Thursday, February 14, 2013

*DON'T MISS . . . . !! READ THE ARTICLE BELOW !! WATCHING "THE ACT OF KILLING" WITH INDONESIANS

*IBRAHIM ISA**
**Thirsday, February 14, 2012**
**----------------------------*

*DON'T MISS . . . .  !!

READ THE ARTICLE BELOW !!

WATCHING "THE ACT OF KILLING"  WITH INDONESIANS

==============================================*



The Berlinale Blog:

Watching 'The Act of Killing' with Indonesians

*<

  over 200 times in around 90 Indonesian cities>>*


by Ben Knight


"This is the biggest group of Indonesians I've shown the film to since I left Indonesia," said Joshua Oppenheimer on Monday night, at an especially cramped and uncomfortable screening of The Act of Killing in a seminar room of the Asian and African Studies department of the Humboldt University. The students were sitting cross-legged on the floor or craning their necks in from the corridor to see the small image projected from an overhead. This screening -- a 30-minute extended director's cut -- was organized by the NGO Watch Indonesia as a special event on top of the regulation five showings in the Panorama section.

Alex Flor of Watch Indonesia was at an early screening in Jakarta. "It was a lot like this: people in a small room in a locked office," he told me. "There have been documentaries before about the purges, but the approach he took was unique."

In "The Act of Killing," gangsters and death squad leaders behind Indonesia's anti-communist purges of 1965-66 proudly re-enact the executions they carried out, and as the film unfolds, end up somehow tricking themselves into facing their crimes. But it would take Joseph Conrad to describe what happens after that. As Oppenheimer says, it's a film "less about history than about the Indonesia of today", where paramilitary organizations hold proto-fascist rallies that celebrate the gangster as a "free man" and where TV chat shows justify and joke about genocide.

The killers rationalized their crimes by seeing themselves as "killing communists on behalf of the civilizing influence of American culture," says Oppenheimer. That, it turns out, was crucial for the making of the film, since the director was granted a unique trust by his subjects, apparently as a result of a misunderstanding: "They thought because I'm an American filmmaker, I must be making an American film."

Even though Oppenheimer doesn't think that the influence of movie violence somehow made the killings more brutal than they would have been anyway, a lot of the power of the film comes from the grotesqueness of seeing murderers enjoy dressing up as tacky movie gangsters. Plus, "They imbibed the heroic connotations of words like 'kill' and 'terminate'," he adds, before making his own link to the US: "It was strange making this film while my own country was celebrating torture."

Though Joshua loves and misses Indonesia, the Indonesians in the room were sure of one thing, which they expressed when one young German asked: "Can you go back?"

"I don't know. What do you guys think? Show of hands. Who thinks I'll be able to go back safely?"

No one raises their hand.

"Fuck? That bad, huh?" says Joshua. Everyone laughs.

"There's no way he can go back," the Indonesian student J. told me after the screening. "He tricked them into taking the mask off."

But that can only be partially true, since one of the former executioners in the film, Anwar Kongo -- who has been made an "overnight celebrity" in Indonesia by the film -- "stands behind it" Oppenheimer tells us. "He thinks it's a beautiful film. We're in still contact." That is just one of several paradoxes the film offers.

Kongo's celebrity status was achieved in spite of the fact that The Act of Killing has not been, and maybe will never be, shown in Indonesian cinemas. And yet, according to Flor, everyone in Indonesia knows about the film, and it has been shown unofficially over 200 times in around 90 Indonesian cities.

"But it's only one pixel in the whole picture," says J. "It's one story. And we as Indonesians cannot make a film like this. Not even if we live abroad."

*MEMOAR IBU UTAMI SURYADARMA * *(02 Februari 1917 – 16 Januari 1996): *

*Kolom IBRAHIM ISA*

*Rabu, 13 Februari 2013*

*------------------------------*



*MEMOAR IBU UTAMI SURYADARMA *

*(02 Februari 1917 – 16 Januari 1996): *

“*SAYA, SOERIADI & TANAH AIR”*



** * **


Suatu hari aku mendengar dari sahabatku Nursyabani Katjasungkana, bahwa ia memiliki buku (biografi atau memoar) Utami Suryadarma. Aku ingin sekali membaca buku itu. Belum bisa memilikinya, maka aku pinjam saja dulu. Kapan-kapan ada kesempatan pasti akan kubeli. Maka aku berterima kasih kepada Mbak Nur yang bersedia meminjamkan bukunya padaku, dan terimakasih kepada Mbak Saskia Wieringa, yang berkenan membawa buku tsb kekantornya di Universitas Amsterdam, sehingga aku bisa datang mengambilnya.


Kami. Murti dan aku berrencana membacanya bersama setiap malam. Membacanya sambil berkomentar diantara kami saja. Mengenangkan masa lampau. Ketika masih di Jakarta, dan sering bertemu dengan Ibu Utami.


Kami merasa beruntung bahwa di masa lampau memgenal pribadi beliau. Kami sama-sama di Gerakan Perdamaian Indonesia. Lebih-lebih lagi dalam kegiatan bersama OISRAA, Organisasi Indonesia Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika. Beliau adalah Ketua Umum OISRAA.


Ketua-ketua lainnya adalah KH Anwar Tjokroaminoto (PSII); Buya KH Sirajuddin Abbas (Partai Islam PERTI) dan Moh, Mansur (PNI). Ibrahim Isa – Sekretaris Jendralnya. Antara Ketua Umum dan Sekretaris Jendral sering sekali berkonsultasi dan kami sering rapat di rumah beliau di Jalan Mendut, Jakarta.


* * *


*Ibu Utami selalu memancarkan sinar antusiasme, optimisme dan progresivisme.* Kapanpun kita berrapat dan peroblim berat bagaimanapun yang harus ditanggulangi; dalam rapat-rapat itu Ibu Utami selalu membimbing kami ke suatu pemecahan yang realis dan relevan!


Yang tak terlupakan yang pernah disampaikannya ialah kekecewaan beliau ketika Bung Karno kawin lagi dengan Hartini. Bung Karno adalah pemimpin bangsa dan negara yang beliau hormati dan patuhi. Tapi kali itu beliau betul-betul kecewa terrhadap Bung Karno. Menyayangkannya! Namun perasaan berang beliau itu tidak mengubah sikap dan pernghormatannya pada pemimpin besar bangsa Bung Karno.


Ketika Jendral Suharto memulai kampanye perpsekusi dan pemunsahan terhadap

P KI, semua kekuatan progresif dan pendukung-pendukung politik Presiden Sukarno, pada tahun 1965, – – – Aku menerima sepucuk surat Ibu Utami yang dibawa seorang kawan ke Havana. Dalam surat itu Ibu Utami menyampaikan situasi gawat tanah air. Namun, dalam keadaan yang tidak menentu itu, Ibu Utami sempat menyatakan kegembiraannya bahwa Presiden Sukarno secara resmi memutuskan gedung di Jalan Raden Saleh No 52, yang selama itu digunakan sebagai kantor Komite Perdamaian Indonesia, resmi menjadi gedung Sekretariat Komperda dan KONFERENSI INTERNASIONAL ANTI PANGKALAN-PANGKALAN MILITER ASING (KIAPPMAA).


Tapi, sayang, tidak lama gedung Raden Salen 52 tsb bisa dimanfaatkan untuk kegiatan gerakan Perdamaian. Karena teror terhadap gerakan Kiri di Indonesia semakin menjadi-jadi dan Gedung Jalan Raden Saleh 52 itu dirampas dan diduduki oleh militer. Para aktivis Komperda dijebloskan dalam penjara atau hilang tak diketahui dimana rimbanya, akibat persekusi sekitar Peristiwa 1965.


Ketika itu baru saja usai diadakan Konferensi Internasional Anti Pangkalan-Pangkalan Militer Asing (KIAPPMA) di Jakarta (Akhir Oktober 1965), dimana Presiden Sukarno menyampaikan pidato sambutannya. (Dalam bahasa Inggris, pidato ini dimuat dalam buku REVOLUSI YANG BELUM SELESAI (Pidato-Pidato Presiden Sukarno sekitar Oktober 1965).


* * *


Satu episode lainnya lagi yang tak terlupakan ialah ketika aku bertemu dengan Ibu Utami Suryadarma sekitar kegiatan KIAPPMA di Jakarta pada akhir 1965, setelah terjadinya KUP MERANGKAK Jendral Suharto.


Dalam pertemuan itu banyak kutanyakan sekitar G30S dan bagaimana Presiden Sukarno akan menghadapi move-move Jendral Suharto yang jelas mulai setapak-demi-setapak menggeser Presiden Sukarno.


Ibu Utami menjelaskan bahwa dari tiga angktan bersenjata RI yang tetap setia pada Bung Karno , sementara divisi TNI, dari Korps MARINIR ALRI, dan dari Angkatan Udara RI, tegas *MENYATAKAN KEPADA PRESIDEN SUKARNO, bahwa mereka akan BERTINDAK MENUMPAS Jendral Suharto dan kekuatan militernya, begitu diperintahkan oleh Presiden Sukarno.*


Tetapi, . . . . sayang, atas pertimbangan mencegah pertumpahan darah pada bangsa ini, Presiden menolak untuk melakukan tindakan militer terhadap Jendral Suharto dan kekuatan militer yang memihak padanya.


Usaha mencegah pertumban darah akibat konfrontasi dengan Jendral Suharto, --- tidak ingin terjadinya “perang saudara” yang akan makan korban besar. . . . akhirnya malah telah terjadi KORBAN YANG LEBIH BESAR LAGI. Disebabkan oleh persekusi besar-besaran Jendral Suharto dan para pendukungnya terhadap PKI, dituduh PKI atau simpatisan PKI, dan kekuatan politik dan massa yang mendukung Presidebn Sukarno.


* * *


Buku Ibu Utami Suryadarma berjudul : “SAYA, SOERIADI & Tanah Air”, adalah sebuah Memoar yang mengisahkan tekad besar, semangat dan jiwa patriotisme KEBANGSAAN INDONESIA, serta kegiatan dan perjuangan untuk emansipasi kaum wanita Indonesia, perjuangan untuk kemerdekaan bangsa dan tanah air.


*Pengharagaan masyarakat dan dunia ilmu Indonesia pada Utami Suryadarma, tercermin dalam pengukuhan beliau sebagai REKTOR UNIVERSITAS RESPUBLICA.*


* * *


*Saparinah Sadli*, Pemerhati Kesetaraan dan Keadilan Gender Indonesia, Pendiri Program Studi Kajian Gender dan Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, a.l menyatakan dalam sambutannya pada buku Utami Suryadarma: --


Bahwa buku itu merupakan sumbangan penting memahami peran sejumlah perempuan Indonesia, khususnya di masa awal kemerdekaan Indonesia. Memoar Utami Suryadarma membantu mamahami peranan perempuan Indonesia dalam sejarah kemerdekaan bangsanya.


Saparinah Sadli, menekankan a.l bahwa, Buku Utami Suryadarma perlu dibaca tidak hanya oleh generasi muda, teapi juga guru sejarah dan para penulis buku sejarah. Semua kita yang pedui sejarah kemerdekaan bangsa dan para pelakunya;l


* * *


Di bawah ini silakan baca tulisan*CHAPPY HAKIM*, dan*OLIVE BENDON* dalam Kompasiana.Com. a.l sbb:


Chappy Hakim:

Siang tadi, Jakarta 3 Juni 2012, ---

Saya menghadiri acara peluncuran buku yang berjudul Saya, Soeriadi & Tanah Air. Buku ini adalah merupakan catatan Kehidupan Istri Bapak Angkatan Udara Republik Indonesia Soeriadi Suryadarma. Saya sendiri sebenarnya diundang oleh saudara Imelda Bachtiar, sang Penyunting Buku. Imelda, seorang jurnalis yang juga lulusan (dengan predikat Cum Laude) Program Studi Kajian Gender(Wanita) Program Pascasarjana UI, sudah menghubungi saya beberapa waktu yang lalu untuk menyediakan waktu hadir dalam peluncuran buku tersebut. Jadi saya memang sudah menyiapkan diri untuk meluangkan waktu di hari minggu, hari khusus “sang cucu”, berganti jadwal “peluncuran buku”.

Ada banyak alasan tentu saja , bagi saya menyediakan waktu untuk hadir, antara lain pasti, karena Soeriadi Suryadarma adalah Bapak AURI, disamping ada pula beberapa alasan lain yang memperkuatnya.

Ternyata Panitia peluncuran buku adalah, Yayasan Bung Karno beserta Keluarga Soeriadi Suryadarma. Itu sebabnya, memang hadir sang Ketua Yayasan, Guruh Soekarno dan juga Sukmawati. Peluncuran buku dilaksanakan di Jalan Sriwijaya 26 Kebayoran Baru, rumah kediaman Ibu Negara Almarhumah Fatmawati Soekarno yang kini ditempati oleh Guruh. Cukup banyak yang hadir, terlihat antara lain Ibu Saparinah Sadli, Ibu Roesmin Nuryadin, Ibu Mien Soedarpo, Ibu Herawati BM Diah, Sejarahwan Asvi Marwan Adam, Nia Dinata dan tentu saja keluarga besar Bapak Suryadarma.

Acara berlangsung sederhana, namun terasa “hangat” dengan komentar-komentar kerabat yang memberikan testimoni nya dari sudut pandang dan pengalaman masing-masing. Saya sendiri belum membaca bukunya, akan tetapi dari komentar yang terlontar dari para pembicara, dapat dipastikan buku ini “sangat-menarik”. Nia Dinata, Sutradara dan Produser Film kenamaan, bahkan mengatakan bahwa membaca buku ini serasa “menonton film” perjalanan hidup seorang Utami Suryadarma yang ternyata telah memulai perjuangan kesamaan gender, jauh sebelum negeri ini merdeka. Nia sangat menganjurkan generasi muda terutama wanita untuk membaca buku ini. Namun Nia belum mengutarakan niatnya apakah tertarik untuk membuat film berbasis isi buku ini.

Sekedar untuk mendapatkan gambaran dari isi buku saya kutipkan isi dari sampul depan dalam yang berbunyi sebagai berikut :



/“*Saat itu saya sudah memimpikan pada suatu hari melihat bendera kita berkibar megah di angkasa bebas. Saya sudah mulai merasa muak melihat bangsa kulit putih menggurui kita. Mereka selalu menganggap diri sebagai malaikat yang layaknya membawahi kita. Mereka selalu memandang dan menilai kita dari posisi atas, sedangkan kita berada di posisi di bawahnya…….. Ayah selalu menggelengkan kepala kalau mendengar ucapan seperti itu dari mulut putrinya. Ia menganggap itu hanya sebagai letupan idealisme*//seorang remaja yang belum mengenal kenyataan hidup…….” Utami Suryadarma, 1979./



Tidakkah itu semua merupakan daya tarik luar biasa untuk kemudian membaca seluruh isi buku tersebut?

Jakarta 3 Juni 2012



* * *

*Olive Bendon: *

*Saya, Soeriadi & Tana Air,” Sebuah Memoar Istri KSAU Pertama*

inSh 16 Juli 2012

/Mimpi saya, menemukan seseorang yang memiliki cita-cita yang sama. Saya bermimpi kelak menjadi istri pemimpin rakyat. Tetapi ini tidak berarti saya meninggalkan cita-cita untuk bersekolah tinggi dan meraih sesuatu profesi/. - [Utami Ramelan Suryadarma]

/*Pagi hari itu, 19 Desember 1948, saya merasa was-was dan tegang. Suamiku berkemas-kemas membawa tas kecil berisi pakaian. Ia harus pergi ke Istana Kepresidenan demikian ujarnya. Tetapi ia mau pergi terlebih dahulu ke Markas Besar untuk mempersiapkan dibumihanguskannya Markas Besar. Dengan berat hati saya melepaskan suamiku pergi, dengan bertanya dalam hati,”Akan ketemukah kita lagi?” …. Saya menguatkan hati, dan mengatakan dengan penuh kesungguhan dan keyakinan pada Soeriadi,”Jangan bimbang dan kuatir pada nasib keluargamu. Kita harus kokoh dalam pendirian kita!” Maka, selanjutnya ketika dia dibawa pergi oleh tentara-tentara Belanda, saya bersama kedua anakku mengejar dia, dan dengan keras menyerukan,”Merdeka!” Kemudian saya jatuh ambruk. Perpisahan ini diabadikan oleh wartawan-wartawan Belanda dan kemudian dimuat di surat kabar mereka.(Utami Suryadarma)*/


Utami Suryadarma berusaha tetap tegar di hadapan suami dan kedua anaknya saat mengucap salam perpisahan kepada belahan jiwanya, ayah dari anak-anaknya sebelum dibawa pergi oleh musuh. Soeriadi diasingkan ke Manumbing, Bangka bersama Mohammad Hatta, Mr. Asaat dan Mr. Gafar Pringgodigdo, Jika diperhadapkan pada keadaan di atas, sanggupkah kita berada pada posisinya?

Bagaimana rasanya menunggu kabar yang tidak menentu setelah sekian lama berpisah dari kekasih hati karena dipaksa oleh keadaan negara dalam suasana revolusi? Masa dimana komunikasi masih sangat susah, hanya dengan mengandalkan surat tanpa layanan kilat.

Pengantin baru Soeriadi & Utami Suryadarma (sumber gambar : Saya, Soeriadi & Tanah Air)

Keluarga Soeriadi Suryadarma (sumber gambar : Saya, Soeriadi & Tanah Air)

/Tiga bulan telah berlalu dengan tidak ada kabar dari Soeriadi suamiku. Masih hidupkah ia? Sudah tewaskah ia? Memang bagi orang muda, maut belum mempunyai arti yang konkret. Manusia muda hanya mengakui hidup, mengingkari maut. Tetapi tiap malam bantalku basah oleh air mata. Seorang laki-laki naik sepeda, lewat dengan perlahan-lahan. Rumah kita sempat diamat-amatinya. Kemudian ia kembali dan masuk ke halaman rumah. Dengan acuh tak acuh saya melihat dia menghampiri paviliun tempat saya duduk. Orangnya berpakaian kumal, ia berkumis dan berpeci. Ia seyum kepadaku. Seketika itu membelalaklah mataku. Saya kenal wajah itu! Raut mukanya lonjong, matanya yang tajam, hidungnya yang mancung agak bengkok! Saya berteriak,”Soeriadi suamiku!” Ia lemparkan sepedanya ke tanah dan lari ke arahku. Saya lari kepadanya. /


*Saya, Soeriadi & Tanah Air*, sebuah memoar Utami Suryadarma yang ditulis dengan tulisan tangan pada 1979 - 1980. Catatan harian seorang istri mendampingi suaminya selama 37 tahun, merintis Angkatan Udara RI (AURI) hingga menjadi Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU); yang ditemukan diantara tumpukan barang peninggalan ibu Utami oleh seorang menantunya.

Raden Roro Oetami Ramelan yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai Utami Suryadarma, anak Kepala Polisi Daerah Solo (/Chef van de Solosches Rescherce/) dipersunting Soeriadi Suryadarma seorang perwira KNIL lulusan dari /Akademi Militer Kerajaan Belanda/Koninklijke Militaire Academie (KMA)/, /Breda/; 3 Juni 1938. Setelah menikah, mereka tinggal di Jakarta lalu berpindah mengikuti perpindahakan tugas Soeriadi ke Kalijati, Bandung, Solo, Yogyakarta hingga menghabiskan usia senja di Jakarta.


Sebagai wujud tanggung jawab seorang komandan militer dan kepatuhan pada kode kehormatan, pada awal 1960 Soeriadi menghadap Soekarno untuk meletakkan jabatannya sebagai KSAU karena insiden penembakan istana yang dilakukan oleh seorang perwira penerbang, Letnan II Daniel Maukar. Pengunduran diri tersebut ditolak oleh Bung Karno, namun pada 16 Januari 1962 karena dianggap AURI tidak becus membantu dalam pertempuran di Laut Aru yang menyebabkan gugurnya Komodor Yos Sudarso; Soeriadi Suyadarma dicopot oleh Soekarno dari jabatan KSAU. Nama Soeriadi Suryadarma “Sang Gatot Kaca AURI” perlahan surut, tenggelam dan dilupakan dari catatan sejarah setelah 16 tahun berkarir gemilang merintis dan mengembangkan AURI.

/Sepanjang hidupnya, pangkat dan kedudukan tidak pernah amat berarti baginya. Satu-satunya yang sangat berarti adalah hidup dan bekerja dalam lingkungan yang dicintainya: Angkatan Udara/.


Soeriadi Suryadarma adalah pribumi pertama yang menembus KMA, Breda dan Militaire Luchtvaar (ML), Kalijati sekolah penerbang yang diperuntukkan bagi tentara Belanda. ML dirintis Belanda pada 30 Mei 1914 di Landasan Udara Kalijati, Subang, Jawa Barat. Sebagai wujud penghargaan atas jasanya, pangkalan udara Kalijati kemudian diabadikan menjadi Landasan Udara Suryadarma, Subang pada 7 September 2001 *miris*. Selain itu, namanya juga dijadikan nama sebuah perguruan tinggi TNI AU Universitas Suryadarma, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.


Sebelum menikah dengan Soeriadi, Utami Ramelan aktif berorganisasi dan menerbitkan sebuah majalah berbahasa Belanda “PAHESAN” bersama kawan-kawannya. Setelah menjadi istri perwira KNIL hingga istri KSAU, Utami mendampingi sang suami dalam merintis berdirinya AURI dan aktif dalam kepengurusan Kowani (Kongres Wanita Indonesia). Sepeninggal Soeriadi, Utami tetap aktif melakukan berbagai kegiatan termasuk menjadi Rektor Universitas Respublika yang diserbu oleh KAMI/KAPPI pada 1966. Universitas Respublika sekarang dikenal dengan nama Universitas Trisakti, Jakarta. Utami adalah wanita tegar, perkasa, kuat dan hormat pada suaminya, pada masa pendudukan Jepang dia menyetir sendiri mobilnya dari Kalijati berkendara bersama putrinya yang kala itu baru berusia 3 tahun dan seorang pembantu perempuan menembus Alas Roban mengungsi ke Solo. Untuk pengalaman ini Utami berpendapat, /rupanya pada keadaan sangat kritis dalam kehidupan manusia, manusia diberikan kekuatan gaib untuk menjalankan kewajibannya, sehingga ia tak perlu takut atau ragu-ragu/.


Pada awal berdirinya Museum Perangko Nasional, Utami menyerahkan koleksi perangko dan sampul peringatan sejarah revolusi kemerdekaan milik Soeriadi kepada Menteri Perhubungan masa itu sebagai pusaka sejarah. Sayang, nama Soeriadi tak tercatat sebagai kolektornya meski ada asa dari sang istri nama Soeriadi akan disebut.


Namun ibu Utami pada akhirnya memilih diam dan menerimanya dengan lapang dada karena mendapat imbalan uang sebagai penyambung hidup karena uang pensiun almarhum suaminya waktu itu hanya sebesar Rp 54,000/bulan tak cukup untuk menyambung kehidupannya bersama keluarga.


Memoar Utami Suryadarma*,* *Saya, Soeriadi & Tanah Air*; diluncurkan di kediaman almarhumah ibu Fatmawati Soekarno pada 3 Juni 2012, atas prakarsa para cucu sebagai persembahan untuk Eyang Putri mereka Utami Suryadarma bekerjasama dengan Yayasan Bung Karno. Utami meninggal pada 16 Januari 1996 dan dimakamkan berdampingan dengan Soeriadi Suryadarma yang meninggal pada 16 Agustus 1976 di Karet Bivak, Jakarta Pusat.


* * *

Catatan:

*Judul buku : **“Saya, Soeriadi dan Tanah Air” --**Penulis: **Utami Suryadarma**--**Paperback, Cet-1, 2012, 287 hal.Harga: Rp 65 rb --Yang berminat silahkan berhubungan dengan: Email: tokolapanganmerah@gmail.com HP: 081298934177 FB: Toko Lapangan Merah *

** * * * *

**JAGAL-JAGAL "PEMBANTAIAN MASAL 1965" SEMAKIN TERUNGKAP*

*IBRAHIM ISA**
**Minggu, 10 Februari 2013**

**------------------------** 
 

 **DIALOG MINGGU PAGI DI HARI TAHUN BARU IMLEK**

**JAGAL-JAGAL  "PEMBANTAIAN MASAL 1965" SEMAKIN TERUNGKAP*


*    *    *



MiRa Kusuma:

Tengkiu Yanti di tag... jempol di putar di Berlin Filem Festival.. sementara ini yg di Londo pernah dikabarkan akan diputar di KBRI-Den Haag..ehm.. mudah2an *filem The Act of Killing - by Joshua Oppenheimer ini dalam waktu dekat diadakan pula di Rotterdam filem festival..*
14 hours ago · Like

*   *    *

Yanti My mb MiRa Kusuma:

kayaknya bakalan di sleuruh dunia deh... Semoga film-film lainnya berlatar belakang kejadian '65 juga semua go internasional ... Ajarin dunia sejarah!
2 hours ago · Like

*    *    *

Ibrahim Isa
*
**PERKEMBANGAN PERHATIAN DAN KESADARAN MASYARAKAT NASIONAL MAUPUN MANCANEGARA TERHADAP MASALAH PELANGGARAN HAM BERAT SEKITAR PERISTIWA 65 DI INDONESIA . .. MENINGKAT TERUS. . . . . *

----- MASALAH 1965 BERANGSUR-ANGSUR AKAN SEMAKIN TERUNGKAP. . . - - - PARA PELAKU AKAN SEMAKIN TEREKSPOS . . .

DAN . . .. MEREKA-MEREKA -- PARA JAGAL DAN PENDUKUGNYA SUDAH MERASAKAN BARA API SEMAKIN MARAK DI BAWAH HIDUNG MEREKA . . .

*    *    *

*- - - - SAYANG DALAM SITUASI BEGINI . . .**
**
** KOMNASHAM REPOT DENGAN DIRINYA SENDIRI . . . **
**ATAU MEMANG ADA YANG SIBUK MEMANDULKAN KOMNASHAM . . . **
**MEMBIKIN KOMNASHAM JADI "IMPOTEN". . . **
**TAK TERTOLONG LAGI . . . .*

HANYA JADI PAJANGAN  PENGUASA
SEMENTARA KAS NEGERI TERUS KELUARKAN ONGKOS
DALAM SUATU AKSI MEMBOHONGI  RAKYAT . .

SALAM HANGAT UNTUK YANTI MY . . .
ISA ...

INTERESTING ARTICLE TO READ:

IBRAHIM ISA
09 Febr. 2013
------------------


INTERESTING ARTICLE TO READ:

--------------------------------------------------


Forwarded by: SUNNY, Sweden. --

The Act of Killing: Berlin screens film about Indonesia’s purges

By Rob O'Brien Feb 08, 2013 11:03AM UTC
View Comments

A documentary about the brutal Communist purges in Indonesia under dictator Suharto will premiere in Berlin this weekend before it heads towards Asia in March.

Since it premiered at the Toronto Film Festival last year ‘The Act of Killing’ has inspired debate on social media around the impact of the 1965 mass killings, while raising questions about the governance of modern Indonesia.

Film festival accolades were led by luminaries such as renowned documentary film-maker, Werner Herzog, who said he’d not seen a more powerful, surreal and frightening film in the last decade and called it “unprecedented in the history of cinema”.

A scene from The Act of Killing movie.

After the military coup that brought him to power, Suharto set about wiping out Communist Party supporters through his loyal army and affiliated paramilitaries.

The film follows a group of former ‘gangsters’ who were members of Suharto’s paramilitary ‘death squads’. Between them, they helped the army kill more than a million Communists, ethnic Chinese and intellectuals in less than a year following the military coup of 1965.

Shot over the course of seven years, ‘The Act of Killing’ hones in on two ringleaders, Anwar Congo and Adi Zulkadry, who went from selling black market movie theatre tickets to interrogating and murdering hundreds of innocent people.

Director Joshua Oppenheimer recruited the men, all fans of genre movies, to star in their own production about their crimes: they wrote their own scripts, and played the roles of themselves and their victims.

In one scene Anwar dances on a rooftop where he killed dozens of innocent people using razor wire. His friend, Adi, chuckles in disbelief as he describes a killing spree where he stabbed ‘dozens’ of Chinese people in one street before attacking the father-in-law of his Chinese girlfriend.

As each of the perpetrators relive their gruesome past – through their film – the consequences become severe.

The film also parades some uncomfortable realities about modern governance in Indonesia – everyday corruption, vote rigging – ministers, paramilitaries and governors all have jaw-dropping walk-on parts, shaking hands with the former death squad members and lauding their work as a national duty.

“Those who took part in the killings were widely seen as having done Indonesia a service, however repulsive they might be as individuals,” says Australian National University’s Professor Robert Cribb, an expert in the Communist purges in Indonesia.

He says that some kind of legal reckoning or reconciliation process – which the film touches on – would be near impossible to enact.

“Basically the killers were part of something bigger and that something bigger had two (or more) sides. I’m not sure that a legal reckoning now would be anything more than another kind of victor’s justice,” he says.

“Every possible action – including inaction – has pretty serious moral complications, and I really don’t see a simple solution in Indonesia’s case.”

2012 was a vintage year for documentaries with standouts such as ‘The Imposter’ and ‘Searching for Sugarman’, both shortlisted for this month’s Oscars.

The Act of Killing will be eligible for next year’s Oscars and after its European premiere this weekend it will be making its way back to Asia with strong support from Indonesians, who have been waiting for the truth to come out.

The Communist purges have never been publicly discussed in Indonesia. School children don’t learn about the events of 1965, textbooks depict the killings as the work of patriots that resulted in less than 80,000 deaths.

Currently all films for public distribution in Indonesia are vetted by the national censorship board, but fans of ‘The Act of Killing’ have been behind its word-of-mouth success.

Audiences have attended invite-only screenings at small venues around the country; they also rallied when its website mysteriously went down earlier in the year.

Screenings of the documentary have been lined up in Singapore and the Hong Kong International Film Festival in March. It will also feature at the annual Sydney Film Festival in June.
Like ·

SIAPA RATNA SARUMPAET ?

*IBRAHIM ISA
Kemis, 07 Februari 2013*
--------------------------------



SIAPA RATNA SARUMPAET ?





 Kemarin aku menulis Kolom, dimana tertera nama*RATNA SARUMPAET,* yang diambil dari DAFTAR AKTIVIS I Perempuan Indonesia, menurut Wikipedia.

Lalu ada yang mengajukan pertanyaan SIAPA RATNA SARUMPAET??

Memenuhi permintaan pembaca unuk mengenal siapa RATNA SARUMPAET, hari ini dimuat Kolom Ibrahim Isa, tertanggal 13 Februari 2011, sbb: ---

***

**IBRAHIM ISA -- Berbagi Cerita **
**Minggu, 13 Februari 2011**
**--------------------------------------------**


**RATNA  SARUMPAET & Karya Terbarunya:**
**"MALUKU KOBARAN CINTAKU"**

*
Di depanku ini terpapar karya sastra terbaru RATNA SARUMPAET (Lahir 16 Juli, 1949, di Tarutung, Tapanuli Utara), sebuah novel baru berjudul "MALUKU KOBARAN CINTAKU". Diterangkan bahwa buku tsb diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit PT Komodo Books dalam tahun 2010.

"Dunia sebenarnya cenderung damai, tapi ada saja yang ingin mencoba mencari keuntungan dengan menciptakan konflik, dengan memanfaatkan kemiskinan dan keterbelakangan.", kata Thamrin Ely Y, mantan kepala posko MUI Maluku dan Ketua Delegasi Muslim di Penjanjian Malino. Lewat novel ini, kata Thamrin, Ratna Sarumpaet membuat pembaca bisa memahami ulah provokator dalam setiap konflik.

Budayawan Sofyan Daud, yg pada periode konflik di Maluku Utara (Ternate dan Tidore) terlibat dalam kegiatan rehabilitasi di Maluku Utara, menyatakan kesan a.l sbb: "Konflik Sara di Maluku merupakakan episode paling muram dalam sejarah kemanusiaan Indonesia dekade ini. Ia telah menggerus kerukunan antarsuku dan agama yang berabad dibangun lewat pela pandang.
Lewat novel ini, Ratna Sarumpaet, menyuarakan kembali kearifan humanitas  pela pandang.

Awalnya 'pela pandang' disebut Pela dan Gandong. Dalam sistim kekuasaan tradisionil Ambon dan Maluku Tengah, yang terdiri dari beberapa kerajaan kecil, raja-rajanya banyak saling berkait dalam sistim budaya persaudaraan (brotherhood), yang disebut Pela dan Gandong. Suatu persaudaraan atas sumpah setia. Dan 'persaudaraan' ini terjadi di kalangan kerajaan Islam. Juga antara kerajaan Islam dan Kristen. Gandong adalah ikatan paling kuat yang ada secara alamiah, sejak satu atau lebih kerajaan berasal dari satu turunan. Dalam kebanyakan hal Gandong ada antara kaum Muslimin dan kaum Kristen.

*    *    *

Beruntung dapat kubeli buku itu, pada pertemuan dengan Ratna Sarumpaet, penulisnya, pada hari Jum'at y.l  yang diselenggarakan oleh KITLV, Leiden. Suatu pertemuan yang mengesankan!

Sudah lama kudengar dan baca nama RATNA SARUMPAET. Baru hari Jum'at itulah bisa bertemu langsung dan mendengarkan uraiannya di muka sejumlah hadirin yang diundang oleh KITLV. Termasuk Francisca Pattipilohy, yang asal Maluku itu, dan Aminah, ketua DIAN,  sebuah grup wanita Indonesia di Belanda.

Isi uraian Ratna Sarumpaet ialah mengenai Maluku. Tapi selalu dikaitkannya dengan situasi dan haridepan Indonesia sebagai nasion muda yang dewasa ini menghadapi begitu banyak masalah. Ratna Satumpaet menekankan berulangkali bahwa ummat Kristen dan Islam di masa lampau hidup bersama dengan damai, harmonis dan aman. Konflik Maluku  lebih 10 tahun yang lalu, meskipun belum tuntas, tetapi pada pokoknya  KINI SUDAH SELESAI. Satu antara lain berkat pertemuan PERJANJIAN MALUKU Di MALINO.

Baik juga disimak sedikit bagian penting isi dari "Perjanjian Maluku di Malino", a.l.
"Konflik Maluku yang sudah lebih tiga tahun ini telah menyebabkan korban ribuan jiwa dan harta, kesengsaraan dan kesulitan masyarakat, membahayakan keutuhan NKRI serta menyuramkan masa depan rakyat Maluku. Karena itu, dengan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, kami umat Islam dan Kristen Maluku, dengan jiwa terbuka dan hati yang tulus, serta niat untuk hidup dengan kebinekaan dalam persatuan bangsa, bersama pemerintah Republik Indonesia, sepakat mengikat diri dalam perjanjian:

1. Mengakhiri semua bentuk konflik dan kekerasan.
2. Menegakkan supremasi hukum secara adil, tegas, dan jujur, tidak memihak, dengan dukungan seluruh seluruh masyarakat. Karena itu, aparat penegak hukum harus bersikap profesional dalam menjalankan tugas.
3. Menolak, menentang, dan menindak segala bentuk gerakan separatisme yang mengancam keutuhan dan kedaulatan NKRI, antara lain RMS.
4. Sebagai bagian dari NKRI maka rakyat Maluku berhak untuk berada, bekerja, dan berusaha di seluruh wilayah Republik Indonesia, begitu pula sebaliknya, rakyat Republik Indonesia dapat berada, bekerja, dan berusaha di wilayah propinsi Maluku secara sah dan adil dengan memerhatikan dan mentaati budaya setempat.

Khusus ditekankan di  "Perjanjian Malino" ( fasal 10) perlunya "Untuk menjaga hubungan dan harmonisasi antar seluruh masyarakat pemeluk agama di Maluku, maka segala upaya dan usaha dakwah dan penyiaran agama harus tetap menjunjung tinggi kemajemukan dengan mengindahkan budaya setempat."
*    *    *
Dalam uraiannya itu Ratna Sarumpaet, atas pertanyaan, menandaskan bahwa konlfik Maluku, hakikatnya bukan konflik agama, tetapi rekayasa  di kalangan yang punya kuasa, demi kekuasaan.
Ketika menjelaskan tentang karya sastranya terbaru MALUKU KOBARAN CINTAKU, berulangkali  Ratna menandaskan bahwa apa yang diceriterakan tentang aparat dan apa yang mereka lakukan di Maluku, terutama sekitar 'konflik Maluku'  adalah benar adanya. Bukan fiksi!

*    *    *

Seyogianya sudah banyak yang tahu atau kenal siapa RATNA SARUMPAET, penulis dan aktivitis kemanusiaan dan demokrasi Indonesia, yang tergolong generasi penerus (61th). Ditambahkan di sini informasi mengenai Ratna Sarumpaet sekadar sebagai pelengkap.

Di Indonesia maupun di mancanegara Ratna Sarumpet dikenal sebagai salah seorang seniman/penulis yang banyak aktif di bidang teater. Kepeduliannya terhadap masalah kehidupan kongkrit bangsa yang sebagian terbesar masih miskin dan papa, mendorong Ratna  mendirikan 'Ratna Sarumpaet Crisis Centre'.

Nama Ratna Sarumpaet benar-benar mencuat dan menggemparkan ketika ia mementaskan MONOLOG MARSINAH MENGGUGAT. Begitu keras gugatan dalam monolog Marsinah Menggugat dan begitu mengekspos penguasa, maka banyak dilarang di sejumlah daerah. Tema-tema karya seni Ratna selalu blak-blakan mengupas masalah kemanusiaan, kebenaran dan keadilan. Dan Ratna selalu secara frontal menyodorkannya kepada penguasa. Menuntut tanggungjawab mereka!September 1997 Kepala Kepolisian RI menutup kasus pembunuhan Marsinah dengan dalih DNA korban terkontaminasi, Ratna Sarumpaet cepat mengantisipasi bahwa pengausa hendak membungkam rakyat. Agar persoalan nasib buruh kecil dari Sidoarjo itu, dibungkam samasekali.

Seperti secepat kilat lahir karya monolog Marsinah Menggugat. Monolog ini  disosialisasikan melalui tur ke sebelas kota di Jawa dan Sumatera. Penguasa juga serta-merta memvonisnya sebagai karya provokatif. Di setiap kota yang didatangi, Ratna dan timnya terus ditekan dan disabot oleh aparat. Di Surabaya, Bandung dan Bandar Lampung, pertunjukan ini bahkan dibubarkan secara represif oleh sekitar lima ratusan pasukan anti huru-hara dilengkapi senjata dan tank.

Dengan populernya Marsinah Menggugat, Ratna telah membuat kasus pembunuhan Marsinah mencuat dan menjadi perhatian dunia.
Ratna Sarumpaet mencurahkan perhatian dan fikirannya pada rakyat yang tertindas. Dan itu dilakukannya  tanpa beban dan rasa takut. Ia membela Marsinah dan rakyat Aceh meskipun selalu harus menghadpi represi penguasa Orde Baru.

Ratna Sarumpaet selalu sibuk dengan pelbagai kegiatan budaya dan sosial masyarakat, kemanusiaan dan hak-hak manusia dan hak-hak demokrasi. Namun, selama limabelas tahun belakangan ini, sebagai seniman/penulis Ratna Sarumpaet telah menghasilkan sembilan naskah drama. Semua naskah ini ditulis karena kegelisahannya menghadapi kekuasaan. Karena penguasa sering sekali menindas  rakyat kecil dan kelompok minoritas.

Karya-karya seni yang disutradarainya sendiri itu dan dipentaskan oleh kelompok drama SATU MERAH PANGGUNG, adalah sbb:
Rubayat Umar Khayam (1974) Dara Muning (1993), Marsinah, Nyanyian Dari Bawah Tanah (1994), Terpasung (1995), Pesta Terakhir (1996), Marsinah Menggugat (1997), ALIA, Luka serambi Mekah (2000), Anak-anak Kegelapan (2003) Jamila & Sang Presiden (2006).

*    *    *

Ketika Suharto masih kuasa,  pada akhir 1997 Ratna mengorganisasi lebih 40 LSM dan Organisasi-organisasi Pro Demokrasi di kediamannya, Ia membentuk aliansi Siaga. Suatu organisasi yang pertama kali, terbuka menyerukan agar Suharto turun,  Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justru menggelar Sidang Rakyat "People Summit" di Ancol. Pertemuan ini dikepung oleh bertruk-truk aparat. Ratna, bersama tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan tuduhan makar.
Sesaat setelah Ratna ditangkap,  salah seorang diplomat asing di Indonesia mengatakan dihadapan wartawan, a.l sbb:  "Perempuan ini memberikan nyawanya untuk perubahan. Ia punya kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah".
Karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna, yang dikurung 70 hari dalam penjara aparat, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.
Setelah Suharto lengser, bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, Ratna Sarumpaet  menggelar "Dialog Nasional untuk Demokrasi" di Bali Room, Hotel Indonesia. Hadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia.

Keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target. Sebuah skenario dirancang di Cilangkap. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerjasama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor. Ia juga dituduh bekerja sama dengan Ninja, Jepang. Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor se Jakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna.

Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik yang terus meruncing November 1998, Ratna akhir diungsikan ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.
Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul The Last Prisoner of Soeharto. Pada peringatan 50 tahun Hari HAM se Dunia, film ini ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman. Pada saat yang sama, Ratna hadir di Paris di tengah Kongres para pejuang HAM yang berlangsung di sana. Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar HAM terburuk.
Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh. Ia mendengar nama mantan presiden Suharto dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut sebagai otak berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Namun ketika pada acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti Ramos Horta), tanpa maksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengeritik keras negara-negara besar seperti USA, Jerman dan Inggris. Sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.
Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima "The Female Special Award for Human Rights" dari The Fondation of Human Rights in Asia. Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh. Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama ALIA, Luka Serambi Mekah.
Ketika Tsunami menghentak Aceh dan Nias, RSCC dijuluki semua pihak sebagai kelompok paling militan. Masuk paling awal mengevakuasi mayat, RSCC berhenti paling akhir. Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di Aceh Barat, membantu 550 kepala keluarga di sana. Sampai dua minggu setelah Tsunami wilayah tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan "Tsunami Award".
Tahun 2008, kritik-kritik keras Ratna atas perlakuan pemerintah terhadap korban lumpur panas Lapindo yang dianggapnya sudah tidak manusiawi, juga memaksa kedudukannya sebagai panelis utama di sebuah 'Talk Show' di sebuah stasion televisi digoyang, dan Ratna yang sangat sensitif urusan demokrasi ini memutuskan mundur.

Akhir 1997 Ratna mengumpulkan 46 LSM dan Organisasi-organisasi Pro Demokrasi di kediamannya, lmembentuk aliansi Siaga. Organisasi pertama yang terbuka menyerukan agar Suharto turun,  Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justeru menggelar sebuah Sidang Rakyat "People Summit" di Ancol. Pertemuan ini dikepung oleh bertruk-truk aparat. Ratna, bersama tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan tuduhan makar.
Sesaat setelah Ratna ditangkap,  salah seorang diplomat asing di Indonesia mengatakan dihadapan wartawan, a.l sbb:  "Perempuan ini memberikan nyawanya untuk perubahan. Ia punya kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah".
Karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna, yang dikurung 70 hari dalam penjara aparat, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.
Setelah Suharto lengser, bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, Ratna Sarumpaet  menggelar "Dialog Nasional untuk Demokrasi" di Bali Room, Hotel Indonesia. Hadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia.

Keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target. Sebuah skenario dirancang di Cilangkap. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerjasama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor. Ia juga dituduh bekerja sama dengan Ninja, Jepang. Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor se Jakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna.

Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik yang terus meruncing November 1998, Ratna akhir diungsikan ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.
Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul The Last Prisoner of Soeharto. Pada peringatan 50 tahun Hari HAM se Dunia, film ini ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman. Pada saat yang sama, Ratna hadir di Paris di tengah Kongres para pejuang HAM yang berlangsung di sana. Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar HAM terburuk.
Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh. Ia mendengar nama mantan presiden Suharto dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut sebagai otak berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Namun ketika pada acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti Ramos Horta), tanpa maksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengeritik keras negara-negara besar seperti USA, Jerman dan Inggris. Sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.
Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima "The Female Special Award for Human Rights" dari The Fondation of Human Rights in Asia. Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh. Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama ALIA, Luka Serambi Mekah.
Ketika Tsunami menghentak Aceh dan Nias, RSCC dijuluki semua pihak sebagai kelompok paling militan. Masuk paling awal mengevakuasi mayat, RSCC berhenti paling akhir. Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di Aceh Barat, membantu 550 kepala keluarga di sana. Sampai dua minggu setelah Tsunami wilayah tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan "Tsunami Award".
Tahun 2008, kritik-kritik keras Ratna atas perlakuan pemerintah terhadap korban lumpur panas Lapindo yang dianggapnya sudah tidak manusiawi, juga memaksa kedudukannya sebagai panelis utama di sebuah 'Talk Show' di sebuah stasion televisi digoyang, dan Ratna yang sangat sensitif urusan demokrasi ini memutuskan mundur. * *    *

*UNDANG-UNDANG PERANCIS “ MELARANG PEREMPUAN PAKAI PANTALON” DICABUT 200 Th KEMUDIAN*

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Rabu, 06 Februari 2013**
---------------------------------*

*UNDANG-UNDANG PERANCIS   “ MELARANG PEREMPUAN PAKAI PANTALON”  DICABUT 200 Th KEMUDIAN*



** * **


Belum lama bisa dibaca berita yang menggugah fikiran:

Memandang ke Perancis . . . Kemudian melihat keadaan kita sendiri – INDONESIA. Masalahnya menyangkut HAKA-HAK WANITA.. Bagaimana sikap pemerintah Francois Hollande dari Partai Sosialis Perancis dan bagaimana pula sikap dan tindakan pemerintah SBY dari Partai Demokrat, kongkritnya mengenai HAK-HAK Wanita.


Sikap dan politik aktual pemerintah Perancis, kongkritnya mengenai kebijakan Menteri Hak- Hak Wanita yang, . . . sesuai dengan keputusan Parlemen Perancis, dengan resmi telah membatalkan sebuah undang-undang negeri yang membatasi hak wanita.


Di negeri kita, tidak kurang berita mengenai kasus pelanggaran hak kaum wanita. Pemerintah yang berwewenang, sikapnya: membiarkan saja pelanggaran yang berlangsung. Sedangkan pemerintah daerah kecenderungannya . . . . membatasi hak-hak kaum wanita.


Coba perhatikan kasus berikut ini:

Seorang hakim, mencalonkan diri untuk bisa menjadi Hakim Agung. Dalam suatu proses “uji-coba” di DPR, sambil bercanda sang calon Hakim Agung ini, terang-terangan melecehkan kaum wanita. dengan menyatakan bahwa dalam kasus pemerkosaan terhadap wanita . .. *baik pelaku maupun korban sama-sama menikmatinya*, Oleh karena itu pemerkosa tidak layak dihukum berat. Demikian calon Hakim Agung RI itu!!


Mari perhatikan kasus yang lebih berat: Yang masih merupakan kasus pelecehan hak kaum perempuan ialah perundang-undangan negeri yang *membolehkan kaum priya punya lebih dari satu orang istri*. Sedangkan sebaliknya tak ada aturan atau undang-undang yang membolehkan seorang wanita punya lebih dari seorang suami. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dunia hukum Indonesia beranggapan bahwa hak priya dan wanita tidak sama adanya. Apapaun alasan dan argumentasinya.


* * *


Belum lama kantor berita Reuters memberitakan bahwa pemerintah Perancis resmi mencabut larangan perempuan mengenakan celana panjang yang dikeluarkan 200 tahun lalu. Bayangkan undang-undang yang membatasi hak wanita berpakaian baru duaratus tahun kemudian DIBATALKAN!


Meskipun dalam realita kehidupan sehari-harinya wanita Perancis sudah puluhan tahun lalu mengenakan pantalon yang biasa dipakai priya. Undang-undang melarang perempuan pakai pantalon itu sudah lama dianggap sepi oleh kaum perempuan Perancis. Kaum laki-lakinyapun tidak ambil pusing bahwa undang-undang yang membatasi hak wanita berpakaian itu dilanggar dan dianggap sepi.


Menurut Menteri Hak-Hak Perempuan, *Najat Vallaud-Belkacem*, *larangan itu tidak sesuai dengan nilai dan hukum modern Perancis. Nyatanya undang-undang itu sudah kedaluwarsa dan “kedodoran”, “ketinggalan zaman”. *



*Siapa Nayat Vallaud-Belkacem? *Nayat Vallaud-Belkacem, w.n Perancis yang asal Maroko itu, adalah Menteri Hak-Hak Wanita dalam kabinet PM Jean-Marc Ayrault, di bawah Presiden Perancis, Francois Holland. Semua dari Partai Sosialis Perancis. Menteri Hak-Hak Perempuan itu berumur 36 th, berkeluarga dan punya anak kembar.



* * *


*Lain Indonesia, lain Perancis . .. Benar kata pepatah Indonesia nan bijaksana: *


“*Lain Bengkulu, lain Semarang, Lain Dulu Lain Sekarang”. . . dan *

“*Lain Lubuk Lain Ikannya”. . . . *


Beberapa jam yang lalu , kemenakanku yang di Bogor, Kala Yahya, menulis di Facebook:

“Undang-undang ini (yang melarang wanita Perancis pakai pantalon) dimodifikasi tahun 1892 dan 1909 untuk memungkinkan wanita mengenakan celana panjang bila mereka "naik sepeda atau kuda."

    Kemudian ikuti komentar Kala |Yahya, yang cespleng, sbb:

  *

    . . . *“sementara SEABAD kemudian Perempuan di Lhokseumawe tidak
    boleh naik motor ... (tidak boleh duduk seperti priya, seperti orang
    naik kuda . .)*


Di Perancis, Nona Vallaud-Belkacem mengatakan undang-undang asli ditujukan agar wanita tidak dapat melakukan pekerjaan tertentu.

"Peraturan ini pertama dimaksudkan untuk membatasi akses terhadap wanita untuk pekerjaan atau tugas tertentu sehingga mereka tidak bisa berpakaian seperti lazimnya pria," katanya.

Undang-undang ini dimodifikasi tahun 1892 dan 1909 untuk memungkinkan wanita mengenakan celana panjang bila mereka "naik sepeda atau kuda."

Selama revolusi Perancis, perempuan Perancis meminta hak untuk memakai celana panjang.

Pegiat revolusi disebut /sans-culottes/ karena mereka mengenakan celana panjang dan bukannya celana sutra selutut yang banyak digunakan kaum borjuis saat itu.



* * *



Namun, --- kita tokh gembira dengan pandangan umum masyarakat terhadap kaum wanita kita: Ini tercermin dalam sebuah daftar Aktivis , Pejuang dan Pahlwan Indonesia yang disusun oleh Wikipedia. *Daftar ini tidak lengkap dan masih bisa dan harus dilengkapi*. Kita jumpai tidak kurang dari 26 nama para tokoh wanita Indonesia yang dimasukkan dalam daftar Aktivis, Pejuang dan Pahlawan:

Antara lain terdapat nama-nama tokoh wanita sbb:

Cut Nyak Dhien, Perang Aceh, Pahlawan Nasional

Cut Nyak Meutia, Perang Aceh, Pahlawan Nasional

Dewi Sartika, Perintis Pendidikan Wanita, Pahlawan Nasional

Dita Indah Sari, Pejuang Kaum Buruh

R.A Kartini, Pejuang Persamaan Hak, Pahlawan Nasional

Marsinah, Pahlawan Kaum Buruh

Nursyahbani Katjasungkana, Aktivis Emansipasi Wanita

Martha Christina Tiahahu, pejuang perang Pattimura, Pahlawan Nasional

Rasuna Said, Pejuang Persamaan Hak, Pahlawan Nasional

Nyi Ageng Serang , Pejuang Perang Diponegoro , Pahlawan Nasional


Ratna Sarumpaet, Aktivis Sosial, Penulis, Seniman Teater


Suciwati Munir, Pejuang Hak Azasi Manusia


Yeni Rosa Dhamayanti, Pejuang Reformasi


Maria Walanda Maramis, Pejuang Kemajuan Wanita, Pahlawan Nasional.



* * *


Pasti masih banyak aktivis, pedjuang dan pahlawan wanita Indonesia yang belum disebut namanya. Masih belum dicantumkan , . . . . tetapi sesungguhnya tidak kurang darma bhaktinya dalam perjuangan kemerdekaan nasional maupun dalam perjuangan untuk hak sama, Reformasi, Demokrasi dan Hak-Hak Azasi Manusia.


Jumlah mereka-mereka itu tak terbilang. . . Daftar nama diatas sekadar memberikan gambaran umum sebagai catatan terbatas sekali.


Masih ada nama-nama seperti:


*S.K. Trimurti*, Keuta Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis), Pejuang Kemerdekaan;

*Salawaati Daud, *Walikota Makasar, Pejuang Kemerdekaan,

*Utami Suryadarma*, Pejuang Kemerdekaan, Ketua Umum OISRAA (Organisasi Indonesia Untuk Setiakawan Rakyat Asia-Afrika), Rektor Universitas Respublica;**

*Sulami,* Pejuang Ha-Hak Korban Peristiwa 1965, Ketua YPKP 65.

*Ny Ratu Aminah Hidayat*, anggota DPR, aktivis sosial, Ketua Komite Perdamaian Indonesia.


Tidak melupakan, selalu mengenangkan para pejuang emansipasi wanita, untuk demokrasi, Reformasi dan Hak-Hak Azasi Manusia Indonesia, adalah salah satu cara untuk *TIDAK MELUPAKAN SEJARAH BANGSA SENDIRI!!. *


Amat diperlukan untuk menarik pelajaran dan berteladan pada tokoh-tokoh pejuang dan pahlawan tsb.


* * *




























*EMPAT AWARDS Untuk Film Indonesia * " *SANG PENARI" Yang Mengungkap Pembantaian Masal oleh TNI*

*Kolom IBRAHIM ISA*

*Minggu, 03 Februari 2013**
----------------------------------*


*EMPAT AWARDS Untuk Film Indonesia *

" *SANG PENARI" Yang Mengungkap Pembantaian Masal oleh TNI*



Beberapa hari yang lalu, sahabat-baikku Yanti, Dosen di Universitas Hamburg, Jerman, menyampaikan (lewat Facebook) berita yang *menyamankan*: Membikin hati ini lega!! Sesungguhnya, isi brita tsb, *bukan berita baru lagi*. Tak jadi soal, mengenai waktu itu!


Yang penting ialah bahwa berita itu *BERITA MENYAMANKAN *bagi kita semua.


* * *


Yanti memberitakan bahwa dalam tahun 2011, sebuah film Indonesia berjudul *"THE DANCER"*, bahasa Indonesianya "*SANG PENARI"*, merupakan suatu *SUKSES BESAR*. Film *" Sang Penari" menggondol empat "awards" *pada Festival Film Indonesia, dan tahun ini film tsb mewakili Indonesia sebagai pembukaan, dalam seksi fim asing dari Academy Awards.


Sejak gerakan meggelora Reformasi dan Demokratisasi yang telah menggulingkan rezim otoriter Orde Baru, dan melorot Presiden Suharto dari jabatannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan Indonesia, -- berangsur-angsur, perlahan-lahan, sedikit demi sedikit pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia mengenai apa yang terjadi di sekitar Peristiwa 1965, semakin bertambah. Pencerahan fikiran dengan membanjirnya tulisan-tulisan dalam media dan buku-buku di sekitar Peristiwa 1965, G30S, digulingkannya Presiden Sukarno oleh Jendral Suharto, juga semakin meningkat, meluas dan mendalam.


*Film "Sang Penari" *yang dirilis tahun 2011, atas dasar buku penulis *Ahmad**Tohari*dan disutradarai oleh *Ifa Ifansyah*, dua-duanya tergolong generasi baru, merupakan sumbangan penting dalam pencerahan selanjutnya menuju Pelurusan Sejarah kita.


* * *


Film *"Sang Penari"*, karya *sutradara Ifa Ifansyah* menunjukkan situasi pasca tragedi 1965.



Film tsb menampilkan adegan- adegan pembunuhan masal ekstra-judisial oleh TNI terhadap anggota-anggota PKI, dituduh PKI atau simpatisan PKI, dan mereka-mereka yang dianggap pendukung Presiden Sukarno.



Ahmad Tohari, penulis buku novel *"Ronggeng Dukuh Paruk"* yang bukunya diolah jadi flim, menyatakan bahwa sutradara film "Sang Penari", lebih berani. ketika melukiskan pembunuhan masal tsb.

Kata Ahmad Tohari: "Novel ini saya tulis tahun 1980an. Saya takut jika menulis lebih dari itu, -- bisa-bisa peluru menembus kepala saya".



Pada suatu kesemptan sutradara Ifa Isfansyah mengatakan: Ketika saya dihubungi oleh produser untuk menyutradarai "Sang Penari", saya gembira sekali. Menurut saya novel (Ahmad Tohari) itu kuat sekali. Saya fikir akan baik sekali untuk mengemukakannya di publik yang lebih luas.



* * *



/"Alliance Française de Singapour", yang untuk seminggu lamanya dari tanggal 21 sampai 25 Februari, 2012, mengadakan pekan kebudayaan Indonesia telah memepertunjukkan film "The Dancer"./



"*Sang Penari"*(Edisi Inggris, *The Dancer, November 2011*) adalah sebuah film drama Indonesia yang langka, karena berani mengungkap keterlibatan aparat negara (TNI) dalam pembantaian masal pasca Peristiwa 1965. Film ini diadaptasi dari novel trilogi*Ronggeng Dukuh Paruk (1982)*, karya *Ahmad Tohari*yang berasal dari Banyumas. Film "Sang Penari" mengisahkan cinta tragis seorang pemuda dengan seorang penari rongeng.



* * *



Film Sang Penari yang terinspirasi dari trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari tersebut mengisahkan kehidupan*Srintil*ronggeng dari Dukuh Paruk pada era 1960an.



* * *


*SYNOPSIS:*

Dalam tahun 1953, dua orang pembuat tempe bongkrek di *Dukuh Paruk*, sebuah desa kecil, *Banyumas*, secara keliru telah menjual tempe bongkrek yang beracun. Tempe bongkrek yang beracun itu menimbulkan korban banyak penduduk desa. Termasuk a.l seorang ronggeng yang dihormati di desa. Penduduk desa menjadi panik dan timbul kerusuhan yang menyebabkan produsen tempe bongkrek bunuh diri. Anak perempuan mereka, *Srintil*, selamat dan dibesarkan oleh kakeknya, Sakarya.



* * *



Cerita cinta tragis ini terjadi di Jawa Tengah sekitar 1960-an. *Rasus*adalah anggota TNI dari sebuah desa miskin. Awal cerita terjadi ketika Rasus kembali dan menyusuri Dukuh Paruk, dan bertemu dengan Sakum, seorang tunanetra yang memintanya untuk mencari seseorang bernama *Srintil*. Cerita kemudian berkilas balik ke Dukuh Paruk dan hubungan cinta antara Rasus dan Srintil.

Srintil dan Rasus yang sama-sama yatim piatu, adalah teman yang sangat dekat sejak kecil. Rasus sendiri juga menyimpan perasaan cinta pada Srintil. Dengan kondisi Dukuh Paruk yang kelaparan dan mengalami depresi sejak kehilangan /ronggeng/. Srintil sendiri senang menari dari kecil. Kemampuan menarinya ternyata seperti mengandung kekuatan magis yang membuat Sakarya yakin bahwa Srintil bisa menjadi ronggeng.

Suatu hari Sakarya mendapat pertanda bahwa Srintil akan menjadi /ronggeng/besar dan mampu menyelamatkan Dukuh Paruk dari kelaparan.



Sementara itu, seorang aktivis dan *anggota PKI, Bakar *tiba di Dukuh Paruk dan meyakinkan petani Dukuh Paruk untuk bergabung dengan partai komunis, untuk menyelamatkan wong cilik Dukuh Paruk dari kelaparan, kemiskinan, dan penindasan para tuan tanah yang serakah.



Kepopuleran Srintil yang sampai ke Desa Dawuan, membuat Rasus, teman kecil sekaligus orang yang mencintainya, tidak senang dan tidak nyaman. Menjadi /ronggeng/ berarti bukan hanya dipilih warga dukuh untuk menari, namun juga untuk menjadi "milik bersama".



Srintil harus melayani banyak lelaki di atas ranjang setelah menari. Setelah keberhasilan Srintil menari di makam Ki Secamenggala, Srintil harus menjalani ritual terakhir sebelum dia benar-benar bisa menjadi /ronggeng/ yang disebut /Bukak Klambu/, di mana keperawanannya akan dijual kepada penawar tertinggi. Hal ini mengecewakan Rasus, yang mengatakan pada Srintil bahwa dia tidak senang dengan keputusannya menjadi /ronggeng/. Srintil mengatakan bahwa dia akan memberikan keperawanannya kepada Rasus, dan pada hari /Bukak Klambu/ mereka berhubungan seks di sebuah kandang kambing. Malam itu juga, Srintil berhubungan seks dengan dua "penawar tertinggi" lainnya dan menjadi /ronggeng/ sejati.



Hancur hatinya, Rasus memutuskan untuk pergi dari Dukuh Paruk, meninggalkan Srintil yang patah hati. Karena putus asa Rasus kemudian bergabung dengan sebuah batalyon TNI yang bermarkas tak jauh dari Dukuh Paruk, di mana ia berteman dengan Sersan Binsar yang juga mengajarkan dia membaca.



Sementara itu, warga Dukuh Paruk yang dirundung kelaparan dan kemiskinan mulai merangkul komunisme walaupun tidak paham tentang politik. Sepeninggalan Rasus, grup ronggeng Dukuh Paruk makin berjaya, dan politik juga mulai menjadi kehidupan Dukuh Paruk. Grup kesenian /ronggeng/Dukuh Paruk yang termasuk Kartareja, Sakarya, Sakum dan Srintil mulai sering diminta partai komunis dalam acara kesenian rakyat agar bisa menarik massa.

Namun kemudian malapetaka politik terjadi di Jakarta tahun 1965, dan karena kebodohan mereka tentang politik, warga dukuh Paruk pun ikut terseret karena "keterlibatan" mereka dalam acara-acara kesenian rakyat tersebut.



Setelah terjadinya G30S, Rasus dikirim oleh Sersan Binsar dalam misi untuk "mengamankan" orang-orang partai komunis di daerah. Namun, ketika giliran Dukuh Paruk tiba karena ikut terseret ke dalam pembantian masal itu, Rasus bergegas kembali, meninggalkan rekan pasukannya ke kampung halamannya untuk mencari dan menyelamatkan cintanya, Srintil. Cinta mereka harus menghadapi akhir yang tragis di tengah-tengah situasi tergelap dalam sejarah politik Indonesia.



Rasus menemukan Dukuh Paruknya telah hancur dan warganya telah hilang seperti ditelan bumi, hanya menyisakan Sakum yang buta. Sakum meminta Rasus untuk secepatnya mencari Srintil, namun pencarian Rasus akhirnya sia-sia. Rasus tiba di sebuah kamp konsentrasi tersembunyi tepat pada saat Srintil dan warga Dukuh Paruk dibawa oleh kereta pengangkut dan menghilang entah ke mana.



Sepuluh tahun kemudian, Rasus berpapasan dengan seorang penari kumal yang mirip dengan Srintil dan seorang penabuh /kendhang /buta yang mirip dengan Sakum di Desa Dawuan. Rasus memberikan pusaka ronggeng Dukuh Paruk kepada penari tersebut, dan penari tersebut berlalu meninggalkannya.

Rasus tersenyum, menandakan dia mengenali penari tersebut sebagai cintanya, Srintil.



Film diakhiri dengan sang penari kumal dan si pemusik buta yang menari dan menghilang di cakrawala.



* * *



*Gaya dan Tema*

"/Sang Penari/" menyinggng tema sejarah PKI di Indonesia, dengan fokus saat PKI menyebarkan politik dan ideologi. Dan sekitar pembersihan yang dilakukan tentara (TNI) terhadap PKI dan pengikut serta simpatisannya di periode 1965-1966. Diduga telah jatuh korban beberapa ratus ribu sampai sejuta lebih .

Film ini adalah film Indonesia ketiga yang bertemakan pembunuhan tersebut, menyusul film "Pengkianartan G30S/PKI (1984)", dengan sutradara Arifin C. Noer.



Ahmad Tohari kemudian mengatakan bahwa jika ia menulis tentang pembunuhan tersebut seperti digambarkan dalam film, pemerintah rezim Orba yang represif akan menembak dia.


   Penghargaan

Film ini memenangi 4 Penghargaan Piala Citra di Festival Film Indonesia 2011 untuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik Ifa Isfansyah, Aktris Terbaik, Prisia Nasution dan Aktris Pendukung Terbaik Dewi Irawan. Film ini adalah film yang diajukan Indonesia untuk penghargaan Academy Awards Ke-85 untuk kategori Film Bahasa Asing Terbaik.

(Bahan-bahan dari sekitar Synopsis, Gaya dan Tema, diambil antara lain dari "The Jakarta Globe", Perkumpulan Perancis di Singapura, dan Wikipedia)



* * *



Sebuah komentar di s.k.Indonesia berbahasa Inggris, "The Jakarta Globe", menulis a.l : Meskipun terdapat kekurangan-kekurangan dalam film "Sang Penari", secara keseluruhan orang-orang Indonesia seyogianya berterimakasih, bahwa akhirnya telah dibuat sebuah film yang memberikan beberapa menit perhatian pada situasi sekitar pembunuhan massal 1965 .

Bahwa sementara pemuda-pemudi belasan tahun yang pada mulanya, sambil tertawa kecil meninggalkan ruang pertunjukkan film dengan muka yang terheran-heran, namun, akhirnya memulai diskusi-diskusi kecil, . . . *itu pasti itu adalah suatu pertanda baik. *


"Sang Penari" menimbulkan harapan bahwa akan lebih banyak dari generasi yang lebih muda yang berusaha untuk lebih baik memahami sejarah bangsanya, betapapun gelapnya apa yang telah terjadi.


* * *



*DPR TAKUT KEGADUHAN . . .?!* *Dalih Baru Untuk Menutupi PEMELINTIRAN SEJARAH BANGSA . . .?*

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Kemis, 31 Januari 2013*
-------------------------------


*DPR TAKUT KEGADUHAN . . .?!*

*Dalih Baru Untuk Menutupi PEMELINTIRAN SEJARAH BANGSA . . .?*



** * **


Suatu perkembangan yang membesarkan hati! Ketika kita membaca berita (DetikNews, 29/1/2013), bahwa *---:*


*Arsip Nasional RI (ANRI) berencana membuka arsip dokumen kasus G30S yang selama ini dirahasiakan.*Pihak ANRI sendiri saat ini sedang membahas keterbukaan informasi, khususnya G30S.*Upaya ini **menurut ANRI adalah perwujudan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. *demikian ketua ANRI M Asichin.



Perkembangan baru sikap ANRI patut disambut. Halmana sesuai dengan pemahaman umum di masyarakat bahwa *ARSIP NASIONAL adalah MEMORI KOLEKTIF BANGSA!*


** * **


Maka, --- merupakan *suara sumbang*, apa yang dinyatakan oleh pihak DPR yang mengkhawatirkan langkah keterbukaan terhadap publik tersebut *justru menimbulkan kegaduhan baru. Kongkritnya kata anggota Komisi II DPR RI, Salim Mengga: "Keterbukaan dokumen G30S-PKI harus dikoordinasikan dengan lembaga lain, karena akan menimbulkan kegaduhan." *


*Kontan bermunculan reaksi!*Kita ikuti beberapa reaksi tsb:


*Y.T Taher, seorang penulis *yang biasa berkomentar di mailist intenet, menyatakan a.l sbb:


"/Yang bakal gaduh tentunya orang-orang yang pernah melakukan kejahatan terhadap PKI, karena takut rahasianya terbongkar dan rakyat bakal mengetahui dengan jelas bahwa selama ini PKI difitnah dan dikambing hitamkan oleh Suharto/Orde Baru, militer dan kaum agama serta para penerusnya. PKI sendiri tentu tidak bakal gaduh karena jutaan anggota dan simpatisannya semua sudah dibantai dan berada di dalam kuburan tak bernisan dan partainya juga sudah mati dibunuh./


*Redaktur Gelora45, ChanCT*a.l menulis sbb:


"/Membuka masalah G30S, berarti mengungkap KEPALSUAN, FITNAH yang dituduhkan penguasa ketika itu! Kalau KEPALSUAN itu tersingkap, bukan saja kegaduhan yang terjadi, yang berkuasa dan masih saja membela kepalsuan sejarah selama ini akan terjungkel, ...! Itu yang tidak dikehendaki DPR, hilang kesempatan menikmati kehidupan mewah diatas penderitaan rakyat banyak./


*Seorang kontributor lainnya di media mailist, Nasare menulis a.l*:


"/Ya jelas gaduhlah. Wong yang bersalah membunuh orang masih bergentayangan. Gaduhnya itu 'kan bukan karena apa apa tetapi karena takut. Takut kesalahannya diungkit dan takut karena kekuasaannya yang diganggu gugat oleh kesalahan yang diperbuatnya./

/Kalau gaduh takut diserang oleh orang PKI yang mau balas dendam. Itu mah bego namanya./

/Wong orang2 PKI dulu itu'kan sudah tua, makan minum saja kebingungan dinegara orang. Apalagi yang sudah diliang kubur mana bisa mau balas dendam. Jadi bukan gaduh tapi takut!/


Demikian a.l reaksi kontan pembaca dan penulis atas pernyataan sumbang anggota Komisi II DPR, Salim Mengga, yang khawatir dibukanya fakta-fakta dan catatan sekitar G30S akan menimulkan kegaduhan.


* * *


Sudah menjadi rahasia umum bahwa di bawah rezim Orde Baru, siapapun tidak akan bisa mengakses ke Arsip Nasional, yang dikatakan fungsinya a.l adalah sebagai *MEMORI KOLEKTIF BANGSA* itu, . . . . . . . kalau ia bermaksud mencari bahan sejarah, meneliti dan menstudi fakta-fakta dan kejadian dimasa lampau pada bangsa ini. Mengapa Orba menutup pintu Arsip Nasional sedemikian ketatnya?


Tidak lain tidak bukan -- Karena rezim Orde Baru itu sendiri lahir dan berkuasa, meneruskan serta melanggengkan rezimnya, dengan menyembunyikan fakta-fakta sejarah yang sebenarnya terjadi di masa lampau. Di segi lain Orba membikin sendiri , semaunya merekayasa "sejarah". Khususnya apa yang terjadi sekitar G30S, -- dan Presiden Sukarno yang dituduh terlibat dengan G30S. Rezim Orba MEREAYASA dan MENJUNGKIR-BALIKKAN, MEMELINTIR sejarah bangsa ini. Di lain fihak Orba dan para pendukunngya melarang siapapun mengungkapkan sejarah sesungguhnya sekitar G30S dan peristiwa pembantaian masal dimana terlibat langsung aparat negara.


* * *


Bicara kasus REKAYASA SEJARAH rezim Orba: -- Ambillah kasus sekitar "*SUPERSEMAR"*, *Surat Perintah Sebelas Maret (1966)*. Isi Supersemar itu adalah *SURAT PERINTAH* Presiden Panglima Tertinggi ABRI Sukarno kepada Jendral Suharto. Suharto diperintahkan untuk menangani keamanan dalam negeri, menjaga kewibawaan Presiden Sukarno dan ajaran-ajarannya, serta melapor kepada Presiden Sukarno. Jendral Suharto dengan sengaja mengisukan bahwa "tidak ada yang tahu dimana Supersemar". Ia dengan sengaja menjadikan Supersemar barang "misterius".


Selanjutnya Jendral Suharto, dan rezin Orba melalui mesin propagandanya menyiarkan bahwa SUPERSEMAR itu adalah "tranfer of authority", adalah pelimpahan kekuasaan oleh Prsiden Sukarno kepada Jendral Suharto. Suharto kemudian menggunakan SUPERSEMAR untuk melarang PKI dan mengintensifkn kampanye opresif dan pemusnahan terhadap PKI, yang diduga PKI atau yang dianggap simpatisan PKI dan semua pendukung Presiden Sukarno. Mereka-mereka itu dikejar-kejar, ditangkap, dipenjarakan atau dibuang ke P.Buru. Sebagian besar ditangkap dan dibantai secara masal dan ekstra-judisial.


Dengan Supersemar itu pula Jendral Suharto melorot Presiden Sukarno dari jabatan Presiden RI, Akhirnya, Bapak Pendiri Bangsa Bung Karno dengan merana dan tersiksa menderita sakit mengakhiri hidupnya sebagai orang tahanan Jendral Suharto. Tidakkah berita-berita, fakta-fakta sejarah tentang itu semua mestinya ada tersimpan di Arsip Nasional RI, dan harus dibuka di hadapan masyarakat umum??


* * *


Berkat jerih-payah historikus muda*Budi Setiyono dan Bonnie Triyana*, yang melakukan riset teliti di Arsip Nasional setelah tergulingnya Presiden Suharto, . . . maka telah dapat diungkap apa dan bagaimana kedudukan sesungguhnya dari dokumen SUPERSEMAR. Seperti penjelasan yang berkali-kali diberikan oleh Presiden Sukarno dalam pidato-pidatonya selama beliau masih belum ditahan Suharto. Masyarakat tidak mengetahui isi pidato-pidato Presiden Sukarno tentang SUPERSEMAR, karena Jendral Suharto mem-black-out pidato-pidato Presiden Sukarno itu.


Namun, --- kemudian pidato-pidato Presiden Sukarno SETELAH TERJADINYA G30S, dibukukan menjadi buku dokumen bersejarah, berjudul "*REVOLUSI BELUM SELESAI", Jilid 1, dan 2, dengan Kata Pengantar Dr Asvi Warman Adam, Peneliti Senior LIPI.* Menjadi jelaslah bahwa Supersemar ditangan Suharto telah disalahgunakan untuk melanjutkan kudeta merangkak Jendral Suharto terhadap Presiden Sukarno dan melakukan kampanye persekusi dalam tahun-tahun 1966/67/68.


* * *


*Kita ambil contoh lain*: Setelah Jendral Suharto membangkang terhadap Presiden Sukarno dan mengambil oper pimpian AD ditangannya sendiri, serta menguasai media pers dan TV, dimulailah *SIARAN BERITA BOHONG TERBESAR* di sepanjang sejarah Republik Indonesia. Berhari-hri lamanya disiarkan berita bohong bahwa perempuan-perempan Gerwani telah mencongkel mata dan memotong kemaluan 6 orang jendral TNI dan seorang perwira, sebelum mereka dibunuh. Dikabarkan pula bahwa para perempuan Gerwani tsb menari-nari mesum di muka para jendral sambil mendongkel mata mereka dan mensilet kemaluannya.


Maksud rekayasa fitnah terhadap perempuan-perempuan Gerwani tsb adalah dalam rangka menghasut kebencian masyarakat terhadap "kebiadaban" perempuan-perempuan Gerwani yang Komunis itu. Suatu tim forensik yang memeriksa jenazah korban tsb , dengan risoko akan "ditindak oleh Jendral Suharto", dengan berani dan jujur menyimpulkan bahwa keadaan jenazah-jenazah para jendral dan periwra itu utuh. Tak ada tanda-tanda penyiksaan seperti yang diberitakan oleh media tentara. Tapi laporan tim forensik tsb dibungkam oleh Jendral |Suharto dan rezim Orba.


Perempuan yang diberitakan sebagai anggota Gerwani yang di Lubang Buaya melakukan penyiksaan terhadap para perwira TNI itu, ternyata adalah seorang pelacur yang dipaksa mengenakan pakaian seragam dan bersenjata. Kemudian dipotret. Seolah-olah sedang "beraksi" di Lubang Buaya. Kepada para tahanan Orba liannya yang kebetulan ada dalam satu penjara dengan pelacur tsb, perempuan itu terus terang menyatakan bahwa ia adalah seroang pelacur. Bahwa ia sedang di jalan ditangkap oleh tentara, kemudian disuruh berpose di depan kamera, seolah-olah sedang beraksi di Lubang Buya. Padahal ia tidak pernah ke Lubang Buaya, dan juga tidak tahu dimana tempat yang dinamakan Lubang Buaya itu.


Bukankah kampanye fitnah dan dusta terhadap perempuan-perempuan Gerwani ini seharusnya dibuka didepan masyrakat umum. Dengan demikian merehabilitasi nama baik Gerwani! Supaya rekayasa fitnah demikian yang dilakukan oleh aparat negara jangan sampai terulang lagi di masa yang akan datang??


* * *


*Diharapkan fihak ANRI, Arsip Nasional Republik Indonesia tidak mundur dari kebijakan barunya untuk memberlakukan KETERBUKAAN. Sehingga ANRI betul-betul akan merupakan MEMORI KOLEKTIF BANGSA! Dimanfaatkan oleh masyarakat, khususnya oleh para peneliti yang menstudi dan berusaha MELEMPANGKAN SEJARAH BANGA YANG DIBENGKOKKAN OLEH REZIM ORBA!! * * **


Friday, February 8, 2013

IBRAHIM ISA'S FOCUS --- The Netherlands QUEEN BEATRIX TO ABDICATE,

IBRAHIM ISA'S FOCUS --- The Netherlands
QUEEN BEATRIX TO ABDICATE

29 January 2013

-----------------------------------------


 -- Queen Beatrix of the Netherlands to abdicate for son

-- A Queen Who Transformed Dutch Royalty**

-- *Seen by Many in the Netherlands as a Surrogate Grandmother.



Dutch Queen abdicates, Willem-Alexander to succeed


By Anthony Deutsch and Sara Webb | Reuters -- 11 hours ago


   *Dutch Queen abdicates, Willem-Alexander to succeed*/. /Dutch Queen
   Beatrix abdicates in favour of her son, Prince Willem-Alexander, who
   will become king April 30, 2013.

   Dutch Queen Beatrix, who turns 75 on Thursday, announces her
   abdication in favour ...

AMSTERDAM (Reuters) - Dutch Queen Beatrix, who turns 75 on Thursday, announced she was abdicating in favour of her son, Prince Willem-Alexander, telling her country it was time to hand the crown to the next generation after more than three decades on the throne.

Willem-Alexander, 45, who will be sworn in as king on April 30, is married to Princess Maxima, who comes from Argentina, and has three young children.

Decades of grooming for the throne involved shaking off his image as a beer-drinking fraternity boy whose blunt comments upset the press and politicians and did not fit the image of the Netherlands' low-key "bicycling monarchy".

Speaking calmly in a television broadcast, Beatrix, who once faced scandal over her father's involvement in a bribery case and whose middle son lies in a coma after a skiing accident, said she was stepping down because she felt Willem-Alexander was now ready to take her place on the throne.

"I am not stepping down because the tasks of the function are too great, but out of the conviction that the responsibilities of our country should be passed on to a new generation," she said.

"It is with the greatest confidence that on April 30 of this year I will pass on the kingship to my son, the Prince of Orange. He and Princess Maxima are entirely ready for their future tasks."

The decision appeared popular with ordinary Dutch people.

"She's been a strong, hard-working woman but it is good that she is now giving room to a younger generation," said Mandy, a 26-year-old who works as a secretary in Amsterdam.

A constitutional monarchy, the Netherlands has reduced the involvement of the Royal House in politics. The queen had taken part in forming government coalitions by appointing a mediator, a role that raised questions about undue influence on the democratic process and which was scrapped last year.

Sources close to the royal family said Beatrix did not want to go until she felt her son was ready and his children were old enough. She also wanted to ensure that anti-immigrant, eurosceptic politician Geert Wilders, of whom she disapproved, was in no danger of assuming real political influence.

She alluded in speeches to the need for tolerance and multi-culturalism, comments that were seen as criticisms of Wilders' anti-Islamic views - while Wilders criticised the queen, who has a penchant for huge hats, when she donned a Muslim headcovering on a trip to the Middle East.

Wilders' poor showing at the last election and loss of influence in politics, could well have contributed to her decision to abdicate.

*FIRST KING IN A CENTURY*

With Willem-Alexander on the throne, the Netherlands is likely to revive the debate about the role of the monarchy and the high cost of maintaining the royal household, particularly when ordinary Dutch people are having to deal with austerity measures.

"There is an ongoing discussion about the role of the royals in a modern society, and that discussion needs to continue," said Diederik Samsom, leader of the Labour Party, which is part of Prime Minister Mark Rutte's coalition government.

As queen, Beatrix often headed trade missions, most recently in Singapore, and was involved in promoting Dutch defence sales in the Middle East.

Beatrix, whose full name is Beatrix Wilhelmina Armgard, Princess of Oranje-Nassau, Princess of Lippe-Biesterfeld, has been on the throne since 1980, when she took over from Queen Juliana.

Dutch queens have made a tradition of stepping aside for the next generation over the last century. Queen Wilhemina handed over to her daughter in 1948 after half a century on the throne. Queen Juliana was in deteriorating mental health when she made way for the 42-year-old Beatrix in 1980.

Willem-Alexander, who majored in history and has specialised in water management, will become Willem IV -- the first Dutch king in more than a century.

*SCANDALS, TRAGEDY*

The Dutch royal family is popular with the public, but like the British royals, it has not escaped scandal and controversy.

While she was still Crown Princess, Beatrix married former German diplomat Claus von Amsberg in 1966, and faced street protests over her choice of husband.

Von Amsberg had been a member of the Hitler Youth, albeit involuntarily, and as a teenager served briefly in the army of the country which occupied the Netherlands in World War Two.

Prince Claus later underwent treatment for severe depression between in the 1980s, blaming the difficulty he found in reconciling his private life with his responsibilities as a public figure.

In the 1970s, Beatrix intervened in the most serious crisis to hit the royal family since the war, threatening not to take up the throne should parliament decide to prosecute her father Prince Bernhard for taking bribes in the Lockheed scandal.

The queen was emotionally shaken when a man drove his car into a Queen's Day procession in 2009.

Willem-Alexander, the queen's eldest son, was once the darling of Dutch tabloids because of his love of fast cars, good-looking women, and partying.

He caused a stir when he married a commoner whose father was a civilian minister in Argentina's military dictatorship from 1976-1983. But his bride, Maxima Zorrigueta, quickly won over the public with her easy manner and quick mastery of Dutch, and often seems to be more popular than her husband.

Last year, the family faced tragedy when Willem-Alexander's younger brother, Prince Friso, had a skiing accident in Austria while going off-piste. He is still in a coma.

(Reporting by Sara Webb and Anthony Deutsch; Additional reporting by Gilbert Kreijger; Editing by Robin Pomeroy and Giles Elgood)



* * *



*Queen Beatrix announced her abdication in a nationally televised address*

Queen Beatrix of the Netherlands has announced she is abdicating in favour of her son, Prince Willem-Alexander.

In a pre-recorded address broadcast on TV, she said she would formally stand down on 30 April.

The queen, who is approaching her 75th birthday, said she had been thinking about this moment for several years and that now was "the moment to lay down my crown".

Queen Beatrix has been head of state since 1980, when her mother abdicated.

In the short televised statement, the queen said it was time for the throne to be held by "a new generation", adding that her son was ready to be king.

Prince Willem-Alexander, 45, is married to Maxima Zorreguieta, a former investment banker from Argentina, and has three young children.

He is a trained pilot and an expert in water management.

He will become the Netherlands' first king since Willem III, who died in 1890.

Speaking on television immediately after the abdication announcement, Dutch Prime Minister Mark Rutte paid tribute to the queen.



* * *

*Anna Holligan BBC News*, The Netherlands

*Queen Beatrix is seen by many in the Netherlands as a surrogate grandmother. *

Most office buildings and universities proudly display her glamorous portrait, decorated in a range of suitably colourful costumes.

*She enjoys high approval ratings and is one of the most popular ruling monarchs in Europe. Under Dutch law it is still illegal to insult the queen. *

Her abdication is bound to raise interest in the UK, where Queen Elizabeth II is 86 and recently celebrated her Diamond Jubilee. But the situation is different in the Netherlands, where the queen is following recent tradition by abdicating, as her mother and grandmother did before her.

Prince Willem-Alexander's wife, Maxima, is arguably the most attention-generating member of the Dutch royal family. She is expected to be given the unofficial title Queen Maxima.

The queen will hand over to her son on Queen's Day on 30 April - already one of the biggest and most raucous celebrations on the Dutch calendar.

"Since her coronation... she has applied herself heart and soul for Dutch society," he said.

Abdication 'tradition'

Queen Beatrix is the sixth monarch from the House of Orange-Nassau, which has ruled the Netherlands since the early 19th Century.

Correspondents say she is extremely popular with most Dutch people, but her abdication was widely expected and will not provoke a constitutional crisis.

Under Dutch law, the monarch has few powers and the role is considered ceremonial.

In recent decades it has become the tradition for the monarch to abdicate.

Queen Beatrix's mother Juliana resigned the throne in 1980 on her 70th birthday, and her grandmother Wilhelmina abdicated in 1948 at the age of 68.

Queen Beatrix will be 75 on Thursday.

She has remained active in recent years, but her reign has also seen traumatic events.

In 2009 a would-be attacker killed eight people when he drove his car into crowds watching the queen and other members of the royal family in a national holiday parade.

In March last year her second son, Prince Friso, was struck by an avalanche in Austria and remains in a coma.



* * *


 Beatrix: a Queen who transformed Dutch royalty

By Jan Hennop | AFP

The Netherlands' energetic Queen Beatrix, who on Monday announced she would abdicate in favour of crown prince Willem Alexander in April, has won many Dutch hearts in her almost 33 years on the throne by giving the monarchy a modern, hard-working image.

Stepping into the shoes of her much loved mother Juliana in 1980 at the age of 42, Beatrix quickly set out to make her mark on the country she was destined to rule by birth.

Contrary to her mother's unobtrusive style of rule, Beatrix refused to be relegated to ribbon-cutting; changing the mode of address from "madam" to "majesty", and*transforming one of the royal palaces in The Hague, the seat of government, into a working palace.*

Here she received heads of state in her affable though formal manner and met weekly with successive prime ministers to discuss matters of government, earning the nickname "chief executive officer of the Netherlands".

*She also signed laws and played an important role in Dutch politics by appointing the so-called "formateur" who explores possibilities for coalition government after general elections.*

Last year's polls in which Prime Minister Mark Rutte was elected to head government for a second time, marked the first time she was not actively involved in the formateur's appointment.

Born on January 31, 1938 as the first child of queen Juliana and prince Bernhardt, Beatrix Wilhelmina Armgard, princess of Orange-Nassau, lived with her family in exile in Britain and Canada during World War II.

After completing her law studies, she married West German diplomat Claus von Amsberg in March 1966 -- prompting violent demonstrations against the future queen's union with someone who had worn a Hitler Youth uniform as a boy.

Riots also preceded Beatrix's coronation on April 30, 1980 following her mother's surprise abdication after a 31-year reign, when Amsterdam squatters protested the high costs of the ceremony.

But the new Queen's humble approach soon started winning over her calvinist subjects.

*"Not power, personal desire nor a claim to hereditary power but only the desire to serve the community can give substance to a modern monarchy," she said in her crowning speech.*

*An opinion poll in April 2009 found that 85 percent of Dutch citizens felt Beatrix was performing well as head of state.*

Known colloquially as "Trix", the queen radiates a bourgeoise allure in her immaculately pressed, practical dresses and suits and a stiff helmet hairdo that a staggering collection of hats cannot tease out of place.

*"Only perfection was good enough for her. She worked very systematically, high in the sky like a bird of prey, no detail on the ground escaped her," a former prime minister, Dries van Agt, has said of the queen.*

*"The (royal) court is really run like a business," according to Henk Wesseling, historian and court advisor.*

A former servant said: "She can get pretty angry when things around her go wrong or if she is confronted with unexpected situations. Under all circumstances she wants to be in control of the situation."

*American magazine Forbes in 2008 listed Beatrix as the world's 14th wealthiest royal with an estimated net worth of 300 million dollars (214 million euros).*

She has three sons, the oldest of whom, Willem-Alexander (born 27 april 1967), will succeed her as monarch.

*A spate of misfortunes in the later years of her career was met with an outpouring of sympathy from her subjects.*

The latest tragedy struck last year when her middle son, Friso was left brain-damaged after being buried by an avalanche while skiing off-piste in Lech in Austria in February last year.

Her husband prince Claus died at the age of 76 in 2002, followed by the Queen's mother and then her father in 2004.

And on Queen's Day, April 30, 2009, the nation was plunged into shock when a man ploughed his car into festivalgoers in the central city of Apeldoorn, narrowly missing an open bus transporting Beatrix and members of her family.

Seven bystanders were killed in what the driver confessed was an attack on the royal family.

In an emotional, televised address to the nation shortly afterwards, Beatrix spoke of her "deep shock".

Opinion polls in the following days said support for the Queen had spiked, with 43 percent saying she should stay on the throne -- up from 27 percent before the attack.

*Beatrix, however, has never been a slave to polls.*

"I find popularity dangerous ... superficial and temporary," she once said in an interview with Dutch NOS public television.

Speculation rose over an abdication when in 2006 renovations were announced at Beatrix's distinctive octagonal-shaped Drankensteyn castle southeast of Amsterdam in 2006, where she is now expected to live.

*(Sources: BBC, 29 Jan. 2013)*