Monday, November 29, 2010

IN MEMORIAM BUSRA ARIFIN

IBRAHIM ISA
Senin, 29 November 2010
---------------------------------

IN MEMORIAM BUSRA ARIFIN


Kami, keluarga Isa yang di Eropah (Belanda, Jerman dan Belgia), terkejut dan teramat sedih ketika disampaikan oleh Ichan (per tilpun – Ichan sedang menempuh studi di Freiburg, Jerman), dan oleh Babang Husni Bastari (SMS); mengenai wafatnya BUSRA ARIFIN, suami kemenakanda Nurati Djamin (Ati) , pada hari Senin malam tangal 22 November 2010.

INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAJIUN

Semoga arwahnya diterima di sisi Allah SWT. Amien, ya rabbul alamien.
Semoga Ati sekeluarga, putri-putri, menantu dan cucu, tabah menghadapi hari-hari yang penuh duka ini.

* * *

Busra, kukenal sejak kami berdua masih di bangku sekolah. Ketika itu Indonesia sedang dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda yang hendak memperpanjang kekuasaan kolonialnya di negeri kita. Dalam perjuangan tsb sementara anggota kekuatan bersenjata Indonesia, sempat jadi tawanan Belanda. Diantaranya ada yang dipenjarakan di penjara-penjara Jakarta. Sebuah panitia dari kalangan Republik Indonesia, yang diketuai oleh Ny. Erna Djayadiningrat, berhasil mengatur dengan penguasa Belanda, agar para tawanan pejuang-pejuang kemerderkaan Indonesia yang ada di penjara-penjara Belanda itu, bisa kita kunjungi.

Demikianlah, kami, pelajar-pelajar membentuk sebuah band-musik untuk menyemangati dan menghibur kawan-kawan seperjuangan kita yang di penjara Belanda. Band-musik kami terdiri antara lain dari Busra, Ari Susilo (suaminya Muli), aku dan kawan-kawan lainnya. Busra yang pandai menggesek biola itu bersama aku sebagai pemain biola dalam band-musik tsb.

Demikianlah kami mengunjungi dan menghibur kawan-kawan seperjuangan kemerdekaan Indonesia yang ada di penjara Belanda. Bersama kami menyanyikan a,l lagu-lagu 'Dari Barat Sampai ke Timur', 'Hallo-hallo Bandung', dan lagu-lagu perjuangan lainnya.

Lucunya anggota-anggota tentara Belanda di situ, kukira dari ' 7 December Divisie KL', yang menjadi pengawal penjara itu, menanyakan kepada kami apakah mereka boleh ikut mendengar dan 'ramé-ramé' bersama. Kebetulan antara Republik Indonesia dan Nederland sedang 'cesefire', dalam posisi 'gencatan senjata'. Menjelang berlangsungnya Konferensi Meja Bundar antara Republik Indonesia dengan pemerintah kerajaan Belanda.

Jadi ramai-ramailah, para tawanan pejuang Indonesia, kami ini yang datang menghibur, dan tentara Belanda dari Divisi 7 Desember yang mengawal di situ, bernyanyi bersama. Dua fihak di situ, kumpul bersama. Yang satu adalah fihak Belanda. Yang tentaranya masih hendak membasmi Republik Indonesia, dan fihak satunya adalah pejuang-pejuang Republik Indonesia yang sedang membela kemerdekaan yang diproklamasikan, 17 Agustus 1945. Bertemu di situ tidak dalam suasana permusuhan. Tetapi juga tidak dalam usasana parsahabatan. Tokh bisa 'ramé-ramé' bersama.

Yah, tentara Belanda yang bertugas di situ itu, mereka adalah anak-anak muda yang kena wajib militer. Secara politik mereka 'buta', dan telah dikibuli oleh pemerintahnya sendiri agar mau berangkat ke 'onze Indië', ke Hindia Belanda, untuk 'menciptakan keamanan dan ketertiban'. Yang hakikatnya adalah untuk menghancurkan Republik Indonesia kita. Untuk memulihkan kembali kekuasaan kolonial Hindia Belanda di Indonesia,.

* * *

Dengan demikian, Busra yang ketika itu anggota band-musik kami adalah salah seorang pengesek biola, memberikan sumbangan ala kadarnya untuk menghibur dan menyemangati pejuang-pejuang kita yang sedang dipenjarakan Belanda.

Itulah kenang-kenangan masa lalu bersama Busra yang tidak pernah terlupakan.

Ketika kami bertemu lagi beberapa tahun yang lalu, ketika ia sudah menjadi suami kemenakan kita Nurati Jamin, kami sempat menggali kembali masa lampau ketika masa muda kami. Murti dan aku bermalam di rumah mereka. Mereka mempersilahkan kami berdua nginep di kamar pribadi mereka, sedangkan mereka suami-istri tidur di kamar lainnya.

* * *

Busra adalah seorang suami dan bapak yang sabar dan tekun melakukan tugasnya sebagai dosen di perguruan tinggi. Suatu pekerjaan yang mulya dalam rangka mendidik dan membangun generasi muda Indonesia di bidang ilmu pengetahuan dan budaya.

Busra telah tiada.

Namun, kenang-kenangan mengenai Busra akan selalu dalam ingatan kami.


* * *

Monday, November 22, 2010

FOCUS INDONESIAN WOMENS' MIGRANT WORKERS

IBRAHIM ISA'S – FOCUS
INDONESIAN WOMENS' MIGRANT WORKERS
--------------------------------------------------------------------
GOVT STEPS UP HEAT ON S. ARABIA OVER WORKERS ABUSE

The Jakarta Post, Jakarta | , 21 NOV 2010
In reality, it will be worse: Activists from the Indonesian Workers Association and Migrant Care stage a theatrical performance with a theme of torturing Indonesian maids in Saudi Arabia in front of the Royal Saudi Arabia Embassy in Jakarta Friday. Sumiati bini Salan Mustapa, an Indonesian maid, was inhumanly tortured by her Saudi employer recently. JP/Nurhayati Indonesia’s fury over the abuse and murder of migrant workers has found no relief. A regional government has imposed a complete moratorium while the President considered reviewing the practice of sending workers to Saudi Arabia.

Indonesia would review sending migrant workers to “uncooperative, non-transparent” countries, President Susilo Bambang Yudhoyono told reporters at the State Palace after a Cabinet meeting on Friday.
The President said “all out diplomacy” would be deployed against non-transparent countries to protect the interests of Indonesian workers.
Foreign Minister Marty Natalegawa said that “uncooperative, non-transparent” countries were generally in the Middle East, and included Saudi Arabia.  

Marty summoned Saudi Arabian Ambassador Abdurrahman Mohammad Amen Al-Khayyat on Friday for the third time this week on yet another incident involving a migrant worker. He previously summoned the ambassador twice and sent a letter to the Kingdom’s foreign minister following the case of 23-year-old Sumiati, a West Nusa Tenggara resident who was allegedly abused by her Saudi Arabian employer.

East Nusa Tenggara (NTB) Governor Zainul Majdi imposed a moratorium Friday on sending female domestic workers from the province to Saudi Arabia following the news on Sumiati. Sumiati was reportedly tortured and sustained cuts around her mouth that suggested she was attacked with scissors. She also reportedly has burns that may have been caused by a hot iron.
“Today [Friday], we’ll also call the Saudi Arabian ambassador, again. It is not because of the case of Ibu Sumiati, but another case that was just revealed last night [Thursday],” Marty said, referring to Kikim Komalasari, another Indonesian migrant worker who was found dead in garbage bin.
Kikim’s neck was reportedly slashed, and she also had cuts to the rest of her body.

Marty said it had taken longer than usual for the Kingdom’s police to inform the Indonesian Embassy about Kikim’s death because she was previously misidentified as a Bangladeshi.
“Saudi Arabia and Middle Eastern countries in general don’t recognize [bilateral] MoUs in the informal sector. They only want to sign ones on the formal sector,” Marty said.
Manpower and Transmigration Minister Muhaimin Iskandar cited Saudi Arabia and Jordan as two countries Indonesia had not yet managed to sign good agreements on migrant workers with.
The result of the review might lead to a decision to halt the sending of workers to these countries, he added.

President Yudhoyono also said the government was mulling the prospect of equipping Indonesian migrant workers with cell phones to help them reach officers more easily when they face problems.
“Based on our experiences, we often receive reports on what has happened with our migrant workers [after it] is too late,” the President said.
Muhaimin explained afterward only migrant workers sent to Singapore, Hong Kong and Taiwan had been equipped with cell phones.

“Cell phones should be a means of an open communication system included in the MoUs. Agents abroad must provide the phones, and the employers should not be allowed to take them [away],” the minister said.

Yudhoyono said currently about 4,300 Indonesian workers overseas are facing various hardships, ranging from being denied their salaries, overwork, and physical and even sexual abuse. Approximately 3.27 million Indonesians are now registered as migrant workers.

SBY criticizes abuse of maid in Saudi Arabia
The Associated Press, Jakarta | Wed, 11/17/2010
President Susilo Bambang Yudhoyono wants justice for a domestic worker who was allegedly tortured by her employers in Saudi Arabia.

The 23-year-old maid, Sumiati bini Salan Mustapa, has been hospitalized in Medina since Nov. 8, with burns all over her body, a fractured middle finger and cuts around her lips, reportedly made by scissors.

Yudhoyono said during a Cabinet meeting Tuesday in Jakarta that the "extraordinary torture" needs to be investigated.

"I want the law to be upheld and to see an all-out diplomatic effort."

More than 80,000 Indonesian domestic workers flock to Saudi Arabia every year. Rights groups say they, and other migrant workers, at times face slav
Saudi diplomat is “not correct”: migrant worker NGO
The Jakarta Post, Jakarta | Fri, 11/19/2010
A local NGO says that a Saudi Arabian diplomat was not correct when he claimed that abuse of Indonesian workers in the Middle Eastern country was rare.

Migrant Care executive director Anis Hidayah slammed Saudi Arabia’s ambassador to Indonesia, Abdulrahman Al-Khayyat, who told a press conference on Thursday that the alleged torture of Sumiati was "a very rare case."

Anis said the ambassador's statement was "deceitful" in light of the report Migrant Care received on Thursday night alleging the mistreatment of another migrant worker.

The dead body of Kikim Komalasari binti Uko Marta was recently discovered in a dumpster. Kikim was allegedly sexually and physically abused before her death, Anis said.

Anis said Migrant Care recorded 5,563 cases of the alleged abuse of migrant workers in Saudi Arabia this year to date, including 1,090 allegations of physical abuse, 3,568 complaints of poor working conditions and 898 allegations of sexual abuse and nonpayment of salary.

The plight of Indonesian migrant workers in Saudi Arabia came into the spotlight last week, when allegations that Indonesian migrant worker Sumiati had been tortured by her employer.(afl)

SBY must talk to Saudi king on Sumiati: Regional representative
The Jakarta Post, Jakarta | Mon, 11/22/2010 |
President Susilo Bambang Yudhoyono should talk to Saudi Arabia’s King Abdullah bin Abdul Aziz about Sumiati, the Indonesian worker allegedly abused by her employers in the Middle Eastern country, a senior representative says.

"The President must get involved. He must talk to the King of Saudi Arabia and ask that strict justice be levied on [the Saudis] who committed the abuse," Regional Representatives Council  Deputy Speaker La Ode Ida said on Monday.

La Ode Ida said Indonesia should stop sending workers to Saudi Arabia until the Saudi government signs a migrant workers agreement – and withdraw its workers if the Saudis do not sign an agreement.

The government should not expect the private agents who supply migrant workers to solve the problem, he said.

Indonesia needed a “total correction” of its policies to protect the workers, La Ode Ida added.

"The government's weakness lies in its reluctance to get involved." (gzl)

Migrant moratorium a good move: House deputy speaker
The Jakarta Post, Jakarta | Mon, 11/22/2010
The government should implement a moratorium on the sending of workers to Saudi Arabia, House Deputy Speaker Priyo Budi Santoso said.

“[Sending migrant workers to Saudi Arabia] must be temporarily halted because [the alleged abuse] affects our dignity as a nation,” Priyo said.

The moratorium idea surfaced after the recent revelations of abuse against an Indonesian domestic worker in Saudi Arabia named Sumiati.

Priyo said he had urged the Saudi Arabian ambassador to Indonesia to take the case seriously, even though the countries have a good relationship as fellow Muslim-majority nations.

“Saudi Arabia will get a bad image if these [abuse cases] continue,” he said, adding that there was a growing belief that Saudis were “barbaric”.

Providing legal protection to migrant workers was more effective at protecting their rights than equipping them with mobile phones, Priyo said.

In the future, the Manpower and Transmigration Ministry and the Foreign Ministry must use the Indonesian Embassy in Saudi Arabia to safeguard the rights of migrants, he said.

“Don’t think the government goes into a frenzy every time something like this happens,” he added. (gzl)
READERS' – Comments

Balik-Islam, Jeddah,KSA | Mon, 22/11/2010 -
Bab,Dhaka Justification by Taqeeya is very very obvious...Com'on men,don't try to hide the truth about the Saudis...why don't accept,if that is the reality on Saudi Society..Blaiming the expats cannot justify the arrogants of these people,let us accept the criticism for this is the truth...why you're so defensive?...Arabism is the prevailing social behavior generally on the society,and even the King Abdullah,had advised all his people that instead of adhering Arabism culture,telling them to follow the Islamic culture!!!The king alone justify of what is the general view of the public about their society...

Ben, Jakarta | Mon, 22/11/2010 - 15:11pm
This is not about religion, this is not about nationalities, this is about cowards who abuse, rape, torture and even kill innocent women who work in a foreign country and have nowhere to go!! Let me make one thing perfectly clear for everyone reading the article and reading the comments, there is no excuse for rape, abuse, torture of any woman, whether she is black, yellow, purple, Muslim, Christian, Jew, in any country.

Balik-Islam, Jeddah,KSA | Mon, 22/11/2010 - 13:11pm
bab,dhaka
You are hypocrite and Liar,..and you are using the Taqeeya system...bab,dhaka, you are a spoilers of the evil people...People who are hypocrites like you..Ohh..I forgot,Lie is a major major sin in Islam...and why should I believe on you?You never see any of those bad people doing bad things,but only you read it from newspapers and hear it from so many nationalities maybe...Yet you are telling that they are good people...are you sure? Are you not in trouble if I will say you are a liar?Don't convince people on what brought them to Saudi because of materialism,you are funny,do you think Saudi's are not Materialistics?In the first place who offer first the opportunity,is it the South-east asian or is it the Saudi?Nobody can work in Saudi Arabia if Saudi are the one who offer first the job,right or wrong?Even the Southeast asian are willing to work in Saudi,but the Saudi don't like nobody can force them,right or wrong???...

Your argument is only showing your sympathy to these evils,to the extent that you are telling a lie to justify that they are good people...even you know that their remnance of being animalistic society,by burying their female child alive in the ground and the wine are their water like drink from their ancestral history...still you are depending them by lies...Bab,dhaka that is the reason why people especially those muslims hate them too much,because of that attitudes like yours as a liar...My friend, whether you like it or not,Salafa is no more,the contemporary arab muslim are no less than like the kuffar,they are now considered as a munafic who are pretentious to be a pious and angels like saint,because of the attitude like yours that can handle to tell lies ,in spite of the truth about these people...Shame on you!!!Ass hole Bab,dhaka..Be true to your self..Anjing Wahabbi!!!

Salau, Yogya | Mon, 22/11/2010
The govt knows very well in order to reduce the cases happen to TKI is to a total reform of the process sending migrant workers. What is happening now is just treating the symptoms. Like what the Phillipino govt has done. Of course there a lot of bastards out there who does not respect workers right, so the more the government has to clean up the house first in Indonesia with regards to the recruitment, placement, training, and more important make sure the laws are enforced. But I see no light to this as the corruptions is so rampant and the regards Indonesians have for others who become TKI is generally low. Clean up the house here first and others will respect your workers. Clean up the sponsors who cheated, the agencies who manipulate the workers and their documents, make sure the KBRI do their part and not just enjoying good perks working. All these are not possible without serious ENFORCEMENT. STOP TALKING.
bab, dhaka | Mon, 22/11/2010 - 11:11am
Truly, our lives are governed by only two types of needs: spiritual and material. Any imbalance between the two creates problems, tilted on either of the balance, it produces problem manifested by corruptions in all forms. Ben, I have no problem at all with either east or west, as these are relative orientations meant only for one purpose: as reference point.

As for the Saudis, noticed their imbalances? In the 70's, before the influx of foreign workers, we are told that Saudi merchants just leave their merchandises of gold, etc. uncovered, unguarded and unattended rushing for prayers, yet no one stole or dared to rob those items. Today, these are gone. Why? Environment changed with influx of foreign workers of all shades and colors along with their cultural backgrounds and standing. Who got corrupted? The Saudis, of course, and gone were their purity as Muslims.

Transpose that to our hapless fellowmen, who become "victims" of Saudi employers. What brought them to Saudi Arabia in the first place? It was sheer MATERIALISM, as if they cannot live or exist without leaving their beautiful homelands. This phenomenon sparked a tremendous force of local change with its catastrophic "demoralizing" effects, producing today's corrupted Saudis, discarding their high moral standard and rich cultural traditions. But this process is not unique to them as all others are facing this challenge.

When these two forces are not balanced, everything else collapsed: moral decay prevalent in the west, and hunger prevalent in the east, subject only to exception due to the current rapid material growth in former cradles of civilization: China and India. But still overall poverty incidence is still higher in the east than in the west. That explains the fact that many still seek work in the oil-rich Arab countries.

Yes, religion has no exact role here, but it is a strong moralizing force on either sides of the pole. Taken to the extreme along with narrow nationalistic frameworks such as the Judeo-Christian orientations of the Neo-cons in the US, one produces the likes of the Zionists who are depopulating the Palestinian Arabs. With all its money and power, the Zionists are still by far the most dangerous and fatal specie, not the sex hungry Saudis you so dislike. * * *

Thursday, November 18, 2010

SEJAK 1966 CUBA SOLIDER Dengan KAUM PROGRESIF INDONESIA

IBRAHIM ISA – PERISTIWA & REFLEKSI <5>
Kemis, 18 November 2010
-------------------------------------------------------------------

SEJAK 1966 CUBA SOLIDER Dengan
KAUM PROGRESIF INDONESIA

Penjelasan <5>
Havana, Cuba: Akhir1965/Januari 1966.
Hari-hari itu dimulai dari Jakarta, terus ke Jawa Tengah, lalu Jawa Timur sampai ke Bali, tentara melancarkan operasi penangkapan dan pembunuhan ekstra-judisial dengan bantuan sementara kekuatan politik nasionalis dan religius setempat. Korbannya adalah ribuan warganegara Indonesia yang cinta dan setia pada Republik Indonesia dan kepada Presiden Sukarno. Angin sakal angkara murka ini melanda manusia-manusia Indonesia tak bersalah, sampai lebih dari sejuta korban yang dibantai.

* * *

Di Havana --- Cuba, pada akhir Desember 1965 terdapat dua macam delegasi berhadap-hadapan. Masing-masing menyatakan mewakili Indonesia dalam Konferensi Trikontinental yang segera akan dimulai. Resminya dalam bahasa Inggris konferensi tsb disebut “AFRO-ASIAN-LATIN AMERICAN PEOPLE'S SOLIDARITY CONFERENCE”. Konferensi tsb berlangsung pada tanggal 03 – 12 Januari 1966. Tuan rumah adalah Cuba libre. Hadir dalam konferensi itu tidak kurang 540 utusan dari 84 negeri, dan para peninjau dari organisasi-organisasi internasional dan nasional, serta tamu-tamu undangan tuan-rumah, Cuba. Jumlah keseluruhannya kurang-lebih 1000 orang.

Mengapa sampai ada dua delegasi berhadap-hadapan yang akan mewakili Indonesia dalam Konferensi Trikontinental tsb?

Prosesnya: Setelah tanggal 1 Oktober 1965, situasi Indonesia mengalami perubahan drastis. Presiden Sukarno, formalnya masih menjabat Presiden RI, tetapi praktis tidak punya wewenang apa-apa lagi. Penguasa riil adalah Jendral Suharto. Pasca dihancurkannya G30S, bagian penting dari TNI, i.e. Kostrad , di bawah komando Panglima Kostrad, Jendral Suharto, telah mengambil alih kekuasaan dan wewenang TNI di tangannya sendiri. Serta-merta dimulai suatu kampanye persekusi berskala nasional. Sasaran korban adalah elemen-elemen progresif pendukung Presiden |Sukarno dalam TNI, anggota/calon anggotra PKI, simpatisan dan yang diduga mendukung PKI, serta lapisan luas kekuatan politik pendukung Presiden Sukarno.

Dengan latar belakang situasi Indonesia yang mengalami perubahan dratstis ini, Ibrahim Isa, Sekjen OISRAA, Organisasi Indonesia untuk Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika, wakil Indonesia di Sekretariat Setiakawan Asia-Afrika yang berkedudukan di Cairo, Mesir – anggota Organizing Committee, yang menyelenggarakan Konferensi Trikontinental bersama Cuba sebagai tuan rumah –-- menyatakan kepada Organizing Committee, bahwa diperkirakan dari Indonesia tidak akan datang delegasi. Penyebabnya, karena perubahan drastis situasi politik di Indonesia, yang tertjadi sejak 1 Oktober 1965.

Melalui konsultasi intensif di kalangan para wakil dan aktivis gerakan demokratis Indonesia, yang kebetulan sedang ada di luarnegeri ketika itu, kongkritnya ada di Havana, Cuba, ketika itu, telah disusun Delegasi Indonesia yang terdiri dari:

1). Fransiska Fanggidaej , pemimpin kantor berita INPS, anggota DPR-GR; 2). Umar Said, Bendahara PWAA – Persatuan Wartawan Asia-Afrika, Jkt, dan pemimpin s.k. Ekonomi Nasional; 3). Margono , Wakil Pemuda di organisasi internasional Gerakan Pemuda Demokratis Sedunia di Budapes; 4). Willy Hariandja ,Wakil Indonesia di Sekretariat Komite Perdamaian Asia-Pasifik; 5). Sugiri, pimpinan SOBSI; 6). Wiyanto SH, Wakil Indonesia di Sekretariat Juris AA di Conakry; 7). Suhardjo, wakil s.k. Harian Rakyat di majalah World Marxist Review, Praha; dengan 8). Ibrahim Isa sebagai ketuanya.


Penguasa militer di Jakarta berhasil menekan Departemen Luar Negeri RI mengirimkan sebuah 'delegasi Indonesia' ke Cuba. Ketuanya ditunjuk Brigjen Latif Hendraningrat. Di dalam 'delegasi' tsb dipasang seorang intel-militer dari Kostrad, Kolonel Slamet. Kol. Selamet adalah orang yang mengendalikan 'delegasi Jakarta' tsb.

Delegasi Indonesia yang dikirim dari Jakarta, adalah 'delegasi' yang diatur oleh penguasa. Jadi tidak mewakili organisasi massa. Organizing Committee menyadari perubahan drastis situasi politik Indonesia, yang menempuh politik luarnegeri yang bertentangan dengan garis politik gerakan Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika. Faktor-faktor tsb dan yang terpenting sudah berkuasanya fihak militer yang melakukan persekusi terhadap rakyat, maka:

Organizing Committee Konferensi Trikontinental yang diketuai oleh Cuba, memutuskan bahwa, yang sebenar-benarnya serta berhak mewakili gerakan setiakawan AA di Indonesia, adalah Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Ibrahim Isa.

'Delegasi' yang dikirim oleh penguasa militer di Jakarta ditolak. Mereka kembali ke Jakarta dengan tangan hampa. Fihak penguasa militer di Jakarta amat marah. Karena, peristiwa ini adalah yang pertama kalinya mengekpos di dunia internasional apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia.

Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Ibrahim Isa, oleh penguaqsa militer di Jakarta dicap sebagai agen-agen “G30S”. Paspor dan kewarganegaraan mereka dicabut. Penguasa militer di Jakarta menyatakan bahwa, Ketua Delegasi Indonesia, Ibrahim Isa, adalah 'pengkhianat bangsa'.

* * *

Delegasi Indonesia yang menyadari tanggungjawabnya terhadap bangsa dan tanah air, dengan tekun serta efektif melakukan pekerjaan di kalangan peserta Konferensi Trikontinental. Mereka menjelaskan tentang situasi di Indonesia yang sedang dilanda teror kontra-revolusioner. Pidato ketua delegasi Indonesia menjelaskan dengan seksama situasi gawat yang terjadi di Indonesia, sejak fihak militer mengambil alih kekuasaan riil di Indonesia. Delegasi Indonesia memberikan dukungan sepenuhnya kepada Presiden Sukarno. Setiap anggota delegasi berkiprah melakukan lobying di kalangan ratusan utusan yang hadir di Konferensi Trikontinental dan di kalangan jurnalis-jurnalis internasional yang datang ke Havana untuk meliput Konferensi Trikontinental.

Presiden Cuba, Fidel Castro khusus menemui Delegasi Indonesia dikamar Ketua Delegasi Indonesia di Hotel Habana Libre. Fidel Castro datang bersama seorang penterjemah dan pengawal. Beliau menyatakan dukungan kuat rakyat Cuba pada kaum progresif dan rakyat Indonesia. Pimpinan Delegasi Indonesia yang terdiri dari Ibrahim Isa, Francisca Fanggidaej dan Umar Said, yang bertemu dengan Presiden Cuba tsb, dengan terharu menyatakan terimakasih mendalam kepada Presiden Fidel Castro, atas dukungan Cuba terhadap kaum progresif, demokrat dan rakyat Indonesia. Dalam sidang penutupan Konferensi Trikontinental, Fidel Catro menyatakan di muka umum, bahwa keputusan Cuba mendukung Delegasi Indonesia itu, didasarkan pada prinsip perjuangan revolusioner anti-imperialis yang dipegang teguh Cuba, -- dengan mengambil risiko terganggunya hubungan diplomatik antara Cuba dan Indonesia.

Jerih payah segenap anggota Delegasi Indonesia tidak sia-sia. Konferensi Trikontinental dengan khidmat mengambil sebuah resolusi penting mengenai Indonesia, berjudul: “The First Afro-Asian-Latin American People's Solidarity Conference Strongly Protest The Suppression Of Democrats In Indonesia”.

Bahasa Indonesianya :

“KONFERENSI SETIAKAWAN RAKYAT-RAKYAT AFRO-ASIA-AMERIKA LATIN MEMPROTES KERAS PENINDASAN TERHADAP KAUM DEMOKRAT INDONESIA!”

Selain itu, sejumlah tidak kurang dari 30 tokoh internasional yang hadir dalam konferensi sebagai peserta maupun peninjau menandatangi sepucuk surat bersama kepada Presiden Sukarno tertanggal 11 Januari 1966.

Surat bersama kepada Presiden Sukarno tsb menyatakan prihatin mengenai situasi Indonesia, dimana kaum demokrat dan progresif mengalami persekusi kejam dan biadab oleh kekuatan reaksioner Indonesia. Surat bersama menyatakan bahwa gerakan progresif Indoneisa telah memberikan sumbangan besar dalam perjuangan bersama anti-imperialis dan anti-kolonialis untuk kemerdekaan nasional.

Surat bersama menyatakan dukungan kuat kepada Presiden Sukarno untuk memperkokoh persatuan dengan rakyat dalam mengatasi situasi gawat Indonesia.

* * *

Berikut ini adalah teks lengkap RESOLUSI Konferensi Trikontinental tsb.:

Konferensi Pertama Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin. Havana, Cuba, 03 – 12 Januari 1966.

RESOLUSI

KONFERENSI SETIAKAWAN RAKYAT-RAKYAT ASIA-AFRIKA-AMERIKA LATIN MEMPROTES KERAS PENINDASAN TERHADAP KAUM DEMOKRAT INDONESIA.

Konferensi pertama bersejarah Setiakawan Rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin, yang berlangsung di Havana dari tanggal 03 sampai 12 Januari 1966, dihadiri oleh 540 delegasi dari 84 negeri, serta para peninjau dari organisasi-organisasi internasional dan pelbagai negeri, dengan amat prihatin mengikuti perkembangan terakhir yang berlangsung di Indonesia.

Perkembangan sedemikian rupa, kaum kanan dan elemen-elemen reaksioner dalam kekuatan militer Indonesia sebagai tulang-punggungnya, dengan bekerjasama dengan dan didalangi oleh kaum imperialis AS melalui CIA, telah menyerang rakyat dan bangsa Indonesia. Telah melanggar kebebasan demokratis dan memecah-belah front nasional anti-imperialis, yang telah memberikan sumbangan penting pada perjuangan rakyat-rakyat untuk membela dan mencapai kemeredekaan nasional, juga untuk mengkonsolidasi Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin. Dewasa ini mereka sedang menggencarkan dan mengintensifkan kampanye anti-rakyat dan anti-komunis.

Sambil memecah-belah persatuan revolusioner rakyat Indonesia serta pura-pura berdiri di fihak Presiden Sukarno, mereka hakikatnya meneruskan kejahatan mereka mempersekusi semua kekuatan progresif, terutama kaum Komunis. Sebegitu jauh, sudah puluhan ribu rakyat di dalam gerakan progresif Indonesia telah dibunuh dengan kejam atau disiksa. Dengan demikian mengungkap watak fasis kekuatan reaksioner yang sekarang berkuasa ini.

Lebih dari 100.000 orang ditangkap. Diantaranya terdapat para pemimpin terkemuka gerakan buruh, tani, wanita, pemuda dan mahasiswa, dan juga para sarjana, sastrawan dan jurnalis. Lebih dari 15 universitas, akademi dan ratusan sekolah telah ditutup dengan sewenang-wenang. Para gurubesar dan mahasiswanya dipecat atau ditangkap. Lebih dari 30 surat-kabar dilarang dan lebih dari 300 jurnalis ditangkap adn dipersekusi.

Atas nama 'tindakan-tindakan revolusioner', kaum kanan Indonesia dan dengan elemen-elemen reaksioner di dalam tentara Indonesia, mereka melakukan segala macam aksi kontra-revolusioner. Atas nama “kiri” mereka membanting setir ke kanan. Atas nama menindas “Gerakan 30 September” mereka melakukan kup selangkah-demi-selangkah dengan cara yang paling khianat. Atas nama menindas “Gerakan 30 September” mereka menindas kaum komunis, dan dengan panji anti-komunis mereka menindas setiap demokrat
, tak peduli apakah mereka itu nasionalis, religius atau komunis.

Menghadapi aksi-aksi biadab kaum reaksioner Indonesia, rakyat Indonesia, teristimwa kaum buruh dan kaum tani yang lama menderita kekuasaan golongan anti-rakyat dan telah dibajakan dalam perjuangan panjang tampil melakukan perlawanan gigih melalui berbagai bentuk perjuangan. Bersama dengan anggota-anggota Empat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, mereka sekarang berlawan membela dan melindungi hasil-hasil yang dicapai Revolusi Indonesia dan pemikiran revolusioner Presiden Sukarno.

Sepenuhnya bersandar pada kekuatan progresif Indonesia dan persatuan dan setiakawan solid rakyat-rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin dalam perjuangan bersama dan konsisten mereka melawan imperialisme, Konferensi Pertama Setikawan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin memprotes keras aksi-aksi anti-demokratis kaum reaksioner Indonesia yang berkuasa sekarang serta menuntut dipulihkannya kebebasan demokratis di Indonesia, sebagaimana halnya menuntut dibebaskannya semua kaum demokrat yang ditahan.

Demi kepentingan perjuangan bersama kita melawan imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme dan subversi yang dilakukan oleh kaum imperialis dan antek-anteknya, dan sesuai dengan kewajiban suci kita untuk mempergencar aksi-aksi setiakawan dalam samangat Setiakawan Asia-AFrika-Amerika Latin, mari kita nyatakan dukungan kita kepada kekuatan progresif Indonesia.

* * *

Monday, November 15, 2010

SEJARAH BANGSA MUTLAK PERLU DIGELUTI & DITEKUNI

IBRAHIM ISA – Peristiwa Dan REFLEKSI – -- <4>
Senin, 15 November 2010
------------------------------------------------------------------------------------

SEJARAH, SEKALI LAGI SEJARAH BANGSA
MUTLAK PERLU DIGELUTI & DITEKUNI

Penjelasan <4>:

Publikasi kali ini adalah 'Catatan Peristiwa & Refleksi – – - Bg <4>

Artikel yg dipublikasi ini dibuat pada tanggal 28 November 1996. Ketika itu, di negeri kita masih berkuasa rezim Orba di bawah Presiden Suharto. Dunia komunikasi belum berkembang seperti sekarang. Belum ada media internet yg modern. Yang memungkinkan komunikasi dan lalu-lintas informasi lewat internet yang murah, yang boleh dikatakan gratis. Sehingga bisa dicapai dan dimanfaatkan oleh banyak orang.

Dibuatlah catatan 'pribadi' mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak 1996. Mengapa catatan baru dimulai sejak 1996? Karena ketika itu baru ada syarat, kesempatan dan peralatan padaku untuk membuat catatan demikian itu.
Tulisan dan Refleksi yang ditulis ketika itu besangkutan dengan SEJARAH BANGSA. Dibaca kembali catatan-catatan tsb, sesudah hampir 15 tahun berlalu, bagiku sendiri catatan itu adalah sesuatu yang menyegarkan kembali ingatan mengenai peristiwa-peristiwa tsb. Di lain segi, dimakudkan sebagai suatu cara untuk menarik manfaatnya dari catatan seperti itu.

Disajikan kembali untuk pembaca sekadar “BERBAGI-CERITA”. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

EMAS – YAHUDI DAN NETRALITAS Made in Swiss

Perang Dunia II sudah lebih dari 50 th yang lalu berakhir. Tapi dampaknya sampai sekarang masih terus. Soalnya masih ada hal-hal yang terselubung. Tapi juga sengaja ditutup-tutupi. Intermezo: Sudah lebih dari setengah abad berlalu Perang Dunia II usai. Tokh orang masih menikmati cerita serial TV, berjudul “Allo, allo”, sebuah sinetron komik produksi Inggris. Ceritanya berkisar pada kejadian di sebuah desa di Perancis, pada masa pendudukan Jerman Hitler. Lokasi yang jadi fokus: Sebuah café, yang dikelola oleh suami-istri René dan Edit. René adalah seorang oportunis yang bekerjasama dengan tentara pendudukan Jerman Hitler. Tapi, René juga memberikan bantuan kepada gerilyawan Komunis dan gerilyawan patriotik lainnya. Oleh kaum gerilyawan sekali tempo René dianggap kolaborator. Kali lain ia dianggap patriot. Yang lucu ialah bagaimana René memainkan peranannya sebagai kolaborator dan patriot sekaligus.

Dalam kehidupan pribadinya René pura-pura setia kepada istrinya Edit. Tetapi René diam-diam pacaran dengan Yvette salah seorang pelayan café yang 'seksi'. Dan dengan pelayan muda lainnya, yang mau. René berkolaborasi dengan sel;ubung netral. Yang terpenting baginya ialah menarik keuntungan dari situasi. Sinetron “Allo, allo” ini bisa dibilang termasuk seni.

Bicara mengenai peranan Swiss semasa Perang Dunia II, aku teringat pada cerita si René dari sinetron “Allo, allo”.

“NETRALITAS” Made In SWISS
Orang-orang Swiss mengatakan bahwa selama Perang Dunia II, Swiss bersikap netral. Tidak berfihak pada siapapun. Belakangan ramai dipersoalkan di pers maupun TV di Eropah dan Amerika Serikat. Ada berkilo-kilo emas yang masih numpuk di bank-bank di Swiss. Yang ternyata disimpan di situ oleh penguasa Nazi Jerman dulu. Dan, itu bukan milik mereka. Tetapi adalah emas rampasan dari orang-orang Yahudi yang mereka giring ke kamp-kamp konsentrasi. Termasuk, yang mereka cabut dari gigi-gigi emas mayat-mayat orang Yahudi yang mereka 'holokuskan'.

Menurut fihak bank-bank Swiss mereka telah menyerahkan emas tsb kepada fihak Sekutu seusainya Perang Dunia II. Dengan komitmen Sekutu bahwa dengan peneyerahan emas tsb kepada Sekutu, soalnya selesailah!

Tidak! Kata orang-orang Yahudi dari berbagai negeri termasuk negeri Belanda. Hanya sebagian saja dari tumpukan emas itu yang diserahkan kepada Sekutu. Menurut Belanda emas milik bank-bank Belanda yang dirampas Jerman dulu, ternyata semua itu ada di bank-bank Swiss. Pemerntah Belanda menuntut agar pemerintah Swiss jangan berdiam diri saja. Harus turun tangan. Jangan nurut saja pada tradisi kerahasiaan bank dari bank-bank Swiss.

Sudah banyak ditulis dan dibicarakan. bahwa serkarang ini, di bank-bank Swiss terdapat sejumlah besar uang yang disetor oleh berbagai mafia di dunia ini. |Teristimewa mafia-mafia penyelundup heroin. Bank-bank Swiss juga getol melakukan praktek pemutihan uang . Sejumlah koruptor di dunia, pejabat tinggi berbagai pemerinthan, termasuk presidennya, menyimpan uang hasil korupsi dan penggelapan, transaksi ilegal dsb. Semua itu disimpan di bank-bank Swiss. Bila penyimpan yang bersangkutan mati atau 'hilang', maka uang tsb menjadi milik bank-bank Swiss tsb. Uang yang berbau madat dan darah itu, dimasukkan dalam neraca (balans) untung/rugi dikatagorikanj sebagai 'laba'. Sampai sekarang mengenai emas yang dirampas Jerman Hitler yang ada di bank-bank Swiss, masalahnya masih m e n g g a n t u ng.

Netralitas Swiss! Apa betul bahwa selama Perang Dunia II, Swiss bersikap netral? Kami netral, kata orang-orang Swiss. Jika kami memberikan fasilitas ini atau itu, itu disebabkan karena kami tidak bisa berbuat lain. Kami juga memberikan sementara fasilitas kepada fihak Sekutu. Tapi, bagaimana kenyataannya?

Sebuah lembaga Yahudi, belum lama ini mengungkapkan, bahwa, banyak orang Yahudi yang selama Perang Dunia II melarikan diri dari pengejaran Hitler, mau ke Swiss, atau hanya sekadar mau lewat saja. Mereka-mereka itu tidak diizinkan masuk Swiss atau lewat sajapun tidak boleh.

Juga diketahui dari berbagai sumber dan dokumen, bahwa Swiss melakukan kolaborasi dengan Nazi-Jerman. Untuk orang-orang Swiss, fakta-fakta sejarah ini sulit mereka cernakan. Memang, bukan saja orang-orang Swiss yang ada soal dalam melihat serjarah negerinya semasa Perang Dunia II dan sekarang.

Emas milik orang lain, milik negeri lain, yang secara ilegal ditumpuk di bank-bank Swiss tidak bisa lebih lama lagi disembunyikan. Waktunya telah tiba soal-soal tsb menjadi terbuka.

* * *

Sulitnya Melihat Sejarah Bangsa Sendiri
Orang Swiss tampak mengalami kesulitan ketika orang lain menggugat bahwa selama Perang Dunia II bahkan sebelumnya, negerinya mengadakan kolaborasi terselubung dengan Nazi-Jerman. Selama ini dengan bangga mereka selalu mengatakan bahwa Swiss selalu bersikap netral semasa Perang Dunia II. Dicarilah alasan yang cocok. Harus dimaklumi, kata mereka yang membela Swiss berkolaborasi dengn Jerman Hitler. Swiss adalah sebuah negeri kecil yang dikelilingi oleh negeri-negeri besar seperti Jerman, Perancis dan Itali yang terlibat dalam Perang Dunia II. Jadi sulit. Tak ada jalan lain bagi Swiss selain bersikap seperti itu. Mungkinkah mengambil sikap netgral dalam situasi seperti itu?

Resminya Swiss menyatakan bahwa itu mungkin. Jadinya soalnya, bagaimana dalam tindakan betul-betul berbuat sesuai dengan apa yang dinyatakan keluar, yaitu n e t r a l .
Tapi dalam kenyataannya Swiss berat sebelah. Setelah selesai perangpun masih berusaha menyembunyikan emas yang ada di bank-bank Swiss, yang adalah milik orang-orang atau negeri-negeri yang menjadi korban agresi Nazi-Jerman.

PERANCIS NETRAL ??
Perancis juga idem dito. Sikapnya kurang lebih seperti sikap René, pemilik café di desa Perancis yang diduduki Jerman Hitler. Bahkan sikap Perancis itu lebih jelek lagi ketimbang sikap René. René tampaknya betul-betul terpaksa sekali melakukan kolaborasi. Tapi sekali tempo René membantu para gerilyawan yang melakukan perlawanan terhadap pendudukan Jerman. Lain dengan pemerintah Vichy di bawah Marsekal Petain, di bagian Selatan Perancis. Resminya pemerintah Marsekal Petain, adalah suatu pemerintahan yang berdaulat. Tidak diduduki oleh Jerman Hitler. Namun, Petain hakikatnya melakukan kolaborasi dengan Hitler.

Dalam kenyataannya, pemerintahan Marsekal Petain itu adalah pemerintah bonéka yang tunduk di bawah kekuasaan pendudukan Jerman Hitler. Sebagian orang Perancis menganggap bahwa, Marsekal Petanian dan pendukung-pendukungnya adalah kolaborator. Artinya bekerjasama dengan musuh. Sebagian orang Peraqncis lainnya beranggapan apa yang dilakukan oleh Petain, adalah demi menyelamatkan Perancis. Demi melindungi peri kehidupan rakyat dan harta-bendanya.

Jendral De Gaulle yang memimpin perang perlawanan terhadap Jerman Hitler, adalah sebagian dari kekuatan Sekutu dalam Perang dunia II. Ia bersikap hati-hati, tapi tokh, akhirnya tegas. Di bawah kekuasaan De Gaulle, Marsekal Petain diadili. Dan divonis hukuman mati. Kemudian diubah menjadi hukuman seumur hidup. Sebelum Marsekal Petain mati, dengan alasan kesehatannya yang memburuk, Petain dibebaskan dari penjara. Perubahan ini, dari tegas-tegas dihukum mati, menjadi hukuman seumur hidup, kemudian dibebaskan, mencerminkan sikap orang-orang Perancis terhadap kolaborasi Petain dengan Jerman Hitler.

* * *

Belum lagi kita bicara tentang penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Perancis terhadap pejuang-pejuang kemeredekaan Aljazair. Kekejamannya luar biasa. Ketika itu Perancis bertekad menjadikan Aljazir bagian dari Perancis Raya. Semangat orang-orang Perancis, terutama penguasanya, yang beranggapan bahwa Aljazair adalah bagian dari Perancsi Raya, a.l tampak dari sikap Partai Komunis Perancis. Partai Komunis Perancis tidak menyetujui perjuangan bersenjata pejuang-pejuang Aljazair. Mereka tidak setuju dengan perang kemerdekaan yang dilancarkan di bawah pimpinan Ben Bella ketika itu.

Partai Komunis dianggap adalah partai yang paling menentang kolonialisme. Tapi, untuk Aljazair ketika itu, Partai Komunis Perancis bukannya mengusahakan terbentuknya partai komunis yang berdiri sendiri di Alzair, tetapi, hanya mendirikan c a b a ng partai komunis Aljazair, yang merupakan bawahan dari Partai Komunis Perancis.

Dalam hal ini, orang-orang Komunis Belanda lebih konsekwen. anti-kolonial. Anggota Partai Komunis Belanda (CPN), Sneevliet, dengan aktif ikut dalam proses mendirikan PKI, yang berjuang untuk bebasnya Indonesia dari kekuasaan kolonialisme Belanda. Orang sering punya ukuran berbeda terhadap soal yang sama. Coba lihat di Perancis tidak ada orang yang diadili, atau dikutuk, karena melakukan kekejaman ketika ambil bagian dalam penindasan terhadap rakyat Aljazair. Tapi seorang mantan penguasa penting SS Hitler selama pendudukan Jerman di Lyon, diadili. Ia dijatuhi hukuman paling berat. Dan dikutuk sebagai 'pembantai' Lyon. Kejahatannya disebut sebagai kejahatan terhadap ummat manusia.

* * *

MAMANDANG KASUS PEMBANTAIAN DLM PERISTIWA 1965
Mengenai masalah bagaimana secara obyektif memandang sejarah bangsa sendiri, teristimewa bagaimana melihat tragedi yang terjadi di negeri sendiri, diperlukan kelapangan dada serta kejujuran. Hal ini sungguh sulit! Bagaimana kita melihat pembunuhan besar-besaran yang terjadi di negeri kita sendiri pada tahun-tahun 1965/66/67.

Dalam pidatonya pada tanggal 13 Oktober 1965, Presiden Sukarno menyatakan bahwa korban yang jatuh dalam pembantaian masal di berbagai wilayah di Indonesia, lebih banyak ketimbang korban perang Vietnam sekian tahun – ('Memoar Oei Tjoe Tat). Dalam bulan September 1996 yang lalu, Prof Dr Ben Anderson, seorang pakar ilmu politik di Cornell University, USA, dalam wawancaranya mengenai pembunuhan masal tsb, mengatakan, bahwa Suharto dan Angkatan Darat bertanggung-jawab terhadap pembunuhan masal tsb. Bahkan, menurut Anderson, adalah Angkatan Darat yang mempersiapkannya dengan teliti sekali.

Mengikuti perkembangan keadaan sebelum dan setelah terjadinya pembunuhan 6 orang jendral AD pada tanggal 1 Oktober 1965, naiknya Jendral Suharto melalui 'Supersemar' serta disingkirkannya Presiden Sukarno, sampai pada terbentuknya Orde Baru, maka tidaklah sulit untuk menarik kesimpulan yang sama seperti yang dilakukan oleh Prof Dr Ben Anderson.

* * *

Abdurrakhman Wahid, lebih populer sekarang dengan nama Gus Dur, mantan muridku di Perguruah KRIS di Jakarta pada tahun limapuluhan, dengan formulasinya sendiri pernah mengemukakan ide bahwa, ikut sertanya pemuda-pemuda Islam dalam pembuhnuhan masal yang terjadi setelah 1965, bukanlah suatu perbuatan yang terpuji. Tetapi, adalah perbuatan yang memalukan! Untuk mana seharusnya ada penyesalan – taubat?! Adam Malik selagi menjabat Menlu dalam pemerintahan Orba, mengatakan bahwa, pembunuhan masal itu adalah suatu bentrokan di kalangan rakyat sendiri. Tipikal sinisnya Adam Malik. Sedangkan Jendral (Prnw)Sumitro, pelaku aktif dalam menghancurkan PKI secara organisasi maupun fisik, ketika ditanya pendapatnya mengenai 'trauma' sejarah seperti peristiwa G30S/PKI . . . . . mantan panglima Kopkamtib itu mengatakan bahwa, hal itu 'jangan dipikirkan lagi karena menyebabkan kemunduran'.

Suatu usaha/kegiatan dari golongan intelektuil muda belum lama untuk mempelajari masalah itu, melalui studi khusus yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul “Bayang-bayang PKI”, terbentur oleh laqrangan pemerintah terhadap buku tsb. Bisa dipastikan bahwa, usaha golongan intelektuil muda untuk mencari dan berusaha mendekati kebenaran mengenai tragedi tsb, tak akan berhenti. Untuk sementara bisa ditekan, tetapi kegiatan dan usaha tsb akan berjalan terus. Penelitian dan studi di bidang sejarah dan politik adalah usaha untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sejarah kita. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan sejarah tidak bisa dibendung.

Sejarah itu sendiri telah berkali-kali menunjukkan hal itu. Untuk maju ke depan, harus bisa dengan jernih melihat ke belakang. Melihat apa yang sersungguhnya terjadi. Yang lebih penting lagi, ialah, membedakan mana yang benar dan mana yang keliru. Makanya pandangan Jendral (Prnw) Sumitro agar golongan muda jangan memikirkan yang sudah-sudah, adalah tidak sesuai dengan penelitian dan kemajuan ilmu. Tidak sesuai dengan arus dan kehausan penelitian ilmiah, serta perkembangan dan kemajuan nasion Indonesia.

Bukankah setiap individu, setiap manusia akan selalu berusaha menemikan,, mengenal dan memahami identitasnya sendiri. Juga suatu bangsa, sebagaimana halnya bangsa Indonesia, yang sebagai nasion muda masih dalam periode 'nation-building', pasti akan berusaha menemukan dan mengidentifikasi dirinya melalui pandangan ke belakang serta melihat ke depan.

Berarti memperlakukan sejarahg bangsanya sendiri dengan jujur dan ilmiah. Menengok ke belakang dengan tujuan tunggal untuk dengan mantap maju ke depan. Dalam ilmu tidak ada dendam dan balas-dendam. Yang ada ialah menarik pelajaran dari masa lalu.

* * *

Friday, November 12, 2010

"SYNDROOM MAU KUASA TERUS"

IBRAHIM ISA - Catatan PERISTIWA & REFLEKSI < 3 >
Jum'at, 12 November 2010
----------------------------------------------------------------------------

"SYNDROOM MAU KUASA TERUS"


Penjelasan <3>:
Publikasi kali ini adalah 'Catatan Peristiwa & Reflelso, bagian 3.

Artikel dibuat pada tanggal 12 Novemer 1996. Ketika itu, di negeri kita masih berkuasa rezim Orba di bawah Presiden Suharto. Dunia komunikasi belum berkembang melonjak. Belum ada media internet seperti sekarang. Yang memungkinkan komunikasi dan lalu-lintas informasi lewat internet yang murah, yang boleh dikatakan gratis. Sehingga bisa dicapai dan dimanfaatkan oleh banyak orang.

Dibuatlah catatan 'pribadi' mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak 1996. Mengapa catatan baru dimulai sejak 1996? Karena ketika itu baru ada syarat, kesempatan dan peralatan padaku untuk membuat catatan demikian itu.

Dibaca kembali catatan-catatan tsb, sesudah hampir 15 tahun berlalu, bagiku sendiri catatan itu adalah sesuatu yang menyegarkan kembali ingatan mengenai peristiwa-peristiwa tsb. Di lain segi, dimakudkan sebagai suatu cara untuk menarik manfaatnya dari catatan seperti itu.

Disajikan kembali untuk pembaca sekadar BERBAGI-CERITA. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

* * *

Kali ini tulisan yang disajikan:

"SYNDROOM MAU KUASA TERUS"

Dalam film dokumenter "De Grote Postweg", 1995, Pramudya Ananta Tur mengatakan bahwa dalam keadaan ia menderita 'writer's block', ia mengisi waktu dengan menyusun 'clippings' surat-surat kabar. Bisa menambah pengetahuan mengenai situasi, kata Pram. Aku fikir: Juga bisa menganalisa berita atau artikel-artikel tsb. Sering sangat menarik.

Hari ini, misalnya. Ada tulisan Prof Dr Maarten van Rossem (53 th.). Ia kolumnis surat kabar Belanda, 'de Volkskrant'. Ia juga historikus; terkait dengan Universitas Urtecht. Judul tulisannya hari ini, ialah 'Het onmisbaarheidsyndroom'. Bahasa Indonesianya kira-kira: 'Syndrom Orang yang BeranggapanTidak Bisa Digantikan'. Ini terjemahan bebas saja. Van Rossem mengemukakan bahwa untuk mengatasi syndrom tsb, Partai Republik di AS telah mengajukan usul-amandemen terhadap Undang-Undang Dasar AS. Amandemen ke-22 tsb membatasi masa jabatan seorang presiden sampai dua kali saja. Ini disebabkan , karena, F.D. Roosevelt sampai empat kali terpilih menjadi presiden AS.

Khawatir bahwa Partai Demokrat akan terus-menerus menguasai pemerintahan, Partai Republik mengajukan amandemen tsb. Amandemen ini diterima oleh Congres dan Senat AS.

Maka sekarang ini, di AS seorang presiden hanya bisa dipilih lagi untuk kedua-kalinya. Bagi Presiden Bill Clinton, ini adalah terakhir dia jadi presiden. Apakah ini suatu keunggulan dari sistim pemerintahan AS? Mungkin. Di Eropah tidak ada pengaturan serupa itu. Makanya, Margaret Thatcher (Inggris) bisa sampai lebih 8 tahun jadi perdana menteri. Juga Francois Mitterand bisa lama memegang tampuk pimpinan pemerintahan Perantjis. Kanselir Kohl (Jerman) idem dito. Juga PM Lubers dari Belanda, beberapa kali berurut-turut jadi PM.

Menurut Van Rossem, andai kata tepat pada waktunya, -- Thatcher, Lubbers maupun Mittereand mundur, maka ia bisa meninggalkan warisan pemerintahan dan kebijakan yang bisa dibanggakan. Tetapi, mereka itu ingin terus berkuasa. Jadi, pas pada waktu sudah mulai ada soal, maka baru turun. Begitu Thatcher. Begitu juga Lubbers maupun Mitterand.

* * *

Bagaimana halnya dengan partai Komunis. Yang berhasil memegang tampuk pimpinan kekuasaan negara?

Sering mereka berkuasa lewat suatu revolusi. Atau melalui aksi massa, atau pemilihan umum. Partai Komunis juga punya 'syndrom tidak bisa digantikan'. Teori tentang 'diktatur proletariat' telah memberikan dasar ideologi dan teori bagi partai Komunis untuk berbuat demikian. Celakanya ialah, bahwa, diktatur proletariat berubah menjadi diktatur partai. Kemudian menjadi diktatur klik. Akhirnya jadi diktatur perseorangan!

Sejarah Uni Sovyet dan negara-negara sosialis Eropah Timur, Asia dan Cuba menunjukkan hal tsb. Pas sekali seperti apa yang diungkapkan oleh van Rossem mengenai para pemimpin tsb dan partainya.

Van Rossem: Na al die lange jaren is het politieke aparaat dat de minister-president, de president of de kanselier omringt tot de laatsste man gevuld met zijn eigen politieke benoemingen. Van tegenspraak in de kring dat getrouwen is al lang geen sprake meer. . . . . Ten slotte eindigt de leider eenzaam en cynisch, opgelsoten in de cocon van zijn eigenlijke macht . . . . Voor de eigen politieke partij is de eeuwig regerende politicus een ramp. Potentiële opvolgers of concurenten worden beentje gelicht of verdwijn moedeloos in de coulissen. Het debat sterft, en slechts de slaafse meepraters en de baantjesjagers blijven over'.

Terjemahan bebas: Setelah bertahun-tahun lamanya (berkuasa), aparat politik yang mengitari perdana menteri, presiden, atau kanselir sampai orang yang terakhir adalah orang-orang pengangkatan politik yang dilakukan sang pemimpin sendiri. Yang berani menentang sang pemimpin, sudah lama tak ada lagi . . . . Demikianlah, sang pemimpin berakhir dalam suasana kesepian dan sinis, terpenjara dalam kepongpong kekuasaan ciptaannya sendiri . . . . Bagi partai politik sendiri, politikus yang kuasa sepanyang masa merupakan bencana. Penerus potensiil atau saingan disingkirkan atau hilang tak tentu rimbanya. Perdebatan mati tebunuh, hanyalah mereka-merekasaja, yaitu budak-budak tukang ngegongi (sang pemimpin) dan mereka-mereka, pencari kedudukanlah yang tinggal'.

Bagaimana perkembangn fikiran para pemimpin semacam ini yang terkena syndrom tsb? . .

Van Rossem: 'Dan begint hij langzaam te denken dat zijn positie even vanzelfsprekend als noodzakelijk is. Hij is een uitverkorene, hij is de enige die dit werk kan doen, hij wordt omringt door politieke dwergen, zonder hem zou het vaderland verloren zijn'.

Terjemahan bebas: Maka ia (sang pemimpin tsb) lama-lama mulai berfikir bahwa kedudukannya itu adalah sudah semestinya begitu, juga sesuatu yang sudah dengan sendirinya. Ia, sang pemimpin, adalah satu-satunya orang "pilihan", dialah satu-satunya orang yang mampu melakukan pekerjaan itu. Ia dikitari politikus-politikus kerdil. Ia beranggapan bahwa tanpa dirinya, maka negeri ini akan punah'.

* * *

Membaca ini, orang akan mengarahkan pandangan pada apa yang terjadi di Indonesia sekarang. Bukankah cocok sekali sistim pemerintahan Indonesia sekarang dan moralitas pemimpinnya, seperti yang dilukiskan oleh van Rossem?

Suharto dan orang-orang di sekitarnya, para pendukungnya, sebenarnya sudah lama keadaannya lebih parah ketimbang para pasien syndrom. Mereka menganggap negara Republik Indonesia sebagai milik pribadinya sendiri. Lebih celaka lagi. Mereka memperlakukan warganegara RI sebagai 'abdi-dalem' dan 'abdi-luar'-nya. Ketundukan mutlak pada pemimpin/penguasa adalah tugas utama dari setiap warganegara RI. Jendral Suharto memegang kendali kekuasaan negara lebih lama ketimbang Presiden Roosevelt dari AS, PM Thatcher dari Inggris, Presiden Mitterand dari Perancis, maupun Kanselir Kohl dari Jerman.

Tokh, ada perbedan besar!
Karena, para negarawan Eropah itu naik panggung pemerintahan melalui pemilihan umum yang ´luber´: langsung, umum, bebas dan rahasia. Di negeri-negeri tsb tidak ada kekangan terhadap hak-hak demokratis. Sedangkan Jendral Suharto menjadi presiden melalui menggulingan Presiden Sukarno. Melalui pembunuhan ratusan ribu rakyat, melalui penggunaan kekuatan militer. Dan Suharto sampai sekarang masih presiden Republik Indonesia. Tetapi Suharto tidak lagi sekokoh beberapa tahun yang lalu.

'Peristiwa Malari', tahun 1974, masih bisa diatasi oleh Suharto, dalam waktu singkat. Tetapi, belakangan ini keresahan dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan penyalah-gunaan kekuasaan, korupsi dan nepotisme semakin meluas dan mendalam. Ia meledak keluar dalam peristiwa 'Sabtu Berdarah', pada tanggal 27 Juli 1996. Sepintas lalu, di permukaan, tampaknya seperti masalah intern PDI, Partai Demokrat Indonesia. Hakikatnya peristiwa itu merupakan suatu tonggak baru pada jalan menuju Indonesia yang demokratis, adil dan makmur. Apalagi setelah KomnasHam terang-terangan menuding pemerintah dan militer/polisi sebagai penyebab dari Peristiwa 27 Juli 1966.

Baru pertama kali ini, suatu lembaga nasional yang dibentuk dan dibiayai oleh pemerintah begitu berani berterus terang. Selain, karena memang peristiwa itu sendiri begitu jelas duduk perkaranya, siapa yang menjadi dalangnya dan siapa yang jadi korban, dan siapa yang dikambing-hitamkan, yaitu PRD. Dari hari ke sehari bertambah banyak dan luas kaum muda intelektuil Indonesia yang menyadari keseriusan dan kegawatan keadaan negara kita. Keberanian merekapun semakin besar!

Perkembangan ini sangat membesarkan hati. Semakin memperbesar keyakinan, bahwa suatu ketika keadilan akan tegak kembali. Kaum muda dan intelektuil Indonesia selalu ada di barisan depan dalam memperjuangkan keadilan. Jalinan mereka dengan massa rakyat yang luas, i.e. rakyat pekerja di pabrik-pabrik dan di desa-desa, akhirnya memberikan dasar dan syarat tercapainya kemenangan.

* * *

Thursday, November 11, 2010

VATICAN Dan Teori Evolusi Chr. DARWIN

IBRAHIM ISA - Catatan PERISTIWA & REFLEKSI < 2 >
Minggu, 07 November 2010
----------------------------------------------------------------------------

VATICAN Dan Teori Evolusi Chr. DARWIN


Penjelasan:
Artikel ini dibuat pada tanggal 15 Novemer 1996. Ketika itu, di negeri kita masih berkuasa rezim Orba di bawah Presiden Suharto. Dunia komunikasi belum berkembang melonjak. Belum ada media internet seperti sekarang. Yang memungkinkan komunikasi dan lalu-lintas informasi lewat internet yang murah, yang boleh dikatakan gratis. Sehingga bisa dicapai dan dimanfaatkan oleh banyak orang.

Dibuatlah catatan 'pribadi' mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak 1996. Mengapa catatan baru dimulai sejak 1996? Karena ketika itu baru ada syarat, kesempatan dan peralatan padaku untuk membuat catatan demikian itu.

Dibaca kembali catatan-catatan tsb, sesudah hampir 15 tahun berlalu, bagiku sendiri catatan itu adalah sesuatu yang menyegarkan kembali ingatan mengenai peristiwa-peristiwa tsb. Di lain segi, dimakudkan sebagai suatu cara untuk menarik manfaatnya dari catatan seperti itu.

Disajikan kembali untuk pembaca sekadar untuk BERBAGI CERITA. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

* * *

Kali ini tulisan yang disajikan:

VATICAN Dan Teori Evolusi Charles DARWIN
Amsterdam, 15 November 1996
Beberapa kali teori-evolusi Charles Darwin muncul dalam fikiranku. Penyebabnya: Belakangan ini di Belanda timbul diskusi mengenai mata pelajaran apa yang harus diuji dalam ujian negara masuk perguruan tinggi. Pada suatu waktu, di masa kabinet Kristen-Demokrat (CDA), pertanyaan-pertanyaan yang besangkutan dengan teori-evolusi Darwin d i t i a d a k a n . Mulai tahun 1995 masaalah ini jadi bahan diskusi lagi. Karena pertanyaan-pertanyaan yang bersangkutan dengan teori Darwin itu diusulkan untuk diajukan lagi. Golongan gereja dan parta-partai Kristen mengajukan keberatannya. Karena hal itu berarti murid-murid terpaksa diberikan pelajaran itu. Sedangkan teori Darwin ini bertentangan dengan ajaran Kristen.

Tidak, kata fihak yang menyetujui dicantumkannya pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut teori Darwin. Di sini tak ada masalah paksaan. Karena teori Darwin disampaikan kepada murid-murid sebagai suatu pandangan teori yang ada di dunia ini. Sebagai salah satu dari teori dalam ilmu antroplologi.

Dalam berbagai majalah yang dikeluarkan berbagai gereja banyak artikel yang menyanggah teori evolusi Darwin. Sayang argumentasi yang diajukan untuk menentangnya sulit untuk digolongkan sebagai ilmiah. Memang bagi mereka , ide bahwa manusia adalah keturunan jalur yang langsung asalnya dari kera, dalam waktu panjang dianggap sangat mengerikan. Karena, menurut Kitab Injil, bukankah manusia itu diciptakan menurut contoh dan kesamaan dengan Tuhan.

* * *

Di luar dugaan. Bulan yang lalu, Oktober 1996, Akademi Ilmu Vatican , menyiarkan sebuah tulisan Paus. Teori evolusi, kata Paus, ternyata lebih daripada suatu hypotese belaka. Namun, tulis Paus lagi, rukh manusia samasekali terlepas dari hal itu, karena rukh diciptakan oleh Tuhan tanpa evolusi apapun.

Ini adalah rehabilitasi terhadap Darwin yang dilakukan oleh Paus Johannus Paulus II, setelah ia juga merehabilitasi Galliei. Kita ingat, bahwa, dalam tahun 1950, Paus Pius XII mengakui bahwa teori evolusi merupakan 'suatu hypotese yang serius. Meskipun bukan satu-sastunya. Paus jug mencanangkan bahwa kaum Komunis gairah sekali untuk menggunakan teori Darwin 'untuk mempropagandakan materialisme-dialektik mereka untuk menghapuskan samasekali kesadaran mengenai Ketuhanan'.

Jelas, ada perkembangan dalam pemikiran Pus Johanus Paulus II yang sekarang ini. Ia menjelaskan bahwa penemuan ilmu sejak 1950 telah mengangkat teori evolusi di atas watak hypotese. Ia bicara mengenai teori evolusi umumnya. Ia menolak pandangan materialis semata, yang menempatkan rukh di luar tinjauan samasekali. Di sini, menurut semantara komentar, Paus melihat kemungkinan rujuk antara ajaran mengenai evolusi jasmaniah dengan ajaran Katolik tentang penciptaan rukh.

Menurut akhli Vatican, Marco Politi, partner dalam penulisan bersama buku yang bikin heboh, berjudul "Yang Dipersucikan", rehabilitasi terhadap Darwin disebabkan oleh kekhawatiran Paus mengenai perkembangan fundamentalisme Kristen yang terutama terjadi di Amerika Serikat. Pandangan fundamentalisme Kristen tsb menganggap bahwa Kitab Injil harus dipatuhi kata-per-kata. Dan bahwa ajaran evolusi harus dicampakkan. Paus samasekali tidak mau, bahwa gereja dihalau ke kubu anti-ilmu.

Dunia ilmu-pengetahuan menyambutnya, mulai dengan sikap 'lebih baik terlambat dari tidak samasekali', sampai pada antusias.

Aku ingat pembicaraanku dengan almarhum dr A.W.J Suradi, seorang Katolik yang saleh. Dr Suradi adalah dokter-sekoleh kami, di Perguruan KRIS, tahun 1950-an, di Jakarta. Dr Suradi menegaskan bahwa dalam dunia ilmu dia seorang realis. Artinya, dalam kehidupan rukhaniah ia seorang Katolik yang percaya pada Kitab Injil. Ia tidak melihat ada tembok besar antara kedua hal itu. Tetapi jelas membedakannya. Tidak mencampur-adukkannya. Semacam sikap rujuk juga.

Dr Suradi lebih cepat mengambil kesimpulan ketimbang Paus Johanus Paulus II. Seorang Katolik Indonesia, bisa lebih jernih pandangannya ketimbang seorang Paus.

Hidup Indonesia!

Frans de Waal, seorang primatoloog, dalam bukunya yang terbaru berjudul 'Good Natured - The Origins of Right and Wrong in Humans and Other Animals', menyatakan bahwa 'Manusia dan khewan laiinya memiliki kemampuan untuk dengan tulus mencintai, bersimpati dan berprihatin. Suatu kenyataan yang pada suatu hari sepenuhnya bisa dipersatukan dengan ide bahwa perwujudan diri genitis merupakan tenaga penggerak di belakang evolusi'.

* * *

SEKITAR KUNJUNGAN PRESIDEN BARACK OBAMA KE INDONESIA

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 08 November 2010
---------------------------------
SEKITAR KUNJUNGAN PRESIDEN BARACK OBAMA KE INDONESIA

Kunjungan Presiden AS Barack Obama, kalau tokh jadi, dimulai besok, pada tanggal 09 November 2010. Diberitakan, bahwa kunjungan Obama tidak tiga hari, seperti berita yang tersiar beberapa hari yang lalu. Tetapi kurang lebih 24 jam saja. Aneh. Rencana kunjungan Obama ke Indonesia sudah dua kali ditunda, karena berbagai sebab dalam negeri AS, yang menyebabkan ia tidak bisa meninggalkan negerinya.

Akhirnya tokh akan jadi juga, tapi hanya untuk 24 jam saja. Seperti kunjungan 'sambil lalu' saja. Memang ada musibah di negeri kita. Semburan hawa dan debu panas gunung Merapi di Jawa Tengah, berbarengan dengan bencana tsumani di Mentawai, tidak bisa lain -- mengharuskan perhatian masyarakat lebih tertuju pada usaha mengatasi dan membantu rakyat yang kena musibah.

Obama juga tidak dalam keadaan 'gembira'. Partainya baru saja mengalami kekalahan cukup besar dalam pemilihan 'midterm' di Amerika beberapa hari yang lalu, sehingga Partai Demokrat kehilangan mayoritasnya di Congress. Obama harus mencari jalan untuk memuluskan roda pemerintahannya: Ia harus mengambil langkah mundur. Obama mengulurkan tangan 'kerjasama' kepada Partai Republik yang merupakan oposisi yang begitu bergairah merintangi setiap program Presiden Obama.

* * *

Dari tanggapan dan pernyataan pelbagai tokoh politik dan pejabat Indonesia tercermin minimnya pengetahuan mereka-mereka itu mengenai Amerika dan Presiden Obama. Istimewa mengenai pandangannya terhadap hubungan Indonesia - Amerika Serikat. Bisa dipastikan kalangan elite dan politisi 'kita' serta pejabat Indonesia tsb tidak serius membaca dan mempelajari bagaimana situasi politik AS sekarang. Siapa Obama dan apa pandangan dan visi politiknya mengenai AS dan dunia. Khususnya pandangannya mengenai dunia Islam dan Indonesia dimana ia pernah berdomisili bersama orangtuanya.

* * *

Yang terpenting ialah bahwa Barack Obama pernah MENULIS buku, dimana ia berkisah tentang masa kecilnya di Indonesia. Di buku berikutnya, Obama menulis tentang politik Indonesia. Ini dilakukannya setelah ia menjadi Senator USA. Sesudah ia menjadi politikus. Tulisannya di dalam bukunya “THE AUDICITY OF HOPE – Thoughts On Reclaiming The American Dream”, Obama memerlukan kurang lebih 10 halaman mengisahkan kenangan dan PENDANGANNYA tentang Indonesia. Sebelum dan semasa Orba.

Bagaimana persisnya pandangan/sikap Barack Obama megenai rezim Orba di bawah Presiden Suharto? Berani kukatakan: Obyektif, dilihat dari pandangan politisi Amerika umumnya dewasa ini. Dalam bukunya itu Obama jelas menilai bahwa yang terjadi di Indonesia dalam tahun 1965 adalah perebutan kekuasaan oleh Jendral Suharto.

Obama juga jelas menggambarkan jumlah luar biasa orang Indonsia yang tak bersalah yang jadi korban kampanye pembersihan golongan militer; pada masa-masa Suharto mulai berkuasa. Presiden SBY mutlak harus membaca baik-baik, sedikitnya bagian tentang Indonesia. Yang ditulis Obama dalam bukunya itu, adalah pandangan kritis, tajam dan pasti tidak disukai oleh elite dewasa ini yang masih belum lepas dari pandangan versi Orba mengenai Peristiwa 1965. Termausk “penasihat-penasihat politik” SBY benar-benar harus tau isi politik buku-buku Obama itu.

* * *

Sebagai ilustrasi mari kita jenguk sebagian (kecil) pandangn Obama mengenai Indonesia menjelang dan ketika kekuasaan negara 'bergésér' dari Presiden Sukarno ke Jendral Suharto.

“Sukarno proved to be a major disappointment to Washington. Along with Nehru of India and Nasser of Egypt, he helped found the nonaligned movement, an effort by nations newly liberated from colonial rule to navigate an independent path between the West anf the Soviet bloc. Indonesia's Cmmunist Party, although never formally in power, grew in size and influence. Sukarno himself ramped up the anti-Western rhetoric, nationalizing key industries, rejecting U.S. aid, and strengthening ties with the Soviets and China. With U.S. Forces knee-deep in Vietnam and the domino theory still a central tenet of U.S. Foreign policy, the CIA began providing covert support to various insurgencies inside Indonesia, and cultivated close links with Indonesia's military officers, many of whom had been trained in the Unite States. In 1965, under the leadership of General Suharto, the military moved against Sukanro, and under emergency powers began a massive purge of communists and their symphathizers. According to estimates, between 500.ooo and one million people were slaughtered during the purge, with 750.000 others imprisoned or forced to exile”.
(Barack Obama – THE AUDICITY OF HOPE. Thoughts on Reclaiming The American Dream, First published (2006) in New York, the U.S. by The Crown Publishers; Chapter 8, The World Beyond Our Borders, page 272-273. Paperback edition, by Canongates Book, 2008.)

* * *

Jelas, dikemukakan mengapa Washington 'tak suka' kepada Sukarno. Penyebabnya: -- Sukarno bersama Nehru dan Nasser membangun kekuatan baru Gerakan Non-Blok, yang dikatakan Obama sebagai, suatu usaha untuk menempuh politik yang bebas dari Barat maupun blok-Soviet. Juga terang dijelaskan, bahwa di bawah 'teori domino' yang menjadi pendirian politik laurnegeri AS, CIA mendukung pemberontakan di daerah, (maksudnya PRRI, Permesta dan GAM, Gerakan Aceh Merdeka), meskipun tidak ditulis hitam di atas putih. Juga gamblang sekali dijealskan bahwa CIA membangun jaringannya dengan perwira-perwira tentara. Hasilnya, pada tahun 1965 di bawah Jendral Suharto dilakukan perebutan kekuasaan negara.

Selanjutnya Obama mengungkapkan bahwa pada 'pembersihan' yang dilakukan Suharto terhadap kaum Komunis dan simpatisannya, telah jatuh korban sekitar 500.000 sampai 1 juta orang. Tambah lagi 750.000 orang yang dipenjarakan atau terpaksa eksil. Sepanjang ingatan, belum pernah ada politisi Amerika Serikat, yang anggota Senat, bicara begitu jelas mengenai Peristiwa 1965 dan korban yang jatuh.
Jelas sekali Obama samasekali tidak menganggap Peristiwa Pembantaian 1965 itu sebagai suatu KONFLIK HORIZONTAL, suatu konflik di antara kekuatan-kekuatan DIDALAM masyarakat. Dari pengemukaannya mengenai Peristiwa 1965, ia berpendapat bahwa Peristiwa 1965 dan korban yang jatuh, adalah suatu KONFLIK VERTIKAL. Antara yang punya kekuasaan dengan rakyat biasa. Bukan sutu konflik di kalangan masyrakat.

* * *

Itu adalah pandangan Obama (ketika itu masih belum Presiden AS) mengenai Indonesia periode itu. Jelas 'obyektif'. Ia menulis setelah beberapa tahun menjadi politikus. Dari 1996 s/d 2004 ia terpilih dan aktif di Senat negara bagian. Dari 2005 s/d 2008 ia terpilih di Senat Amerika Serikat (pusat). Mari ikuti lagi bagian berikutnya dari bukunya mengenai Indonesia ketika itu.

“It was two years after the purge began, in 1967, the same year that Suharto assumed the presidency, that my mother and I learned in Jakarta, a consequence of her remarriage to an Indonesian student (Lolo Soetoro) whom she'd met at the University of Hawaii. I was six at the time, my mother twenty-four. In later years my mother would insist that had she known what had transpired in the preceeding months, we never whould have made the trip. But she didn't – the full story of the coup and the purge was slow to appeara in American newspapers. (Ibid)

Dari uraian Obama diatas, juga jelas bahwa ibunda Obama, Ann Dunham, tidak akan mau ke Indonesia, andaikata ia tau apa yang terjadi sebelumnya di Indoneisa. Maksdnya, G30S dam Peristiwa Pembantaian1965, serta perebutan kekuasan negara oleh Jendral Suharto.
* * *

Tahukah tuan rumah Indonesia, teristimewa Presiden SBY tentang sepucuk surat terbuka yang dikirimkan oleh sebuah organisasi hak-hak azasi manusia di Amerika Serikat. Surat terbuka dari Amnesty International Amerika kepada Presiden Barack Obama itu dikirimkan menjelang kedatangan Obama ke Indonesia akhir Maret lalu, yang kemudian ditunda itu.

Arti penting surat AI-USA tsb ialah bahwa saran atau pesan yang disampaikannya kepada Presiden Obama ketika berkunjung ke Indonesia nanti, begitu gamblang dan begitu jelas.

Amnesty International – USA mengingatkan kepada Presiden Obama, a.l. sbb:
“ Ketika berkunjung di Indonesia nanti, kami mendesak dengan kuat untuk mengadakan pertemuan dengan mereka-mereka yang membela hak-hak azasi manusia dan para keluarga korban kesewenang-wenangan negara, teristimewa para warganegara sipil yang dibunuh pada periode kekacauan politik 1965. Kami juga mendesak Anda untuk memberikan pernyataan terbuka peranan apa yang dimainkan dalam Kemintraan Komprehensif AS-Indonesia dan tekankan bahwa hak-hak azasi manusia akan memainkan peranan penting sama pentingnya dengan peranan perdagangan dan keamanan. . . . .”
* * *

OBAMA's VISIT TO INDONESIA (1)

IBRAHIM ISA'S FOCUS
Wednesday, 10 October 2010
------------------------------------

OBAMA's VISIT TO INDONESIA (1)
Obama Speech at University of Indonesia
Thank you for this wonderful welcome. Thank you to the people of Jakarta. And thank you to the people of Indonesia.I am so glad that I made it to Indonesia, and that Michelle was able to join me. We had a couple of false starts this year, but I was determined to visit a country that has meant so much to me. Unfortunately, it’s a fairly quick visit, but I look forward to coming back a year from now, when Indonesia hosts the East Asia Summit.
Before I go any further, I want to say that our thoughts and prayers are with all of those Indonesians affected by the recent tsunami and volcanic eruptions - particularly those who have lost loved ones, and those who have been displaced. As always, the United States stands with Indonesia in responding to this natural disaster, and we are pleased to be able to help as needed. As neighbors help neighbors and families take in the displaced, I know that the strength and resilience of the Indonesian people will pull you through once more.
Let me begin with a simple statement: Indonesia is a part of me. I first came to this country when my mother married an Indonesian man named Lolo Soetoro. As a young boy, I was coming to a different world. But the people of Indonesia quickly made me feel at home.
Jakarta looked very different in those days. The city was filled with buildings that were no more than a few stories tall. The Hotel Indonesia was one of the few high rises, and there was just one brand new shopping center called Sarinah. Betchaks outnumbered automobiles in those days, and the highway quickly gave way to unpaved roads and kampongs.
We moved to Menteng Dalam, where we lived in a small house with a mango tree out front. I learned to love Indonesia while flying kites, running along paddy fields, catching dragonflies, and buying satay and baso from the street vendors. Most of all, I remember the people - the old men and women who welcomed us with smiles; the children who made a foreigner feel like a neighbor; and the teachers who helped me learn about the wider world.
Because Indonesia is made up of thousands of islands, hundreds of languages, and people from scores of regions and ethnic groups, my times here helped me appreciate the common humanity of all people. And while my stepfather, like most Indonesians, was raised a Muslim, he firmly believed that all religions were worthy of respect. In this way, he reflected the spirit of religious tolerance that is enshrined in Indonesia’s Constitution, and that remains one of this country’s defining and inspiring characteristics.
I stayed here for four years - a time that helped shape my childhood; a time that saw the birth of my wonderful sister, Maya; and a time that made such an impression on my mother that she kept returning to Indonesia over the next twenty years to live, work and travel - pursuing her passion of promoting opportunity in Indonesia’s villages, particularly for women and girls. For her entire life, my mother held this place and its people close to her heart.
So much has changed in the four decades since I boarded a plane to move back to Hawaii. If you asked me - or any of my schoolmates who knew me back then - I don’t think any of us could have anticipated that I would one day come back to Jakarta as President of the United States. And few could have anticipated the remarkable story of Indonesia over these last four decades.
The Jakarta that I once knew has grown to a teeming city of nearly ten million, with skyscrapers that dwarf the Hotel Indonesia, and thriving centers of culture and commerce. While my Indonesian friends and I used to run in fields with water buffalo and goats, a new generation of Indonesians is among the most wired in the world - connected through cell phones and social networks. And while Indonesia as a young nation focused inward, a growing Indonesia now plays a key role in the Asia Pacific and the global economy.
This change extends to politics. When my step-father was a boy, he watched his own father and older brother leave home to fight and die in the struggle for Indonesian independence. I’m happy to be here on Heroes Day to honor the memory of so many Indonesians who have sacrificed on behalf of this great country.
When I moved to Jakarta, it was 1967, a time that followed great suffering and conflict in parts of this country. Even though my step-father had served in the Army, the violence and killing during that time of political upheaval was largely unknown to me because it was unspoken by my Indonesian family and friends. In my household, like so many others across Indonesia, it was an invisible presence. Indonesians had their independence, but fear was not far away.
In the years since then, Indonesia has charted its own course through an extraordinary democratic transformation - from the rule of an iron fist to the rule of the people. In recent years, the world has watched with hope and admiration, as Indonesians embraced the peaceful transfer of power and the direct election of leaders. And just as your democracy is symbolized by your elected President and legislature, your democracy is sustained and fortified by its checks and balances: a dynamic civil society; political parties and unions; a vibrant media and engaged citizens who have ensured that - in Indonesia - there will be no turning back.
But even as this land of my youth has changed in so many ways, those things that I learned to love about Indonesia - that spirit of tolerance that is written into your Constitution; symbolized in your mosques and churches and temples; and embodied in your people - still lives on. Bhinneka Tunggal Ika - unity in diversity. This is the foundation of Indonesia’s example to the world, and this is why Indonesia will play such an important role in the 21st century.
So today, I return to Indonesia as a friend, but also as a President who seeks a deep and enduring partnership between our two countries. Because as vast and diverse countries; as neighbors on either side of the Pacific; and above all as democracies - the United States and Indonesia are bound together by shared interests and shared values.
Yesterday, President Yudhoyono and I announced a new, Comprehensive Partnership between the United States and Indonesia. We are increasing ties between our governments in many different areas, and - just as importantly - we are increasing ties among our people. This is a partnership of equals, grounded in mutual interests and mutual respect.
With the rest of my time today, I’d like to talk about why the story I just told - the story of Indonesia since the days when I lived here - is so important to the United States, and to the world. I will focus on three areas that are closely related, and fundamental to human progress - development, democracy, and religion.
First, the friendship between the United States and Indonesia can advance our mutual interest in development.
When I moved to Indonesia, it would have been hard to imagine a future in which the prosperity of families in Chicago and Jakarta would be connected. But our economies are now global, and Indonesians have experienced both the promise and perils of globalization: from the shock of the Asian financial crisis in the 1990s to the millions lifted out of poverty. What that means - and what we learned in the recent economic crisis - is that we have a stake in each other’s success.
America has a stake in an Indonesia that is growing, with prosperity that is broadly shared among the Indonesian people - because a rising middle class here means new markets for our goods, just as America is a market for yours. And so we are investing more in Indonesia, our exports have grown by nearly 50 percent, and we are opening doors for Americans and Indonesians to do business with one another.
America has a stake in an Indonesia that plays its rightful role in shaping the global economy. Gone are the days when seven or eight countries could come together to determine the direction of global markets. That is why the G-20 is now the center of international economic cooperation, so that emerging economies like Indonesia have a greater voice and bear greater responsibility. And through its leadership of the G-20’s anti-corruption group, Indonesia should lead on the world stage and by example in embracing transparency and accountability.
America has a stake in an Indonesia that pursues sustainable development, because the way we grow will determine the quality of our lives and the health of our planet. That is why we are developing clean energy technologies that can power industry and preserve Indonesia’s precious natural resources - and America welcomes your country’s strong leadership in the global effort to combat climate change.
Above all, America has a stake in the success of the Indonesian people. Underneath the headlines of the day, we must build bridges between our peoples, because our future security and prosperity is shared. That is exactly what we are doing - by increased collaboration among our scientists and researchers, and by working together to foster entrepreneurship. And I am especially pleased that we have committed to double the number of American and Indonesian students studying in our respective countries - we want more Indonesian students in our schools, and more American students to come study in this country, so that we can forge new ties that last well into this young century.
These are the issues that really matter in our daily lives. Development, after all, is not simply about growth rates and numbers on a balance sheet. It’s about whether a child can learn the skills they need to make it in a changing world. It’s about whether a good idea is allowed to grow into a business, and not be suffocated by corruption. It’s about whether those forces that have transformed the Jakarta that I once knew -technology and trade and the flow of people and goods - translate into a better life for human beings, a life marked by dignity and opportunity.
This kind of development is inseparable from the role of democracy.
Today, we sometimes hear that democracy stands in the way of economic progress. This is not a new argument. Particularly in times of change and economic uncertainty, some will say that it is easier to take a shortcut to development by trading away the rights of human beings for the power of the state. But that is not what I saw on my trip to India, and that is not what I see in Indonesia. Your achievements demonstrate that democracy and development reinforce one another.
Like any democracy, you have known setbacks along the way. America is no different. Our own Constitution spoke of the effort to forge a “more perfect union,” and that is a journey we have travelled ever since, enduring Civil War and struggles to extend rights to all of our citizens. But it is precisely this effort that has allowed us to become stronger and more prosperous, while also becoming a more just and free society.
Like other countries that emerged from colonial rule in the last century, Indonesia struggled and sacrificed for the right to determine your destiny. That is what Heroes Day is all about - an Indonesia that belongs to Indonesians. But you also ultimately decided that freedom cannot mean replacing the strong hand of a colonizer with a strongman of your own.
Of course, democracy is messy. Not everyone likes the results of every election. You go through ups and downs. But the journey is worthwhile, and it goes beyond casting a ballot. It takes strong institutions to check the concentration of power. It takes open markets that allow individuals to thrive. It takes a free press and an independent justice system to root out abuse and excess, and to insist upon accountability. It takes open society and active citizens to reject inequality and injustice.
These are the forces that will propel Indonesia forward. And it will require a refusal to tolerate the corruption that stands in the way of opportunity; a commitment to transparency that gives every Indonesian a stake in their government; and a belief that the freedom that Indonesians have fought for is what holds this great nation together.
That is the message of the Indonesians who have advanced this democratic story - from those who fought in the Battle of Surabaya 55 years ago today; to the students who marched peacefully for democracy in the 1990s, to leaders who have embraced the peaceful transition of power in this young century. Because ultimately, it will be the rights of citizens that will stitch together this remarkable Nusantara that stretches from Sabang to Merauke - an insistence that every child born in this country should be treated equally, whether they come from Java or Aceh; Bali or Papua.
That effort extends to the example that Indonesia sets abroad. Indonesia took the initiative to establish the Bali Democracy Forum, an open forum for countries to share their experiences and best practices in fostering democracy. Indonesia has also been at the forefront of pushing for more attention to human rights within ASEAN. The nations of Southeast Asia must have the right to determine their own destiny, and the United States will strongly support that right. But the people of Southeast Asia must have the right to determine their own destiny as well. That is why we condemned elections in Burma that were neither free nor fair. That is why we are supporting your vibrant civil society in working with counterparts across this region. Because there is no reason why respect for human rights should stop at the border of any country.
Hand in hand, that is what development and democracy are about - the notion that certain values are universal. Prosperity without freedom is just another form of poverty. Because there are aspirations that human beings share - the liberty of knowing that your leader is accountable to you, and that you won’t be locked up for disagreeing with them; the opportunity to get an education and to work with dignity; the freedom to practice your faith without fear or restriction.
Religion is the final topic that I want to address today, and - like democracy and development - it is fundamental to the Indonesian story.
Like the other Asian nations that I am visiting on this trip, Indonesia is steeped in spirituality - a place where people worship God in many different ways. Along with this rich diversity, it is also home to the world’s largest Muslim population - a truth that I came to know as a boy when I heard the call to prayer across Jakarta.
Just as individuals are not defined solely by their faith, Indonesia is defined by more than its Muslim population. But we also know that relations between the United States and Muslim communities have frayed over many years. As President, I have made it a priority to begin to repair these relations. As a part of that effort, I went to Cairo last June, and called for a new beginning between the United States and Muslims around the world - one that creates a path for us to move beyond our differences.
I said then, and I will repeat now, that no single speech can eradicate years of mistrust. But I believed then, and I believe today, that we have a choice. We can choose to be defined by our differences, and give in to a future of suspicion and mistrust. Or we can choose to do the hard work of forging common ground, and commit ourselves to the steady pursuit of progress. And I can promise you - no matter what setbacks may come, the United States is committed to human progress. That is who we are. That is what we have done. That is what we will do.
We know well the issues that have caused tensions for many years - issues that I addressed in Cairo. In the 17 months that have passed we have made some progress, but much more work remains to be done.
Innocent civilians in America, Indonesia, and across the world are still targeted by violent extremists. I have made it clear that America is not, and never will be, at war with Islam. Instead, all of us must defeat al Qaeda and its affiliates, who have no claim to be leaders of any religion - certainly not a great, world religion like Islam. But those who want to build must not cede ground to terrorists who seek to destroy. This is not a task for America alone. Indeed, here in Indonesia, you have made progress in rooting out terrorists and combating violent extremism.
In Afghanistan, we continue to work with a coalition of nations to build the capacity of the Afghan government to secure its future. Our shared interest is in building peace in a war-torn land - a peace that provides no safe-haven for violent extremists, and that provides hope for the Afghan people.
Meanwhile, we have made progress on one of our core commitments - our effort to end the war in Iraq. 100,000 American troops have left Iraq. Iraqis have taken full responsibility for their security. And we will continue to support Iraq as it forms an inclusive government and we bring all of our troops home.
In the Middle East, we have faced false starts and setbacks, but we have been persistent in our pursuit of peace. Israelis and Palestinians restarted direct talks, but enormous obstacles remain. There should be no illusions that peace and security will come easy. But let there be no doubt: we will spare no effort in working for the outcome that is just, and that is in the interest of all the parties involved: two states, Israel and Palestine, living side by side in peace and security.
The stakes are high in resolving these issues, and the others I have spoken about today. For our world has grown smaller and while those forces that connect us have unleashed opportunity, they also empower those who seek to derail progress. One bomb in a marketplace can obliterate the bustle of daily commerce. One whispered rumor can obscure the truth, and set off violence between communities that once lived in peace. In an age of rapid change and colliding cultures, what we share as human beings can be lost.
But I believe that the history of both America and Indonesia gives us hope. It’s a story written into our national mottos. E pluribus unum - out of many, one. Bhinneka Tunggal Ika - unity in diversity. We are two nations, which have travelled different paths. Yet our nations show that hundreds of millions who hold different beliefs can be united in freedom under one flag. And we are now building on that shared humanity - through the young people who will study in each other’s schools; through the entrepreneurs forging ties that can lead to prosperity; and through our embrace of fundamental democratic values and human aspirations..
Earlier today, I visited the Istiqlal mosque - a place of worship that was still under construction when I lived in Jakarta. I admired its soaring minaret, imposing dome, and welcoming space. But its name and history also speak to what makes Indonesia great. Istiqlal means independence, and its construction was in part a testament to the nation’s struggle for freedom. Moreover, this house of worship for many thousands of Muslims was designed by a Christian architect.
Such is Indonesia’s spirit. Such is the message of Indonesia’s inclusive philosophy, Pancasila. Across an archipelago that contains some of God’s most beautiful creations, islands rising above an ocean named for peace, people choose to worship God as they please. Islam flourishes, but so do other faiths. Development is strengthened by an emerging democracy. Ancient traditions endure, even as a rising power is on the move.
That is not to say that Indonesia is without imperfections. No country is. But here can be found the ability to bridge divides of race and region and religion - that ability to see yourself in all individuals. As a child of a different race coming from a distant country, I found this spirit in the greeting that I received upon moving here: Selamat Datang. As a Christian visiting a mosque on this visit, I found it in the words of a leader who was asked about my visit and said, “Muslims are also allowed in churches. We are all God’s followers.”
That spark of the divine lies within each of us. We cannot give in to doubt or cynicism or despair. The stories of Indonesia and America tell us that history is on the side of human progress; that unity is more powerful than division; and that the people of this world can live together in peace. May our two nations work together, with faith and determination, to share these truths with all mankind.
(Source: Obama-Mamas.com)
---------------------------------
Tuesday, November 09, 2010
Hailing President Obama's Speech . . . . .
The White House is hailing President Obama's Wednesday, Nov. 10 morning speech at the University of Indonesia in Jakarta as a follow-up to the speech he gave in Cairo, Egypt in 2009, in terms of outreach to the Muslim world.

President Obama spoke to a packed crowd estimated at 6,500 in the indoor stadium at the university, greeting them with "salaam aleikum" and opening by recalling his childhood in Indonesia, where he spent about four years as a boy. Below is the transcript of the President's speech, as prepared for delivery, and does not include any embroideries he made "live." One of those embroideries included the President imitating local streetfood vendors calling out "satay!" and "baso!" in a singsong voice to sell their wares. (Above: The President during his speech)

The President was frequently interrupted with cheers, and after his speech he worked the ropeline, which resulted in near hysteria as he both shook hands with and hugged members of the audience (above). On Tuesday night in Jakarta, President Obama was honored with a State Dinner hosted by President Susilo Bambang Yudhoyono and First Lady Ani Bambang Yudhoyono at Istana Merdeka, the Presidential Palace.
THE WHITE HOUSE
Office of the Press Secretary

OBAMA IN INDONESIA 
Written by James Castle   
Tuesday, 09 November 2010
The US president's unique story could help reshape bilateral relations

As an American who has been living in Indonesia for 33 years, I am delighted about President Barack Obama's visit. While Indonesia-US relations basically have been very good for a long time and President Susilo Bambang Yudhoyono also had an excellent relationship with Obama's predecessor, George W Bush, no American president has been as warmly received into the minds and hearts of the average Indonesian as Obama.

This puts him in a unique position to broaden, deepen and elevate a relationship that has often performed at subpar levels since the 1997-98 Asian financial crisis dramatically reduced the American business presence here.

The two-day visit will be full of practical, pragmatic politics and vivid symbolism.

One of the most important aspects of the visit is that it will provide a strong, public demonstration that relations between our two countries are much deeper and broader than the antiterrorism cooperation that tends to dominate the headlines in today's troubled world.

This desire for deeper engagement and fuller cooperation is being brought under the broad umbrella of what is called the Comprehensive Partnership, which was first suggested by Yudhoyono more than a year ago.

The pact gives formal structure to a relationship that has been steady and multifaceted for decades, but sometimes seems too random and unfocused to achieve maximum impact.

The Comprehensive Partnership highlights a number of priority areas of cooperation: higher education, climate change, maritime security, trade and investment, and counterterrorism.

In specific terms, on the business front the US Export-Import Bank has already announced a US$1 billion credit facility partnership with 11 Indonesian banks to assist with bilateral trade deals and there is talk that an announcement will be made of a several-hundred-million-dollar program to meet the challenges posed by rapid climate change.

To help Yudhoyono meet his G-20 pledge to reduce Indonesia's greenhouse gas emissions by up to 40 percent by 2020, the United States is committing US$136 million as part of a three-year program of Environment and Climate Change cooperation.

The two presidents are also expected to take specific steps to increase educational exchanges between the two countries. These vital intellectual bridges have languished over the past decade due to tighter visa restrictions brought on in the aftermath of the 9/11 attacks, a lack of funding and more competitive programs available here in the region.

According to some estimates, the number of Indonesians studying in the United States has dropped from about 14,000 20 years ago to around 7,000 today. And the flow of American students coming to Indonesia has slowed to a trickle.

Both countries have pledged to reverse this disturbing trend. Under the Partnership, six US universities are being paired with Indonesian institutions as part of the US-Indonesia Partnership Program for Study Abroad Capacity. This program should be a welcome addition to the Fulbright – American-Indonesian Exchange Foundation that has carried much of the bilateral education program on its poorly funded shoulders for the past 20 years.

These are just a few examples of actual programs that provide the muscle and sinew that are necessary to bind countries together in lasting, mutually beneficial relationships.

Beyond all of these important programs, there is the dramatic symbolism of the visit.

This goes beyond the fact that we have an American president who has lived in Indonesia, as important as that is in ensuring that Obama will receive an especially warm welcome here.

Obama is the first multicultural, biracial president in American history. The young men and women of my generation came to political awareness during America's civil rights struggle in the 1960s. We were thrilled and excited by the speeches of Martin Luther King and John F. Kennedy. Surely we were also frightened and intimidated by the passions and crimes that were laid bare in those turbulent days.

In the short space of 40 years, America moved from a place where blacks were not allowed to vote, to a place where a man with a black father and a white mother could be elected president.

This seems to capture not just something special about America, but about the human condition. Fundamental change really is still possible. In today's world, it is easy to despair of bridging the gaps between countries and religions. The oppression and the prejudices that are destroying the hopes of so many people – in Palestine, Israel, Iraq, Afghanistan, Pakistan and Burma – seem immutable and unyielding.

But are the divisions that tear countries and people apart deeper and more fundamental than the prejudice and bigotry between black and white that existed in America just 50 years ago? Are they that much harder to confront and overcome?

The larger meaning of Barack Obama is that our deepest fears and hatreds can be overcome. Yes we can.

James Castle is the president of Castle Asia and is a past president of the American Chamber of Commerce in Indonesia. This first appeared in the Jakarta Globe, which which Asia Sentinel has a content-sharing agreement.

SANTAPAN PAGI -- SOEHARTO BATAL JADI PAHLAWAN !

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
-----------------------------------------
Kemis, 11 November 2010

SANTAPAN PAGI -- SOEHARTO BATAL JADI PAHLAWAN !

Parpol Golkar yang selama ini memamerkan diri sebagai GOLKAR YG SUDAH DIREFORMASI, telah  lebih lanjut membuka dada dan hatinya  ----  ketika mereka dengan  arogan mengusulkan AGAR SOEHARTO DINOBATKAN JADI PAHLAWAN!

Golkar  adalah kendaraan politik ciptaan Jendral  Soeharto! Sayang, fakta sejarah ini masih sering diabaikan!

Meskipun Soeharto telah tiada, tetapi kendaraan politik Soeharto masih segar bugar. Mungkin sekarang ini menjadi lebih kaya! Masih berfungsi, dan masih berpengaruh besar. Masih ikut menentukan kehidupan politik dewasa ini.
Dimana-mana ada 'orang-orangnya'.
Tak peduli apakah namanya Akbar Tanjung ataukah Aburizal  Bakrie yang  jadi ketuanya! Golkar selama ini membuktikan bahwa ia berpotensi besar sebagai kekuatan politik.

Dengan kegagalan mengkatrol Soeharto jadi pahlawan nasional,  ini  juga menunjukkan bahwa tidak semua kemauan politik Golkar bisa terlaksana. Kekuatan pro-dem masih terus berjuang untuk Reformasi. Masih ada dan gairah untuk meneruskan perjuangan untuk Indonesia yang BERNEGARA HUKUM.

Yang penting  diperhatikan bagi siapa saja, janganlah sekali-kali mensepélékan Golkar. Apalagi ketika penguasa sekarang ini  malah gairah bersandar pada Golkar untuk bisa mempertahankan kekuasaan!

Waspada!,  bukanlah peringatan yang berkelebihan!
Golkar dan para politisi serta parpol yang mendukung Golkar  tsb juga telah membuka jubah mereka selama ini, yaitu JUBAH REFORMASI. Akal sehat manakah yang bisa menerima  pemerkosaan logika politik bahwa REFORMASI bisa berlangsung dibawah naungan penobatan Soeharto sebagai pahlawan nasional? Soeharto yang  kejam berdarah dingin, otoriter, diktatorial, militeristik, korup dan nepotis itu? Yang melakukan pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Republik Indonesia!

Namun usul Golkar dan pendukungnya menjadikan SOEHARTO PAHLAWAN,
ikut menghangatkan perdebatan (yang harus  terus dilakukan) sekitar SIAPA SOEHARTO. Perdebatan sekitar Soeharto bermanfaat dilanjutkan. Berguna bagi  generasi muda,  agar bisa belajar  dari segi negatif,    berusaha menarik pelajaran dari pengalaman  32 tahun di bawah rezim otoriter Orba.

Bolehkah kita berlega dengan  berita hari ini, (kalau memang berita itu benar), bahwa Soeharto tidak jadi dinobatkan sebagai pahlawan nasional?

Paling tidak berita tsb bisa dianggap sebagai SANTAPAN PAGI!
Amsterdam, 11 November 2010.
* * *
------------------
Lampiran:
Alhamdulilah, Soeharto Batal Jadi Pahlawan
Kamis, 11 November 2010 , 11:03:00 WIB Laporan: Aldi Gultom
RMOL. Mantan penguasa Orde Baru, Soeharto (almarhum) dipastikan tidak mendapat gelar pahlawan nasional.

Hal ini menimbulkan perasaan lega bagi para mantan aktivis anti Orde Baru dan mantan tahanan politik rezim itu. Salah seorang diantaranya adalah eks aktivis maahsiswa pada tahun 1980-an, Fadjroel Rachman.

Kepada Rakyat Merdeka Online, Fadjroel yang kini menjadi pengamat politik di Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), mengatakan bahwa pembatalan pemberian gelar pada Soeharto menjadi bukti bahwa Indonesia masih berpihak pada demokrasi, penegakan HAM dan pemberantasan korupsi.

"Alhamdullilah," seru Fadjroel saat diminta tanggapannya.

"Jelas bahwa reformasi berpihak pada tiga hal yaitu demokrasi, penegakan HAM dan anti korupsi. Kalau sampai Soeharto dijadikan pahlawan berarti kita sudah menghancurkan garis demarkasi reformasi," imbuhnya.

Menurutnya, untuk menegakkan ketiga hal yang disebutkannya tadi, Indonesia membutuhkan satu simbol. Soeharto adalah sosok yang paling tepat untuk dijadikan simbol anti demokrasi.
 
"Kita membutuhkan satu simbol, dia kan simbol dari satu rezim yang anti demokrasi, HAM dan pemberantasan korupsi," jelasnya.

Mengapa Soeharto layak, buktinya, Soeharto memerintah otoriter selama 32 tahun. Hingga kini pengusutan kasus HAM Orde Baru tidak pernah usai, dan menurut rilis PBB, Soeharto adalah mantan penguasa terkorup di dunia di atas mantan penguasa Filipina, Ferdinand Marcos.

"Jadi pembatalan ini hadiah terbesar untuk Hari Pahlawan 2010," tegasnya.

Meski demikian, bukan berarti perjuangan menegakkan demokrasi, HAM dan anti korupsi cepat berpuas diri.

"Program-program refomasi harus terus berjalan. Ketika tetapkan dia sebagai simbol, berarti kita beri sinyal ke depan bahwa ini yang harus dilakukan," tandasnya.  

Sebagai tambahan, pemerintah melalui Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa memastikan mantan Presiden Soeharto (alm) tidak mendapat gelar pahlawan Nasional.

Dalam acara penganugerahan gelar pahlawan dan gelar kehormatan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (11/11) , pemerintah melalui Keputusan Presiden 52 TK/2010 memberikan gelar Pahlawan Nasional hanya kepada dua tokoh, yaitu Dr Johannes Leimena dan Johannes Abraham Dimara.

Sebelumnya, nama Soeharto dan mantan Presiden Abdurrachman Wahid masuk dalam nominasi bersama delapan nama lainnya, termasuk mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin.[ald]

__._,_.___