adanya salah satu ayat dalam ajaran Islam yang kalau diterjemahkan artinya begini: ’’Panggillah seseorang itu dengan panggilan yang mereka sendiri senang mendengarnya’’.



I'Ini dia. Saya dapat kuncinya. Saya dapat magasin berikut pelurunya. Maka, saya pun menjelaskan bahwa tidak ada orang ’’cina’’ yang tidak suka kalau dipanggil Tionghoa. Sebaliknya, banyak orang Tionghoa yang tidak senang kalau dipanggil ’’cina’’. Dengan logika itu, apa salahnya kita menuruti ayat dalam ajaran Islam tersebut dengan memberikan panggilan yang menyenangkan bagi yang dipanggil?



'Mengapa kita harus memanggil ’’si gendut’’ untuk orang gemuk atau ’’si botak’’ terhadap orang yang tidak berambut, meski kenyataannya demikian? Atau, kita memanggil dengan ’’si kerbau’’ meski dia memang terbukti bodoh?



'Kini, setelah lebih dari delapan tahun digunakannya istilah Tionghoa, rasanya sudah lebih biasa. Juga lebih diterima.



Demikian artikel yang santai, jenaka tetapi telah menyentuh dengan tepat masalah penggunaan nama untuk etnis Tionghoa. Sesungguhnya menurut catatanku sendiri, bahkan sejak berdirinya rezim Orba yang menginstruksikan penggantian nama Tionghoa dan Tiongkokok, dengan nama 'CINA', satu-satunya s.k pada periode Orba yang konsisten menggunakan nama TIONGKOK dan TIONGHOA adalah s.k. 'Merdeka' .





* * *