Tuesday, November 4, 2008

Kolom IBRAHIM ISA - Senin, 22 Sept 2008 - SELESAIKAN SOAL SEJARAH LEWAT ADMINISTRASI, Adalah -- MENIPU DIRI SENDIRI!

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 22 Sept 2008
-------------------

SELESAIKAN SOAL SEJARAH LEWAT ADMINISTRASI, Adalah -- MENIPU DIRI SENDIRI!




Masalah masa lampau, yang tercatat atau terdokumentasi di pelbagai lembaga, seperti Arsip Nasional, perguruan tinggi, lembaga studi dan riset, perpustakaan musium-musium, di dokumentasi pelbagai media, dsb, -- last but not least di kamar-kamar dokumentasi intel tentara dan polisi -- terutama adalah pencatatan peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada suatu periode tertentu dalam sejarah suatu bangsa. Pencatatan fakta atau peristiwa sejarah, kapanpun merupakan dokumentasi, catatan dan warisan penting generasi sebelumya untuk dipelajari sebagai salah satu cara yang baik untuk memahami bangsa sendiri.
Dengan sendirinya catatan sejarah dibuat -- sekali-kali bukan untuk dipeti-eskan. Bukan dengan maksud untuk dirahasiakan, tidak dibuka atau dibaca kembali. Bahan-bahan dokumentasi tsb seyogianya digunakan sebagai bahan riset dan studi untuk memperoleh pengetahuan yang sedekat mungkin dengan kenyataan yang sesungguhnya, yang seobyektif mungkin mengenai hal-hal yang terjadi di masa lampau. Bahan-bahan tsb, kapan saja, diperlukan dan berguna dipandang dari segi perkembangan ilmu. Tujuan penting a.l. ialah mencari dan menemukan kebenaran dan keadilan. Semua itu demi pertumbuhan dan pengembangan pengetahuan bangsa mengenai dirinya sendiri.

Sebagai contoh, ambillah peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara kerajaan Belanda terhadap rakyat Rawagede (1947), Jabar, pada periode agresi militer pertama Belanda terhadap Republik Indonesia. Ratusan orang-orangtua, perempuan dan anak-anak yang tak bersalah di desa itu, telah menjadi korban. Syukur alhamduillah, masih ada para peneliti dan penstudi bangsa yang memperhatikan dan meneliti masalah sejarah bangsa. Masih ada para korban yang dengan sabar menuntut dan memperdjuangkan keadilan! Menuntut keadilan terhadap nasib mereka di bawah kekejaman tentara Belanda yang melakukan kejahatan perang. Bila tidak ada uasaha tsb, maka peristiwa 'pembunuhan masal Rawagede', akan lenyap ditelan waktu, akan terlupakan samasekali. Menjadi jelaslah bahwa tidaklah benar memperlakukan masalah sejarah --- sebagai 'masa lampau yang 'traumatik', 'yang jangan diungkit-ungkit kembali demi tidak membuka kembali luka-luka lama'. Terhadap masalah sejarah tidak tepat bila menggunakan pandangan 'sudahlah, yang lalu biarkan lalu', 'let bygones be bygones'. 'Mari melihat kedepan' dsb, sikap yang demikian, selain tidak ilmiah, juga tidak jujur dan tidak adil terhadap korban.

* * *

Pelajaran yang ditimba dari pengalaman sejarah, lebih-lebih lagi amat berguna dan diperlukan bagi generasi muda. Agar mereka bisa menarik pelajaran dari masa lampau, dengan tujuan di masa depan menjadi lebih bijaksana. Pada setiap periode, pemahaman mengenai sejarah bangsa merupakan dasar penting bagi pendidikan dan pengokohan KESADARAN BERBANGSA, mencintai tanah air dan rakyat. Bagi memupuk patriotisme dan nasionalisme progresif. Juga untuk mencegah agar bangsa ini jangan sampai terjurumus ke dalam jurang nasionalisme sempit, chauvisime atau fikiran maupun kegiatan yang bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, sekularisme dan pluralisme positif.

Sama-sama diketahui bahwa pencatatan peristiwa sejarah itu tidak jarang, bahkan sering dilakukan sesuai pemahaman atau versi dan visi si pencatat. Maka tak luput dari subyektivisme. Pencatatan dilakukan menurut apa yang disaksikan dan dialami sendiri. Menurut ingatan, pilihan maupun apa yang dianggapnya benar-benar terjadi. Yang dianggap bukan rekayasa untuk tujuan kepentingan tertentu. Pencatatan yang dilakukan menurut ingatan juga bisa subyektif. Karena tidak jarang orang mengingat apa yang ingin diingatnya kembali. Dan 'lupa' terhadap apa yang ingin dihapuskan dari ingatannya. Bisa juga disebabkan oleh latar belakang malapetaka yang menimpa diri, kesedihan dan penderitaan keluarga atau golongannya. Disebabkan oleh 'trauma'.

Setelah bangsa ini mengalami gerakan Reformasi yang menggelora pada tahun 1998, pencatatan dan penulisan sejarah, studi dan analisis, syukur alhamdulillah, tidak lagi menjadi monopoli penguasa, elite cendekiawan yang mengabdi penguasa, atau segolongan orang dalam masyarakat. Tetapi dilakukan oleh pelbagai lapisan masyarakat. Banyak dilakukan oleh kalangan lembaga studi dan riset maupun oleh para pakar dan ilmuwan, teristimewa oleh generasi muda. Masing-masing menurut kemampuan dan kondisinya. Berbagai hasil pencatatan, penulisan dan studi sejarah, memberikan kesempatan yang baik sekali, yang belum pernah terjadi sebelumnya, bagi bangsa, khususnya bagi generasi muda, untuk berhadapan dengan bahan-bahan tsb, membaca, memikirkanya serta menarik kesimpulannya sendiri. Mengembangkan semangat berfikir berdikari, tak jemu dan tak khawatir bersusah payah dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan melalui belajar dan pemahaman sejarah itu sendiri.
* * *

Dengan pandangan sejarah seperti diuraikan diatas, maka tak bisa dibenarkan kebijakan Menteri Menhuk Dan HAM, Andi Matalatta, bersangkutan dengan 'orang yang terhalang pulang', yang setelah terjadi Peristiwa 1965, oleh penguasa Orba paspornya dicabut dengan sewenang-wenang tanpa proses apapun.
Menteri Andi Matalatta menganggap seolah-olah masalah sejarah, dengan alasan 'orientasi ke depan' , soal pelanggaran undang-
undang, hukum dan hak azasi menusia warganegara Indonesia, bisa dipecahkan, diselesaikan dengan acara adminstratif semata. Dengan pemberlakuan Undang-Undang Kewarganegaraa yang baru. Sikap Menteri, sikap pemerintah yang diwakilinya, --- bukankah itu suatu pecobaan untuk menyederhanakan suatu masalah yang tidak sederhana? Suatu pendekatan dan cara penyelesaian masalah yang menggunakan pandangan 'burung unta'. Seperti 'burung unta yang meyembunyikan kepalanya ke dalam pasir'. Karena dia sendiri tidak mau melihat kenyataan, maka dikiranya kenyataan itu tak ada.

Jelas, masalah pancabutan paspor warganegara yang tak melakukan pelanggaran hukum apapun, yang kebetulan sedang ada di luar negeri mengemban pelbagai tugas, seperti tugas belajar dan tugas-tugas lainnya dari pemerintahan Presiden Sukarno, --- adalah suatu pelanggaran hukum, menyalahi UUD RI. Itulah sebabnya a.l mereka-
mereka itu menjadi apa yang dikenal sekarang, sebagai 'orang-orang yang terhalang pulang'.

Apa yang terjadi adalah pelanggaran hukum serius yang dilakukan oleh penguasa ketika itu, yaitu fihak militer di bawah Jendral Suharto. Harus selalu diingat dan dicacat, mereka-mereka yang paspornya dicabut, kewarganegaraannya direnggutkan, adalah warganegara yang patuh hukum, yang setia pada Republik Indonesia, setia pada Presiden Sukarno, yang ketika itu adalah kepala pemerintahan dan kepala negara Republik Indonesia. Banyak diantaranya adalah pejuang-
pejuang kemerdekaan.

* * *
Dalam wawancaranya dengan korespoenden A. Supardi dari 'Rakyat Merdeka' (Den Haag, 20 Sept 2008), pandangan 'administratif' Menhuk Dan Ham Andi Mattalata, jelas sekali diuraikan seperti dikutip sebagian di bawah ini sbb:

A. Supardi: Berdasarkan UU Kewarganegaraan, pencabutan paspor dan sekaligus juga kewarganegaraan eks-Mahid (eks mahasiswa ikatan dinas) dan "orang-
orang yang terhalang pulang" lainnya adalah merupakan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, dalam proses pengembalian paspor/kewarganegaraan mereka seyogyanya ada penegasan dari Pemerintah RI sekarang ini tentang pelanggaran HAM tersebut. Pendapat Anda?
Mentri Andi Mattalata: Undang-undang 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI yang baru ini pendekatannya sebenarnya untuk mengakhiri semua masalah-masalah dasar kenegaraannya, siapa yang menjadi warganegara. Termasuk mengakhiri masalah-masalah kewarganegaraan yang bisa dikaitkan dengan masalah politik, dengan orientasi kami ke depan.
Karena itu UU Kewarganegaraan ini lahir hampir bersamaan dengan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di DPR. Cuma sayang, ketika ke Mahkamah Konstitusi, MK membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini.
Karena itu pada saat UU Kewarganegaraan RI tahun 2006 (yang diberlakukan hingga bulan Agustus 2009) dibuat berdasarkan pikiran kita ke depan, bukan ke belakang.
A. Supardi: Alasannya apa?
Mentri Andi Mattalata:
Ya kita mau membangun negeri ini menyamakan dan menyatukan seluruh potensi bangsa ke depan. Kalau tentang masalah masa lalu, biarlah hukum yang menyelesaikanya.
A. Supardi:
Tetapi persoalannya, mereka itu kan dicabut paspornya. Dalam UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI, misalnya menganggap bahwa eks-
Mahid dan "orang-orang yang terhalang pulang" lainnya itu telah lalai dalam melapor ke KBRI setempat lima tahun berturut-turut adalah tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Penjelasan Anda?
Mentri Andi Matalata:
Ya, setiap problem itu kan ada penyelesaiannya: 1) melalui hukum; 2) melalui management/administrasi. Yang ditempuh UU 12/2006 ini ialah penyelesaian melalui management/administrasi. Demikian a.l.kutipan wawancara koresponden A. Supardi dengan Menhuk dan Ham Andi Mattalata. (20 Sept d008). Sedemikai yang dikutip dari wawancara tsb.
* * *

Seperti yang pernah berkali-kali diuraikan di ruangan ini, maupun tukar fikiran yang pernah dilakukan dengan fihak KBRI Den Haag menjelang kedatangan (sekarang mantan) Mentri Awaluddin Hamid tempohari, sikap yang paling tepat dari fihak pemerintah seharusnya, ialah:

1. Pemerintah secara terbuka menyatakan bahwa tindakan pencabutan paspor dan dengan sewenang-wenang merenggutkan kewarganegaran orang-
orang Indonesia yang berlangsung sesudah Peristiwa 1965, adalah suatu pelanggaran serius oleh penguasa ketika itu terhadap hukum, UUD-RI dan Hak-Hak Azasi Manusia.

2. Secara terbuka pemerintah yang sekarang menyatakan minta maaf kepada para korban yang paspornya telah dicabut, serta kewarganegaraanya telah direnggutkan, yang dilakukan tanpa melalui prosedur hukum yang sah..
3. Pemerintah segera memulihkan serta merehabilitasi hak kewarganegaraan dan paspor para korban tsb.

4. Terserah kepada mereka-mereka yang paspornya dicabut, apakah mereka yang, disebabkan keterpaksaan telah mengambil kewarganegaran asing, bersedia atau tidak secara formal memulihkan kewarganegara Republik Indonesia.

* * *

No comments: