Monday, November 10, 2008

IBRAHIM ISA Berbagi Cerita - Makna terpilihnya Barack OBAMA (1)

IBRAHIM ISA Berbagi Cerita

05 November 2008

----------------------------------------------------------


Makna terpilihnya Barack OBAMA (1)

A CHANGE, YES IT CAN!


Sudah kurencanakan dalam waktu dekat ini, begitu kembali ke Indonesia (04 Nov 2008), akan menulis beberapa artikel sekitar kesan dan tanggapanku terhadap situasi tanah air tercinta, setelah kunjunganku bersama Murti, selama sebulan ke Jakarta, Jogyakarta dan Sumatra Utara.


* * *


Namun, 'breaking news' sekitar terpilihnya Barack Obama sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat, hal yang secara luas mencengkam tidak saja publik AS tetapi juga jauh melampaui batas negeri itu, - - - rasanya sulit dibiarkan berlalu tanpa komentar. Jauh sebelum hari pilpres AS tanggal 4 Nov y.l., di negeri kita sudah ramai masyarakat dan media berkomentar dan beranalisis sekitar hal itu. Jelas hal itu punya latar belakang sejarah dan politik. Bukan saja disebabkan oleh kenyataan bahwa sejak lama, kongkritnya sejak negeri dan bangsa ini memproklamasikan kemerdekaanya (Ingat peranan Merle Cochran dari AS yang menjadi salah seorang anggota Komisi Tiga Negara yang berusaha 'menengahi' dan mencari 'solusi' terhadap konflik kita dengan Belanda) , -- AS punya kepentingan politik dan ekonomi yang semakin besar terhadap Indonesia. Salah satu penyebabnya ialah kepentingan strategi global 'Perang Dingin' AS dan Barat. Yang a.l ditandai oleh campur tangan dan dukungan finansil dan militer AS terhadap pemberontakan separatis PRRI dan Permesta, untuk menggulingkan Presiden Sukarno, yang meningkat mencuat serta bertambah besar sejak berdirinya rezim Orba.


Maka tidaklah orang menjadi terkejut membaca analisis dan komentar yang secara blak-blakkan menyatakan bahwa negeri kita tercinta sudah menjadi jajahan model baru Barat, khususnya menjadi neo-koloni Amerika Serikat. Bukankah sudah rahasia umum, bahwa pengawasan dan dominasi asing terhadap Indonesia nyata benar semakin besar terjadi selama tiga dasawarsa belakangan ini. Hal itu cukup jelas bisa disaksasikan bila melihat betapa besar ketergantungan Indonesia kini pada IMF dan World Bank. Dua lembaga finansial mancanegara yang dikontrol AS.


Kiranya ada faktor lain yang menyebabkan perhatian masyarakat dan media Indonesia terhadap pilpres di AS. Karena , ketika masih berumur 9 tahun, calpres AS yang bernama Barack Obama, pernah tinggal dan bersekolah di Jakarta. Bahkan ayah tirinya, Soentoro, adalah seorang Indonesia. Ibu Barack suatu ketika bersuami seorang Indonesia. Mereka tinggal di Jakarta, di Jalan Taman Amir Hamzah No 22 (pavilun). Secara kebetulan sekali rumah itu adalah milik mertuaku, Dr Surono. Putranya, perwira tinggi Alri (purnawirawan), Laksamana Tata Abubakar, kini menghuni 'hoofdgebouw'-nya. Juga secara amat kebetulan, paviljun no 22 itu - ketika itu bernama Jl Taman Matraman - , adalah rumah tempat tingal kami sekeluarga dari 1952 s/d 1960, ketika kami berangkat ke Cairo untuk tugas baruku. Sejak diketahuinya bahwa Barack Obama pernah tinggal di pavilyun No 22 Taman Amir Hamzah, sejak itu, cerita Tata Abubakar kepada kami, sejumlah besar wartawan dan jurukamera TV dalam dan luarnegeri dari tidak kurang 12 s.k., kantor berita dan TV yang datang mengunjungi pavilun no 22 itu. Begitu populernya alamat tsb sehingga Tata Abubakar yang tadinya merasa sedikit banyak bangga karena perhatian masyarakat dan media, lama-lama menjadi capek dan jemu juga oleh kedatangan para nyamuk pers itu. Belakangan ada fihak tertentu yang menawar lima kali harga nilai rumah dan pavilyun tsb bila Tata Abubakar berkenan menjualnya. Karena rumah itu adalah warisan orangtuanya, Tata Abubakar menolak menjualnya, berapapun akan dibayar. Dengan sendirinya, dengan kenyataan terpilihnya Barack Obama menjadi presiden AS, akan lebih banyak lagi perhatian orang terhadap rumah itu. Karena, betapapun, alamat itu menjadi alamat bersejarah, sejarah hubungan antara Indonesia dengan Amerika Serikat.



* * *


Salah seorang kawan terdekatku yang biasanya amat hati-hati memberikan pendapatnya terhadap sesuatu fenomena politik, menyatakan kepadaku ketika kutanyakan pendapatnya, bahwa kemenangan Barack Obama dalam pilpres AS hari ini, punya arti baik. Karena untuk pertama kalinya seorang berkulit Hitam AS berhasil terpilih dengan mayoritas besar. John McCain dari Partai Republik, lawan Barack Obama dalam pilpres AS 2008, dengan serius berusaha menenangkan para pendukungnya, yang bersuara gemuruh setengah mengejek setengah kecewa, ketika McCain menyatakan bahwa ia baru saja menilpun Obama untuk memberikan ucapan selamat kepada Obama atas terpilihnya ia sebagai presiden AS. Rakyat telah menyatakan pendapatnya, demikian John McCain.


Aku ingat reaksi seorang sastrawan Iran yang kini berdomisili di Belanda. Penulis yang bernama Kader Abdollah itu, ketika Barack Obama baru terpilih sebagai calon Partai Demokrat sebagai calon presiden untuk pilpres AS 2008. Ya, Amerika tetap Amerika, kata Kader, tetapi terpilihnya seorang Hitam sebagai presiden, adalah sesuatu yang pertama kali terjadi dalam sejarah AS. Dengan sendirinya punya arti tersendiri dalam pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di Amerika. Barangkali ini permulaan realisasi impian pemimpin terkemuka berkulit Hitam Amerika Martin Luther King.


Publisis dan pembawa acara terkenal dari Oprah Winphrey Show dan pemimpin berkulit Hitam dan mantan calon wapres Jessie Jackson, di tengah-tengah publik Putih, Hitam, Hispanic, perempuan, lelaki serta tua dan muda, mencucurkan air mata mereka ketika mendengarkan pidato kemenangan yang diucapkan oleh Barack Obama di Chicago. Media AS memperkirakan sekitar 139 juta warga Amerika memberikan suaranya. Suatu jumlah pemilih terbesar dalam sejarah pemilihan presiden Amerika Serikat sejak 1960.


Apa kata pengkritisi terkenal Michael Moore:


Dalam suratnya melalui e-mail yang kebetulan juga kuterima hari ini, publisis dan pembuat film dokumenter terkenal serta pengkiritsi terkenal AS Michael Moore menulis a.l,

Friends,

Who among us is not at a loss for words? Tears pour out. Tears of joy. Tears of relief. A stunning, whopping landslide of hope in a time of deep despair.

In a nation that was founded on genocide and then built on the backs of slaves, it was an unexpected moment, shocking in its simplicity: Barack Obama, a good man, a black man, said he would bring change to Washington, and the majority of the country liked that idea. The racists were present throughout the campaign and in the voting booth. But they are no longer the majority, and we will see their flame of hate fizzle out in our lifetime.

There was another important "first" last night. Never before in our history has an avowed anti-war candidate been elected president during a time of war. I hope President-elect Obama remembers that as he considers expanding the war in Afghanistan. The faith we now have will be lost if he forgets the main issue on which he beat his fellow Dems in the primaries and then a great war hero in the general election: The people of America are tired of war. Sick and tired. And their voice was loud and clear yesterday . . . .


Terjemahah bebasnya dalam bahasa Indonesia:


Para sahabat,


Siapa diatara kita yang tak merasa sulit untuk menemukan kata-kata? Airmata bercucuran. Airmata kebahagiaan. Airmata kelegaan. Suatu harapan yang mempesonakan, dan kemenangan yang amat besar pada saat kehilangan harapan yang mendalam.


Pada suatu bangsa yang didirikan atas genosida dan kemudian dibangun atas punggung para budak-budak, adalah suatu momen yang tak diduga, mengejutkan dalam kesederhanaannya: Barack Obama, orang baik, mengatakan bahwa ia hendak mengadakan perubahan pada Washington, dan mayoritas negeri menyukai ide tsb. Kaum rasis hadir selama kampanye dan di kamar-kamar kotak suara. Tetapi mereka itu tidak lagi merupakan mayoritas, dan kita akan jaga agar api kebencian akan punah dalam era kita ini.


Ada lagi 'pertama penting' tadi malam. Tak pernah sebelumnya dalam sejarah kita seorang calon anti-perang yang diakui, telah berhasil terpilih sebagai presiden dalam periode perang. Saya berhrap agar Presiden terpilih Obama ingat hal itu, ketika ia mempertimbangkan untuk memperluas perang di Afganistan. Kepercayaan yang kami miliki sekarang akan lenyap bila ia lupa soal pokok atas mana ia mengalahkan temannya calon dari Demokrat pada saat (pemilihan) primaries dan kemudian mengalahkan seorang pahlawan perang besar dalam pemilu: Rakyat Amerika telah jemu akan perang. Muak dan tjapai. Dan suara mereka lantang dan jelas kemarin . . . . . .


Demikian Michael Moore menilai dan mencanangkan Barack Obama.


* * *


Kiranya banyak orang punya perasaan dan tanggapan seperti Michael Moore ketika ia menyatakan kegembiraannya terhadap terpilihnya untuk pertama kali seorang Hitam sebagai presiden Amerika Serikat. Menaruh harapan besar, tetapi juga mencanangkan agar ia jangan lupa akan kata-kata yang diucapkannya dalam kampanye.


Seperti semua mendengarnya Barack Obama menjanjikan kepada rakyat Amerika dan juga kepada publik internasional, bahwa ia akan mengadakan PERUBAHAN.


Maksudnya perubahan terhadap politik dalam dan luarnegeri pemerintahan Presiden Bush selama 8 tahun belakangan ini, yang telah mencetuskan perang dan menduduki Irak, serta menganggap sepi negeri-negeri lain dalam komunitas dunia dewasa ini.



No comments: