Thursday, February 26, 2009

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita - 'WINTERNACHTEN' – (2)

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Selasa, O3 Febuari 2009*
----------------------------

'WINTERNACHTEN' – (2)

Dengan Nuruddin Farah


Cerita ini adalah lanjutan tulisanku berjudul 'Winternachten”-1 , Senin 19 Januari 2009. Masalahnya sekitar ceramah tokoh sastrawan Somali Nuruddin Farah. Kemudian sedikit mengenai penulis Iran, Kader Abdollah, seorang 'eksil', yang mengambil kewarganegaraan Belanda.


Atas pertanyaan yang diajukan dalam percakapan dengan FARAH, di forum 'Winternachten', 15 Januari 2009, mengenai pandangannya tentang keadaan dunia sekarang dan situasi Somali khususnya, Farah menjawab singkat saja:


Waktu bangun pagi, saya melihat dunia cerah, dan saya merasa o p t i m i s . Malam harinya menjelang tidur, ketika kembali merenungkan keadaan dunia sehari itu, saya jadi p e s i m i s . Maka, katakanlah, saya ini seorang: 'PESOPMIS', 'pesimis dan 'optimis' sekaligus'. Menjelang tidur malam saya 'pesimis'. Keesokan harinya, cerah . . . . saya optimis lagi. Demikian Farah.


Masalah migrasi dan eksil, adalah masalah yang senantiasa memenuhi fikiran Nuruddin Farah. Termasuk masalah IDENTITAS orang migran dan orang 'eksil'. Tema ini dibawakannya pada malam tanggal 15 Januari 2009 itu. Mengenai apa dan mengapanya. Disinggungya masalah terbentuknya identitas seseorang manusia. Farah mengajukan pertenyaan tsb pada dirinya sendiri, sebagai orang yang pernah berdomisili di lebih dari setengah lusin negeri Afrika,


Seperti dikatakannya sendiri, Nuruddin Farah adalah seorang 'self-exiled'. Ia berdomisili di Kaapstad, Afrika Selatan. Sebelumnya mengembara ke Sudan, Ghana dan beberapa negeri Afrika lainnya. Ia menulis dalam bahasa Inggris, sedangkan ia mahir berbahasa Somali, Arab dan Itali. Semua ini menyebabkan sementara orang, menjuluki Nuruddin Farah sebagai seorang 'kosmopolit'. Tentu, yang menjadi faktor utama julukan 'kosmopolit' itu, adalah karena pandangan-pandangan yang diajukannya.


Fikiran Farah senantiasa dipenuhi oleh pertanyaan berikut ini:


Apa arti dan makna (negeri) Somali bagi dirinya sendiri. Pertanyaan itu memang bagi orang yang nasibnya mirip Nuruddin Farah, lebih-lebih lagi merupakan pertanyaan yang selalu muncul dan memerlukan jawaban semestinya.


Apa faktor-faktor yang menentukan identitas seseorang. Atau kelompok masyarakat, bangsa dsb. Apakah yang menentukan identitas itu adalah tempat dimana ia dibesarkan. Apakah faktor itu, adalah negeri asal mereka. Ataukah itu kulturnya dimana ia lahir dan dibesarkan? Atau yang menentukan identitas itu adalah paspor yang ada disakunya? Bisakah terjadi bahwa identitas itu terbentuk oleh . . . . sesuatu yang kebetulan?


* * *


Sayang, amat sedikit waktu diberikan penyelenggara diskusi malam 'Winternachten', Jumat, 15 Januari itu, untuk berlangsungnya diskusi yang berarti antara Farah dengan publik. Aku tak sempat samasekali mengajukan pendapat. Waktu keburu habis.


Namun, aku masih sempat melakukan sedikit 'pekerjaan rumahku' – 'my homework', seperti kata orang Inggris. Masih tersimpan goresan sedikit catatan pada buku agendaku mengenai isu yang diajukan oleh Farah sekitar masalah identitas seorang eksil. Demikian catatanku:


Pertama-tama, harus dilihat dulu bagaimana latar belakang (sejarah) dari 'eksil', atau 'pelarian politik' yang bersangkutan sebelum ia menja seorang 'eksil', ketika ia masih di tanah airnya. Kemudian melihat pula bagaimana sikap dan pandangannya setelah ia menjadi seorang 'eksil'.


Intermezo: Istilah 'pelarian politik', sebenarnya tidak tepat. Sebab orang 'eksil' yang bersangkutan tidak mesti adalah orang yang disebabkan masalah politik lalu 'lari' dari negerinya. Bisa saja ia 'dibuang' oleh penguasa ke luarnegeri. Mungkin juga, ia kebetulan sedang ada urusan di luarnegeri. Penguasa menggunakan kesempatan itu menempatkannya di 'daftar hitam'. Kalau ia kembali ke negerinya, pasti dijebloskan di penjara. Atau 'dihilangkan' oleh penguasa, seperti apa yang dilakukan penguasa Orba terhadap Wiji Thukul, penyair dan aktivis demokrasi dan HAM, yang sampai sekarang tak tau dimana rimbanya. Atau, mungkin juga si calon 'eksil' 'didorong' untuk keluarnegeri, seperti halnya sikap penguasa MYANMAR (Birma). Suatu ketika rezim Yanggon (Ranggun), 'mempersilahkan' AUNGSAN SUKYI, pemimpin gerakan demokratis Myanmar yang sudah belasan tahun dikenakan tahanan rumah, untuk pergi ke Norwegia menerima Hadia Nobel. Kemudian menangkalnya pada waktu ia kembali ke Yanggon, Myamar. Dengan demikian menjadikan Aungsan Syuki seorang 'eksil' di Norwegia atau di London. Aungsan Syuki adalah seorang pejuang tangguh dan konsisten, berani dan sabar. Beliau menolak jalan keluar 'eksil' yang ditawarkan oleh penguasa Myanmar.


Mungkin saja proses yang bersangkutan menjadi eksil itu, penyebabnya adalah persekusi penguasa yang otoriter dan anti demokratis. Disebabkan oleh perbedaan pandangan politik, agama atau etnis.

Disebabkan oleh kegiatan perjuangan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM,


Dalam hal seperti itu, maka tidak ada masalah IDENTITAS bagi 'eksil' yang bersangkutan. Karena ia sudah punya identitas sebagai seorang aktivis/pejuang demokrasi dan HAM demi rakyat dan negerinya.


Masalah berintegrasi dengan masyarakat di tempat tinggal yang baru adalah masalah lain berikutnya. Selama sang 'eksil', mempertahankan keyakinan politik dan pandangan hidupnya, selama ia mencintai tanah airnya serta punya kepedulian besar terhadap haridepan bangsa dan tanah airnya, selama itu pula usaha untuk berintegrasi dengan masyarakat tempat tinggal yang baru, bukan merupakan soal besar. Tak peduli di tempat mana seseorang 'eksil' itu berada, selama ia menghormati dan menghargai kultur dan tata-hukum tempat baru yang ditinggalinya, maka tak ada masalah IDENTITAS baginya. Karena ia sudah memiliki identitas dan tetap mempertahankan identitasnya itu. Demikian catatan goresan pada buku agendaku.


* * *


KADER ABDOLLAH

Dalam hal ini bisa diambil contoh unik, Kader Abdollah, seorang 'eksil' dari Iran yang kini sudah berwarganegara Belanda. Ia menyelamatkan diri dari Iran dalam tahun 1985. Sejak 1988, sebagai peminta suaka di Belanda, ia masuk 'azielcentrum Apeldooren'. Kemudian menjadi w.n. Belanda, dengan mempertahankan pendirian dan pandangannya sebagai seorang patriot dan demokrat Iran.



Tapi, Kader Abdollah adalah seorang realis. IA MEMPERTAHANKAN IDENTITAS SEBAGAI PATRIOT IRAN, namun dengan mantap dan berhasil berintegrasi dalam masyrakat Belanda. Dalam hal ini boleh dikatakan Kader Abdollah bisa dijadikan TELADAN. Berintegrasi dan mempertahankan IDENTITASNYA sebagai seorang Iran.


Kader Abdollah adalah seorang penulis, aktivis dan pejuang pada masa berkuasa rezim Syah Iran, dan kemudian rezim Ayatolah Khomini. Ia aktif sejak mahasiswa dan menulis dalam penerbitan ilegal di Iran. Dari namanya, bisa dilihat bahwa Kader Abdollah demi menghormat dua kawan separtainya ( Kader dan Abdollah masing-masing anggota sebuah partai kiri di Iran), yang dieksekusi oleh penguasa.


Sejak menjadi w.n Belanda Kader Abdollah telah bertekad bahwa ia harus terus mempertahankan identitasnya sebagai penulis Iran. Ia tau untuk menjadi penulis yang dibaca dan difahami oleh masyarakat baru dimana ia tinggal, ia harus belajar bahasa dan kultur Belanda. Begitu tekun dan besarnya usaha Kader belajar kultur dan bahasa Belanda, sehingga dalam waktu 8 tahun, Kader Abdollah telah selesai menulis dan menerbitkan novel pertamanya dalam bahasa Belanda, 'De Adelaars'. Begitu terbit novel Kader itu meraih hadiah-debutan 'Het Gouden Ezelsoor'.


Selanjutnya Kader berturu-turut menerbitkan tulisannya, seperti 'Het Huis van de Moskee', yang menjadi bestseller, dll-nya. Kini Kader Abdollah adalah seorang kolumnis tetap di sebuah s.k nasional Belanda, 'de Volkskrant', dengan menggunakan nama MIRZA.


Diantara banyak karya Kader Abdollah, yang terpenting antaranya ialah tulisan Kader Abdollah berjudul 'De Boodschapper' (tentang Nabi Mohammad SWA) dan Kor´an, terjemahan Al Quran. Buku-buku tsb ia tulis, karena ia hendak memberikan informasi dan pengertian kepada masyarakat Belanda, siapa itu nabi umat Islam, Mohammad SWA. Dan apa itu yang disebut Al Quran. Bagaimana pula bunyi ayat-ayatnya.


Memang unik. Kader Abdollah menulis tentang Nabi Mohammad dan Al Quran, tetapi sekaligus menjelaskan bahwa ia sendiri pribadi bukan orang yang religius. Ia hanya ingin agar orang-orang Belanda mengerti siapa itu Mohammad SAW, nabinya umat Islam, dan apa itu Al Quran. Agar jangan asal saja bicara mengenai Islam dan Al Quran, tetapi sesungguhnya tidak tau apa-apa dan tidak mengerti apa yang dibicarakannya itu. Hanya membeo saja apa kata orang lain!


* * *


Agak panjang sedikit cerita tentang Kader Abdollah ini. Bukan dimaksudkan untuk membanding-bandingkannya dengan penulis Somali, Nuruddin Farah.


Tulisan mengenai Kader Abdollah dimaksudkan agar pembaCA mengetahui mengenai seorang 'eksil' lainnya. Yang samasekali tidak mengemban masalah IDENTITASNYA .


(Bersambung)


No comments: