Tuesday, November 4, 2008

Kolom IBRAHIM ISA: - SUDAH 43 Tahun MASIH TERSEMBUNYI - *, (1)*

*Kolom IBRAHIM ISA:*

*Rabu, 03 September 2008*



*SUDAH 43 Tahun MASIH TERSEMBUNYI *

*, (1)*



Prof. Wim Wertheim adalah seorang sarjana hukum/ilmu sosial. Bagi Indonesia, serta bagi banyak sarjana ilmu sosial, Prof Wertheim dikenal sebagai seorang sarjana hukum yang

pernah bekerja pada zaman Indonesia masih bernama Hindia-Belanda. Ketika Jepang

menduduki Indonesia, Prof Wertheim diinternir oleh Jepang. Dalam kamp interniran Jepang

berkembang kepedulian serta rasa cinta Wertheim pada Indonesia serta solidaritasnya terhadap

cita-cita dan perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan nasional.



Prof Wertheim adalah sarjana yang tau dan amat kenal Indonesia. Bukunya mengenai

Indonesia , berjudul 'INDONESIAN SOCIETY IN TRANSITION', adalah literatur wajib

bagi siapa saja yang melakukan studi dan pengamat Indonesia, khususnya kalangan

cendekiawan perguruan tinggi.

Beliau menulis banyak buku, makalah, serta memberikan wawancara dan ceramah

mengenai Indonesia, Asia dan dunia. Prof Wertheim a.l menulis bukunya yang terkenal: THE THIRD WORLD . . .



Untuk bahan studi di bawah ini disiarkan lagi tulisan Prof. Wertheim, sebuah analisis

mengenai G30S, berjudul 'Sejarah Tahun 1965 Yang Tersembunyi'. Tulisannya akan dimuat besambung.



* * *



Bulan September/Okotber punya tempat khusus dalam pencatatan sejarah Indonesia

modern. Empatpuluh tiga tahun yang lalu, persis tanggal 1 Oktober 965, adalah titik balik

dalam perkembangan politik kenegaraan Indonesia. Pada tanggal 1 Oktober 1965 itu,

sejumlah perwira TNI-AD serta dari kesatuan bersenjata RI lainnya, di bawah pimpinan

Lekol Untung dari Batalyon Pengawal Presiden, Cakrabirawa, dengan mengclaim hendak

menyelamatkan Presiden Sukarno dan negara RI dari suatu ancaman kudeta militer

Dewan Jendral, melakukan gerakan dan aksi militer. Atas nama 'GERAKAN 30

SEPTEMBER', mereka telah menangkap sejumlah perwira yang terdiri dari

perwira-perwira tinggi pimpinan AD, dan membunuhnya . G30S kemudian memaklumkan

berdirinya sebuah Dewan Revolusi dengan mendimisionerkan pemerintah ketika itu.



Presiden Sukarno memerintahkan kepada salah seorang pimpinan G30S yang datang

melapor kepada beliau, yaitu BrigJen Supardjo, untuk menghentikan gerakan tsb. Untuk

mengisi kekosongan pimpinan AD yang dibunuh, Presiden Sukarno menunjuk MayJen

Supranoto Reksosamudra, untuk menjalankan pimpinan sehari-hari AD. MayJen Suharto, komandan KOSTRAD ketika itu, yang menguasai Jakarta dan menggagalkan aksi-aksi G30S,menolak keputusan Presiden Sukarno. Suharto melakukan insubodinasi terhadap keputusan

Pangti ABRI, Presiden Sukarno. Suharto telah mengambil alih pimpinan AD di tangannya

sendiri. Seluruh Jakarta sudah dikuasai Jendral Suharto. Sejak itu siapa yang menguasai

senjata dialah yang kuasa. UUD-RI dan ketentuan-ketentuan hukum RI praktis tidak

berlaku lagi.



Perkembangan selanjutnya: Dunia menyaksikan persekusi/pengejaran dan pembantaian

masal terbesar dalam sejarah Indonesia, terhadap kaum Kiri, Komunis dan mereka

mereka yang dituduh Komunis atau pendukung Presiden Sukarno.


* * *



Pelbagai versi dapat dibaca tentang peristiwa 1 Oktober 1965, tentang jalannya

peristiwa. Juga dapat diikuti studi serius terhadap masalah tsb yang bermunculan di pers

mancanegara dan kalangan penelitian ilmu dan sejarah. Terutama yang dilakukan oleh

para pakar Indonesianis dari pelbagai negeri.



Pengetahuan masyrakat Indonesia tentang apa yang kemudian oleh Orba disebut

'Pemberontakan G30S/PKI' , adalah versi resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah rezim

Orba dibawah Jendral Suharto. Sejak jatuhnya Suharto, berangsur-asngsur muncul tulisan dan

studi yang berbeda dengan versi Orba, mengenai apa yang terjadi sejak 1 Okober 1965, yang ditulis oleh orang-orang Indonesia. Baik yang menyangkut kelanjutan peristiwa, dikuasainya negara dan pemerintahan oleh fihak militer di bawah Jendral Suharto, maupun pelanggaran HAM terbesar dalam perskusi masal dan pembantaian besar-besaran ekstra juidisial, pemendjaraan besar-besaran

dan diciptakannya pulau pembuangan Pulau Buru tanpa proses hukum apapum.



Empatpuluh tiga tahun sudah berlalu sejak peristiwa 1 Oktober 1965. Tetapi belum ada

satu versipun mengenai peristiwa tsb yang diterima umum sebagai apa yang benar-benar

telah terjadi, yang masuk akal, bukan yang direkayasa untuk kepentingan politik penguasa, sampai berdirinya dan jatuhnya rezim Orba. Tidak salah bila dikatakan bahwa apa yang terjadi sekitar masalah itu, amat banyak yang masih misterius.



Namun ada tiga hal yang bisa dipastikan benar-benar telah terjadi, karena hal tsb sudah dan sedang dialami sendiri oleh bangsa kita, sejak peristiwa 1 Oktober 1965.



Pertama, sejak 1 Oktober 1965 di Indonesia telah terdjadi pelanggaran HAM terbesardalam sejarah Republik Indonesia. Sebagai hasil penelitian mereka, sumber-sumber mancanegara mengemukakan bahwa antara sejuta sampai tiga juta warganegara RI yang tak bersalah telah menjad korban. Sampai dewasa ini para warganegara yang tak bersalah itu masih menderita diskriminasi dan stigmatisasi. Masalah ini samasekali belum dijamah oleh pemerintah pasca Suharto hingga kini, apalagi diurus.



Kedua, setelah 1 Oktober 1965, berangsur-angsur wewenang dan kemampuan Presiden Sukarno menjalankan pemerintahan menghilang. Kekuasaan negara dan pemerintahan secara merangkak, tetapi pasti, berpindah ke tangan militer di bawah Jendral Suharto. Rezim Orba ditegakkan.



Ketiga, puluhan juta warganegara Indonesia yang patuh hukum, setia kepada pemerintahan Presiden Sukarno ketika itu, yang anggota keluarganya telah dibunuh dengan sewenang-wenang, dan mereka yang 'bebas' dari penjara dan tahanan Pulau Buru, yang masih hidup, kemudian mendapat cap 'orang bermasalah', serta distigmatisasi dan didisksriminasi oleh penguasa dan masyrakat, selama lebih dari 30 tahun, masih BELUM DIPULIHKAN NAMA BAIKNYA, masih BELUM DIREHABILITASI HAK-HAK POLITIK DAN KEWARNEGARAANNYA. Halmana samasekali tak boleh dilupakan!



* * *



Demi lebih lanjut memahami sejarah bangsa kita, demi meneruskan usaha mencari kebenaran dan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM diIndonesia, seyogianya studi dan penelitian mengenai masalah ini diteruskan. Maka ada baiknya ditelususri ANALISIS Prof Wertheim,mengenai masalah yang sedang dibicarakan, seperti yang dikutip berikut ini:



* * *


SEJARAH TAHUN 1965 YANG TERSEMBUNYI

**

Para hadirin yang terhormat! Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa tentang peristiwa 1965, lebih dahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata pelajaran saya sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri sebagai pembaca suatu detective story yang cari pemecahan suatu teka-teki. Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu di Bogor. Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh lain dalam pimpinan partai. Aidit menceritakan tentang kunjungannya ke RRC, baru itu; dari orang lain saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit: "Kapan kamu akan mundur ke daerah pedesaan?" Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam tahun 1964 saya terima kunjungan di Amsterdam dari tokoh terkemuka lain dari PKI, Nyoto, yang pada waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki. Saya engingatkannya bahwa keadaan di Indonesia pada saat itu mirip sekadarnya kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun 1927, sebelum kup Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa ada bahaya besar bahwa militer di Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan kera s supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk perlawanan dibawah tanah, dan mundur ke udik. Jawaban Nyoto ialah bahwa saat bagi militer untuk dapat rebut kekuasaan sudah terlambat. PKI telah terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun dalam badan bawahan tentara dan angkatan militer yang lain. Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto. Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran melalui radio tentang formasi Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas menelpon saya dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!" Saya menjawab: "Awas, menurut saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober kami dengar bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal kami namanya, telah berhasil tangkap kekuasaan. De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan: "Saya takut mungkin kemarin Anda benar!" Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari kepala sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai ahli politik tentang Indonesia, dan ia hendak mengetahui: "Apa yang sebenarnya situasi politik di Indonesia sekarang?" Jawaban saya ialah: "Tentu Anda sebagai orang Tionghoa dapat mengerti keadaan! Sangat mirip kepada yang terjadi di Tiongkok dalam tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan dengan tentaranya, dan komunis kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di Canton (Guangzhou)" . Ia tidak mau setuju. Di bulan Januari tahun 1966 saya terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell Univesity di A.S., suatu 'Laporan Sementara' tentang peristiwa September-Oktober di Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah peristiwa itu benar suatu kup komunis, seperti dikatakan oleh penguasa di Indonesia dan oleh dunia Barat. Yang terima laporan itu, boleh memakai bahannya (begitu mereka tulis kepada saya), tetapi untuk sementara tanpa menyebut sumbernya, oleh karena mereka masih mencari bahan tambahan, dan meminta reaksi dan informasi lagi. Dengan mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu, saya menulis suatu karangan yang dimuat dalam mingguan Belanda "De Groene Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul "Indonesia berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya: mengapa di dunia Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di Indonesia, kalau dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang kadang- kadang jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah golongan kiri sendirilah yang bersalah - apakah bukan mereka sendiri yang mengorganisir ku p 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan 6 jendral itu?.

Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa- peristiwa dan menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti tentang golongan PKI bersalah dalam peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan menculik dan membunuhi jenderal tidak mungkin berguna untuk PKI - jadi salah mereka tidak
masuk akal. Lagi hampir tidak ada persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul sesudah kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada peristiwa di Shanghai dalam tahun 1927, yang juga sebenarnya ada kup dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam karangan di "Groene Amsterdammer" itu: "Terminologi resmi di Indonesia masih adalah kiri, akan tetapi jurusannya adalah kanan". Kemudian, dalam bulan Februari tahun '67, Mingguan Perancis "Le Monde" mengumumkan wawancara dengan saya.

Dalam wawancara saya bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh penting dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang telah diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, bahwa mereka itu orang komunis yang terkemuka.

Apa yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam, yang
agaknya seorang provokatir, yang pakai nama palsu?" Mencolok mata bahwa beberapa minggu sesudah wawancaranya itu ada berita dari Indonesia bahwa Sjam, yang namanya sebenarnya Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda,
pagi jam 7. Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang Double agent! Saya ingin dengar lagi siaran jam 8 diulangi bahwa Sjam ditangkap, tetapi kali ini TIDAK ditambah bahwa ia double agent! Rupanya dari kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai! Tetapi saya dapat Sinar Harapan dari 13 Maret '67, dan di sana ada cerita tentang cara Sjam itu ditangkap. Dan judul berita itu: "Apakah Sjam double agent?"

Tetapi sesudahnya di pers Indonesia istilah double agent itu tidak pernah diulangi lagi. Dalam semua proses di mana Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis yang sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu MENGAKU bahwa dia yang memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia selalu tambah bahwa yang sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang juga ada pada hari itu di Halim, dan yang sebenarnya menurut Sjam dalang dibelakang segala yang terjadi. Tentu Aidit tidak dapat membela diri dan membantah segala bohong dari Sjam, oleh karena ia dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu proses, ditembak mati oleh Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti Njoto dan Lukman, tidak dapat membela diri di pengadilan.

Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak mendapat kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret bagian tentang hal itu dari pleidoinya! Waktu Sjam kedapatan sebagai double agent yang sebagai militer masuk kedalam
PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula bahwa Soeharto sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik. Pada tanggal 8 April 1967 di mingguan "De Nieuwe Linie" dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam wawancara ini saya telah menyebut kemungkinan bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965 adalah satu provokasi dari kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Soehartolah yang paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begitu: "Aneh sekali: kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita detektif, segala tanda akan menuju kepada dia, Soeharto, paling sedikit sebagai orang yang sebelumnya
telah punya informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa 65, Soeharto turut menghadiri pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen. Untung dahulu menjadi orang bawahan Soeharto di tentara. Lagi, dalam bulan Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu dengan Jenderal Supardjo, di Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main peranan yang utama dalam komplotan.

Aneh lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan malahan
KOSTRAD tidak diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun letaknya di Medan Merdeka dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua militer mengetahui bahwa kalau Yani tidak di Jakarta atau sakit, Soehartolah sebagai jenderal senior yang menggantikannya. Aneh juga bahwa Soeharto bertindak secara sangat efisien untuk menginjak pemberontakan, sedangkan grup Untung dan kawannya semua bingung." Wawancara itu saya akhiri dengan mengatakan: "Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan sukar daripada detective-story" .





* * *


No comments: