Saturday, November 22, 2008

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita - MAX LANE Tentang BUNG KARNO . . . . .

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Minggu, 16 November 2008

----------------------------



MAX LANE Tentang BUNG KARNO Di

Indonesia 'OPEN HOUSE'- nya Pak MIN


Kalau bukan karena undangan yang disampaikan kepadaku oleh Gogol (Amsterdam) dan Mintardjo (Oestgeest) mengenai rencana pertemuan di Indonesia 'Open House'-nya Mintardjo, sungguh Rabu malam yang lalu, aku tak akan keluar rumah. Soalnya, . . . angin dingin terus saja bertiup keras menyasar pepohonan, yang dedaunannya sudah banyak rontok. Sebagian lagi menguning kemerah-merahan. Belum lagi hujan rintik-rintik tak henti-hentinya. Tapi, mau bilang apa. Begitulah cuaca dan suasana musim gugur di Belanda. Bisa diperkirakan bila aku memenuhi undangan itu, pulangnya pasti hari sudah malam dan mungkin akan turun hujan lebih deras lagi.

.

Namun, biasanya, jika ada 'kumpul-kumpul' di rumah 'Pak Min' (sapaan akrab para mahasiswa Indonesia yang kenal Mintardjo) dengan yang datang dari Indonesia dan kawan-kawan PPI, jarang undangan itu kutolak. Rumah Mintardjo di Korenbloemlaan 59, Oestgeest – Leiden, sudah lama menjadi 'INDONESIA OPEN HOUSE'. Mohon jangan salah tafsir. Nama 'Indonesia Open House'-nya Pak Min, itu aku sendiri yang memberikan. Sebelumnya, tak ada orang lain yang menyebutnya begitu. Bukan apa-apa! Tapi, ini penting dijelaskan. Jangan sampai fihak KBRI Den Haag menjadi salah faham. Bukankah bagi setiap orang Indonesia, KBRI-ah yang merupakan 'Indonesia House', yang selalu 'open'?


Namun, kenyataanya rumah Mintardjo itu sudah bertahun-tahun lamanya praktis adalah 'INDONESIA OPEN HOUSE'. Dalam arti dan makna yang sesungguhnya. Dari rumah Mintardjo itu berhembus angin dan semangat segar patriotisme, motivasi dan jiwa serta rasa kepedulian terhadap nasib bangsa Indonesia dan haridepannya.


Lebih-lebih lagi kali ini, undangan Mintardjo tak mungkin ditolak. Karena disertai pemberitahuan, sbb: Sebelum acara dimulai, kita makan sore bersama. Wah, fikiran terus saja melayang pada sop-buntut masakan khas Mintardjo yang disuguhkan bila mengajak tamu-tamunya makan bersama. Ini guyon, tapi juga sungguhan!


* * *


Begitulah jadinya! Rabu malam tanggal 12 November itu, sekitar tujuhpuluhan mahasiswa (S-1 dan S-2 -- banyak diantaranya sibuk dengan program kandidat PhD, -- bersama teman-teman Indonesia lainnya dari Eindhoven, Woerden, Zeist, Amsterdam dan lain-lain tempat berkumpul di rumah Mintardjo. Mereka berkumpul di situ untuk mendengarkan uraian Max Lane, penulis buku barunya 'Unfinished Nation: Indonesia Before adn After Suharto'.


Max Lane adalah seorang sarjana Australia , aktivis 'prodem' dan budayawan. Ketika Indonesia masih di bawah Orba, Max Lane yang ketika itu adalah seorang diplomat di Kedutaan Besar Australia di Indonesia, membikin 'kejutan diplomatik'. Didorong oleh kepeduliannya terhadap Indonesia, dan keinginan memperkenalkan sastra modern Indonesia yang maju kepada publik mancanegara, Max Lane telah menterjemahkan novel 'Bumi Manusia' kedalam bahasa Inggris. 'Bumi Manusia' adalah jilid satu dari tetralogi terkenal Pramudya Ananta Tur (terkenal dengan nama roman pulau Buru). Bayangkan betapa marahnya Orba. Bukankah 'Bumi Manusia' ketika itu dilarang Orba beredar di Indonesia. Tak lama kemudian Max Lane digeser dari Kedutaan Australia di Jakarta.


Tapi, yang ingin sedikit kuceriterakan ialah mengenai pertemuan di 'Indonesia Open House-nya' Mintardjo. Diajukan sebagai tema malam itu, uraian dan tanya jawab: Politik, Ingatan sejarah, dan Gerakan Pembaruan.


Kiranya fihak PPI Leiden dan Yayasan Sapu Lidi, adalah yang sebaiknya membuat laporan yg agak lengkap mengenai pertemuan malam yang penuh isi dan berarti, penuh kepedulian dengan nasib bangsa kita di masa lampau, masa kini dan hari depannya. Dan catatan tsb agar disimpan sebagai dokumentasi!


* * *


Yang ingin kukemukakan ialah hal-hal yang memberikan kesan-kesan mendalam padaku pada hari itu. Max Lane dengan keyakinan menjelaskan, bahwa, meskipun Reformasi boleh dikatakan berhenti di tengah jalan, merajelalnya 'money-politics' yang melibat semua parpol menjelang pemilu dan pilpres, namun Max Lane tidak pesimis sedikitpun mengenai haridepan Indonesia.


Sebaliknya, Max Lane penuh optimisme sehubungan dengan situasi dan perkembangan kegiatan, gerakan dan fikiran maju di kalangan generasi muda kita. .


Dengan tegas dikemukakan Max, bahwa, anak-anak muda Indonesia yang dewasa ini terlibat dalam gerakan dan kegiatan prodem dan fikiran maju, secara kwantitatif jauh lebih besar terbanding masa sebelumnya, ketika gerakan tsb dimulai sejak tahun 1970-an sampai jatuhnya Presiden Suharto oleh gelombang besar gerakan Reformasi. Namun, keadaan mereka masih terpencar-pencar. Diperlukan waktu yang cukup panjang bagi generasi ini untuk bisa mencapai taraf kesatuan dan persatuan yang benar-benar tangguh.


Ketika meninjau sejarah Indonesia, lahir dan berkembangnya nasion Indonesia, dalam proses perjuangan melawan kolonialisme untuk kemerdekaan bangsa dan negeri, Max menekankan arti penting pendidikan politik yang diberikan Bung Karno sebagai salah seorang pemimpin nasional yang terkemuka. Sementara pakar Indonesianis dan lain-lain sejarawan, pernah berucap, bahwa peranan Bung Karno di masa perjuangan kemerdekaan terbatas sekadar pada demagogi dan orasi mengenai persatuan.


Tidak demikian, kata Max. Tidak benar Bung Karno hanya berdemagogi, berorasi mengenai perlunya persatuan dalam perjuangan melawan kolonialisme. Bung Karno jelas sekali bersikap. Beliau amat kritis dalam usaha mempersatukan bangsa. Pertama-tama beliau melakukan analisis, pemisahan antara mana yang benar dan mana yang salah dalam sikap masing-masing aliran politik utama ketika itu, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.


Dalam karya klasiknya pada masa awal gerakan melawan kolonialisem Belanda, berjudul 'Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme' (Suluh Indonesia Muda, 1926), Bung Karno mengeritik sementara sikap yang tidak punya political wil dan kemampuan ketiga gerakan nasional tsb. Bung Karno mengecam kaum Marxis yang sektarian dan tidak bisa dan tidak mau bersatu dengan kaum nasionalis dan Islam. Bung Karno juga mengeritik kaum nasionalis sempit yang tidak bisa bersatu dengan kaum Muslim dan kaum Marxis. Juga dikecam sikap kaum Islamis yang tidak mau bersatu dengan kaum Marxis dan kaum Nasionalis, dalam perjuangan bersama untuk kemerdekaan nasional.


* * *


Seperti pernah diuraikan waktu ceramah yang diberikannya di KITLV, 24 September 2008, sekitar benang merah yang menjelujuri bukunya “UNIFINISHED NATION: INDONESIA BEFORE AND AFTER SUHARTO” , Max Lane menjelaskan sekitar faktor utama jatuhnya Suharto, teristimewa bentuk khusus DIMENANGKANNYA KEMBALI – 'the re-winning of' - metode-metode perjuangan politik dalam tahun 1990-an -- yang mula-mula diintroduksikan dalam kehidupan politik pada tahap-tahap permulaan revolusi kemerdekaan, yaitu AKSI MASSA. Catat: Aksi-massa, atau massa-aktie, adalah salah satu ciri khas dan fundamental ajaran Bung Karno mengenai bentuk-bentuk perjuangan yang dianjurkannya sejak awal masa perjuangan bangsa kita melawan kolonialisme Belanda. Saat itu Bung Karno sebagai salah seorang pemimpin perjuangan kemerdekaan yang berpengaruh dan terkemuka, menentang bekerjasama (berkoperasi) dengan pemerintah kolonial, dan menganjurkan non-koperasi. Bung Karno memilih jalan mobilisasi massa rakyat secara langsung. Beliau tidak percaya pada niat baik pemerintah kolonial Belanda. Maka mengandjurkan agar langsung bersandar pada massa rakyat, pada kaum Marhaen.


Sehubungan dengan uraian Max Lane mengenai ajaran-ajaran Bung Karno, Joesoef Isak, pemimpin penerbit Hasta Mitra, pernah menyebut Max Lane itu sesungguhnya adalah seorang SUKARNOIS.


Max Lane: Aksi massa istimewa krusial, karena struktur otoriterisme Suharto dibangun justru disekitar penindasan terhadap cara perjuangan ini. Tujuan Orba adalah menghancurkan samasekali semua aksi-massa politik. Untuk mencegah adanya aksi-aksi politik massa, diberlakukan konsep 'massa mengambang'. Akibatnya a.l -- dalam waktu panjang di Indonesia tak ada perspektif bagi suatu ideolgi nasional. Sebagai akibat dari otoriterisme Orba, terjadilah situasi 'pembodohan' bangsa, khususnya di kalangan kaum terpelajar, yaitu ketiadaan keberanian berfikir sendiri, takut berfikir secara berdikari. Mereka tidak mengenal budaya dan kesusasteraan Indonesia.


Dimenangkannya kembali metode perjuangan aksi-massa, punya arti spesifik dalam dinamika sejarah Indonesia masa panjang. Bersamaan dengan itu, Max Lane menunjukkan betapa pentingnya memenangkan kembali aksi-massa sebagai metode aksi politik, dengan memenangkan kembali ideologi politik progresif yang terkait dengan revolusi nasional.


Max Lane memberikan penekanan istimewa pada saling hubungan antara kesadaran untuk mengadakan aksi massa politik dengan pemahaman dan pengertian kaum progresif terhadap sejarah dan kebudayaan bangsa. Pemahaman dan pengertian amat perlu, karena dalam waktu panjang periode Orba, hanyalah penguasa yang punya monopoli untuk menentukan sendiri, apa itu dan bagaimana yang dimaksudkan dengan sejarah dan kebudayaan nasional.


Ketiadaan kesadaran dan pemahaman hakiki terhadap sejarah dan kebudayaan bangsa yang sebenarnya, menyebabkan ketiadaan kesadaran tentang arti penting dan perlunya aksi massa politik untuk mengubah Indonesia menjadi suatu bangsa yang benar-benar sedar akan identitasnya sebagai bangsa dan negara yang bebas dan demokratis. Sebagai contoh kelangkaan pemahaman dan pengertian sejarah, dewasa ini, menurut Max sedikit sekali kaum intelektuil Indonesia, khususnya para pelajar dan mahasiswa yanusasteraan Indonesia dalam periode Orba, Max a.l mengungkapkan sedikitnya yang pernah membaca buku SURAT-SURAT KARTINI.


Ketiadaan kesadaran itu pula yang menyebabkan fragmentasi di kalangan kaum progresif sehingga kekuatan mereka terpencar-pencar dan ketiadaan persatuan dan kesatuan aksi politik, yang bertujuan suatu solusi yang fundamental. Ketiadaan suatu ideologi nasional yang progresif menjelaskan tentang ketiadaan resistensi terhadap neo-liberalisme. Menjelaskan pula, mengapa semua parpol-parpol mainstream di DPR, boleh dikatakan samasekali tidak menentang masuk dan berdominasinya neo-liberalisme di Indonesia. Parpol-parpol tsb samasekali tidak punya prinsip politik yang mengutamakan kepentingan nasional. Demi mencapai kekuasaan parpol atau golongannya sendiri, mereka tidak segan-segan berkoalisi dengan siapa saja. Ini ditunjukkan dalam pilkada yang berlangsung selama ini. Untuk melihat sampai dimana semangat Reformasi parpol mainstream seperti Golkar dan PKS, baca saja pernyataan mereka yang mengusulkan agar Suharto dinobatkan sebagai 'pahlawan nasional' dan 'guru bangsa'.


Max Lane: Suatu konsep (dan gerakan) sosial-demokrasi yang tegas dan jelas, dewasa ini tidak ada di Indonesia. Sebabnya: Lagi-lagi karena fragmentasi di kalangan aktivis dan kekuatan progresif.


Di lain fihak, berkembangnya kesadaran untuk memiliki pemahaman dan pengertian yang benar dan obyektif mengenai sejarah bangsa, tampak pada kegiatan para sejarawan muda seperti a.l Aswi Warman Adam, Bonnie Triyana, dll. Arus ini sedang terus mengalami perkembangan, bagaimanapun lika-liku dan rintangan yang harus dilaluinya. Ini bisa disaksikan antara lain dari banyaknya penulisan-penulisan baru mengenai peristiwa sejarah dan budaya Indonesia sebelum dan sejak Reformasi, yang jumlahnya mencapai 2000 lebih.


* * *


Demikian sedikit ceriteraku yang hendak kubagikan pada pembaca mengenai pertemuan kami

di 'Open Indonesia House' -nya Mintardjo di Korenbloemlaan 59, Oestgeest, Leiden.


Ketika kembali ke Amsterdam, Francisca Pattipilohy yang pulang dengan keretapi bersama aku

malam itu, mengatakan: Sayang Indonesia House di Amsterdam sudah ditutup. Tidak tahu apa akan dibuka yang baru !


Segera aku merespons:

Nyatanya sudah lama ada 'Open Indonesia House'. Itu kan, yang di rumahnya Mintardjo.


Oh iya, reaksi Pattipilohy. Benar, benar! Suatu 'Indonesia House' yang selalu OPEN sudah ada sejak lama di Korenbloemlaan 59, Oestgeest, Leiden.!


* * *

Tuesday, November 11, 2008

IBRAHIM ISA Berbagi Cerita - Makna terpilihnya Barack OBAMA (2-habis)

IBRAHIM ISA Berbagi Cerita
Selasa, 11 November 2008
---------------------------------------

Makna terpilihnya Barack OBAMA (2-habis)
A CHANGE, YES IT CAN!


PANTA REI ! Maknanya, dalam bahasa Indonesia, sama dengan, . . . semua m e n g a l i r , atau segala sesuatu itu B E R U B A H !

Maka, bila Barack Obama mengumandangkan semboyan politik dalam pilpres AS baru-baru ini. . . CHANGE, Yes we can! . . . . Itu sepenuhnya sesuai dengan logika hukum perkembangan hal ihwal di alam semesta kita ini. Termasuk di Amerika Serikat!

Benar sekali. Sering di luar kemauannnya, orang diingatkan pada kebenaran keras ini. Orang dipaksa berhadapan dengan kenyataan bahwa p e r u b a h a n itu, cepat atau lambat, pasti akan terjadi . Terkadang orang terkejut,. . . tetapi tak bisa lain, lalu menerimanya dengan setengah keterpaksaan.

* * *

Kenyataan lain ialah, bahwa sementara p e r u b a h a n yang datang itu, seperti halnya terpilihnya seorang berkulit Hitam dari Partai Demokrat, menjadi Presiden AS, nyatanya disambut cukup banyak orang. Dengan perasaan gembira dan harapan besar, bahwa PERUBAHAN itu akan membawa perbaikan. Bahwa perubahan dan perbaikan itu benar-benar akan menjadi kenyataan.

Empat November 2008 yang lalu mayoritas dari jutaan rakyat biasa yang punya hak pilih di Amerika, telah memberikan kepercayaan mereka kepada Barack Obama. Kaum pemilih Amerika itu, merupakan faktor penting menentukan terhadap adanya PERUBAHAN tsb. Perubahan dari kekuasaan presiden Bush dari Partai Republik yang telah menjalankan politik dalam dan luar negeri imperialistik yang sangat tidak populer di dalam maupun di luar Amerika Serikat, ke suatu kekuasaan baru. Suatu kekuasaan yang diharapkan dan dipercaya akan membawa perubahan yang berarti, membawa perbaikan terhadap peri kehidupan orang-orang yang selama ini hidup susah atau dalam keadaan kekurangan di Amerika.

Bisa difahami banyak komentar menamakan perubahan yang terjadi itu, adalah suatu perubahan monumental. Tak pernah terbayangkan oleh rakyat Hitam AS dan para pejuang anti-diskriminasi di AS, bahwa akan segera menjadi kenyataan, 'White House' didiami oleh presiden dan keluarganya yang berkulit Hitam. Dengan latar belakang sejarah perbudakan dan diskriminasi rasial, merajalelanya Ku Klux Klan yang kejam dan biadab terhadap orang Hitam yang berlangsung sampai dengan paruh kedua abad keduapuluh, memang benarlah terpilihnya seorang puresiden berkulit Hitam, bukan suatu perkembangan demokrasi yang sederhana. Bisa dimengerti mengapa dikatakan peristiwa itu adalah suatu momen historis.

Harapan yang dilimpahkan pada Barack Obama itu tidak kebetulan. Faktor penting, ialah, rakyat AS, sudah jemu dan sudah emoh dengan politik Presiden Bush. Tampillah Barack Obama dengan semboyan 'CHANGE', dengan memastikan: 'Yes we Can'. Ketika ia memulai kampanye untuk menjadi calon Partai Demokrat dan kemudian ketika mengalahkan lawannya, John McCain dari Partai Republik . Barack menjanjikann akan menarik mundur tentara AS dari Irak. Di lain fihak, ia berrencana mengadakan kontak dan dialog dengan Cuba, Iran dan Korea Utara. Yaitu negara-negara yang oleh Presiden Bush telah dicap sebagai rezim-rezim teroris. Barack juga menjanjikan perubahan serta perbaikan di bidang pendidikan, kesehatan dan perumahan bagi rakyat biasa Amerika.

Apakah suatu ilusi, suatu impian belaka, di siang hari bolong, bila, dengan terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Ke-44 Amerika Serikat, -- orang mengharapkan akan adanya perubahan dalam politik dalam dan luarnegeri AS yang selama ini dikenal sebagai negara adikuasa yang selalu memaksakan dan memperdalam dominasinya terhadap negeri-negeri lain dan pelbagai lembaga internasional? Seperti halnya pengalaman orang Amerika dan dunia dengan politik Presiden Bush?

Apakah suatu ilusi dan impian belaka, jika Indonesia, berharap hubungan Indonesia – Amerika akan menjadi lebih baik? Yang didasarkan atas sama derajat dan saling menguntungkan? Apakah dengan terpilihnya Barack Obama sebagi presiden AS, Indonesia akan memperoleh peluang lebih baik, untuk memafaatkan potensi ekonomi dan teknologi serta untuk kemajuan Indonesia? Menegakkan keberdikarian di bidang ekonomi dan kebebasan di bidang politik (luarnegeri)?

Presiden SBY dalam ucapan selamatnya berkenaan dengan terpilihnya Barack Obama, a.l menyatakan sbb:

Di bawah kepemimpinan Obama, berharap hubungan bilateral antara Indonesia dan AS dapat ditingkatkan secara lebih konstruktif sehingga membawa keadilan dan keuntungan bagi semua pihak. Dengan terpilihnya Obama yang pernah melewatkan empat tahun masa kecilnya di Jakarta, hubungan Indonesia dan AS dapat memasuki babak baru.

“Saya memiliki keyakinan kita bisa meningkatkan kerjasama konstruktif dan adil, mengingat Indonesia dan AS sama-sama negara demokrasi yang besar,” ujarnya.

Kata SBY, beberapa bulan lalu Barack Obama mengiriminya buku yang ditulisnya sendiri, yang menyatakan keinginannya untuk meningkatkan kerjasama AS dengan Indonesia. Di bawah kepemimpinan Barack Obama, Presiden Yudhoyono berharap AS dapat berdiri di depan dan meningkatkan peranannya untuk membangun perdamaian dan keamanan dunia., dapat mengambil langkah nyata menangani krisis keuangan global yang bermula di AS serta berperan untuk membangun tata perekonomian dunia yang lebih adil. Agar AS dapat berperan dalam upaya mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global.

Yang dinyatakan SBY sebagai Presiden RI jarang diucapkan oleh seorang Presiden RI kepada President-Elect AS. Dengan sendirinya pernyataan tsb keluar dari pemikiran dan analisis situasi kongkrit AS, Indonesia dan dunia dewasa ini. Diharapkan Indonesia akan mampu memanfaatkan situasi baru dan rumit di AS, demi kepentingan bangsa dan negeri kita.

* * *

Namun, tidak jarang orang enggan menerima kenyataan bahwa segala sesuatu itu, pada waktunya akan BERUBAH. Segala sesuatu itu selalu ada dalam proses perubahan! Suatu perubahan dan perbaikan sebagai hasil dari hasil usaha susah [payah serta perjuangan yang dilakukan yang bersangkutan.

Hampir tiga tahun yang lalu (03 Feberuari 2006), logika itu pula yang mendorong aku menulis sebuah artikel yang antara lain mencoba menuturkan hal yang sama. Bahwa 'PANTA REI' itu, terjadi DIMANA-MANA.Ungkapan "PANTA REI" umum digunakan untuk menyatakan perubahan yang tak henti-hentinya berlangsung dalam peri kehidupan manusia.

Apakah itu kehidupan politik, ekonomi, sosial-budaya, atau bidang lainnya. Sering juga dikatakan bahwa kehidupan itu sendiri adalah suatu proses "PANTA REI" yang tak kunjung henti.

* * *

Salah seorang akhli filsafat Junani kuno, H e r a c l i t u s, menuturkan bahwa PANTA REI artinya SEMUA MENGALIR. Segala sesuatu mengalir, segala sesuatu BERUBAH. Tidak ada yang tetap, tidak ada yang abadi. Yang abadi itu adalah p e r u b a h a n itu sendiri. Heraclitus mengatakan bahwa kita tidak mungkin turun kesungai yang sama, karena air yang mengalir di sungai itu bergerak terus. Yang lewat seketika berlalu, dan mengalir air yang baru, lain dari yang terdahulu.

Dalam sorotan inilah hendak dikemukakan pemahaman mengenai makna terpilihnya Barack Obama menjadi Presiden ke-44 dari Amerika Serikat. Ketika menulis artikel ini aku teringat peranan AS semasa Presiden Jimmy Carter. Ketika itu dunia internasional dengan tajam mengecam situasi Indonesia di bawah Orba yang memenjarakan dan membuang ribuan tahanan politik warganegara Indonesia yang tak melakukan kesalahan apapaun, kecuali bahwa mereka itu orang PKI, dituduh PKI, Kiri dan pendukung Presiden Sukarno. Siapa tidak tau bahwa berhasilnya Jendral Suharto merebut kekuasan negara dan menegakkan Orba, adalah demi dukungan politik dan bantuan materiil AS.

* * *

Suatu ketika, menjelang akhir tahun 1970-an, seakan-akan tiba-tiba, Orba melepaskan sebagian besar tahanan politik dan tahanan pulau Buru. Sekarang terungkap bahwa pelepasan para tapol itu bukan disebabkan kemurahan hati atau diberlakukannya HAM oleh Orba. Adalah tekanan berat dunia internasional khususnya AS, yang memaksa Presiden Suharto melepaskan sebagian besar tapol. Siapa menduga bahwa Jimmy Carter secara khusus mengutus wakil presiden AS untuk mendesak Suharto melepaskan tahanan politik. Karena tidak digubris oleh Suharto, Jimmy Carter sekali lagi mkengirimkan utusan pribadinya lagi-lagi untuk memberikan tekanan kepada Presiden Suharto agar kali ini benar-benar harus melepaskan tahanan politik yang sudah demikian lama dipenjarakan tanpa proses pengadilan apaun. Jika tidak maka bantuan AS selanjutnya tidak bisa diteruskan.

Sekarang semua orang juga sudah tau, bahwa sebelum menemui Presiden Suharto, utusan pribadi Jimmy Carter itu secara khusus minta kepada Joesoef Isak, pemimpin Penerbit Hasta Mitra, yang sudah keluar dari penjara ketika itu, untuk datang ke Kedutaan AS di Jakarta, untuk dimintai keterangannya sekitar perlakuan Orba terhadap para tapol. Tampaknya memang aneh, bukankah AS tau siapa Joesof Isak, eks tapol yang anti-imperialsme AS itu?

Tak lama kemudian sebagian besar para tapol dilepaskan dari penjara, dan tempat pembuangan tapol Pulau Buru di tutup.

* * *

Masih dalam suasana ledakan optimisme yang mengagumkan, dengan kesimpulan agar Amerika dan dunia bekerjasama dengan lebih baik, seperti digambarkan oleh Kolumnis John Vinocur dari 'International Herald Tribune', 11/11.08, orang dikejutkan oleh ucapan selamat serta harapan yang dikirimkan oleh Presiden Ahamdinejad dari Republik Islam Iran, kepada Presiden-Elect Barack Obama. Penulis Iran dalam eksil, Kader Abdolah, ketika berreaksi terhadap kemenangan Barack Obama,menulis: Tentu dengan Barack Obama, bukan berarti bahwa perkembangan dunia tiba-tiba akan mengambil arah yang lain samasekali. Tetapi perkataan OBAMA, dewasa ini mengandung arti adanya harapan, sekali lagi harapan. G Bush tidak bisa lagi menjajakan kebohongan sebagai kebenaran. Politiknya sudah berakhir. Rakyat Irak adalah pemenang kedua dari pemilihan AS. Amerika akan meninggalkan Irak dan periode Sadam telah berakhir dengan definitif.

Lanjut penulis Iran Kader Abdolah: Pemimpin Islam Iran Khameini berkata mengenai Obama: 'Warna itu tidak menentukan. Tetapi kami ada harapan munculnya suara baru. Orang-orang Iran gembira dengan terpilihnya Obama'. Ayatolah-ayatolah, tulis Kader, telah melakukan kesalahan, tetapi untuk kepentingannya sendiri G Bush dengan sengaja telah memberikan cap terhadap Iran sebagai negeri 'The Axis of Evil'. Dan oleh karena itu Bush telah menimbulkan kerusakan pada rakyat Iran. Itulah sebabnya mengapa 1 milyar kaum Muslim sangat gembira dengan terpilihnya Obama sebagai presiden. Demikian Kader Abdolah.

Seperti diketahui dalam pidato resmi ketika menjadi presiden AS, G Bush menyatakan (29 Jan 2002), bahwa Iran, Irak dan Korea Utara adalah negeri-negeri 'axis of evil'. Karena, katanya, negeri-negeri tsb membantu terorisme dan berusaha untuk memiliki senjata pemusnah masal. Kemudian juga dimasukkan dalam daftar tsb Cuba, Lybia dan Syria.Yang kesemuanya itu dilakukan Bush semata-mata untuk membenarkan apa yang dimaklumkannya sebagai 'perang terhadap terorisme'.

* * *

Politik, kata salah seorang anggota Majlis (Naional) Iran, ditentukan oleh sistim bukan oleh perorangan. Namun, ia bisa memahami dan juga setuju dengan surat yang dikirimkan Presiden Ahmadinejad kepada Barack Obama.

Menaruh harapan kepada Barack akan adanya politik luarnegeri yang lebih baik, terbanding politik G Bush, adalah salah satu cara untuk mendorong maju perkembangan demokrasi dan politik yang menguntungkan rakyat AS. Di Amerika Serikat nyatanya terdapat tidak sedikit orang-orang yang berfikiran maju yang juga terdorong secara positif dengan terpilihnya Barack Obama. Dengan terpilihnya Barack Obama, timbul kembali kepercayaan bahwa melalui usaha dan perjuangan, cepat atau lambat akan ada PERUBAHAN dan KEMAJUAN.

Dengan demikian harapan seperti yang dinyatakan banyak fihak dan kalangan itu bukanlah suatu ilusi belaka!

* * *

Monday, November 10, 2008

IBRAHIM ISA Berbagi Cerita - Makna terpilihnya Barack OBAMA (1)

IBRAHIM ISA Berbagi Cerita

05 November 2008

----------------------------------------------------------


Makna terpilihnya Barack OBAMA (1)

A CHANGE, YES IT CAN!


Sudah kurencanakan dalam waktu dekat ini, begitu kembali ke Indonesia (04 Nov 2008), akan menulis beberapa artikel sekitar kesan dan tanggapanku terhadap situasi tanah air tercinta, setelah kunjunganku bersama Murti, selama sebulan ke Jakarta, Jogyakarta dan Sumatra Utara.


* * *


Namun, 'breaking news' sekitar terpilihnya Barack Obama sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat, hal yang secara luas mencengkam tidak saja publik AS tetapi juga jauh melampaui batas negeri itu, - - - rasanya sulit dibiarkan berlalu tanpa komentar. Jauh sebelum hari pilpres AS tanggal 4 Nov y.l., di negeri kita sudah ramai masyarakat dan media berkomentar dan beranalisis sekitar hal itu. Jelas hal itu punya latar belakang sejarah dan politik. Bukan saja disebabkan oleh kenyataan bahwa sejak lama, kongkritnya sejak negeri dan bangsa ini memproklamasikan kemerdekaanya (Ingat peranan Merle Cochran dari AS yang menjadi salah seorang anggota Komisi Tiga Negara yang berusaha 'menengahi' dan mencari 'solusi' terhadap konflik kita dengan Belanda) , -- AS punya kepentingan politik dan ekonomi yang semakin besar terhadap Indonesia. Salah satu penyebabnya ialah kepentingan strategi global 'Perang Dingin' AS dan Barat. Yang a.l ditandai oleh campur tangan dan dukungan finansil dan militer AS terhadap pemberontakan separatis PRRI dan Permesta, untuk menggulingkan Presiden Sukarno, yang meningkat mencuat serta bertambah besar sejak berdirinya rezim Orba.


Maka tidaklah orang menjadi terkejut membaca analisis dan komentar yang secara blak-blakkan menyatakan bahwa negeri kita tercinta sudah menjadi jajahan model baru Barat, khususnya menjadi neo-koloni Amerika Serikat. Bukankah sudah rahasia umum, bahwa pengawasan dan dominasi asing terhadap Indonesia nyata benar semakin besar terjadi selama tiga dasawarsa belakangan ini. Hal itu cukup jelas bisa disaksasikan bila melihat betapa besar ketergantungan Indonesia kini pada IMF dan World Bank. Dua lembaga finansial mancanegara yang dikontrol AS.


Kiranya ada faktor lain yang menyebabkan perhatian masyarakat dan media Indonesia terhadap pilpres di AS. Karena , ketika masih berumur 9 tahun, calpres AS yang bernama Barack Obama, pernah tinggal dan bersekolah di Jakarta. Bahkan ayah tirinya, Soentoro, adalah seorang Indonesia. Ibu Barack suatu ketika bersuami seorang Indonesia. Mereka tinggal di Jakarta, di Jalan Taman Amir Hamzah No 22 (pavilun). Secara kebetulan sekali rumah itu adalah milik mertuaku, Dr Surono. Putranya, perwira tinggi Alri (purnawirawan), Laksamana Tata Abubakar, kini menghuni 'hoofdgebouw'-nya. Juga secara amat kebetulan, paviljun no 22 itu - ketika itu bernama Jl Taman Matraman - , adalah rumah tempat tingal kami sekeluarga dari 1952 s/d 1960, ketika kami berangkat ke Cairo untuk tugas baruku. Sejak diketahuinya bahwa Barack Obama pernah tinggal di pavilyun No 22 Taman Amir Hamzah, sejak itu, cerita Tata Abubakar kepada kami, sejumlah besar wartawan dan jurukamera TV dalam dan luarnegeri dari tidak kurang 12 s.k., kantor berita dan TV yang datang mengunjungi pavilun no 22 itu. Begitu populernya alamat tsb sehingga Tata Abubakar yang tadinya merasa sedikit banyak bangga karena perhatian masyarakat dan media, lama-lama menjadi capek dan jemu juga oleh kedatangan para nyamuk pers itu. Belakangan ada fihak tertentu yang menawar lima kali harga nilai rumah dan pavilyun tsb bila Tata Abubakar berkenan menjualnya. Karena rumah itu adalah warisan orangtuanya, Tata Abubakar menolak menjualnya, berapapun akan dibayar. Dengan sendirinya, dengan kenyataan terpilihnya Barack Obama menjadi presiden AS, akan lebih banyak lagi perhatian orang terhadap rumah itu. Karena, betapapun, alamat itu menjadi alamat bersejarah, sejarah hubungan antara Indonesia dengan Amerika Serikat.



* * *


Salah seorang kawan terdekatku yang biasanya amat hati-hati memberikan pendapatnya terhadap sesuatu fenomena politik, menyatakan kepadaku ketika kutanyakan pendapatnya, bahwa kemenangan Barack Obama dalam pilpres AS hari ini, punya arti baik. Karena untuk pertama kalinya seorang berkulit Hitam AS berhasil terpilih dengan mayoritas besar. John McCain dari Partai Republik, lawan Barack Obama dalam pilpres AS 2008, dengan serius berusaha menenangkan para pendukungnya, yang bersuara gemuruh setengah mengejek setengah kecewa, ketika McCain menyatakan bahwa ia baru saja menilpun Obama untuk memberikan ucapan selamat kepada Obama atas terpilihnya ia sebagai presiden AS. Rakyat telah menyatakan pendapatnya, demikian John McCain.


Aku ingat reaksi seorang sastrawan Iran yang kini berdomisili di Belanda. Penulis yang bernama Kader Abdollah itu, ketika Barack Obama baru terpilih sebagai calon Partai Demokrat sebagai calon presiden untuk pilpres AS 2008. Ya, Amerika tetap Amerika, kata Kader, tetapi terpilihnya seorang Hitam sebagai presiden, adalah sesuatu yang pertama kali terjadi dalam sejarah AS. Dengan sendirinya punya arti tersendiri dalam pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di Amerika. Barangkali ini permulaan realisasi impian pemimpin terkemuka berkulit Hitam Amerika Martin Luther King.


Publisis dan pembawa acara terkenal dari Oprah Winphrey Show dan pemimpin berkulit Hitam dan mantan calon wapres Jessie Jackson, di tengah-tengah publik Putih, Hitam, Hispanic, perempuan, lelaki serta tua dan muda, mencucurkan air mata mereka ketika mendengarkan pidato kemenangan yang diucapkan oleh Barack Obama di Chicago. Media AS memperkirakan sekitar 139 juta warga Amerika memberikan suaranya. Suatu jumlah pemilih terbesar dalam sejarah pemilihan presiden Amerika Serikat sejak 1960.


Apa kata pengkritisi terkenal Michael Moore:


Dalam suratnya melalui e-mail yang kebetulan juga kuterima hari ini, publisis dan pembuat film dokumenter terkenal serta pengkiritsi terkenal AS Michael Moore menulis a.l,

Friends,

Who among us is not at a loss for words? Tears pour out. Tears of joy. Tears of relief. A stunning, whopping landslide of hope in a time of deep despair.

In a nation that was founded on genocide and then built on the backs of slaves, it was an unexpected moment, shocking in its simplicity: Barack Obama, a good man, a black man, said he would bring change to Washington, and the majority of the country liked that idea. The racists were present throughout the campaign and in the voting booth. But they are no longer the majority, and we will see their flame of hate fizzle out in our lifetime.

There was another important "first" last night. Never before in our history has an avowed anti-war candidate been elected president during a time of war. I hope President-elect Obama remembers that as he considers expanding the war in Afghanistan. The faith we now have will be lost if he forgets the main issue on which he beat his fellow Dems in the primaries and then a great war hero in the general election: The people of America are tired of war. Sick and tired. And their voice was loud and clear yesterday . . . .


Terjemahah bebasnya dalam bahasa Indonesia:


Para sahabat,


Siapa diatara kita yang tak merasa sulit untuk menemukan kata-kata? Airmata bercucuran. Airmata kebahagiaan. Airmata kelegaan. Suatu harapan yang mempesonakan, dan kemenangan yang amat besar pada saat kehilangan harapan yang mendalam.


Pada suatu bangsa yang didirikan atas genosida dan kemudian dibangun atas punggung para budak-budak, adalah suatu momen yang tak diduga, mengejutkan dalam kesederhanaannya: Barack Obama, orang baik, mengatakan bahwa ia hendak mengadakan perubahan pada Washington, dan mayoritas negeri menyukai ide tsb. Kaum rasis hadir selama kampanye dan di kamar-kamar kotak suara. Tetapi mereka itu tidak lagi merupakan mayoritas, dan kita akan jaga agar api kebencian akan punah dalam era kita ini.


Ada lagi 'pertama penting' tadi malam. Tak pernah sebelumnya dalam sejarah kita seorang calon anti-perang yang diakui, telah berhasil terpilih sebagai presiden dalam periode perang. Saya berhrap agar Presiden terpilih Obama ingat hal itu, ketika ia mempertimbangkan untuk memperluas perang di Afganistan. Kepercayaan yang kami miliki sekarang akan lenyap bila ia lupa soal pokok atas mana ia mengalahkan temannya calon dari Demokrat pada saat (pemilihan) primaries dan kemudian mengalahkan seorang pahlawan perang besar dalam pemilu: Rakyat Amerika telah jemu akan perang. Muak dan tjapai. Dan suara mereka lantang dan jelas kemarin . . . . . .


Demikian Michael Moore menilai dan mencanangkan Barack Obama.


* * *


Kiranya banyak orang punya perasaan dan tanggapan seperti Michael Moore ketika ia menyatakan kegembiraannya terhadap terpilihnya untuk pertama kali seorang Hitam sebagai presiden Amerika Serikat. Menaruh harapan besar, tetapi juga mencanangkan agar ia jangan lupa akan kata-kata yang diucapkannya dalam kampanye.


Seperti semua mendengarnya Barack Obama menjanjikan kepada rakyat Amerika dan juga kepada publik internasional, bahwa ia akan mengadakan PERUBAHAN.


Maksudnya perubahan terhadap politik dalam dan luarnegeri pemerintahan Presiden Bush selama 8 tahun belakangan ini, yang telah mencetuskan perang dan menduduki Irak, serta menganggap sepi negeri-negeri lain dalam komunitas dunia dewasa ini.



Tuesday, November 4, 2008

Kolom IBRAHIM ISA - Senin, 29 September 2008 - *JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA* -

Kolom IBRAHIM ISA

Senin, 29 September 2008

--------------------


*JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA*




Ditengah-tengah berita yang bertubi-tubi berasal dari Wallstreet, New York dan Capital Hill Washington, mengenai krisis struktur finansil AS, yang dimulai dengan failitnya bank-bank kredit raksasa, - - - syukur alhamdulillah, literatur progresif Indonesia diperkaya dengan sebuah buku karya Prof Wim F Wertheim: JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA (Jakarta, Agustus 2008). Buku berbahasa Inggris dengan judul asli 'Third World Whence and Wither', terbit dalam tahun 1996 (Het Spinhuis, Amsterdam).


Sebelum ia meninggal dunia, Oei Hai Djoen, sempat menyelesaikan penterjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Sayang Oei tidak ikut hadir dalam peluncuran JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA. Namun istri beliau Jane serta putrinya, Mado, dan cucunya ikut hadir. Perhatian dari publik cukup besar. Penerbit resmi berbahasa Indonesia adalah De Wertheim Stichting, Institut Studi Arus Informasi dan Pusat Data dan Analisa Tempo dengan ISBN: 978-979-8933-56-1.


Peluncuran buku berlangsung di Taman Ismail Marzuki, pada tanggal 28
Agustus , bertepatan dengan 100 hari meninggalnya Oey Hay Djoen.
Hadir lebih dari seratus orang, sehingga kursi yang disediakan tidak
cukup. Banyak hadirin yang duduk di lantai. Mungkin karena diskusi
bertema 'Kiri' sudah lama tidak ada di Jakarta. Goenawan Mohamad dan
Toriq Hadad (Pemred TEMPO) memberi sambutan. Pembahasan dibawakan
oleh Romo Dr I Wibowo (Fakultas Ilmu Budaya UI) dan Ari Perdana
(pengajar UI dan peneliti CSIS).



* * *


Mengapa judul edisi Indonesia lain dengan judul aslinya? Tejabayu dari Institut Studi Arus Informasi- (ISAI), dalam suratnya kepadaku memberikan keterangan sbb:

'Kami sepakat untuk mengganti judul buku yang diterjemahkan Pak Oey karena buat kami agak terlalu kaku dan sulit ditangkap anak-anak sekarang. Jadi judul edisi Indonesianya kami ganti yang tidak letterlijk dari judul asli, JALAN SOSIALISME DUNIA KETIGA'.

Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah resensi tentang buku Wertheim tsb, sekadar memberitakan tentang sudah terbitnya edisi Indonesia. Dan sedikit gambaran tentang apa yang dibicarakan Wertheim dalam bukunya itu.

Maka, baik juga sekaligus saja diberitakan disini bahwa JALAN SOSIALISME DUNIA KETIGA, terdiri dari:

Pendahuluan, 4 Bagian, berisi VII Bab, kemudian diakhiri dengan sebuah kesimpulan.

Bagian 1 berjudul: Utara Versus Selatan. Bab I, Nomor Satu, Amerika: Monopoli Merkantilis. Bagian 2: Kaum Tani 40 Abad. Bab II: Kelebihan Penduduk di Asia Tenggara: Kemacetan Agraria. Bab III, Makna Abadi, Model Mao Bagi Dunia Ketiga. Bagian 3: Syarat-syarat Politik Bagi Suatu Terobosan. Bab IV, Negara dan Dialektika Emansipasi. Bagian 4: Strategi-Strategi Emansipasitoris Negara. BabV, Bertaruh Pada Elit, Atau Bertaruh Pada Massa. Bab VII, Legislasi Versus Pendidikan Di Dunia Ketiga.

Dan Kesimpulan – Tamatnya Mitos Dasawarsa 1970-an: Kemenangan Mammon yang Terlalu Mahal.

* * *

Menarik untuk mengikuti semacam kata pengantar yang ditulis untuk buku Wertheim ini oleh Irawan Saptono, Direktur Eksekutif ISAI, sbb:

DARI UTAN KAYU:

Apakah menjadi sosialis masih relevan sekarang ini? Setelah Uni Sovyet bubar dan Tembok Berlin roboh, Sosialisme dianggap ikut roboh. Francis Fukuyama, salah seorang 'rasul' ajaran Neo Liberalisme dari Jepang menyebut 'kehancuran Sosialisme' sebagai 'The End of history', sejarah yang berakhir. Kapitalisme dianggap sebagai sistem yang paling benar. Wertheim mengejeknya sebagai sebuah impian gila Fukuyama. Peperangan belum usai. Kapitalisme memenangi pertempuran besar karena didukung oleh kekuatan yang besar – termasuk kekuatan-kekuatan negara, tetapi belum tentu yang paling benar. Sejarah Sosialisme tidak berakhir. Ia bergerak terus dan mencari kebenaran sendiri.

Sekarang, satu setengah dekade setelah Fukuyama berteriak 'Sejarah (Sosialisme) sudah tamat', Kapitalisme bahkan tidak mampu mengendalikan 'mekanisme pasar' harga minyak dunia yang menyengsarakan banyak orang. 'Mekanisme pasar' telah menjadi bumerang yang menyulitkan.

Sosialisme belum tamat, bahkan memberi alternatif di tengah ketidakpastian 'mekanisme pasar'. Cina adalah contohnya. Di Amerika Latin, muncul pemimpin-pemimpin baru berhaluan Sosialis. Evo Morales dari Bolivia adalah contoh yang paling baru negara dari Dunia Ketiga yang mengadopsi Sosialisme untuk menyejahterakan rakyatnya. Sejauh ini Morales yakin pilihan menjadi Sosialis tidak akan sia-sia. Ia yakin campur tangan negara akan memberi dampak yang baik terhadap kesejahteraan ekonomi rakyatnya.

Wertheim menjelaskan tentang kekuatan Sosialisme, sekaliguys kelemahan-kelemahannya. Ia juga menunjukkan bahwa demokrasi parlementer ala Barat yang dipraktekkan di Dunia Ketiga tidak selalu menjawab masalah-masalah kemiskinan, bahkan seringkali menjerumuskan. Demokrasi tidak selalu menghasilkan kesejahteraan rakyat. Sesuatu yang sekarang ini menjadi bahan diskusi di Indonesia. Sosialisme mungkin cocok untuk menyejaghterakan Dunia Ketiga. Tetapi demokrasi harus menjadi pendampingnya.

Yayasan Wertheim di Amsterdam menawarkan penterjemahan dan penerbitan kepada ISAI pada 2005. Penerjemahan dan editing buku ini sudah selesai dua tahun lalu, namun karena sesuatu dan lain hal penerbitannya tertunda. Wiratmo Probo, Direktur Program ISAI dan Tedjabayu, Deputi Direktur ISAI ditunjuk untuk menjadwalkan ulang penerbitannya.

Penerjemahan buku ini, dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia adalah Oey Hay Djoen yang meninggal pada 17 Mei 2008 ketika buku ini sedang disiapkan untuk diterbitkan. Hay Djoen adalah mantan pengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menjalani pengkucilan di Pulau Buru selama belasan tahun. Ia lahir di Malang pada 18 April 1929.

Ia juga menerjemahkan buku Wertheim berjudul Evolution and Revolution: The Rising Waves Emancipation (Gelombang Pasang Emansipasi), terbitan Garba Budaya, 1999, dengan nama samaran Ira Iramanto. Waktu itu ia masih enggan menggunakan nama aslinya. Di hari-hari akhir menjelang kematiannya, Hay Djoen rajin sekali menelpon agar kami segera menerbitkan buku ini. Ia mungkin sangat terkesan dengan buku yang diterjemahkannya. Kami berusaha keras, namun Hay Djoen tidak sempat menyaksikan terbitnya buku ini. Ia meninggal sehari setelah telepon terkahirnya kami terima.

Kami dantang ke rumah duka di Cibubur. Di depan peti mati, Ny Oey Hay Djoen, yang bernama kecil Jane Luyke, menyambut kami. 'Dia stress menunggu buku Wertheim diterbitkan,'katanya.

Kami meminta maaf dan berdoa di depan jenazah Hay Djoen. Upacara kematiannya meriah. Ia dimakamkan di Pondok Rangon, Jakartra Timur secara Katolik, diiringi lagu-lagu perjuangan yang dinyanyikan para handai taulan. Romo Sandyawan Sumardi SJ ikut hadir di pemakaman, juga sejumlah seniman terkenal dan aktivis hak asasi manusia, Joesoef Isak, penulis dan seorang wartawan senior, sahabat Hay Djoen dari masa muda hingga masa senja, duduk dikursi yang disediakan di sisi makam. Ia sangat berduka.

Yayasan Wertheim tidak hanya mengizinkan ISAI menerbitkan buku ini, namun juga mendonasikan 1.000 Euro (sekitar Rp 14 juta) untuk pencetakannya. Dana ini tidak cukup untuk mencetak beberapa ribu eksemplar yang direncanakan. Melalui Toriq Hadad, Pemimpin Redaksi majalahTempo (Ia juga Ketua Yayasan ISAI), Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT) bersedia menutup kekurangannya.


Terima kasih kepada siapa saja yang membantu penerbitan buku ini, terutama tentu saya kepada mendiang Prof Wim Frederik Wertheim, mendiang Oey Hay Djoen, Jaap Erkelens pensiunan Koninklijke Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV), yang puluhan tahun bekerja di Indonesia, dan kini bermukim di Belanda. Dialah yang membantu menkontak kembali Yayasan Wertheim (De Wertheim Stichting) dan mengirim salinan sejumlah lembar halaman buku asli yang tercecer untuk melengkapi buku terjemahan ini. Ketua Yayasan Wertheim Dr C.J.G. Holtzappel yang berkenan meluangkan wakunya menuntaskan hal-hal akhir penerbitan buku ini di tengah kerepotannya pindah rumah ke sebuah desa di wilayah Timur Laut Belanda, dan Goenawan Mohammad yang naskah pidatonya dibacakan ketika ia menerima Wertheim Award pada December 2005 di Amsterdam, digunakan sebagai pengantar buku ini.


* * *


Sungguh serba kebetulan!

Buku ini terbit, justru ketika para protagonis neo-liberalisme, yang dengan menabuh genderang, hiruk-pikuk memproklamasikan dua dekade yang lalu, kapitalisme sebagai pemenang mutlak atas sosialisme < ini pernyataan terbuka mantan Presiden Ronald Reagan dan F Fukuyama dari Amerika>, -- tak diduga, saat ini seperti merengek minta-minta kepada negara (yang selama ini mati-matian ditentang campur tangan negara dalam urusan ekonomi), -- agar dibantu dengan suatu plan-pertolongan, supaya bisa keluar dari krisis finansil, yang diakibatkan sendiri oleh sistim ekonomi 'persaingan bebas', 'pasar bebas' dan 'hands-off campur tangan negara'.


* * *

Kolom IBRAHIM ISA - Senin, 29 September 2008 - *JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA* -

Kolom IBRAHIM ISA

Senin, 29 September 2008

--------------------


*JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA*




Ditengah-tengah berita yang bertubi-tubi berasal dari Wallstreet, New York dan Capital Hill Washington, mengenai krisis struktur finansil AS, yang dimulai dengan failitnya bank-bank kredit raksasa, - - - syukur alhamdulillah, literatur progresif Indonesia diperkaya dengan sebuah buku karya Prof Wim F Wertheim: JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA (Jakarta, Agustus 2008). Buku berbahasa Inggris dengan judul asli 'Third World Whence and Wither', terbit dalam tahun 1996 (Het Spinhuis, Amsterdam).


Sebelum ia meninggal dunia, Oei Hai Djoen, sempat menyelesaikan penterjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Sayang Oei tidak ikut hadir dalam peluncuran JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA. Namun istri beliau Jane serta putrinya, Mado, dan cucunya ikut hadir. Perhatian dari publik cukup besar. Penerbit resmi berbahasa Indonesia adalah De Wertheim Stichting, Institut Studi Arus Informasi dan Pusat Data dan Analisa Tempo dengan ISBN: 978-979-8933-56-1.


Peluncuran buku berlangsung di Taman Ismail Marzuki, pada tanggal 28
Agustus , bertepatan dengan 100 hari meninggalnya Oey Hay Djoen.
Hadir lebih dari seratus orang, sehingga kursi yang disediakan tidak
cukup. Banyak hadirin yang duduk di lantai. Mungkin karena diskusi
bertema 'Kiri' sudah lama tidak ada di Jakarta. Goenawan Mohamad dan
Toriq Hadad (Pemred TEMPO) memberi sambutan. Pembahasan dibawakan
oleh Romo Dr I Wibowo (Fakultas Ilmu Budaya UI) dan Ari Perdana
(pengajar UI dan peneliti CSIS).



* * *


Mengapa judul edisi Indonesia lain dengan judul aslinya? Tejabayu dari Institut Studi Arus Informasi- (ISAI), dalam suratnya kepadaku memberikan keterangan sbb:

'Kami sepakat untuk mengganti judul buku yang diterjemahkan Pak Oey karena buat kami agak terlalu kaku dan sulit ditangkap anak-anak sekarang. Jadi judul edisi Indonesianya kami ganti yang tidak letterlijk dari judul asli, JALAN SOSIALISME DUNIA KETIGA'.

Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah resensi tentang buku Wertheim tsb, sekadar memberitakan tentang sudah terbitnya edisi Indonesia. Dan sedikit gambaran tentang apa yang dibicarakan Wertheim dalam bukunya itu.

Maka, baik juga sekaligus saja diberitakan disini bahwa JALAN SOSIALISME DUNIA KETIGA, terdiri dari:

Pendahuluan, 4 Bagian, berisi VII Bab, kemudian diakhiri dengan sebuah kesimpulan.

Bagian 1 berjudul: Utara Versus Selatan. Bab I, Nomor Satu, Amerika: Monopoli Merkantilis. Bagian 2: Kaum Tani 40 Abad. Bab II: Kelebihan Penduduk di Asia Tenggara: Kemacetan Agraria. Bab III, Makna Abadi, Model Mao Bagi Dunia Ketiga. Bagian 3: Syarat-syarat Politik Bagi Suatu Terobosan. Bab IV, Negara dan Dialektika Emansipasi. Bagian 4: Strategi-Strategi Emansipasitoris Negara. BabV, Bertaruh Pada Elit, Atau Bertaruh Pada Massa. Bab VII, Legislasi Versus Pendidikan Di Dunia Ketiga.

Dan Kesimpulan – Tamatnya Mitos Dasawarsa 1970-an: Kemenangan Mammon yang Terlalu Mahal.

* * *

Menarik untuk mengikuti semacam kata pengantar yang ditulis untuk buku Wertheim ini oleh Irawan Saptono, Direktur Eksekutif ISAI, sbb:

DARI UTAN KAYU:

Apakah menjadi sosialis masih relevan sekarang ini? Setelah Uni Sovyet bubar dan Tembok Berlin roboh, Sosialisme dianggap ikut roboh. Francis Fukuyama, salah seorang 'rasul' ajaran Neo Liberalisme dari Jepang menyebut 'kehancuran Sosialisme' sebagai 'The End of history', sejarah yang berakhir. Kapitalisme dianggap sebagai sistem yang paling benar. Wertheim mengejeknya sebagai sebuah impian gila Fukuyama. Peperangan belum usai. Kapitalisme memenangi pertempuran besar karena didukung oleh kekuatan yang besar – termasuk kekuatan-kekuatan negara, tetapi belum tentu yang paling benar. Sejarah Sosialisme tidak berakhir. Ia bergerak terus dan mencari kebenaran sendiri.

Sekarang, satu setengah dekade setelah Fukuyama berteriak 'Sejarah (Sosialisme) sudah tamat', Kapitalisme bahkan tidak mampu mengendalikan 'mekanisme pasar' harga minyak dunia yang menyengsarakan banyak orang. 'Mekanisme pasar' telah menjadi bumerang yang menyulitkan.

Sosialisme belum tamat, bahkan memberi alternatif di tengah ketidakpastian 'mekanisme pasar'. Cina adalah contohnya. Di Amerika Latin, muncul pemimpin-pemimpin baru berhaluan Sosialis. Evo Morales dari Bolivia adalah contoh yang paling baru negara dari Dunia Ketiga yang mengadopsi Sosialisme untuk menyejahterakan rakyatnya. Sejauh ini Morales yakin pilihan menjadi Sosialis tidak akan sia-sia. Ia yakin campur tangan negara akan memberi dampak yang baik terhadap kesejahteraan ekonomi rakyatnya.

Wertheim menjelaskan tentang kekuatan Sosialisme, sekaliguys kelemahan-kelemahannya. Ia juga menunjukkan bahwa demokrasi parlementer ala Barat yang dipraktekkan di Dunia Ketiga tidak selalu menjawab masalah-masalah kemiskinan, bahkan seringkali menjerumuskan. Demokrasi tidak selalu menghasilkan kesejahteraan rakyat. Sesuatu yang sekarang ini menjadi bahan diskusi di Indonesia. Sosialisme mungkin cocok untuk menyejaghterakan Dunia Ketiga. Tetapi demokrasi harus menjadi pendampingnya.

Yayasan Wertheim di Amsterdam menawarkan penterjemahan dan penerbitan kepada ISAI pada 2005. Penerjemahan dan editing buku ini sudah selesai dua tahun lalu, namun karena sesuatu dan lain hal penerbitannya tertunda. Wiratmo Probo, Direktur Program ISAI dan Tedjabayu, Deputi Direktur ISAI ditunjuk untuk menjadwalkan ulang penerbitannya.

Penerjemahan buku ini, dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia adalah Oey Hay Djoen yang meninggal pada 17 Mei 2008 ketika buku ini sedang disiapkan untuk diterbitkan. Hay Djoen adalah mantan pengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menjalani pengkucilan di Pulau Buru selama belasan tahun. Ia lahir di Malang pada 18 April 1929.

Ia juga menerjemahkan buku Wertheim berjudul Evolution and Revolution: The Rising Waves Emancipation (Gelombang Pasang Emansipasi), terbitan Garba Budaya, 1999, dengan nama samaran Ira Iramanto. Waktu itu ia masih enggan menggunakan nama aslinya. Di hari-hari akhir menjelang kematiannya, Hay Djoen rajin sekali menelpon agar kami segera menerbitkan buku ini. Ia mungkin sangat terkesan dengan buku yang diterjemahkannya. Kami berusaha keras, namun Hay Djoen tidak sempat menyaksikan terbitnya buku ini. Ia meninggal sehari setelah telepon terkahirnya kami terima.

Kami dantang ke rumah duka di Cibubur. Di depan peti mati, Ny Oey Hay Djoen, yang bernama kecil Jane Luyke, menyambut kami. 'Dia stress menunggu buku Wertheim diterbitkan,'katanya.

Kami meminta maaf dan berdoa di depan jenazah Hay Djoen. Upacara kematiannya meriah. Ia dimakamkan di Pondok Rangon, Jakartra Timur secara Katolik, diiringi lagu-lagu perjuangan yang dinyanyikan para handai taulan. Romo Sandyawan Sumardi SJ ikut hadir di pemakaman, juga sejumlah seniman terkenal dan aktivis hak asasi manusia, Joesoef Isak, penulis dan seorang wartawan senior, sahabat Hay Djoen dari masa muda hingga masa senja, duduk dikursi yang disediakan di sisi makam. Ia sangat berduka.

Yayasan Wertheim tidak hanya mengizinkan ISAI menerbitkan buku ini, namun juga mendonasikan 1.000 Euro (sekitar Rp 14 juta) untuk pencetakannya. Dana ini tidak cukup untuk mencetak beberapa ribu eksemplar yang direncanakan. Melalui Toriq Hadad, Pemimpin Redaksi majalahTempo (Ia juga Ketua Yayasan ISAI), Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT) bersedia menutup kekurangannya.


Terima kasih kepada siapa saja yang membantu penerbitan buku ini, terutama tentu saya kepada mendiang Prof Wim Frederik Wertheim, mendiang Oey Hay Djoen, Jaap Erkelens pensiunan Koninklijke Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV), yang puluhan tahun bekerja di Indonesia, dan kini bermukim di Belanda. Dialah yang membantu menkontak kembali Yayasan Wertheim (De Wertheim Stichting) dan mengirim salinan sejumlah lembar halaman buku asli yang tercecer untuk melengkapi buku terjemahan ini. Ketua Yayasan Wertheim Dr C.J.G. Holtzappel yang berkenan meluangkan wakunya menuntaskan hal-hal akhir penerbitan buku ini di tengah kerepotannya pindah rumah ke sebuah desa di wilayah Timur Laut Belanda, dan Goenawan Mohammad yang naskah pidatonya dibacakan ketika ia menerima Wertheim Award pada December 2005 di Amsterdam, digunakan sebagai pengantar buku ini.


* * *


Sungguh serba kebetulan!

Buku ini terbit, justru ketika para protagonis neo-liberalisme, yang dengan menabuh genderang, hiruk-pikuk memproklamasikan dua dekade yang lalu, kapitalisme sebagai pemenang mutlak atas sosialisme < ini pernyataan terbuka mantan Presiden Ronald Reagan dan F Fukuyama dari Amerika>, -- tak diduga, saat ini seperti merengek minta-minta kepada negara (yang selama ini mati-matian ditentang campur tangan negara dalam urusan ekonomi), -- agar dibantu dengan suatu plan-pertolongan, supaya bisa keluar dari krisis finansil, yang diakibatkan sendiri oleh sistim ekonomi 'persaingan bebas', 'pasar bebas' dan 'hands-off campur tangan negara'.


* * *

Kolom IBRAHIM ISA - Senin, 29 September 2008 - *JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA* -

Kolom IBRAHIM ISA

Senin, 29 September 2008

--------------------


*JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA*




Ditengah-tengah berita yang bertubi-tubi berasal dari Wallstreet, New York dan Capital Hill Washington, mengenai krisis struktur finansil AS, yang dimulai dengan failitnya bank-bank kredit raksasa, - - - syukur alhamdulillah, literatur progresif Indonesia diperkaya dengan sebuah buku karya Prof Wim F Wertheim: JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA (Jakarta, Agustus 2008). Buku berbahasa Inggris dengan judul asli 'Third World Whence and Wither', terbit dalam tahun 1996 (Het Spinhuis, Amsterdam).


Sebelum ia meninggal dunia, Oei Hai Djoen, sempat menyelesaikan penterjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Sayang Oei tidak ikut hadir dalam peluncuran JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA. Namun istri beliau Jane serta putrinya, Mado, dan cucunya ikut hadir. Perhatian dari publik cukup besar. Penerbit resmi berbahasa Indonesia adalah De Wertheim Stichting, Institut Studi Arus Informasi dan Pusat Data dan Analisa Tempo dengan ISBN: 978-979-8933-56-1.


Peluncuran buku berlangsung di Taman Ismail Marzuki, pada tanggal 28
Agustus , bertepatan dengan 100 hari meninggalnya Oey Hay Djoen.
Hadir lebih dari seratus orang, sehingga kursi yang disediakan tidak
cukup. Banyak hadirin yang duduk di lantai. Mungkin karena diskusi
bertema 'Kiri' sudah lama tidak ada di Jakarta. Goenawan Mohamad dan
Toriq Hadad (Pemred TEMPO) memberi sambutan. Pembahasan dibawakan
oleh Romo Dr I Wibowo (Fakultas Ilmu Budaya UI) dan Ari Perdana
(pengajar UI dan peneliti CSIS).



* * *


Mengapa judul edisi Indonesia lain dengan judul aslinya? Tejabayu dari Institut Studi Arus Informasi- (ISAI), dalam suratnya kepadaku memberikan keterangan sbb:

'Kami sepakat untuk mengganti judul buku yang diterjemahkan Pak Oey karena buat kami agak terlalu kaku dan sulit ditangkap anak-anak sekarang. Jadi judul edisi Indonesianya kami ganti yang tidak letterlijk dari judul asli, JALAN SOSIALISME DUNIA KETIGA'.

Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah resensi tentang buku Wertheim tsb, sekadar memberitakan tentang sudah terbitnya edisi Indonesia. Dan sedikit gambaran tentang apa yang dibicarakan Wertheim dalam bukunya itu.

Maka, baik juga sekaligus saja diberitakan disini bahwa JALAN SOSIALISME DUNIA KETIGA, terdiri dari:

Pendahuluan, 4 Bagian, berisi VII Bab, kemudian diakhiri dengan sebuah kesimpulan.

Bagian 1 berjudul: Utara Versus Selatan. Bab I, Nomor Satu, Amerika: Monopoli Merkantilis. Bagian 2: Kaum Tani 40 Abad. Bab II: Kelebihan Penduduk di Asia Tenggara: Kemacetan Agraria. Bab III, Makna Abadi, Model Mao Bagi Dunia Ketiga. Bagian 3: Syarat-syarat Politik Bagi Suatu Terobosan. Bab IV, Negara dan Dialektika Emansipasi. Bagian 4: Strategi-Strategi Emansipasitoris Negara. BabV, Bertaruh Pada Elit, Atau Bertaruh Pada Massa. Bab VII, Legislasi Versus Pendidikan Di Dunia Ketiga.

Dan Kesimpulan – Tamatnya Mitos Dasawarsa 1970-an: Kemenangan Mammon yang Terlalu Mahal.

* * *

Menarik untuk mengikuti semacam kata pengantar yang ditulis untuk buku Wertheim ini oleh Irawan Saptono, Direktur Eksekutif ISAI, sbb:

DARI UTAN KAYU:

Apakah menjadi sosialis masih relevan sekarang ini? Setelah Uni Sovyet bubar dan Tembok Berlin roboh, Sosialisme dianggap ikut roboh. Francis Fukuyama, salah seorang 'rasul' ajaran Neo Liberalisme dari Jepang menyebut 'kehancuran Sosialisme' sebagai 'The End of history', sejarah yang berakhir. Kapitalisme dianggap sebagai sistem yang paling benar. Wertheim mengejeknya sebagai sebuah impian gila Fukuyama. Peperangan belum usai. Kapitalisme memenangi pertempuran besar karena didukung oleh kekuatan yang besar – termasuk kekuatan-kekuatan negara, tetapi belum tentu yang paling benar. Sejarah Sosialisme tidak berakhir. Ia bergerak terus dan mencari kebenaran sendiri.

Sekarang, satu setengah dekade setelah Fukuyama berteriak 'Sejarah (Sosialisme) sudah tamat', Kapitalisme bahkan tidak mampu mengendalikan 'mekanisme pasar' harga minyak dunia yang menyengsarakan banyak orang. 'Mekanisme pasar' telah menjadi bumerang yang menyulitkan.

Sosialisme belum tamat, bahkan memberi alternatif di tengah ketidakpastian 'mekanisme pasar'. Cina adalah contohnya. Di Amerika Latin, muncul pemimpin-pemimpin baru berhaluan Sosialis. Evo Morales dari Bolivia adalah contoh yang paling baru negara dari Dunia Ketiga yang mengadopsi Sosialisme untuk menyejahterakan rakyatnya. Sejauh ini Morales yakin pilihan menjadi Sosialis tidak akan sia-sia. Ia yakin campur tangan negara akan memberi dampak yang baik terhadap kesejahteraan ekonomi rakyatnya.

Wertheim menjelaskan tentang kekuatan Sosialisme, sekaliguys kelemahan-kelemahannya. Ia juga menunjukkan bahwa demokrasi parlementer ala Barat yang dipraktekkan di Dunia Ketiga tidak selalu menjawab masalah-masalah kemiskinan, bahkan seringkali menjerumuskan. Demokrasi tidak selalu menghasilkan kesejahteraan rakyat. Sesuatu yang sekarang ini menjadi bahan diskusi di Indonesia. Sosialisme mungkin cocok untuk menyejaghterakan Dunia Ketiga. Tetapi demokrasi harus menjadi pendampingnya.

Yayasan Wertheim di Amsterdam menawarkan penterjemahan dan penerbitan kepada ISAI pada 2005. Penerjemahan dan editing buku ini sudah selesai dua tahun lalu, namun karena sesuatu dan lain hal penerbitannya tertunda. Wiratmo Probo, Direktur Program ISAI dan Tedjabayu, Deputi Direktur ISAI ditunjuk untuk menjadwalkan ulang penerbitannya.

Penerjemahan buku ini, dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia adalah Oey Hay Djoen yang meninggal pada 17 Mei 2008 ketika buku ini sedang disiapkan untuk diterbitkan. Hay Djoen adalah mantan pengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menjalani pengkucilan di Pulau Buru selama belasan tahun. Ia lahir di Malang pada 18 April 1929.

Ia juga menerjemahkan buku Wertheim berjudul Evolution and Revolution: The Rising Waves Emancipation (Gelombang Pasang Emansipasi), terbitan Garba Budaya, 1999, dengan nama samaran Ira Iramanto. Waktu itu ia masih enggan menggunakan nama aslinya. Di hari-hari akhir menjelang kematiannya, Hay Djoen rajin sekali menelpon agar kami segera menerbitkan buku ini. Ia mungkin sangat terkesan dengan buku yang diterjemahkannya. Kami berusaha keras, namun Hay Djoen tidak sempat menyaksikan terbitnya buku ini. Ia meninggal sehari setelah telepon terkahirnya kami terima.

Kami dantang ke rumah duka di Cibubur. Di depan peti mati, Ny Oey Hay Djoen, yang bernama kecil Jane Luyke, menyambut kami. 'Dia stress menunggu buku Wertheim diterbitkan,'katanya.

Kami meminta maaf dan berdoa di depan jenazah Hay Djoen. Upacara kematiannya meriah. Ia dimakamkan di Pondok Rangon, Jakartra Timur secara Katolik, diiringi lagu-lagu perjuangan yang dinyanyikan para handai taulan. Romo Sandyawan Sumardi SJ ikut hadir di pemakaman, juga sejumlah seniman terkenal dan aktivis hak asasi manusia, Joesoef Isak, penulis dan seorang wartawan senior, sahabat Hay Djoen dari masa muda hingga masa senja, duduk dikursi yang disediakan di sisi makam. Ia sangat berduka.

Yayasan Wertheim tidak hanya mengizinkan ISAI menerbitkan buku ini, namun juga mendonasikan 1.000 Euro (sekitar Rp 14 juta) untuk pencetakannya. Dana ini tidak cukup untuk mencetak beberapa ribu eksemplar yang direncanakan. Melalui Toriq Hadad, Pemimpin Redaksi majalahTempo (Ia juga Ketua Yayasan ISAI), Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT) bersedia menutup kekurangannya.


Terima kasih kepada siapa saja yang membantu penerbitan buku ini, terutama tentu saya kepada mendiang Prof Wim Frederik Wertheim, mendiang Oey Hay Djoen, Jaap Erkelens pensiunan Koninklijke Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV), yang puluhan tahun bekerja di Indonesia, dan kini bermukim di Belanda. Dialah yang membantu menkontak kembali Yayasan Wertheim (De Wertheim Stichting) dan mengirim salinan sejumlah lembar halaman buku asli yang tercecer untuk melengkapi buku terjemahan ini. Ketua Yayasan Wertheim Dr C.J.G. Holtzappel yang berkenan meluangkan wakunya menuntaskan hal-hal akhir penerbitan buku ini di tengah kerepotannya pindah rumah ke sebuah desa di wilayah Timur Laut Belanda, dan Goenawan Mohammad yang naskah pidatonya dibacakan ketika ia menerima Wertheim Award pada December 2005 di Amsterdam, digunakan sebagai pengantar buku ini.


* * *


Sungguh serba kebetulan!

Buku ini terbit, justru ketika para protagonis neo-liberalisme, yang dengan menabuh genderang, hiruk-pikuk memproklamasikan dua dekade yang lalu, kapitalisme sebagai pemenang mutlak atas sosialisme < ini pernyataan terbuka mantan Presiden Ronald Reagan dan F Fukuyama dari Amerika>, -- tak diduga, saat ini seperti merengek minta-minta kepada negara (yang selama ini mati-matian ditentang campur tangan negara dalam urusan ekonomi), -- agar dibantu dengan suatu plan-pertolongan, supaya bisa keluar dari krisis finansil, yang diakibatkan sendiri oleh sistim ekonomi 'persaingan bebas', 'pasar bebas' dan 'hands-off campur tangan negara'.


* * *

Kolom IBRAHIM ISA - Senin, 22 Sept 2008 - SELESAIKAN SOAL SEJARAH LEWAT ADMINISTRASI, Adalah -- MENIPU DIRI SENDIRI!

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 22 Sept 2008
-------------------

SELESAIKAN SOAL SEJARAH LEWAT ADMINISTRASI, Adalah -- MENIPU DIRI SENDIRI!




Masalah masa lampau, yang tercatat atau terdokumentasi di pelbagai lembaga, seperti Arsip Nasional, perguruan tinggi, lembaga studi dan riset, perpustakaan musium-musium, di dokumentasi pelbagai media, dsb, -- last but not least di kamar-kamar dokumentasi intel tentara dan polisi -- terutama adalah pencatatan peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada suatu periode tertentu dalam sejarah suatu bangsa. Pencatatan fakta atau peristiwa sejarah, kapanpun merupakan dokumentasi, catatan dan warisan penting generasi sebelumya untuk dipelajari sebagai salah satu cara yang baik untuk memahami bangsa sendiri.
Dengan sendirinya catatan sejarah dibuat -- sekali-kali bukan untuk dipeti-eskan. Bukan dengan maksud untuk dirahasiakan, tidak dibuka atau dibaca kembali. Bahan-bahan dokumentasi tsb seyogianya digunakan sebagai bahan riset dan studi untuk memperoleh pengetahuan yang sedekat mungkin dengan kenyataan yang sesungguhnya, yang seobyektif mungkin mengenai hal-hal yang terjadi di masa lampau. Bahan-bahan tsb, kapan saja, diperlukan dan berguna dipandang dari segi perkembangan ilmu. Tujuan penting a.l. ialah mencari dan menemukan kebenaran dan keadilan. Semua itu demi pertumbuhan dan pengembangan pengetahuan bangsa mengenai dirinya sendiri.

Sebagai contoh, ambillah peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara kerajaan Belanda terhadap rakyat Rawagede (1947), Jabar, pada periode agresi militer pertama Belanda terhadap Republik Indonesia. Ratusan orang-orangtua, perempuan dan anak-anak yang tak bersalah di desa itu, telah menjadi korban. Syukur alhamduillah, masih ada para peneliti dan penstudi bangsa yang memperhatikan dan meneliti masalah sejarah bangsa. Masih ada para korban yang dengan sabar menuntut dan memperdjuangkan keadilan! Menuntut keadilan terhadap nasib mereka di bawah kekejaman tentara Belanda yang melakukan kejahatan perang. Bila tidak ada uasaha tsb, maka peristiwa 'pembunuhan masal Rawagede', akan lenyap ditelan waktu, akan terlupakan samasekali. Menjadi jelaslah bahwa tidaklah benar memperlakukan masalah sejarah --- sebagai 'masa lampau yang 'traumatik', 'yang jangan diungkit-ungkit kembali demi tidak membuka kembali luka-luka lama'. Terhadap masalah sejarah tidak tepat bila menggunakan pandangan 'sudahlah, yang lalu biarkan lalu', 'let bygones be bygones'. 'Mari melihat kedepan' dsb, sikap yang demikian, selain tidak ilmiah, juga tidak jujur dan tidak adil terhadap korban.

* * *

Pelajaran yang ditimba dari pengalaman sejarah, lebih-lebih lagi amat berguna dan diperlukan bagi generasi muda. Agar mereka bisa menarik pelajaran dari masa lampau, dengan tujuan di masa depan menjadi lebih bijaksana. Pada setiap periode, pemahaman mengenai sejarah bangsa merupakan dasar penting bagi pendidikan dan pengokohan KESADARAN BERBANGSA, mencintai tanah air dan rakyat. Bagi memupuk patriotisme dan nasionalisme progresif. Juga untuk mencegah agar bangsa ini jangan sampai terjurumus ke dalam jurang nasionalisme sempit, chauvisime atau fikiran maupun kegiatan yang bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, sekularisme dan pluralisme positif.

Sama-sama diketahui bahwa pencatatan peristiwa sejarah itu tidak jarang, bahkan sering dilakukan sesuai pemahaman atau versi dan visi si pencatat. Maka tak luput dari subyektivisme. Pencatatan dilakukan menurut apa yang disaksikan dan dialami sendiri. Menurut ingatan, pilihan maupun apa yang dianggapnya benar-benar terjadi. Yang dianggap bukan rekayasa untuk tujuan kepentingan tertentu. Pencatatan yang dilakukan menurut ingatan juga bisa subyektif. Karena tidak jarang orang mengingat apa yang ingin diingatnya kembali. Dan 'lupa' terhadap apa yang ingin dihapuskan dari ingatannya. Bisa juga disebabkan oleh latar belakang malapetaka yang menimpa diri, kesedihan dan penderitaan keluarga atau golongannya. Disebabkan oleh 'trauma'.

Setelah bangsa ini mengalami gerakan Reformasi yang menggelora pada tahun 1998, pencatatan dan penulisan sejarah, studi dan analisis, syukur alhamdulillah, tidak lagi menjadi monopoli penguasa, elite cendekiawan yang mengabdi penguasa, atau segolongan orang dalam masyarakat. Tetapi dilakukan oleh pelbagai lapisan masyarakat. Banyak dilakukan oleh kalangan lembaga studi dan riset maupun oleh para pakar dan ilmuwan, teristimewa oleh generasi muda. Masing-masing menurut kemampuan dan kondisinya. Berbagai hasil pencatatan, penulisan dan studi sejarah, memberikan kesempatan yang baik sekali, yang belum pernah terjadi sebelumnya, bagi bangsa, khususnya bagi generasi muda, untuk berhadapan dengan bahan-bahan tsb, membaca, memikirkanya serta menarik kesimpulannya sendiri. Mengembangkan semangat berfikir berdikari, tak jemu dan tak khawatir bersusah payah dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan melalui belajar dan pemahaman sejarah itu sendiri.
* * *

Dengan pandangan sejarah seperti diuraikan diatas, maka tak bisa dibenarkan kebijakan Menteri Menhuk Dan HAM, Andi Matalatta, bersangkutan dengan 'orang yang terhalang pulang', yang setelah terjadi Peristiwa 1965, oleh penguasa Orba paspornya dicabut dengan sewenang-wenang tanpa proses apapun.
Menteri Andi Matalatta menganggap seolah-olah masalah sejarah, dengan alasan 'orientasi ke depan' , soal pelanggaran undang-
undang, hukum dan hak azasi menusia warganegara Indonesia, bisa dipecahkan, diselesaikan dengan acara adminstratif semata. Dengan pemberlakuan Undang-Undang Kewarganegaraa yang baru. Sikap Menteri, sikap pemerintah yang diwakilinya, --- bukankah itu suatu pecobaan untuk menyederhanakan suatu masalah yang tidak sederhana? Suatu pendekatan dan cara penyelesaian masalah yang menggunakan pandangan 'burung unta'. Seperti 'burung unta yang meyembunyikan kepalanya ke dalam pasir'. Karena dia sendiri tidak mau melihat kenyataan, maka dikiranya kenyataan itu tak ada.

Jelas, masalah pancabutan paspor warganegara yang tak melakukan pelanggaran hukum apapun, yang kebetulan sedang ada di luar negeri mengemban pelbagai tugas, seperti tugas belajar dan tugas-tugas lainnya dari pemerintahan Presiden Sukarno, --- adalah suatu pelanggaran hukum, menyalahi UUD RI. Itulah sebabnya a.l mereka-
mereka itu menjadi apa yang dikenal sekarang, sebagai 'orang-orang yang terhalang pulang'.

Apa yang terjadi adalah pelanggaran hukum serius yang dilakukan oleh penguasa ketika itu, yaitu fihak militer di bawah Jendral Suharto. Harus selalu diingat dan dicacat, mereka-mereka yang paspornya dicabut, kewarganegaraannya direnggutkan, adalah warganegara yang patuh hukum, yang setia pada Republik Indonesia, setia pada Presiden Sukarno, yang ketika itu adalah kepala pemerintahan dan kepala negara Republik Indonesia. Banyak diantaranya adalah pejuang-
pejuang kemerdekaan.

* * *
Dalam wawancaranya dengan korespoenden A. Supardi dari 'Rakyat Merdeka' (Den Haag, 20 Sept 2008), pandangan 'administratif' Menhuk Dan Ham Andi Mattalata, jelas sekali diuraikan seperti dikutip sebagian di bawah ini sbb:

A. Supardi: Berdasarkan UU Kewarganegaraan, pencabutan paspor dan sekaligus juga kewarganegaraan eks-Mahid (eks mahasiswa ikatan dinas) dan "orang-
orang yang terhalang pulang" lainnya adalah merupakan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, dalam proses pengembalian paspor/kewarganegaraan mereka seyogyanya ada penegasan dari Pemerintah RI sekarang ini tentang pelanggaran HAM tersebut. Pendapat Anda?
Mentri Andi Mattalata: Undang-undang 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI yang baru ini pendekatannya sebenarnya untuk mengakhiri semua masalah-masalah dasar kenegaraannya, siapa yang menjadi warganegara. Termasuk mengakhiri masalah-masalah kewarganegaraan yang bisa dikaitkan dengan masalah politik, dengan orientasi kami ke depan.
Karena itu UU Kewarganegaraan ini lahir hampir bersamaan dengan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di DPR. Cuma sayang, ketika ke Mahkamah Konstitusi, MK membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini.
Karena itu pada saat UU Kewarganegaraan RI tahun 2006 (yang diberlakukan hingga bulan Agustus 2009) dibuat berdasarkan pikiran kita ke depan, bukan ke belakang.
A. Supardi: Alasannya apa?
Mentri Andi Mattalata:
Ya kita mau membangun negeri ini menyamakan dan menyatukan seluruh potensi bangsa ke depan. Kalau tentang masalah masa lalu, biarlah hukum yang menyelesaikanya.
A. Supardi:
Tetapi persoalannya, mereka itu kan dicabut paspornya. Dalam UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI, misalnya menganggap bahwa eks-
Mahid dan "orang-orang yang terhalang pulang" lainnya itu telah lalai dalam melapor ke KBRI setempat lima tahun berturut-turut adalah tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Penjelasan Anda?
Mentri Andi Matalata:
Ya, setiap problem itu kan ada penyelesaiannya: 1) melalui hukum; 2) melalui management/administrasi. Yang ditempuh UU 12/2006 ini ialah penyelesaian melalui management/administrasi. Demikian a.l.kutipan wawancara koresponden A. Supardi dengan Menhuk dan Ham Andi Mattalata. (20 Sept d008). Sedemikai yang dikutip dari wawancara tsb.
* * *

Seperti yang pernah berkali-kali diuraikan di ruangan ini, maupun tukar fikiran yang pernah dilakukan dengan fihak KBRI Den Haag menjelang kedatangan (sekarang mantan) Mentri Awaluddin Hamid tempohari, sikap yang paling tepat dari fihak pemerintah seharusnya, ialah:

1. Pemerintah secara terbuka menyatakan bahwa tindakan pencabutan paspor dan dengan sewenang-wenang merenggutkan kewarganegaran orang-
orang Indonesia yang berlangsung sesudah Peristiwa 1965, adalah suatu pelanggaran serius oleh penguasa ketika itu terhadap hukum, UUD-RI dan Hak-Hak Azasi Manusia.

2. Secara terbuka pemerintah yang sekarang menyatakan minta maaf kepada para korban yang paspornya telah dicabut, serta kewarganegaraanya telah direnggutkan, yang dilakukan tanpa melalui prosedur hukum yang sah..
3. Pemerintah segera memulihkan serta merehabilitasi hak kewarganegaraan dan paspor para korban tsb.

4. Terserah kepada mereka-mereka yang paspornya dicabut, apakah mereka yang, disebabkan keterpaksaan telah mengambil kewarganegaran asing, bersedia atau tidak secara formal memulihkan kewarganegara Republik Indonesia.

* * *

Kolom IBRAHIM ISA - Senin, 22 Sept 2008 - SELESAIKAN SOAL SEJARAH LEWAT ADMINISTRASI, Adalah -- MENIPU DIRI SENDIRI!

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 22 Sept 2008
-------------------

SELESAIKAN SOAL SEJARAH LEWAT ADMINISTRASI, Adalah -- MENIPU DIRI SENDIRI!




Masalah masa lampau, yang tercatat atau terdokumentasi di pelbagai lembaga, seperti Arsip Nasional, perguruan tinggi, lembaga studi dan riset, perpustakaan musium-musium, di dokumentasi pelbagai media, dsb, -- last but not least di kamar-kamar dokumentasi intel tentara dan polisi -- terutama adalah pencatatan peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada suatu periode tertentu dalam sejarah suatu bangsa. Pencatatan fakta atau peristiwa sejarah, kapanpun merupakan dokumentasi, catatan dan warisan penting generasi sebelumya untuk dipelajari sebagai salah satu cara yang baik untuk memahami bangsa sendiri.
Dengan sendirinya catatan sejarah dibuat -- sekali-kali bukan untuk dipeti-eskan. Bukan dengan maksud untuk dirahasiakan, tidak dibuka atau dibaca kembali. Bahan-bahan dokumentasi tsb seyogianya digunakan sebagai bahan riset dan studi untuk memperoleh pengetahuan yang sedekat mungkin dengan kenyataan yang sesungguhnya, yang seobyektif mungkin mengenai hal-hal yang terjadi di masa lampau. Bahan-bahan tsb, kapan saja, diperlukan dan berguna dipandang dari segi perkembangan ilmu. Tujuan penting a.l. ialah mencari dan menemukan kebenaran dan keadilan. Semua itu demi pertumbuhan dan pengembangan pengetahuan bangsa mengenai dirinya sendiri.

Sebagai contoh, ambillah peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara kerajaan Belanda terhadap rakyat Rawagede (1947), Jabar, pada periode agresi militer pertama Belanda terhadap Republik Indonesia. Ratusan orang-orangtua, perempuan dan anak-anak yang tak bersalah di desa itu, telah menjadi korban. Syukur alhamduillah, masih ada para peneliti dan penstudi bangsa yang memperhatikan dan meneliti masalah sejarah bangsa. Masih ada para korban yang dengan sabar menuntut dan memperdjuangkan keadilan! Menuntut keadilan terhadap nasib mereka di bawah kekejaman tentara Belanda yang melakukan kejahatan perang. Bila tidak ada uasaha tsb, maka peristiwa 'pembunuhan masal Rawagede', akan lenyap ditelan waktu, akan terlupakan samasekali. Menjadi jelaslah bahwa tidaklah benar memperlakukan masalah sejarah --- sebagai 'masa lampau yang 'traumatik', 'yang jangan diungkit-ungkit kembali demi tidak membuka kembali luka-luka lama'. Terhadap masalah sejarah tidak tepat bila menggunakan pandangan 'sudahlah, yang lalu biarkan lalu', 'let bygones be bygones'. 'Mari melihat kedepan' dsb, sikap yang demikian, selain tidak ilmiah, juga tidak jujur dan tidak adil terhadap korban.

* * *

Pelajaran yang ditimba dari pengalaman sejarah, lebih-lebih lagi amat berguna dan diperlukan bagi generasi muda. Agar mereka bisa menarik pelajaran dari masa lampau, dengan tujuan di masa depan menjadi lebih bijaksana. Pada setiap periode, pemahaman mengenai sejarah bangsa merupakan dasar penting bagi pendidikan dan pengokohan KESADARAN BERBANGSA, mencintai tanah air dan rakyat. Bagi memupuk patriotisme dan nasionalisme progresif. Juga untuk mencegah agar bangsa ini jangan sampai terjurumus ke dalam jurang nasionalisme sempit, chauvisime atau fikiran maupun kegiatan yang bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, sekularisme dan pluralisme positif.

Sama-sama diketahui bahwa pencatatan peristiwa sejarah itu tidak jarang, bahkan sering dilakukan sesuai pemahaman atau versi dan visi si pencatat. Maka tak luput dari subyektivisme. Pencatatan dilakukan menurut apa yang disaksikan dan dialami sendiri. Menurut ingatan, pilihan maupun apa yang dianggapnya benar-benar terjadi. Yang dianggap bukan rekayasa untuk tujuan kepentingan tertentu. Pencatatan yang dilakukan menurut ingatan juga bisa subyektif. Karena tidak jarang orang mengingat apa yang ingin diingatnya kembali. Dan 'lupa' terhadap apa yang ingin dihapuskan dari ingatannya. Bisa juga disebabkan oleh latar belakang malapetaka yang menimpa diri, kesedihan dan penderitaan keluarga atau golongannya. Disebabkan oleh 'trauma'.

Setelah bangsa ini mengalami gerakan Reformasi yang menggelora pada tahun 1998, pencatatan dan penulisan sejarah, studi dan analisis, syukur alhamdulillah, tidak lagi menjadi monopoli penguasa, elite cendekiawan yang mengabdi penguasa, atau segolongan orang dalam masyarakat. Tetapi dilakukan oleh pelbagai lapisan masyarakat. Banyak dilakukan oleh kalangan lembaga studi dan riset maupun oleh para pakar dan ilmuwan, teristimewa oleh generasi muda. Masing-masing menurut kemampuan dan kondisinya. Berbagai hasil pencatatan, penulisan dan studi sejarah, memberikan kesempatan yang baik sekali, yang belum pernah terjadi sebelumnya, bagi bangsa, khususnya bagi generasi muda, untuk berhadapan dengan bahan-bahan tsb, membaca, memikirkanya serta menarik kesimpulannya sendiri. Mengembangkan semangat berfikir berdikari, tak jemu dan tak khawatir bersusah payah dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan melalui belajar dan pemahaman sejarah itu sendiri.
* * *

Dengan pandangan sejarah seperti diuraikan diatas, maka tak bisa dibenarkan kebijakan Menteri Menhuk Dan HAM, Andi Matalatta, bersangkutan dengan 'orang yang terhalang pulang', yang setelah terjadi Peristiwa 1965, oleh penguasa Orba paspornya dicabut dengan sewenang-wenang tanpa proses apapun.
Menteri Andi Matalatta menganggap seolah-olah masalah sejarah, dengan alasan 'orientasi ke depan' , soal pelanggaran undang-
undang, hukum dan hak azasi menusia warganegara Indonesia, bisa dipecahkan, diselesaikan dengan acara adminstratif semata. Dengan pemberlakuan Undang-Undang Kewarganegaraa yang baru. Sikap Menteri, sikap pemerintah yang diwakilinya, --- bukankah itu suatu pecobaan untuk menyederhanakan suatu masalah yang tidak sederhana? Suatu pendekatan dan cara penyelesaian masalah yang menggunakan pandangan 'burung unta'. Seperti 'burung unta yang meyembunyikan kepalanya ke dalam pasir'. Karena dia sendiri tidak mau melihat kenyataan, maka dikiranya kenyataan itu tak ada.

Jelas, masalah pancabutan paspor warganegara yang tak melakukan pelanggaran hukum apapun, yang kebetulan sedang ada di luar negeri mengemban pelbagai tugas, seperti tugas belajar dan tugas-tugas lainnya dari pemerintahan Presiden Sukarno, --- adalah suatu pelanggaran hukum, menyalahi UUD RI. Itulah sebabnya a.l mereka-
mereka itu menjadi apa yang dikenal sekarang, sebagai 'orang-orang yang terhalang pulang'.

Apa yang terjadi adalah pelanggaran hukum serius yang dilakukan oleh penguasa ketika itu, yaitu fihak militer di bawah Jendral Suharto. Harus selalu diingat dan dicacat, mereka-mereka yang paspornya dicabut, kewarganegaraannya direnggutkan, adalah warganegara yang patuh hukum, yang setia pada Republik Indonesia, setia pada Presiden Sukarno, yang ketika itu adalah kepala pemerintahan dan kepala negara Republik Indonesia. Banyak diantaranya adalah pejuang-
pejuang kemerdekaan.

* * *
Dalam wawancaranya dengan korespoenden A. Supardi dari 'Rakyat Merdeka' (Den Haag, 20 Sept 2008), pandangan 'administratif' Menhuk Dan Ham Andi Mattalata, jelas sekali diuraikan seperti dikutip sebagian di bawah ini sbb:

A. Supardi: Berdasarkan UU Kewarganegaraan, pencabutan paspor dan sekaligus juga kewarganegaraan eks-Mahid (eks mahasiswa ikatan dinas) dan "orang-
orang yang terhalang pulang" lainnya adalah merupakan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, dalam proses pengembalian paspor/kewarganegaraan mereka seyogyanya ada penegasan dari Pemerintah RI sekarang ini tentang pelanggaran HAM tersebut. Pendapat Anda?
Mentri Andi Mattalata: Undang-undang 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI yang baru ini pendekatannya sebenarnya untuk mengakhiri semua masalah-masalah dasar kenegaraannya, siapa yang menjadi warganegara. Termasuk mengakhiri masalah-masalah kewarganegaraan yang bisa dikaitkan dengan masalah politik, dengan orientasi kami ke depan.
Karena itu UU Kewarganegaraan ini lahir hampir bersamaan dengan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di DPR. Cuma sayang, ketika ke Mahkamah Konstitusi, MK membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini.
Karena itu pada saat UU Kewarganegaraan RI tahun 2006 (yang diberlakukan hingga bulan Agustus 2009) dibuat berdasarkan pikiran kita ke depan, bukan ke belakang.
A. Supardi: Alasannya apa?
Mentri Andi Mattalata:
Ya kita mau membangun negeri ini menyamakan dan menyatukan seluruh potensi bangsa ke depan. Kalau tentang masalah masa lalu, biarlah hukum yang menyelesaikanya.
A. Supardi:
Tetapi persoalannya, mereka itu kan dicabut paspornya. Dalam UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI, misalnya menganggap bahwa eks-
Mahid dan "orang-orang yang terhalang pulang" lainnya itu telah lalai dalam melapor ke KBRI setempat lima tahun berturut-turut adalah tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Penjelasan Anda?
Mentri Andi Matalata:
Ya, setiap problem itu kan ada penyelesaiannya: 1) melalui hukum; 2) melalui management/administrasi. Yang ditempuh UU 12/2006 ini ialah penyelesaian melalui management/administrasi. Demikian a.l.kutipan wawancara koresponden A. Supardi dengan Menhuk dan Ham Andi Mattalata. (20 Sept d008). Sedemikai yang dikutip dari wawancara tsb.
* * *

Seperti yang pernah berkali-kali diuraikan di ruangan ini, maupun tukar fikiran yang pernah dilakukan dengan fihak KBRI Den Haag menjelang kedatangan (sekarang mantan) Mentri Awaluddin Hamid tempohari, sikap yang paling tepat dari fihak pemerintah seharusnya, ialah:

1. Pemerintah secara terbuka menyatakan bahwa tindakan pencabutan paspor dan dengan sewenang-wenang merenggutkan kewarganegaran orang-
orang Indonesia yang berlangsung sesudah Peristiwa 1965, adalah suatu pelanggaran serius oleh penguasa ketika itu terhadap hukum, UUD-RI dan Hak-Hak Azasi Manusia.

2. Secara terbuka pemerintah yang sekarang menyatakan minta maaf kepada para korban yang paspornya telah dicabut, serta kewarganegaraanya telah direnggutkan, yang dilakukan tanpa melalui prosedur hukum yang sah..
3. Pemerintah segera memulihkan serta merehabilitasi hak kewarganegaraan dan paspor para korban tsb.

4. Terserah kepada mereka-mereka yang paspornya dicabut, apakah mereka yang, disebabkan keterpaksaan telah mengambil kewarganegaran asing, bersedia atau tidak secara formal memulihkan kewarganegara Republik Indonesia.

* * *

Kolom IBRAHIM ISA - Senin, 15 September 2008 - JANGAN LUPAKAN SEJARAH!

*Kolom IBRAHIM ISA*

*Senin, 15 September 2008*

*---------------------------------*


*JANGAN LUPAKAN SEJARAH!*

*JANGAN LUPAKAN SEJARAH!*



JANGAN LUPAKAN SEJARAH!

Demikianlah pesan sangat berharga yang disampaikan oleh banyak historikus jujur dan obyektif, oleh pemimpin-pemimpin bangsa kita. Teristimewa oleh Bung Karno. Beliau selalu mengingatkan kita: JANGAN LUPAKAN SEJARAH! Benarlah adanya, tanpa mengenal sejarah, terutama sejarah bangsa sendiri, maka kesadaran berbangsa, rasa cintai pada rakyat dan negeri yang indah ini, kiranya sulit untuk ditegakkan. Celakanya, selama 32 tahun lebih rezim Orba telah memulas, memanipulasi dan memelintir sejarah bangsa kita.


Pada tempatnya historikus generasi muda, peneliti utama LIPI, Dr Aswi Warman Adam, mengingatkan masyarakat, sbb:

Penulisan sejarah Indonesia dalam buku-buku sejarah penuh dengan rekayasa dan upaya ini telah dilakukan pemerintah Orde Baru sejak awal berdirinya rezim sampai jatuhnya pemerintahan Soeharto."Dalam hal ini Nugroho Notosusanto dan Pusat Sejarah ABRI sangat berperan besar dalam penulisan rekayasa sejarah itu," (Kompas Online, 12 Sept 2008. "Menurut hemat saya, kata Aswi, meskipun tim yang diketuai Nugroho mengerjakan penelitian kilat tersebut, inisiator atau penanggungjawab buku itu adalah Jenderal AH Nasution,"


Pada umumnya pemelintiran sejarah, rekayasa fakta-fakta kejadian, sengaja dibuat untuk mengabdi dua tujuan: 1. Memberikan legitimasi terhadap persekusi dan pembantaian masal 1965-1966 dst yang dilakukan penguasa. 2. Memberikan legimitasi atas eksistensi rezim Orba, yang dibangun atas dasar KUP MERANGKAK yang dilakukan oleh Jendral Suharto terhadap pemerintahan Presiden Sukarno.


Itulah sebabnya tidak mudah untuk mengungkap peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya terjadi dalam tahun-tahun 1965-66-67 dst. Karena begitu banyak dan luasnya dari penguasa, 'aparat', birokrasi, parpol dan elite yang terlibat dalam peristiwa tsb. Mereka-mereka itu sejak 1965 sampai sekarang membenarkan, mensahkan pelanggaran HAM terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah RI, demi kepentingan kekuasaan, dan demi melanggengkan posisi mereka sebagai penguasa.



* * *



YANTI MIRDAYANTI, kenalan dan sahabat baikku, adalah seorang sarjana muda yang kini bekerja sesuai kesarjanaannya di Bonn, Jerman. Di bawah ini kusiarkan kembali kisahnya mengenai sekelumit sejarah keluarganya. Kisah dari suatu keluarga 'eks-tapol', korban persekusi Orba setelah Peristiwa 1 Oktober 1965. Kisah-kisah seperti yang diceriterakan Yanti Damayanti, merupakan puncak dari suatu 'gunung és' cerita-cerita serupa menyangkut kekejaman, kebiadaban yang berlangsung sekitar persekusi yang berlangsung sesudah peristwa G30S, terhadap sejuta sampai tiga juta warganegara yang tak bersalah.


Seperti yang dikisahkannya, ayah Yanti Mirdayanti dipenjarakan selama lima tahun, hanya karena ia seorang penyanyi yang bergabung dengan LKRA, sebuah organisasi kebudayaan rakyat Indonesia yang dituduh sebagai organisasi kebudayaan PKI. Ibu Yanti yang baru saja melahirkan putrinya (Yanti), dipaksa menghidupkan dan mendidik lima orang anaknya, tanpa kepala keluarga yang meringkuk di penjara rezim Orba.


Sekelumit kisah Yanti mengungkap kesewenang-wenangan penguasa terhadap keluarga mereka.


Silakan baca terus kisah YANTI MIRDAYANTI.


* * *


DI BALIK NAMAKU ADA CERITA . . . . . . . . . +)

Oleh YANTI MIRDAYANTI


Ayahku seorang penyanyi ulung di kota kelahiranku. Dia seorang juara tingkat kabupaten untuk jenis lagu Seriosa. Pekerjaan formal ayahku waktu itu adalah guru Sekolah Dasar. Ayahku adalah seorang pengagum Bung Karno. Panggilan ,Bung' begitu populernya saat itu, sehingga ibuku pun memanggil ayahku dengan Bung (plus nama ayah) sampai wafatnya ibu lima tahun yang lalu, percisnya: 30 September 2003.


Di tahun 60-an itu ayahku bukan seorang komunis dan tidak pernah menjadi anggota partai. Tetapi karena kegiatan tarik suaranya, ayah sempat diundang bergabung dengan institusi kesenian yang besar saat itu, Lekra. Berkat suara emasnya, ayahku sempat diundang bernyanyi di Senayan-Jakarta di hadapan Presiden Sukarno. Aku kira, dia sebagai utusan daerah dan mungkin berangkat berkat dukungan (dukungan) Lekra.


Waktu aku lahir, aku diberi nama Yanti Lekriyanti. Nama belakangku ini mungkin mendapat inspirasi dari nama Lekra, karena kepopulerannya saat itu dan karena banyak seniman daerah yang mendapat dukungan dalam memajukan bakat seninya. Namun setahuku, sampai aku kelas 6 SD nama belakangku tak pernah dipakai. Namaku di rapor SD pun hanya Yanti. Di Indonesia dulu memang lajim kalau seseorang hanya memiliki satu nama, seperti Presiden Sukarno, sehingga nama tunggalku pun di sekolah tak menjadi persoalan.


Pemakaian ketunggalan namaku secara langsung maupun tidak langsung memang ada hubungannya dengan kejadian G-30-S (Gestok) di Jakarta. Alasannya: 15 hari sejak aku dilahirkan, nama Lekriyanti seperti sebuah nama tabu, karena ada Lekri-nya. Waktu aku kecil, aku tak paham apa-apa soal ini. Tidak ada orang yang bercerita khusus soal ini kepadaku. Temanya terlalu sensitif, politis, dan tabu.


Ketika lulus SD, tahun 1977, Kepala Sekolah memanggilku. Dia berkata kepadaku bahwa untuk masuk ke SMP lebih baik aku memakai nama belakang, karena jumlah murid di SMP lebih banyak dan pasti banyak murid yang bernama Yanti. Kebetuan di SD aku berprestasi sangat cemerlang, di akhir kelas 6 menjadi juara umum. Kepala Sekolah ingin supaya namaku tak tertukar dengan Yanti-Yanti yang lain, dan supaya nilai bagusku di SMP pun nanti tidak tertukar. Demikian rayuan sang Kepala Sekolah (dia seorang Ibu Kepala Sekolah) dengan optimistis.


Dengan polos, aku berkata kepada sang Ibu Kepala Sekolah: "Sebenarnya aku mempunyai nama belakang, tetapi di rapor tidak dimasukkan.". Kepala Sekolah balik bertanya: "Pakailah kalau begitu. Apa nama belakangmu?" Kukatakan: "Lekriyanti."


Aku masih ingat sampai sekarang, bagaimana terkejutnya raut muka Ibu Kepala Sekolah mendengar nama belakangku untuk pertama kalinya itu. Kedua matanya terbuka lebar.

Langsung dia pun berkata kepadaku dengan lembut, tapi serius: "Anakku, pergilah kau temui kedua orang tuamu nanti. Mintalah kepada mereka, supaya kau diberikan nama belakang yang baru."


Hanya itu yang diminta Ibu Kepala Sekolah. Kalimatnya pun berakhir di sana. Dia tidak mungkin mengemukakan alasan panjang lebar kepadaku, karena aku hanya seorang anak yang baru berusia 12 tahun, baru tamat SD, dan bukan tandingan partner untuk diajak berbicara soal-soal yang sensitif dan agak politis. Dia kenal ayahku dan latar belakang keluargaku. Beberapa anggota keluarga Ibu Kepala Sekolah pun ada yang menjadi korban, seperti ayahku.


Sesampai di rumah, langsung permintaan Kepala Sekolah itu aku sampaikan kepada ayah dan ibu. Tanpa ada kata mengapa dan lain sebagainya, ayah dan ibu langsung menganggukkan kepala. Ayahku berkata kepadaku: "Baiklah, kau akan mendapat nama belakang yang baru. Bukan lagi Lekriyanti."


Tiga hari tiga malam ayahku bersemedi menyendiri di kamarnya. Dengan penuh konsentrasi dia mencoba menciptakan sebuah nama belakang baru untukku. Dia sebenarnya tidak merencanakan berapa lama. Tapi pokoknya akan memberitahukan kepadaku segera setelah nama baruku tercipta.


Tiga hari kemudian, memang ayahku menemuiku sambil duduk. Dia pun berkata: "Namamu mulai hari ini adalah Yanti MIRDAYANTI. Akan mulai kau pakai sejak SMP sampai seterusnya selama kau hidup. Nama Lekriyanti biarlah kita simpan saja. Nama itu tidak hilang, tetapi tidak lagi bisa kau pakai di sekolah atau pun di tempat kerja nanti."


Lalu aku bertanya kepada ayah: "Apa arti nama Mirdayanti?". Ayahku menjawab:

"Mirdayanti artinya: Seorang perempuan yang berilmu pengetahuan dalam dan luas, sedalam dan seluas lautan (das Meer)". Ayah pun melanjutkan: "Aku berharap bahwa kau suatu hari nanti akan menjadi seorang perempuan yang berilmu luas sekali. Kau harus sekolah setinggi-tingginya. Hanya ilmu yang bisa menolongmu dalam hidup. Sekolahlah yang rajin, supaya ilmumu banyak dan dalam."


Hanya itulah yang kuingat tentang proses perubahan namaku dari Yanti Lekriyanti menjadi Yanti Mirdayanti. Resmi berganti nama mulai tahun 1978, pas masuk SMP.


Sejak kejadian G-30-S (atau menurut Bung Karno: Gestok/Gerakan 1 Oktober) di Jakarta, ayahku ,dijemput' dari rumah oleh tentara (kalau tak salah, yang masuk rumah ada 2 orang). Menurut pengakuan ayah kepadaku, tentara-tentara itu tidak berlaku kasar, baik-baik saja. Ibuku masih lemah di tempat tidur setelah melahirkan aku, anak yang ke-5. Aku baru berusia 15 hari, dan ibuku pun masih muda: baru berusia 23 tahun, tetapi telah beranak lima!


Bisa aku bayangkan sekarang, ibuku, seorang perempuan muda sekali yang baru melahirkan anak dan harus mengurus kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Lalu harus ditinggal suaminya, dan ditahan di sebuah penjara tahanan politik (di Jawa Barat) selama 5 tahun, hanya karena aktif menyanyi! Langsung dipenjarakan bersama teman-teman ayah lainnya yang juga guru-guru SD, tanpa ada proses pengadilan dan tanpa ada pembelaan. Status mereka pun sebagai guru SD langsung dicopot sejak hari itu juga. Tinggallah sang isteri-isteri dan anak-anak mereka hidup dalam kemiskinan dan tekanan jiwa untuk puluhan tahun berikutnya.


Bakat kesenian, terutama bidang olah suara dari ayah dan ibuku (ibu pernah aktif sebagai penyanyi keroncong) turun kepada kami, anak-anak mereka. Sampai sekarang kami senang menyanyi. Kakak laki-laki pernah menjadi vocalist utama di tempat kerjanya di BRI Cabang dan secara otodidak bisa memainkan berbagai instrumen musik, dari jenis tradisional (angklung dan calung), sampai yang modern: gitar dan organ. Satu kakak perempuan aktif menyanyi bersama grup Degung sekolah tempatnya mengajar. Satu kakak yang perempuan lagi bermain kecapi dan menyanyi Cianjuran di SMA tempatnya mengajar. Satu kakak perempuan agak pemalu. Sedangkan aku sampai hari ini terus menyanyi, terutama di paduan suara, dan sejak beberapa bulan tergabung dalam sebuah grup musik Latin di tempatku berdomisili sekarang.


Sekarang kembali ke masalah keluargaku. Setelah sekitar 5 tahun ditahan bersama teman-teman seprofesinya, ayahku harus pergi berkelana di Jakarta bertahun-tahun untuk menjadi seorang buruh bangunan. Tinggal di kampung bersama ibu tidak mungkin, karena tidak ada pekerjaan, dan beban mental yang terlalu berat kalau terus tinggal di kampung. Kebetulan salah seorang saudara ayah menjadi mandor di bidang bangunan di Jakarta. Jadi, ayah ditampung dia untuk bekerja bersama dan menjadi tangan kanannya.


Sebulan sekali ayah harus pulang kampung, karena harus ,apel', lapor-muka wajib ke Koramil daerah (suatu hal yang selalu ditolak mentah oleh Pramoedya Ananta Toer di Jakarta semasa hidupnya). Aku ingat, ayah harus apel setiap hari Senin pagi. Pakaiannya pun rapih sekali. Mungkin dia sekalian harus ikut upacara bendera. Siang atau sore hari ayah sudah balik lagi ke rumah. Kadang beberapa hari tinggal dulu di rumah, tetapi kadang esok harinya langsung ke Jakarta lagi.


Setelah aku SMA kelas-2, tahun 1982, jamannya Gunung Galunggung meletus, ayah dan teman-temannya mendapat ijazah ,Bersih Diri' dari Suharto. Dia mendapat pekerjaannya kembali sebagai guru SD dan gajih rapelnya pun diperoleh. Tapi banyak dari uang yang diterima ayah dan teman-temannya itu harus menghilang ke udara, dipakai untuk ,menyocok' para petugas yang mengurus, dari petugas tingkat atas sampai bawah, supaya urusan bisa selesai.


Sejak mendapat sertifikat ,Bersih Diri' itu secara pelan jati diri ayah mulai kembali. Dengan bersemangat dia kembali mengajar di SD. Tetapi dengan setiap perilaku dan kata-kata yang sangat hati-hati. Sayangnya, tekanan batin dan rasa bangga diri yang telah lepas beberapa tahun lamanya dari diri ayah telah pula menjadikan ayah kami seorang yang mudah marah. Yang paling sering kena marah adalah ibu. Kami selalu merasa kasihan sama ibu, sehingga diam-diam kami pun sering berpihak kepadanya. Tetapi kami pun mengerti mengapa ayah menjadi mudah marah begitu, yaitu karena terlalu beratnya tekanan batin dan ekonomi yang harus dipikul terlalu lama. Jati diri dan rasa bangga dia sebagai seorang ayah dan suami seperti dicabut begitu saja. Untuk bisa kembali ke normal memerlukan waktu yang cukup lama walaupun sekarang dengan sertifikat ,Bersih Diri' sudah di tangan.


Kami sama sekali tidak pernah bercerita soal politik di dalam rumah. Semua takut. Apalagi kakak-kakakku yang tiga orang semuanya Pegawai Negeri. Salah omong sekali bisa berakibat fatal, misalnya bisa dicopotnya kakak-kakakku dari tempat kerja mereka.

Keluarga kami dengan terpaksa semua memilih Golkar setiap Pemilu, supaya tidak ada masalah dengan status sebagai Pegawai Negeri. Seingat saya, hanya kakek dan beberapa anak paman yang tidak pernah memilih Golkar. Mereka dengan diam-diam selalu menusuk Kepala Banteng (PDI)!


Setamat dari kuliahku di Universitas Padjadjaran (UNPAD Bandung) tahun 1990, ayahku mengajukan diri untuk pensiun awal. Dia bilang: "Karena anak yang bungsu sudah tamat sekolah, maka aku ingin istirahat jadi guru dan ingin bertani saja, terbebas dari status sebagai Pegawai Negeri (yang banyak peraturan ini dan itu)."


Di masa pensiunnya, ayahku menjadi petani, merawat sawah yang cukup luas, milik kakek dan nenek dari ibu. Tampaknya dia lebih bahagia dan tenang sebagai petani daripada sebagai guru SD. Sedangkan ibu bekerja sebagai pedagang pakaian di pasar. Dulu ketika ditinggal ayah, ibu pernah juga menjadi tukang kredit keliling dan tukang jahit baju, kemudian membuka warung kecil. Waktu jadi tukang kredit, aku sering diajak ibu berkeliling di kampung, di saat panas maupun hujan. Sering ibu sakit dan pernah tiga kali masuk rumah sakit, karena parah. Beban hidup ibu terlalu berat, harus mengurus lima anak, dan mendampingi serta mengurus kakek dan nenek sampai akhir hayatnya. Kakek adalah seorang petani tulen, sering harus menggunakan pembunuh hama semprot di sawahnya, sehingga penyakit asma yang dideritanya tambah parah. Selama itu ibu yang harus banyak mengurus kakek sampai wafatnya tahun 1985, karena nenek harus berjualan di pasar untuk mencari uang dan secara fisik

ibu masih lebih kuat untuk mengangkat-angkat kakek.


Walaupun masa kecil kami sebenarnya kalau dilihat dari kaca mata sekarang cukup mengesankan, karena lingkungan pedesaan yang begitu romantis dan subur, namun dari segi ekonomi kami sangat miskin dan berat sekali. Kehidupan kakek dan nenek boleh dibilang termasuk lumayan, karena memiliki tanah, sawah, dan kolam yang luas. Tetapi uang tunai jaman itu hanya diperoleh sehabis masa panen di sawah, setahun dua kali.


Tanpa kakek dan nenek dari pihak ibu yang turut mendampingi kami, maka hidup kami sekeluarga pasti akan sangat terlunta-lunta. Kebetulan kakek dan nenek sangat dituakan di kampung, karena hampir seluruh anggota kampung masih ada hubungan saudara, sedangkan kakek dan nenek adalah anak sulung di keluarganya masing-masing. Inilah mungkin yang telah turut melindungi ibu dan kami, sehingga tetangga sekampung semuanya tetap baik terhadap kami, walaupun ayah sempat menjadi tahanan rejim Orba.


Bahkan kakek dan nenek selalu menjaga ibu agar tidak tergoda oleh laki-laki berhidung belang. Memang ketika ayah ditahan, ada beberapa tentara sempat meminta ibuku yang masih muda dan cantik berambut hitam lebat itu untuk mengawini mereka. Tetapi ibu mendapat kekuatan lahir dan batin dalam menghadapi semua godaan, karena adanya dukungan dan perlindungan kakek dan nenek yang begitu hebat.


Masa kecilku bersama kakak-kakak yang penuh perjuangan itu sebenarnya sangatlah berharga. Kami belajar banyak dari lembaran-lembaran masa lalu. Kami tidak biasa manja dan sangat menghargai pentingnya pendidikan. Untuk mendapat uang jajan, setelah sholat subuh kami berlima biasanya beriringan ke pasar menjual beberapa ikat kangkung yang kami petik langsung dari kolam kakek dan nenek. Kadang nenek juga menitipkan beberapa ikat daun pisang untuk kami jual juga.


Berkat dorongan kuat dan ketat dari kakek nenek dan orang tua, kami berlima bisa bersekolah sampai Perguruan Tinggi. Walaupun demi pendidikan kami ini, kedua orang tua kami harus gali lobang tutup lobang, minta bantuan kakek dan nenek, serta berhutang ke bank. Namun jerih payah mereka tidak sia-sia. Kami bisa menamatkan sekolah kami dengan baik dan masing-masing mendapat pekerjaan tetap setelah sekolah selesai.


Kini, 40 tahun setelah kejadian sejarah gelap September (Oktober) 1965, kami sebenarnya masih hanya mengetahui sepotong-sepotong tentang sejarah keluarga kami yang sebenarnya. Selama 32 tahun jaman Suharto kami tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang jelas dan di keluarga kami pun selalu ada ketakutan untuk membicarakannya. Sekarang di jaman Reformasi, informasi tambah banyak. Enam tahun sebelum Suharto jatuh, aku menikah dan meninggalkan Indonesia menuju Eropa (Jerman). Selama hidup di luar negeri (terutama semasa di Jerman dan Amerika Serikat) informasi yang kuperoleh soal sejarah sekitar 65 ini cukup banyak. Kukira, lebih banyak informasi yang kudapatkan daripada yang kakak-kakakku ketahui sampai sekarang.


Kadang kalau aku libur ke Indonesia, aku duduk berdua bersama ayah (waktu ibu masih hidup, ibu juga dilibatkan untuk ikut nimbrung, demi kelengkapan cerita). Kuwawancara ayah dan ibu secara informal tentu saja. Setiap bercerita, di suara mereka selalu kulihat ada kegetiran, terutama di suara ayah. Tetapi sering dia tahan dan berusaha untuk berbicara denganku senormal mungkin. Sekarang dia sudah lebih terbuka daripada jamannya Suharto masih berkuasa. Dulu dia masih sangat takut memberikan informasi kepadaku. Sekarang ayah sudah 73 tahun. Ketika diwawancara kembali di awal tahun ini, dengan alat perekam suara, masih ada potongan-potongan jawaban yang dia lupa-lupa ingat. Namun semua kurekam, untuk dokumentasi pribadiku.


(Yanti, Bonn, 15 September 2008)

+) Judul lengkap: DIBALIK NAMAKU ADA CERITA YANG SANGAT BERSEJARAH.

* * *