Monday, January 28, 2008

Kolom IBRAHIM ISA -- MENILAI MANTAN PRESIDEN SUHARTO

Kolom IBRAHIM ISA
----------------------
27 Januari 2008.



MENILAI MANTAN PRESIDEN SUHARTO


Sejak terjadinya Peristiwa G30S, berkutnya dilancarkan kampanye pembersihan dan penumpasan tentara dan para pendukungnya dari kalangan politik dan religius. terhadap: PKI , para simpatisn dan yang diduga PKI, serta para pendukung Presiden Sukarno yang terdiri dari patriot-patriot progrresif baik yang Muslim, Nasionalis, Kristen, Hindu Bali dan lain-lain kepercayaan:


Banyak pengamat dalam dan luar negeri memberikan berbagai macam penilaian terhadap Panglima KOSTRAD, Jendral Suharto, yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-2.


Lebih dari tigapuluh dua tahun lamanya Orba memerintah Indonesia dengan tangan besi, memberlakukan sistim perundang-undangan dan hukum khas mililteristik dengan berlandaskan ideologi 'DWIFUNGSI Abri', --- telah memberikan tidak sedikit bahan input untuk mempertimbangan, mengenai 'baik' - 'buruknya' peranan dan 'legacy' Jendral Suharto dan rezim yang dipimpinnya dalam sejarah Indonesia.


Berkonfrontasinya dua pandangan dan sikap terhadap peranan mantan Presiden Suharto selama 30 tahun lebih sejak ia menggulingkan Presiden Sukarno , sampai ia sendiri memegang jabatan tertinggi negara dan pemerintah Indonesia, menyebabkan munculnya dua sikap yang bertolak belakang.


Satu sikap:

Maafkan Suharto. Mengingat besarnya 'jasa-jasa' mantan Presiden Suharto terhadap negeri dan bangsa, sepantasnya beliau dibebaskan dari segala tuntutan hukum.


Sikap lainnya:

Adili Suharto meskipun ia sudah meninggal dunia. Hal tsb harus diberlakukan terhadap mantan Presiden Suharto, demi ditegakkannya prinsip bahwa setiap warganegara adalah sama di depan hukum, juga demi ditegakkanya NEGARA HUKUM INDONESIA. Demi keadilan dan ditegakkannya kebenaran dan kemurnain hati nurani bangsa.

* * *


Aku menerima sebuah kiriman tulisan dari Jakarta. Otentik dan faktual. Penulis yang satu memilih untuk anonim. Yang satu lagi blak-blakan, dari sahabatku TRI RAMIDJO, eks-Dugilis dan anggota PKI (Perintis Kemerdekaan Inadonesia, yang keanggotaanya bisa dibuktikan dengan surat keterangan yang asli dan sah).


Silakan pembaca menyimaknya.

Seyogianya pembaca mempertimbangkan sendiri, bagaimana setepatnya menilai mantan Presiden Suharto, yang dalam sejarah Republik Indonesia, adalah presiden yang paling lama memegang tampuk kekuasaan negara dan pemerintahan.


Di bawah ini adalah salah satu sikap yang disampaikan kepada publik sesudah meninggalnya mantan Presiden Suharto.

Penulis memilih untuk anonim.


Bahan tersebut ASLI dan OTENTIK.



* * *


JASA-JASA JENDRAL SUHARTO


Hari ini 27 Januari 2008 tepat pk. 13.10, Presiden Jendral Suharto

meninggalkan kita semua memenuhi panggilan Tuhan Yang Maha Adil.

Dalam suasana duka ini, kita menundukkan kepala kepada seorang putera

Indonesia yang luar biasa jasanya bagi nusa dan bangsa. Cukup banyak warga

Indonesia yang tidak tahu menghargai jasa-jasa beliau, di antaranya ada yang

menamakan beliau sebagai “Bapak Koruptor Agung Indonesia”.


Dilupakan sudah semua jasa-jasa besar beliau yang sebenarnya bukan

semata-mata bagi rakyat dan negara Indonesia, melainkan juga kepada dunia

sejagat, terutama “dunia bebas kubu demokrasi” – the free world sejati.

Dengan singkat kita perlu catat di bawah ini, butir-butir paling esensial

dari “jasa-jasa besar” Pak Harto yang sekali-kali jangan sampai dilupakan dan

terlupakan sampai kapan pun.


PERTAMA:

Jendral Suharto berjasa besar menyingirkan Presiden Sukarno dari

panggung politik Indonesia. Suatu tindakan sangat penting pada saat

dunia bebas sedang menghadapi Perang Dingin, Perang Vietnam. dan

perang menghadapi subversi komunisme sedunia, sedangkan Soekarno

pada saat itu betul-betul menjadi duri dalam daging bagi demokrasi dan

dunia bebas. Jendral Suharto dengan gemilang bukan saja telah merobah

peta politik Indonesia, tetapi juga peta politik Asia Tenggara, bahkan

dunia, dan membawa Indonesia bergabung dalam kubu Dunia Bebas dan

Demokrasi.


KEDUA:

Hanya Jendral Suharto yang berhasil dengan cemerlang menumpas partai

komunis berikut para anggotanya sampai keakar-akarnya – suatu prestasi

yang tidak pernah mampu dilakukan oleh politikus dan negarawan di mana

pun di dunia.


KETIGA:

Hanya Jendral Suhartolah yang dalam kebijakan ekonominya berhasil luar

biasa menciptakan elit Indonesia yang dalam waktu relatif singkat menjadi

multi-milyuner dollar. Multi-milyuner dollar bukan saja bagi istri dan anakanaknya,

akan tetapi beliau menunjukkan solidaritas corps yang tinggi –

beliau memikirkan juga sesama rekan perwira tinggi dalam ABRI sehingga

para jendral Indonesia pun menjadi milyuner dollar dalam waktu singkat.


Daftar jasa ini sesungguhnya sangat panjang, akan tetapi kita batasi pada tiga

butir di atas yang paling penting dan esensial saja. Tidak kita sebut betapa

besar jasa Pak Harto mengeliminir unsur-unsur subversi dalam negeri, seperti

Barisan Sukarno dan jendral KKO Hartono – bahkan beliau lebih dulu

daripada Amerika Serikat menumpas gerakan fanatik Islam yang sekarang

menjadi musuh utama demokrasi dan dunia bebas.


* * *


Selanjutnya adalah tulisan yang baru bebera saat yang lalu kuterima dari sahabatku Tri Ramidjo. Sikap Tri Ramidjo diametral bertolak belakang dengan tulisan pertama yang juga berasal dari Jakarta tercinta.


* * *


Tulisan TRI RAMIDJO:

Masak Gak Tahu Siapa Sebenarnya Suharto --- Kebangetan!


Teman-teman tercinta,

Sungguh teman2 bernasib baik berada di luar negeri.


Kalau teman2 berada di dalam negeri seperti diriku ini, betapa sakitnya rasa hati ini melihat tayangan televisi dan berita radio yang semuanya mengagungkan dan memuja2 Suharto, yang telah meninggal tadi siang jam 13.10 WIB.


Aku bukanlah orang yang pendendam, tapi aku mencintai keadilan dan kebenaran. Tak perlu aku menulis panjang tentang keadilan dan kebenaran. Sebab semua teman2ku adalah juga pencinta keadilan dan kebenaran.Begitu butanya kah mata pengcover berita, baik elektronik maupun cetak di negeri ini, sehingga berita-berita tentang meninggalnya Suharto the smiling general itu tak sedikit pun mengungkapkan kesalahan dan pelanggaran yang begitu besar dari Suharto tentang pelanggaran HAM?


Memang sudah sepantasnya kita harus mengakui, bahwa laras senapan yang seiring dengan kekuasaan politiklah yang bisa menentukan hitam atau putih segalanya. Bukankah memang benar begitu kenyataannya?


Aku sedih, bukan sedih karena Suharto meninggal, tapi sedih karena kekuasaan Orba masih cukup sakti, masih berkuasa dan keras kepala.


Jangan harap mereka2 antek2 orba itu mengenal malu, sebab mereka memang perlu dipecahkan kepalanya dengan palu.


Teman2 yang di luar negeri bisa berteriak-teriak lewat mail atau internet sepuas hati tapi tidak terdengar dan tidak mungkin menyadarkan rakyat kecil di pelosok2 desa, Dan rakyat tetap tuli dan buta dan tidak mengerti siapa itu SUHARTO sebenarnya.


Tangerang, 27 Januari 2008.

Tri Ramidjo.


* * *



IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA -- INTERMEZO (12) -- 'PERMINTAAN MAAF' ---SEBUAH ESAY YANTI MIRDAYANTI

IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA
---------------------------------------
Jum'at , 25 Januri 2008



INTERMEZO (12)


'PERMINTAAN MAAF' ---SEBUAH ESAY YANTI MIRDAYANTI


Hari ini kuterima kiriman sebuah esay dari Jakarta, berjudul 'Permintaan Maaf Dari Keluarga Suharto Lebih Baik Sekarang'. Penulisnya adalah sahabatku cendekiawan muda, YANTI MIRDAYANTI.


Membaca esay Yanti, kesanku ialah bahwa essay itu ditulis dengan tulus. Disarankan kepada keluarga mantan Presiden Suharto, mumpung yang bersangkutan hayat masih dikandung badan, sadarlah, mintalah maaf kepada rakyat Indonesia, yang telah menjadi korban dari politik pembasmian secara politik dan fisik siapa saja yang menentang Jendral Suharto pada tahun-tahun 1965-67 dst.


Sejarah mencatat bahwa bukan pelanggaran HAM terbesar itu saja yang dilakukan mantan Presiden Suharto sejak ia berkuasa sampai 'lengser'. Suharto sendiri terlibat dengan korupsi besar-besaran atas kerugian kas negara yang notabene banyak diperoleh dari pinjaman luarnegeri, yang harus diangsur kembali oleh rakyat Indonesia turun temurun.


Maka Yanti, di dalam esaynyai itu, tidak saja menyarankan agar keluarga mantan Presiden Suharto minta maaf, tetapi selanjutnya mengembalikan jumlah dana milik negara yang telah dikorup dan dicurinya bersama anak-beranak, sesanak-sesaudara, sekroni-kroninya.


Bacalah essay Yanti Mirdayanti, di bawah ini.


* * *


YANTI MIRDAYANTI

Permintaan Maaf Dari Keluarga Soeharto Lebih Baik Sekarang

Kata 'maaf' hanyalah terdiri dari empat huruf, tetapi maknanya sangat dalam. Namun mengapa kata yang pendek ini sampai hari ini belum juga terucap lantang dari pihak keluarga Soeharto kepada seluruh rakyat Indonesia? Padahal sebenarnya mungkin sekaranglah waktunnya yang paling tepat, ketika Sang Bapak dalam kondisi yang sangat sakit.

Sejak masuknya Soeharto ke Rumah Sakit di penghujung tahun 2008 ini, para pejabat telah beramai-ramai secara estafet mengajak rakyat Indonesia untuk memaafkan Soeharto dari segala kesalahannya. Ada yang menerima ajakan tersebut, tetapi kebanyakan sebenarnya
menanggapinya bagaikan sebuah lelucon.

Nah, ternyata lama juga Tuhan memanjangkan usia Soeharto. Terbukti pula bahwa para dokter Indonesia - kalau mau - sangat pintar dalam memperpanjang usia seorang yang sakit, terutama jika sang pasen termasuk level yang demikian 'dipusakakan', bukan si pasen dari
kaum papa yang terpinggirkan.
Tuhan barangkali sedang menguji seluruh keluarga Soeharto, ingin melihat sampai sejauh mana kebesaran hati mereka. Apakah mereka akan segera berbicara di depan layar televisi untuk menyampaikan kata maaf atas nama Soeharto kepada seluruh rakyat Indonesia? Kepada para keluarga korban HAM semasa Sang Bapak berkiprah dalam dunia kepresidenan? Ataukah cukup berdiam saja, karena kebisuan itu adalah bagaikan emas?

Barangkali beban berat kondisi Soeharto saat ini akan turut teringankan, jika kata maaf kepada rakyat segera disampaikan. Tidak perlu lama-lama dan muluk-muluk. Satu atau dua kalimat saja. Lebih baik sekarang di saat Soeharto masih hidup daripada terlambat nanti.
Tak ada gunanya permintaan maaf disampaikan kalau yang berkepentingan misalnya sudah dipanggil yang MahaKuasa.

Tentu saja teriring ucapan maaf tersebut keluarga Soeharto pun sebaiknya mem-follow up kata maaf dengan pengembalian seluruh uang yang dianggap milik negara ke kas negara. Maka barangkali kalau ini dilakukan sisa hidup Soeharto maupun proses kepergiannya nanti
akan mendapat keringanan dari Sang Pencipta.

Bumi Indonesia makin panas. Di dalam rumah pun tak ada kesejukkan lagi. Selama tiga minggu aku berada di tanah air, hujan baru dialami dua kali. Yang terakhir adalah hari ini ketika aku berdiri di depan makam Ibu, menatapnya dengan penuh kerinduan. Di atas pusaranya tertera tanggal kepergian Ibu: 30 September 2003. Tanggal ini mengingatkan aku ke awal masa gelapnya sejarah Indonesia yang sampai hari ini masih penuh dengan misteri: 30 September 1965.
Last day in Indonesia,

Salam,

Yanti

* * *








> IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita -- INTERMEZO - (11)

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
--------------------------------
Kemis, 24 Januari 2008


INTERMEZO - (11)


- 'Al Zajeera' Tentang 'Warisan (Suharto) Sang Diktator'

- Orasi Emile Salim

- Sanggahan Wimar Witular dan Mugiyanto


'Warisan Seorang Diktator!'


'The Legazy of a Dictator'. Begitulah kata 'Aljazeera'. 'Diktator'! Perhatikan itu, 'diktator' bukan 'Bapak Pembangunan', bukan pula 'Anak Desa' seperti kata Suharto sendiri.


Tadi itu adalah ucapan-ucapan yang bisa didengar dalam salah satu acara sebuah stasiun pemancar TV di Timur Tengah bernama 'AL JAZEERA', yang belum lama didirikan. Acara tsb kurasa menarik sekali. Karena di situ berkonfrontasi pemuji lawan pengkritisi mantan Presiden Suharto.


Talkshow' tsb adalah tayangan 'Al Jazeera'. Sempat aku melihat dan mendengarnya sendiri dalam siaran 'YouTube' (rekaman video) , yang diforwardkan oleh sahabatku MD Kartaprawira. Di situ moderator mengajukan pertanyaan kepada salah seorang partisipan, yaitu DR Emile Salim, sbb: 'Did Indonesia's progress justify Suharto's iron fist approach? Bahasa kita kira-kira begini: Apakah 'kemajuan' Indonesia bisa memberikan pembenaran terhadap pendekatan tangan besi Suharto?


Tidak bisa lain, Emile Salim hanya memberikan jawaban yang mencoba mengelak. Dan plintat-plintut. Emile Salim berucap bahwa (sebenaryna) pada permulaan periode mantan Presiden Suharto telah berlangsung 'demokrasi' dan 'pembangunan' ekonomi negeri, bla, bla, bla. Adalah pada periode belakangan saja, terjadi kesalahan-kesalahan yang merupakan 'ekses' Orba. Janganlah melihat periode Orba dengan pandangan berat sebelah. Kalau demikian 'kan tidak obyektif. Ada kemajuan tapi ada 'ekses', kata Emile. Siapa saja tidak sempurna. Pasti ada kesalahannya. Demikian pembelaan Emile Salim mengenai Orba di bawah mantan Presiden Suharto.


Yakin bahwa keterlibatannya sebagai pejabat tinggi dalam Orba yang dianggapnya telah 'berhasil menyelamatkan' Indonesia dari krisis (1965) dan melaksanakan pembangunan ekonomi Indonesia,--- dalam nada puas diri dan sombong, Emile Salim mengajukan pertanyaan: Dimana kaum kritisi ketika itu? Apa sumbangan mereka terhadap pembangunan Indonesia? Demikian Emile.


Kontan saja dijawab oleh Wimar Witular, bahwa rezim Orba telah mengakibatkan kerusakan besar terhadap bangsa Indonesia. Baik di bidang politik maupun ekonomi. Dan kami yang di luar 'establishment', di luar Orba, justu memberikan sumbangan kami dalam perjuangan kami melawan Orba yang melakukan pelanggaran HAM dan bergelimang dalam kultur KKN.


* * *


Acara 'talkshow' tsb dipandu oleh Teymoor Nabili, moderator 'Aljazeera' . Hadir di studio 'Aljazeera' , komentator politik Wimar Witular, mantan penasihat Presiden Wahid; lalu aktivis Mugiyanto, Kordinator IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang). Emile Salim, yang ada di Jakarta, bicara lewat satelit.


Argumentasi Emile yang membela Orba dan mantan Presiden Suahrto itu, dibantah secara kena dan telak oleh Wimar Witular dan Mugiyanto. Masing-masing berargumentasi bahwa pemerintahan Presiden Suharto sudah sejak semula melakukan kesalahan serius dan pelanggaran HAM besar. Hal itu terjadi dengan dilancarkannya kampanye pembasmian dan pembunuhan besar-besaran terhadap kaum Komunis dan golongan Kiri lainnya yang tak berasalah.


Wimar Witular menyatakan keherananya, mengapa seorang pandai seperti Dr Emile Salim, membiarkan pelanggaran HAM besar-besaran yang berlangsung atas tanggung jawab mantan Presiden Suharto. Membiarkan berkembangnya kultur korupsi, kolusi dan nepotisme. Bagaiamana bisa Dr Emile Salim sampai mengatakan bahwa pelanggaran besar-besaran HAM dan penindasan terhadap setiap pengkritik Orba, sebagai suatu 'ekses'. Semua tau bahwa hal-hal itu berlangsung sejak berdirinya Orba.


Mugiyanto, kordinator IKOHI, menegaskan bahwa sebagian terbesar dari jutaan korban 1965 adalah pendukung Presiden Sukarno. Merek itu adalah kaum nasionalis dan golongan Kiri lainnya. Jangan lupa tempat pengasingan ribuan tahanan politik Orba di P Buru. Jangan lupa Peristiwa Malari, Kasus Tanjung Priok - penindasan dan pembunuhan terhadap kelompok Islam, DOM Aceh, Papua, invasi dan pendudukan Timor Timor yang membawa korban tidak kurang 200.000 rakyat Timor Timur. Belum lagi kasus penembakan misterius (PETRUS), penindasan terhadap Kantor PDI-Mega di Jakarta, dll itu semua adalah satu rentetan politik, POLITIK ORBA. Itu bukan terjadi baru belakangan saja, dan bukan pula suatu 'ekses'. ITU POLITIK ORBA .


Waktu yang digunakan untuk 'talkshow' 'Aljazeera' kurang lebih setengah jam. Itu semua bisa dilihat di 'YouTube'.


Namun, kesediaan Dr Emile Salim, yang mantan menteri dalam pemerintahan Orba itu, sebagai orang kepercayaan dan yang mempercayai mantan Presiden Suharto, untuk turut ambil bagian dalam diskusi dengan dua orang pengkritisi mantan Presiden Suharto, bolehlah disambut. Memang ada baiknya bila para pejabat elite yang dalam periode rezim Orba telah memberikan 'sumbangannya' terhadap 'kestabilan' pemerintahan Suharto, tidak menolak untuk mengadakan tukar-fikiran dan diskusi, dengan para pengkritisi Orba, -- Untuk menjawab pertanyaan, apa sebabnya mereka begitu getol menyokong Orba, dan tidak bisa melihat ataupun menyadari pelanggaran HAM maupun hukum, yang telah terjadi sejak awal Orba, serta korupsi yang dilakukan oleh mantan Presiden Suharo dan kroni-kroninya.




* * *


Associated Press (AP, Amerika), Agence France Press (AF, Prancis) dan Reuters (Ingg ris)

Tampil dengan Puluhan Foto.


Coba kita lihat, . . . bagaimana tiga kantor berita mancanegara, i.e. AP, AFP dan Reuters meliput pemberitaan sekitar Suharto sejak sakit kemudian krisis. Dengan sendirinya banyak sekali. Yang biasa-biasa saja, maupun liputan yang analitis ataupun yang mengantisipasi.


Yang kuangkat dan soroti kali ini bukan siaran yang dilemparkan ke publik umum dalam bentuk 'news-items'. Tetapi siaran yang dipublikasikan berupa foto-foto. Jangan keliru pula, di sini sama sekali tidak ada maksud untuk menyiarkan kembali foto-foto tsb. Kalau ingin melihatnya sendiri pembaca harus melihatnya di media internet. Yang hendak kutulis adalah apa yang dinyatakan foto-foto yang dipublikasikan itu.


Sampai siang tanggal 23 Januari, 2008, tidak kurang dari 139 foto-foto sekitar Suharto sakit dan krisis, yang disiarkan AP, AFP dan Reuters. Di media internet bisa dilihat di 'Yahoo Foto-News' hari-hari ini.


Belum pernah aku melihat foto Suharto sedemikian banyaknya. Ini memang betul begitu. Dalam buku Suharto saja yang berjudul 'Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya', suatu otobiografi, di situpun tidak sebegitu banyak foto-foto mantan Presiden Suharto yang dipublikasikan..


Memang, sakitnya mantan Presiden Suharto, kemudian dilanda krisis demi krisis, banyak menarik perhatian media dalam maupun luarnegeri. Tentu ada sebabnya. Mantan Presiden Suharto, bukan orang biasa. Ia terkenal, bukan saja di Indonesia tetapi juga di luarnegeri.


Sama seperti Presiden Sukarno yang juga amat terkenal di dalam dan luarnegeri. Di luarnegeri, khususnya di negeri-negeri berkembang di Asia dan Afrika, Presiden Sukarno harum namanya. Beliau dikenal sebagai bapak bangsa Indonesia swbagai pejuang kemerdekaan Indonesia dan pemrakarsa Konferensi Asia - Afrika di Bandung (1955) yang telah memberikan solidaritas dan dorongan kuat terhadap gerakan kemerdekaan nasional di Asia dan Afrika periode itu. Maka bukan kebetulan bahwa Afrika Selatan telah memberikan bintang pengharagaan khusus kepada mntan Presiden Sukarno. Seperti kita ingat, mantan Presiden Megawati sendiri yang datang ke Afrika Selatan, untuk menerima tanda penghargaan tinggi Afrika Selatan kepada mantan Presiden Sukarno.


Sedangkan 'terkenalnya' mantan Presiden Suharto lain lagi. Di kalangan luas dunia, mantan Presiden Suharto dikenal sebagai seorang jendral yang dalam tahun 1965 menggulingkan Presiden Sukarno dan melakukan 'creeping coup d'état', kup merangkak dalam perebutan kekuasaan pemerintahan dan negara Indonesia. Mantan Presiden Suharto juga dikenal sebagai seorang diktator yang bertanggungjawab atas lebih sejuta korban warganegara Indonesia yang tak bersalah dalam tahun-tahun 1965-66-67. Ia juga dinyatakan bertanggungjawab atas pelanggaran HAM besar-besaran di Aceh, Papua, Tanjung Priok, dll. yang ia lakukan demi membungkam oposisi dan mempertahankan kekuasaanya. Suharto juga dikenal sebagai kepala pemerintahan Indonesia yang melakukan invasi, menduduki dan 'menganschlus' Timor Timor, menjadikannya salah satu propinsi Republik Indonesia. Sehingga telah jatuh korban tidak kurang dari 200.000 rakyat Timor Timur.


Yang menarik ialah bahwa kantor-kantor berita internasional itu, memberikan dua atribut pada Suharto. Pertama, sebagai mantan Presiden Republik Indonesia. Penamaan lainnya, ialah Suharto disebut MANTAN DIKTATOR INDONESIA.


Melanjutkan cerita tentang foto-foto yang disiarkan oleh AP, AFP dan Reuers, jelas sekali bahwa jumlah terbesar (70% lebih) dari foto-foto tadi adalah mengenai pelbagai lapisan masyarakat, ada yang dari golongan mahsiswa yang berdemo, di Jakarta, Solo, Jogyakarta dan lain-lain tempat. Para pendemo yang tidak setuju mantan Presiden Suharto dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Tuntutan tegas yang diajukan adalah mengajukan mantan Presiden Suharto ke pengadilan. Apakah dia nantinya dimaafkan atau tidak, itu harus dipelajari secara kongkrit.


Ada foto Suharto dengan gambar di belakang jeruji besi penjara. Di bawahnya tertulis: 'SBY - JK, -Kapan Janji Dipenuhi?'; 'Suharto Bapak Pembangunan, Dipimpin Suharto Indonesia Jadi Sengsara'; dan banyak lagi poster yang dibawa kaum pendemo yang menuntut Suharto diadili.


Terdapat juga foto-foto kaum elite yang berdoa untuk Suharto. Selanjutnya agar mantan Presiden Suharto dimaafkan, diberi amnesty dsb. Juga ada satu dua foto tentang orang-orang yang berdoa di mesjid untuk Suharto.


* * *


Sungguh menarik menyaksikan begitu banyak foto yang menuntut supaya mantan Presiden Suharto diadili. Demikian banyaknya yang menolak Suharto diberi ampun, tanpa dia sendiri mengakui kesalahannya, apalagi minta maaf.


* * *



Sunday, January 20, 2008

IBRAHIM - Berbagi Cerita - - 'WINTERNACHTEN' Di Den Haag

IBRAHIM - Berbagi Cerita
------------------------------
Sabtu, 19 Januari 2008


- 'WINTERNACHTEN' Di Den Haag


Jum'at siang , 18 Januari kemarin, ketika sedang asyik baca koran di kereta-api yang meluncur laju menuju Den Haag CS, -- HP-ku mulai menyanyi, sinyaal ada yang nilpun. 'Ya, ini saya Bung' , terdengar suara AS Munandar. 'Saya sudah di stasiun Den Haag Centraal'. Memang malam sebelumnya aku sudah ditilpun AS Munandar. Kami berjanji akan bertemu di stasiun keretapi Den Haag Centraal, di muka loket penjualan karcis, pada jam 13.00. Lalu sama-sama akan jalan kaki menuju 'Theater aan het Spui', untuk hadir pada salah satu acara kegiatan 'Malam-malam Musim Dingin' Den Haag ('Winternachten').


Tau kan? 'Winternachten' adalah acara 'Festival Literatur Internasional' yang diadakan setiap musim dingin di Den Haag. Menunjukkan bahwa kegiatan kebudayaan di Belanda jalan terus, meskipun di luar, aduh . . . dinginnya. Tambah pula hujan rintik-rintik dan angin yang terus-menerus.


AS Munandar, mantan pimpinan Akademi Aliarcham, Jakarta, dan ketua SAS, Stichting Azië Studies, Onderzoek en Informatie, dan aku setiap tahun selalu diundang oleh pengurus 'Winternachten' (Yang direkturnya ramah dan simpatik, Ton van de Langkruis). Bisa timbul pertanyaan. Mengapa kok kami stiap kali dapat undangan? Sebabnya? Karena, beberapa tahun yang lalu, kami pernah ambil bagian dalam kegiatan 'Winternachten' sebagai salah satu 'pelakunya' , dalam sebuah diskusi atau seminar kecil, mengenai masalah Indonesia. Dengan fokus sekitar 'Peristiwa 1965' yang menimbulkan begitu banyak korban orang-orang Indonesia yang tak bersalah. Dalam diskusi tsb, hadir juga mantan anggota DPR, wartawan kawakan Ciska Fanggidaej, dan budyawan Gunawan Mohammad. Hadir pula a.l. Ad van der Heuvel, wartawan Belanda, yang pas pada saat-saat terjadinya peristiwa G30S dan sesudah itu, sedang berada di Jakarta.


Aku fikir, sebagai tanda persahabatan dan terimakasih fihak 'Winternachten' Den Haag, setiap kali mengundang kami. Untuk umum dipungut bayaran.


* * *


Sore itu, acara 'Winternachten' yang kami hadiri (acara lainnya banyak lagi, karena pesta literatur dan seni itu berlangsung 4 hari dan 4 malam, dari 17 Jan s/d 20 Januari) adalah sebuah diskusi bertema 'IN A STATE OF FEAR'. Dalam bahasa kita, kira-kira 'DALAM KEADAAN KETAKUTAN'. Cukup banyak perhatian publik. Aku taksir kurang lebih ada 100 orang. Aku bilang pada AS Munandar, coba lihat sebagian besar hadirin adalah perempuan. Ya, kata Munandar, laki-lakinya pada kerja. Aku bilang, perempuan-perempuan yang hadir itu juga orang-orang yang bekerja. Jadi, bukan soal pekerjaan, yang menyebabkan lebih banyak perempuan yang hadir di situ, terbanding laki-laki. Anyway, ruangan Grote Zaal gedung 'Theater a.h. Spui' Den Haag, penuh sesak.




Ada empat orang cendekiawan yang duduk dipanel diskusi. Masing-masing, sosiolog dan penulis Inggris, Prof Frank Furedi (60); penulis dan filsuf Dr Marjolijn Februari (Belanda); penulis Adriaan van Dis (Belanda), dan politikus kawakan mantan walikota Rotterdam, Bram Peper. Mereka tampil dengan 'stelling' mereka masing-masing. Diskusi dipandu oleh penulis novel, dan dosen ekonomi pada Vrije Universiteit Amsterdam, Fouad Laroui (49), warganegara Belanda asal Maroko.


Tema yang diangkat memang cukup berat 'IN A STATE OF FEAR'. Para panelisnya juga bukan sebarang orang. Ada cendekiawan, ada sastrawan dan ada politikus kawakan. Namun, kalau Anda mengharapkan suatu diskusi yang mendalam dan memuaskan pada sore itu, pasti akan kecewa. Menurut istilah mutakhir Jakarta, diskusi semacam itu, memang baik dan menarik, tapi, yah, akhirnya cuma . . . . 'Sampai di situ saja'. Sesungguhnya setiap seminar kecil, yang mengambil waktu beberapa jam saja, apapun tema yang diangkat, betapa beratnyapun susunan panelisnya, apalagi kalau tema yang diambil cukup berat dan aktuil, . . . hasilnya akan sama saja: cuma SAMPAI DI SITU SAJA. Yang dibawa pulang sekadar kesan-kesan semata. Bukan tak ada gunanya. Ada gunanya. Yang jelas, diskisi dan debat tersebut telah menggugah peserta diskusi untuk mendalami sendiri di tempat masing-masing.


Bagiku, seperti kukatakan kepada AS Munandar: Aku memang suka hadir di seminar-seminar kecil seperti ini. Karena, aku selalu dapat kenalan baru. Kali ini aku bisa berkenalan dengan seorang wanita Indonesia asal etnis Tionghoa, bernama dr. Maya Sutedja-Liem, seorang penterjemah sastra Indonesia - Belanda dan suaminya Sutedja Liem.


* * *


Stelling atau dalil yang diajukan ke forum diskusi oleh Prof. Frank Furedi adalah sbb:


"As Kant said, Dare to know instead of fearing the unknown". Society should embrace it and encourage the attitude of experimentation. --


Kemudian stelling Marjolijn Februari,


'Don't be afraid to be afraid, says John Lennon; fear is the essence of citizenship and the beginning of courage -- what we should fight is not so much fear, but corwardice.


Membaca stelling Marjolijn tsb entah mengapa aku teringat kepada Jusuf Isak, wartawan kawakan, pemimpin Hasta Mitra. Jusuf Isak memperoleh bermacam Award, penghargaan dari pelbagai negeri, karena keberaniannya dalam perjuangan untuk kebebasan menyatakan fikiran dan demokrasi. Jusuf mengatakan: 'Banyak orang bilang, bahwa saya tidak kapok-kapoknya, tidak takut berjuang demi kebebasan meskipun sudah keluar masuk penjara Orba bertahun-tahun lamanya'. Ketika itu Jusuf Isak dengan lugu mengatakan, 'Bukannya saya ini tidak punya rasa takut. Saya, sebagai manusia biasa, juga takut kalau-kalau masuk penjara lagi. Soalnya, ialah, kita jangan tunjukkan ketakutan itu dihadapan musuh, di hadapan musuh kita HARUS BERANI. Dan meneruskan perjuanga itu sampai selesai.


Lalau stelling Bram Peper, sang mantan walikota Rotterdam:


A society can't function with fear, that's when authorities have to avoid even action which stimulates a feeling of fear among the general public.


Demikian Bram Peper. Sementara hadirin tak sependapat dengan dalil Bram Peper bahwa 'masyrakat tak bisa befungsi dengan adanya ketakutan'. AS Munandar berucap kepadaku: Lihat saja Orba, nyatanya, selama 32 tahun masyarakat Indonesia di bawah Orba tetap (atau malah justru) berfungsi disebabkan oleh RASA TAKUT anggota masyarakat dan keseluruhannya terhadap rezim Orba yang justru lahir dan tegak atas dasar KETAKUTAN RAKYAT terhadapnya. Aku ya-kan pendapat AS Munandar itu. Lihat saja, begitu timbul keberanian masyarakat, akhirnya Suharto terguling. Sayangnya pendapat AS Munandar tsb belum sempat dikemukakan, karena waktu diskusi yang sedikit itu, sudah diborong oleh perserta diskusi lainnya. Itu suatu contoh bahwa disebabkan singkatnya waktu, AS Munandar, yang tau benar kehadirannya 'state of fear' di negeri kita di bawah rezim Orba, tak sempat mengemukakan pendapatnya.


* * *


Seperti kukatakan di depan, diskusi-diskusi sepert ini, seminar-seminar yang hanya berapa jam saja, sedangkan pesertanya berjumlah puluhan, dengan sendirinya tidak akan memuaskan. Namun, aku ambil bagian juga. Ingin tau pendapat para panelis dan hadirin terhadap pertanyaanku berikut ini:


Ketika minta waktu untuk bicara, moderator Fouad Laroui menanyakan identitasku. Aku bilang: Aku ini orang Indonesia, tetapi pegang paspor Belanda. Gerrr . . . . . , publik tertawa! Apa artinya? Entahlah! Menganggap jawaban itu lucu? Atau karena dengan demikian tau bahwa pembicara adalah seorang EKSIL. Dan mereka memang simpati kepada orang-orang eksil.


Aku ajukan dua pertanyaan yang aku anggap sangat relevan dan aktuil. Begini pertanyaanku:


1.Geert Wilders anggota Parlemen Belanda, ketua parpol PVV, membuat film yang anti-Al Qur'an. Wilders mengumumkan tidak lama lagi akan mempertunjukkan film anti-Al Qur'an itu kepada umum.

Pertanyaanku: Apakah tindakan Geert Wilders itu didorong oleh RASA KETAKUTAN terhadap ISLAM? Atau, Wilders membikin film tsb dengan tujuan SENGAJA untuk menimbulkan STATE OF FEAR, di kalangan masyraka Belanda?


2. Pemerintah Belanda sibuk bikin persiapan, menghubungi para walikota, karena mengantisipasi film Geert Wilders bila dipertunjukkan nanti, akan menimbulkan pelbagai reaksi keras yang membahayakan ketenteraman dan keamanan di kalangan masyarakat. Pertanyaanku: Apakah kebijakan pemerintah Belanda itu, disebabkan karena pemerintah sendiri berada IN A STATE OF FEAR (Keadaan Ketakutan)? Atau, apakah kebijakan pemerintah Belanda itu, justru akan menimbulkan STATE OF FEAR di kalangan masyarakat?


Ketika aku mengajukan kedua pertanyaan tsb terasa benar, hadirin tertegun. Hening, diam! Tak satupun memberikan komentar. Aku bertanya-tanya, mengapa? Bukankah pertanyaanku itu relevan dengan tema diskusi? Bukankah pertanyaanku itu nyambung dengan situasi kongkrit negeri Belanda.


Yang bikin aku kesal dan menyayangkan, ialah kebijakan moderator Fouad Laroui yang mengelak dan tidak memberikan kesempatan kepada para panelis untuk menjawab pertanyaanku itu. Moderator sekadar menyatakan bahwa pertanyaaku itu VERY INTERESTING. Tapi ditambahkannya bahwa, barangkali sebaiknya pertanyaan itu dibicarakan tersendiri saja di ruang cafetaria gedung Theater Spui di dekat situ pada waktu istirahat nanti. Bram Peper, barangkali akan menanggapinya, katanya pula. Tetapi Bram Peper tak berreaksi sedikitpun terhadap saran moderator Laroui.
Masya Allah! Kok begitu jawabannya, fikirku.


Tapi sudahlah!

Aku tak hendak bikin 'ramai'. Sesungguhnya aku bisa bikin soal dan mendesak moderator mengizinkan para panelis dan hadirin yang bersedia untuk menanggapi pertanyaanku itu.


Aku menahan diri, tidak mau 'menganggu' jalannya diskusi dengan suatu protes keras kepada moderator Fouad Laroui.


Betapapun, malam diskusi dengan tema 'IN A STATE OF FEAR' yang diselenggarakan oleh 'Winternachten', tokh ada gunanya juga. Ada manfaatnya. Untuk itu aku berterima kasih.


Jangan heran pembaca!

Tahun depan bila ada kesempatan dan diundang lagi, aku akan hadir lagi. Meskipun jalannya diskusi nanti, hasilnya, kira-kira akan sama saja seperti kemarin sore:
CUMA SAMPAI DI SITU SAJA!


* * *

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita - INTERMEZO (9) -

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
----------------------------
17 Januari 2008


INTERMEZO (9)



Tadi sore ini, Kemis, 17 Januari 2008, sebagian masyarakat Indonesia di Belanda (ada yang dari Jerman) menghadiri pemakaman Sri Hardan Harminah (1 Jan 1929-13 Jan 2008) istri salah seorang sahabat kami, Slamet Hardan yang meninggal beberapa tahun yang lalu. Perhatian cukup besar. Gereja St Barbara di Prinsessenlaan 2, Utrecht penuh sesak dengan keluarga dan para sahabat mendiang Harminah. Broto, sesepuh sebagian masyrakat Indonesia di Utrecht dan sekitar, menceriterakan keramahan dan kesungguh-sungguhan mendiang dalam menggalang perkenalan dan persahabatan dengan para tetangga dan relasi. Salah seorang sahabat terdekat Belanda Harminah adalah Jacqeline. Jang selalu mambantu Harminah setelah ditinggalkan suaminya, apalagi sejak Harminah menderita sakit. Kami semua menyatakan rasa hormat dan terimakasih kepada Jacqeline.


Yang ingin kuangkat dan kusoroti dalam kolom 'Berbagi Cerita (Intermezo 9)' kali ini ialah:

Suatu keistimewaan yang telah terjadi pada pemakaman Harminah. Sebagai seorang Muslimah, Harminah dimakamkan menurut terdisi Islam. Namun, upacara kematian dan pembacaan doa menurut Islam untuk Harminah dilakukan di sebuah G e r e j a K a t o - l i k, yaitu Gereja St Barbara di Utrecht.


Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa sore tadi itu telah terjadi suatu peristiwa TOLERANSI AGAMA yang unik. Seorang beragama Islam, diupacarakan secara Islam termasuk doa-doa yang dilakukan oleh Haji DR. K. Prawira (Den Haag) bertempat di sebuah gereja Katolik. Di satu fihak keluarga Harminah samasekali tidak ada keberatan apa-apa bahwa kerabat mereka yang Muslimah itu, upacara kematiannya berserta doa dilangsungkan di sebuah gereja Katolik. Di segi lainnya, fihak Gereja St Barbara, juga tak ada keberatan apa-apa bahkan dengan segala senang hati bersedia ambil bagian dalam upacara itu.


Demikianlah tadi sore itu, aku ikut ambil bagian dalam doa bersama untuk arwah Harminah agar diterima di sisi Allah SWT, membacakan surah AL FATIHAH. Ketika selesai membaca Surah Al Fatihah, sahabatku Taufik yang duduk di sampingku berbisik: Masih hafal surah Al Fatihah ya? Jelas, jawabku. Tidak percuma aku bersekolah di Sekolah Rakyat Muhammadiyah dulu.


* * *


Selesai mengantarkan Harminah ke tempat peristirahatannya yang terakhir, di liang lahat yang sama dimana mendiang suaminya dibaringkan, teman-teman yang kuajak cakap-cakap, sependapat: Merasa lega bahwa sore itu telah menghadiri suatu upacara kematian seorang Muslimah di sebuah gereja Nasrani.


Satu sebabnya mengapa kami lega dan puas:

Karena telah mengalami suatu bagian hidup dari MASYARAKAT di BELANDA yang TOLERAN AGAMA. Saling menghormati agama masing-masing dalam suasana harmonis dan damai. * * *




Ibrahim ISA - Berbagi Cerita - INTERMEZO (8) -

Ibrahim ISA - Berbagi Cerita
-----------------------------
Kemis, 17 Januari 2008


INTERMEZO (8)




Semakin berlarut-larut keadaan krisisnya mantan Presiden Suharto, krisis . . . membaik . . . krisis lagi . . . . membaik lagi . . . krisis lagi dst, memang membikin orang menjadi tegang, teristimewa kaum elite penguasa lama dan baru yang erat terkait dan terlibat dengan kebijakan Orba dan tindak-tanduk pribadi mantan Presiden RI yang ke-2 itu.


Keadaan Suharto yang pernah dikatakan oleh salah seorang dokternya hanya 50% saja beliau masih bia hidup terus, oleh sebuah komentar diartikan sebagai usaha pontang-panting golongan pembela Suharto sebagai suatu kampanye untuk 'memutihkan' Suharto yang dalam karir politiknya sebagai pemimpin negara dan rezim Orba telah melakukan pelanggaran HAM terbesar dan menegakkan kultur KKN yang telah membudaya dalam masyarakat kita.


Dianalisis lebih dalam lagi, hal itu adalah untuk membela kepentingan (politik dan bisnis) mereka sendiri terutama sesudah meninggalnya Suharto nanti. Sebab, siapa tidak tau bahwa pengaruh dan kekuasaan (langsung atau tak langsung) Suharto dan Orbanya, terhadap kehidupan politik dan ekonomi negeri ini, masih amat kuat. Jangan jauh-jauh, perhatikan siapa saja yang datang menjenguk Suharto krisis. Mulai dari Jendral Wiranto yang telah berjanji akan melindungi keluarga Cendana menjelang 'lengsernya' Suharto (Mei 1998), Presiden, Wapres, mantan Presiden, mantan Wapres, menteri-menteri, pejabat-pejabat, pegusaha sampai ke kiayi-kiayi dari pelbagai pelosok. Mulai dari elite dalamnegeri sampai ke elite luarnegeri. Semua itu bukan sesuatu yang spontan.


Sehigga terdengar celetukan, makin lama mantan Presiden Suharto krisis, makin ramai kampanye untuk 'memutihkan Suharto'. Bila berhasil akan 'putihlah' segala dosa kroni-kroninya yang hingga sekarang menikmati kehidupan mewah dan aman, bebas dari tuntutan hukum dan keadilan.


* * *


Membaca tulisan yang menanggapi tuntutan-tuntutan kekuatan Orba untuk 'mengampuni Suharto', -- oleh Ajip Rosidi, penulis asal Sunda yang terkenal, mantan dosen pada sebuah universitas di Tokyo, dan satu lagi, tulisan budayawan Christianto Wibisono, budayawan yang sekarang bermukim di Amerika, ada keinginanku untuk sedikit menanggapinya. Tetapi itu akan kulakukan kemudian.


Yang ingin kuajak pembaca membacanya, adalah tulisan seorang eks Digulis, eks tapol P. Buru, anggota PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia), yang menganjurkan mantan Presiden Suharto supaya BERTOBAT pada Allah SWT, mumpung hayat masih dikandung badan, mumpung masih belum dipanggil untuk menghadap-NYA.


Inilah dia tulisan TRI RAMJIDJO, berjudul:


Mintalah Maaf Kepada Seluruh Rakyat Indonesia
<>


Assalamu'alaikum ww.,


Sudah 14 hari ini Allah mencoba orang nomor satu orde baru itu tergeletak di rumah sakit tak berdaya.


Coba ingat baik-baik pak......... berapa lama dan berapa banyak bapak menyiksa orang2 yang tidak berdosa?.


Aku masih ingat bagaimana pak Ruslan di Unit 14 Bantalareja Pulau Buru tergeletak kelelahan, mencangkul sehari penuh sampai jam 11 malam diterangi dengan lampu petromax. Pak Ruslan yang sudah 60 tahun


Itu yang namanya peri kemanusiaan yang adil dan beradab menurut versi bapak, 'kan bapak pembangunan? Saya dengan tulus ikhlas tiap malam masih mendoa'kan bapak supaya sembuh atau Allah supaya memberikan yang terbaik untuk bapak.


Saya sangat yakin dan percaya kepada Allah dan saya selalu membaca surat Albaqaroh ayat 168 dan surat yasin terutama saya camkan betul surat yasin ayat 83. Nah, anjurkan keluarga bapak untuk minta ampun yag tulus kehadirat Allah. Baca itu surat Albaqaroh ayat 168 baik-baik.


Kembalikan harta2 yang tidak halal itu kepada pemiliknya yaitu pemerintah dan rakyat. Rehabilitasi semua orang yang pernah bapak susahkan dan kembalikan serta pulihkan hak-haknya.


Saya tidak minta supaya nyawa-nyawa mereka yang sudah bapak cabut supaa dikembalikan hidup lagi, sebab itu tidak mungkin. Tapi santuni keluarganya, anak2nya yang jadi yatim piatu.

Juga saya tidak minta supaya impoten dan strole saya disembuhkan, sebab hanya Allah yang bisa menyembuhkan dan kita cuma bisa berusaha. Nah, bapak pembangunan yth,, sadarlah, INDAR kata letnan Marzuki penyiksa tapol di RTC Salemba. INDAR, insyaf dan sadar, kini bapak sendiri yang harus INDAR.

Bau udara busuk dosa-dosa bapak ikut memenuhi ruangan saya yang sempit ini sehingga dalam mendo'akan bapak dan memaca surat Yasin untuk bapak supaya mendapatkan yang terbaik dari Allah,terasa sangat terganggu.


Bertaubatlah pak, bertaubat. Dan tidak cukup bertaubat kepada Allah tok, tapi juga bertaubat kepada rakyat.

Katakan kepada rakyat "aku Suhartolah yang bikin rakyat sengsara dan aku Suhartolah yang melakukan kup terhadap pemerintah syah bung Karno."


Kalau bapak mengatakan ini kepada seluruh rakyat, rakyat secara tulus ikhlas memaafkan bapak. Dan insyaallah, Alah akan memberikan jalan yang terbaik untuk bapak.


Sekali lagi INDAR, insyaf dan sadarlah, mumpung belum terlambat. Siksa di akhirat nanti akan lebih berat.Dosa kepada Allah, Allah akan selalu mengampuninya tapi dosa kepada sesama manusia kalau belum dimaafkan sesama manusia Allah tak dapat mengampuninya.

Begitu bukan?


Salam dari saya Tri Ramidjo, yang selalu mendoakan yang terbaik untuk baik.Saya juga selalu ingat surat ke 103 AL'ASHR (MASA) yang 3 ayat itu.


1. Demi masa.

2. Sesungguhnya manusia dalam kerugian,

3. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dalam kesabaran.


Nah itulah sebabnya saya menulis ini, sebagai sesama muslim memang seharusnya saling ingat-mengingatkan. Dan mengingatkan sesama umat manusia tidak perlu memakai rotan-gebuk, sebab kita ini 'kan bukan ANJING yang baru bisa mengerti kalau digebuk. Dengan digebugi orang bisa mendendam berarti membuat orang berbuat dosa yang mana kita sendiri menanggung dosanya. Allah ingin membuat segalanya yang baik, jadi marilah kita berbuat kebaikan.

Saya merasa perlu melampiri tulisan saya ini dengan tulisan yang lain tentang WUDHU. Baiklah akan saya lampirkan. Mungkin ada gunanya.


Wassalam,

Tri Ramidjo.

IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA - INTERMEZO (6) -

IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA
-------------------------------------
Minggu, 13 Januari 2008


INTERMEZO (6)




Kemarin, Sabtu, 12 Januari 2008, Radio Nederland Wereldomroep (RNW), yang dikenal dan disebut orang 'Radio Hilversum', Seksi Indonesia-nya (RANESI), menyelenggarakan semacam 'talkshow' atau 'cakap-cakap' bebas sekitar keadaan kesehatan mantan Presiden Suharto yang sedang dalam keadaan KRISIS. Diasumsikan umurnya sudah tak lama lagi.


Jum'at sore , aku ditilpun sahabatku Bari Muchtar, jurnalis RNW.

Pak Isa, katanya, bagaimana kalau kita cakap-cakap di studio Ranesi, Hilversum. Topiknya sekitar keadaan mantan Presiden Suharto. Sewaktu-waktu, katanya, bisa saja muncul 'breaking news' yang memberitakan mantan Presiden yang sedang krisis itu, sudah meninggal dunia. Ya, kataku, itu suatu kemungkinan besar, mengingat situasinya sudah gawat begitu. Kalau demikian, kapan aku ke Hilversum, tanyaku lagi. Ya, sewaktu-waktu, katanya. Yah, kita tak tahu juga kapan, itu bisa terjadi dalam wakatu dekat ini.


Jum'at malam itu juga, Bari menilpun lagi: Beginilah, katanya, kita jadikan saja 'cakap-cakap' itu, besok hari Sabtu. Tetapi, kataku, Suharto 'kan masih belum meninggal. Ya, ndak apalah, kita adakan besok Sabtu pagi saja, tegas Bari. Sekitar jam 12.00 siang. Habis, bagaimana lagi, kita 'kan sulit untuk mengetahui kapan Suharto meninggal!


Demikianlah jadinya, Sabtu pagi itu, sekitar jam 11.30 pagi aku dijemput Bari Muchtar di stasiun Bussum Zuid. Kami langsung ke studio Radio Hilversum. Disitu aku diperkenalkan dengan kepala RANESI yang baru, Sirtjo Koolhof. Istimewanya, sebelum acara dimulai kami makan siang dulu. Makan masakan Indonesia pesanan dari sebuah afhaalcentrum di Amersfoort. Sedapnya, mak! Terutama gado-gadonya itu lho.


JACOB SAHETAPY

Cakap-cakap yang kami adakan itu adalah antara empat orang. Dua jurnaslis dari Radio Hilversum dan Yanti Mualim, yang bertindak sebagai moderator, kemudian kami dua orang undangan, yaitu Jacob Sahetapy dan aku. Bagi pendengar Radio Hilversum, agaknya menarik untuk mengetahui bagaimana pendapat Jacob Sahetapy dari St Timor Lorosa'e Solidarity.


Siapa Sahetapy? Aku juga baru kenal Sahetapy hari itu. Bari Muchtar memperkenalkan siapa Jacob Sahetapy.


Putra Ambon ini adalah salah seorang tokoh yang terlibat dalam aksi-protes keras sekitar kunjungan Suharto ke Belanda ketika itu (September 1970). Aksi ana-anak muda Ambon tsb dimaksudkan untuk memprotes kekerasan dan penindasan yang dilakukan oleh rezim Orba terhadap rakyat Maluku. Pada saat itu (31 Agustus 1970) sejumlah 33 pemuda Ambon menduduki Wisma Duta (KBRI) di Wassenaar. Sahetapy menjelaskan dalam 'cakap-cakap' kami Sabtu itu, bahwa mereka (anak-anak muda Maluku) menganggap aksi-aksi yang biasa-biasa, sudah tak mempan lagi, maka mereka mengambil kesimpulan untuk mengadakan 'aksi-keras' dengan jalan menduduki Wisma Duta KBRI di Wassenaar.


Ya, ketika itu kami kan masih muda-muda, --- maklum lah! Dewasa ini Sahetapy yang berusia kira-kira 57th , sudah berkali-kali berkunjung ke Maluku. Namun kini lebih banyak terlibat dengan aksi membantu kesulitan rakyat Timor Leste yang sedang dalam periode pasca referendum yang telah mengantar rakyat Timor Leste ke kemerdekaan nasionalnya.


Biarpun Suharto sudah mundur dan kini ia dalam keadaan sakit keras, namun proses keadilan hukum harus dilaksanakan terhadap mantan presiden Suharto, kata Sahetapy. Suharto telah begitu banyak menggunakan kekerasan yang mengakibatkan korban amat besar di kalangan rakyat yang tak bersalah, tambah Sahetapy.


SUHARTO BERJASA . . . . . . . . . . ?

Maka MAAFKAN sajalah . . . . . . . ?


Diskusi interaktif kami jadinya berlima. Satu dari Aceh dan empat di Studio Ranesi Hilversum. Itu dipancarkan langsung ke Indonesia. Yang di Aceh itu adalah mantan wartawan RANESI yang kini sudah pensiun, Aboepriyadi Santoso (Tossi).


Titik berat diskusi kami, ialah : Apakah Suharto tak ada jasanya samasekali.

Maka, apa sebaiknya Suharto dimaafkan saja?


Sebelumnya perlu disampaikan di sini hal yang menarik dari laporan Tossi langsung dari Aceh. Tossi menyatakan bahwa di kalangan rakyat biasa di Aceh, masalah krisisnya Suharto tak begitu banyak dibicarakan. Cerita ini sama seperti yang disampaikan Yanti Mirdayanti dari Jakarta kepadaku. Rakyat kecil pada pokoknya disibukkan dengan kegiatan ponting-panting untuk menyambung hidupnya yang amat sulit dan miskin, dari hari ini ke hari berikutnya.


Satu hal yang cukup menjadi perhatianku dari laporan Tossi itu, ialah mengenai sikap mantan Ketua MPR, dan pimpinan dari PAN. Ketika ramai-ramai ada tuntutan untuk memberi ampun kepada Suharto, suara Amin Rais jelas. Proses hukum terhadap mantan Presiden harus tetap dilakukan, kata Amin Rais.


Pada saat ramai lagi pers membritakan bahwa untuk Suharto akan diatur upacara pemakaman kenegaraan besar-besaran, bahkan yang akan melebihi pemakaman Presiden Sukarno, antara lain, bahwa di lapangan terbang di Jakarta jenazah Suharto akan dilepas oleh Wapres J. Kalla, dan di makam keluarga Suharto di Magadeg nanti, SBY sendiri yang akan bertindak sebagai inspektur upacara, --- maka terdengar reaksi keras Amin Rais. Apa seseorang, yang sedang ada perkara (perdata) di pengadilan, bisa diberikan perlakuan upacara pemakaman kenegaraan besar-besaran seperti itu? Jelas 'kan sikap Amin Rais? Demikian cerita Tossi dari Aceh.


* * *


Moderator dari Radio Hilversum dalam 'talkshow' kami Sabtu itu, R. Yanti Mualim dan Bari Muchtar, minta pendapat dan tanggapanku mengenai fikiran untuk memberi ampun atau maaf kepada mantan Presiden Suharto, karena beliau 'banyak jasanya' selama memimpin Orba.


Tanggapanku adalah demikian:


Aku serahkan saja masalah mengangkat Suharto sebagai pemimpin negara yang telah berjasa kepada Indonesia, kepada mereka yang selama ini, telah diuntungkan, maka menyanjung dan melimpahkan pujian kepada Suharto.


Bagiku, Suharto adalah mantan Presiden yang telah mengakibatkan kerusakan dan kerugian terbesar pada bangsa dan negara. Di satu fihak bangsa ini mengalami pelanggaran HAM terbesar dalam peristiwa pembantaian masal 1965, di bawah Suharto. Di lain fihak, nasion ini telah menjadi bangsa, termasuk kaum cendekiawannya, yang tidak lagi punya keberanian dan kemampuan untuk berfikir sendiri dengan bebas. Menjadi manusia yang takut dan manut saja pada atasan. Segala sesuatu tergantung pada atasan, pada yang memegang kekuasaan. Semangat dan fikiran kritis telah dibelenggu samasekali.


Terdapatlah situasi gawat, yang tak mudah diubah dan diperbaiki. Suatu keadaan bahwa bangsa ini tidak berani lagi dan tidak bisa berfikir sendiri dengan bebas. Secara mental dan moral ini adalah kerusakan terbesar yang diderita bangsa kita akibat kekuasaan Orba yang otoriter dan menginjak-injak hak-hak demokrasi. Segala kebijakan dan 'pengarahan' dari atasan itulah yang dianggap kebenaran.


Kesalahan lainnya yang tidak kurang besar skala dan artinya, ialah pembangkangan yang dilakukan oleh Jendral Suharto sebagai bawahan, terhadap Sukarno sebagai atasannya, Presiden dan Pangti ABRI ketika itu (1965). Setelah terjadinya pembunuhan terhadap enam jendral AD oleh G30S, Presiden Sukarno menetapkan Jendral Pranoto Reksosamudro untuk menjabat caretaker pimpinan AD. Pada saat Jendral Pranoto hendak menghadap Presiden Sukarno, hal itu DILARANG oleh Jendral Suharto yang ketika itu menjabat Panglima Kostrad. Suharto lalu menunjuk dirinya sendiri menjadi panglima TNI-AD. Ini adalah tindakan Suharto pertama membangkang terhadap Presiden dan mengoper pimpinan AD ke tangannya sendiri. Ini adalah suatu langkah perebutan kekuasaasn.


Apakah Pak Isa berpendapat tindakan ini suatu kudeta oleh Jendral Suharto?, tanya Bari Muchtar. Aku jawab tegas: YA


Langkah dan tindak perebutan kekuasaan berikutnya yang dilakukan oleh Jendral Suharto adalah penyalahgunaan Surat Perintah Sebelas Maret ( SUPERSEMAR). Sebuah surat perintah dari Presiden Pangti ABRI terhadap Jendral Suharto untuk menangani msalah keamanan dan menjaga wibawa dan ajaran Presiden Sukarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, dan selalu melapor kepada Presiden, telah disalahgunakan oleh Jendral Suharto untuk merebut kekuasaan atas pemerintahan dan negara. Sampai sekarangpun Suharto tidak pernah ngomong dimana disimpan SUPERSEMAR tsb. Dimana SUPERSEMAR sekarang menjadilah suatu kasus MISTERIUS.

Ini adalah tindakan pengkhiantan oleh Jendral Suhaeto terhdap Negara dan Presiden Sukarno.


Bagaimana pendapat Anda terhadap rencana pemakaman kenegaraan secara besar-besaran terhadap mantan Presiden Suharto, tanya moderator. Jawabku: Negara Republik Indonesia memiliki sejumlah undang-undang dan ketetapan yang mengatur peri kehidupan seorang mantan Presiden dan mengadakan upcara pemakaman bila yang besangkutan meninggal dunia. Bila Suharto meninggal dunia, perlakukanlah sesuai undang-undang dan peraturan yang ada. Segala sesuatu harus berlaku sesuai undang-undang dan ketentuan negara. Harus demikian adanya, bila kita benar-benar hendak menegakkan Negara Republik Indonesia sebagai NEGARA HUKUM. Berarti termasuk memberlakukan proses pengadilan terhadap mantan Presiden Suharto sampai tuntas.


* * *

Cakap-cakap kami pada diskusi Sabtu pagi di Studio Ranesi, yang makan waktu kurang lebih sejam, tidak semua kutulis disini. Hal-hal yang kusoroti adalah yang kuanggap penting dan menarik bagi pembaca. Moderator Bari Muchtar memberikan kesempatan kepada pendengar untuk ambil bagian dalam diskusi, dengan cara mengirimkan SMS ke alamat Ranesi. Sayang, karena tidak cukup waktu, tidak sempat dibacakan reaksi sementara pendengar yang telah mengirimkan pendapat mereka melalui SMS.


* * *

IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA -- INTERMEZO (5) -Tuntutan GOLKAR Dan Surat YANTI Dari Jkt

IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA
------------------------------------
Jum'at, 11 Januari 2008
INTERMEZO (5)

Tuntutan GOLKAR Dan Surat YANTI Dari Jkt

Mengikuti perkembangan situasi kesehatan mantan Presiden Suharto, yang pada minggu pertama Januari diopname karena macam-macam penyakit yang diidapnya bertambah parah kemudian mengakibatkan KRISIS, --- perhatianku tertarik pada berita Jakarta Post yang berjudul 'Golkar's Soeharto call backfires'. Maksudnya seruan Golkar agar Suharto dibebaskan dari segala tuntutan hukum, malah menjadi 'senjata makan tuan'.

Tertarik pula perhatianku terhadap sepucuk surat yang kuterima dari Yanti Mirdayanti. Ia menyampaikan bahwa rakyat yang menderita kesulitan hidup dari hari ke hari, tidak tertarik pada berita sekitar Suharto dan tuntutan pengampunan terhadapnya. Rakyat lebih memusatkan tenaga dan fikirannya pada masalah bagaimana untuk bisa 'survive'.

* * *

Golkar, suatu parpol yang dilahirkan, dibesarkan dan menjadi tumpuan politik mantan Presiden Suharto selama 32 tahun kekuasaan Orba, menjadi amat khawatir disebabkan sikap pemerintah yang sejalan dengan inisiatif StAR - Stolen Asset Recovery, disponsori oleh Bank Dunia, yang melaporkan bahwa Suharto (86 th) digolongkan sebagai maling terburuk sedunia atas kekayaan negara.

Tapi, justru karena kegiatan Golkar (dan sekutu-sekutunya) yang pontang-panting bikin suasana 'ampuni Suharto', timbullah reaksi yang berlawanan dari banyak penjuru, terutama dari kalangan pengelut hukum dan undang-undang.

Jaksa Agung Hendarman Supanji, ketika merespons tuntutan 'ramé-ramé mengampuni Suharto', menyatakan bahwa tuduhan kriminal atas Suharto sudah lama dihentikan, tetapi, --- tuntutan pidana akan diteruskan. Yang masih jalan terus adalan perkara perdata terhadap 7 yayasan milik Suharto. Dikemukakan bahwa 7 yayasan milik Suharto itu: Yayasan Dakab, Dharmais, Amal Bakti Muslim, Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong dan Yayasan Trikora, ternyata telah menyalurkan banyak dari dana yang mereka terima kepada perusahaan-perusahaan milik kroni-kroninya Suharto. Hendarman menandaskan bahwa mengampuni Suharto tidak mungkin di bawah hukum Indonesia.

Ketua MPR, Hidayat Nurwahid dan Wakil Ketua MPR, A.M. Fatwa -- MPR pernah mengeluarkan dekrit untuk mengadili Suharto,--- minta kepada pemerintah agar Suharto diajukan ke pengadilan. Hendardi dari LBH dan HAM menegaskan, bahwa dalam memberikan tanggapannya Presiden (SBY) dan Wapres(JK) telah kebablasan. Emerson Yuntho dari Indonesian Corruption Watch menegaskan bahwa hukum harus diberlakukan terhadap Suharto. Waktunya tepat sekali untuk menunjukkan bahwa pemerintah punya 'political will' untuk mengajukan Suharto ke pengadilan, kata Yuntho.

Nah, ramai-ramai minta pengampunan, akibatnya malah timbullah penegasan dari Jaksa Agung bahwa tuntutan perkara perdata terhadap Suharto akan diteruskan.

Mari kita ikuti cerita Yanti Mirdayanti dari Jakarta.

* * *

SURAT YANTI DARI JAKARTA

Malam ini kuterima surat e-mail dari Cendekiawan muda YANTI MIRDAYANTI, kini bekerja sebagai dosen pada sebuah universitas di Bonn, yang sedang di Jakarta, dengan judul berikut ini:

*SUHARTO DI RUMAH SAKIT.


Suasana di Indonesia masih biasa saat Soeharto di RS

Saya perhatikan, sejak seminggu saya berada di tanah air, masyarakat Indonesia tidak begitu ramai membicarakan soal Soeharto di Rumah Sakit.

Teman-teman, saudara, maupun tetangga yang sempat saya temui, di setiap pembicaraan dengan saya tak pernah menyingung tentang Soeharto sakit. Padahal di koran dan tv soal ini ramai diliput. Selama ini saya belum sempat menonton tv, lupa terus!
Jadi, berita tentang Seharto hanya saya dapatkan dari koran-koran.

Mungkin saat ini bagi kebanyakan rakyat Indonesia, soal Soeharto sakit di RS tak begitu menarik untuk dibicarakan. Atau mungkin karena umumnya saya berinteraksi dengan rakyat biasa, bukan dengan para pejabat. Tapi saya kira, kalau umpamanya muncul berita kematian, maka suasana akan lain dan tema pembicaraan di kalangan rakyat biasa pun akan lebih ramai.

Tapi hari Jumat ini agak sedikit lain: begitu saya sampai rumah dari acara jalan-jalan di toko buku Gramedia, kakak dan suaminya seperti dikomando langsung menyambut saya dengan kalimat: 'Tadi di berita tv kondisi Pak Soeharto diberitakan parah.'

Sayangnya saya datang agak larut malam, sudah tak ada berita lagi di tv.

Jadi, kesimpulan sementara saya, masyarakat umum Indonesia akan mulai menaruh perhatian ke soal Soeharto sakit, jika dua hal terjadi: Kondisi sakit yang sudah parah sekali dan berita meninggal dunia.

Oh ya, orang-orang yang kebetulan berinteraksi dengan saya hampir semuanya mengeluhkan soal semakin beratnya beban hidup. Penghasilan bulanan kakak-kakak saya yang pegawai negeri misalnya tidak pernah cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari untuk sebulan penuh. Sebelum setengah bulan perjalanan, uang gaji sudah tekor!

Memang harga-harga d Indonesia cukup mahal untuk ukuran penghasilan rakyat biasa dan pegawai negeri secara umum. Harga uang rupiah tak begitu memiliki nilai. Sejuta rupiah sekarang untuk saya pribadi nilainya seperti seratus ribu atau dua ratus ribu rupiah ketika saya mengunjungi Indonesia tiga tahun lalu. Atau mungkin ini perasaan saya saja.

Makanya, saya pikir, rakyat bawah Indonesia mana ada waktu dan minat untuk memperhatikan masalah Soeharto sakit. Untuk survive sehari-hari saja sudah cukup
merepotkan!

(Jabar, Jan. 2007)






Tuesday, January 8, 2008

IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA - INTERMEZO (4) -

IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA
----------------------------
Senin, 07 Januari 2008.



INTERMEZO (4)



Hari ini aku menerima dua tulisan dari dua orang sahabatku di Jakarta. Tulisan yang satu adalah dari Tri Ramidjo. Yang satu lagi dari Harsutedjo. Nama dua kawan ini, tak asing lagi bagi pembaca yang rajin membuka dan meng-akses internet. Mereka menulis secara reguler. Tulisannya berisi, analitis dan tajam sekali.


Mereka, -- jelas sekali, adalah korban pelanggaran HAM terbesar yang dilakukan oleh rezim Orba terhadap jutaan warganegara yang tak bersalah. Suatu rezim otoriter anti-demokratis yang ditegakkan dan dikepalai oleh Jendral Suharto. Orba sempat bercokol di singgasana kekuasaan selama 32 tahun lamanya sampai (formalnya) terguling akibat gerakan massa meluas yang menuntut Reformasi dan Demokratisasi.

Maka, mereka itu - Tri Ramidjo dan Harsutedjo, bukan orang yang termasuk orang-orang 'golongan pertama'. Yang menurut tulisan sejarawan Dr Aswi Adam beberapa hari yl, adalah orang-orang yang, karena latar belakang mereka memperoleh keuntungan besar selama periode Orba dan sampai kini, menilai mantan presiden RI Suharto, adalah: 'PAHLAWAN'. Menurut orang-orang termasuk golongan tsb Suharto 'BERJASA BESAR' pada tanah air dan bangsa. (Baca tulisn Aswi Adam).



Tri Ramidjo dan Harsutedjo, tergolong yang 'KRITIS' terhadap Suharto. Mereka adalah KORBAN dari tindakan ekstra-judisial, adalah korban pelanggaran hukum dan kemanusiaan yang dilakukan oleh Orba yang dikepalai oleh mantan Presiden Suharto.



Tanggapan Tri Ramidjo mengingatkan pembaca agar jangan mimpi. Jangan bermimpi, bahwa tanpa berbuat apa-apa, tanpa melakukan perjuangan, akan memperoleh keadilan bagi para korban dan seluruh rakyat yang menderita. Maka tulisan Tri Ramidjo menganjurkan dan mendorong agar perjuangan untuk Reformasi, Demokratisasi dan Keadilan bagi rakyat yang tertindas diteruskan. Meskipun Tri Ramidjo sudah mencapai usia 82 th, namun semangat-juangnya tetap menyala-nyala.



Sedangkan tanggapan Harsutjedo, yang tidak berbeda dengan Tri Ramidjo, dijiwai oleh semangat juang demi kebenaran dan keadilan, menyatakan bahwa, ia 'bermimpi' tentang 'Diadilinya Suharto'. Maka, Harsutedjo BERDOA agar Suharto lekas sembuh, agar bisa diadili. Sangat tajam, Harsutedjo menulis pula bahwa ia bermimpi (justru) karena ingin membuang segala macam ilusi.

Bisalah diduga bahwa Harsutedjo sebagaimana halnya banyak kaum Reformis dan Demokrat lainnya, sesungguhnya tidak bermimpi. Ia yakin, bahwa pada suatu ketika, melalui suatu perjuangan yang terus-menerus, akhirnya, Suharto, meskipun nantinya sudah tiada, pasti akan bisa digugat (lagi, sebagaimana halnya pada periode ketika sedang marak-marak dan bergeloranya gerakan Reformasi - 1998 - ) dan diadili.



Ini adalah suatu keyakinan yang sesuai dengan apa yang terjadi dalam sejarah. Ingat pengalaman kaum demokrat dan progresif di masing-masing negerinya, yang akhirnya berhasil menggugat kembali mantan diktator Chili Pinnochet, menggugat kembali mantan diktator Spanyol, Jendral Franco.


Perhatikan juga, hari-hari ini, di Den Haag dimulai lagi sidang pengadilan internasional (International Tribunal) mengadili mantan diktator Liberia, Charles Taylor, atas tuduhan melakukan pelanggaran HAM, melakukan kejahatan perang. Itulah sejarah.



* * *



Pembaca ---- Silakan baca sendiri tanggapan TRI RAMIDJO dan HARSUTEDJO.


* * *

Tanggapan kakek Jompo:

Tentang Do'a untuk mantan Presiden Suharto.

JANGAN MIMPI DI SIANG BOLONG
----------------------------

Di siang hari bolong begini masih mau enak-enak tidur nyenyak dan bermimpi?

Hmhmhm, bangun sudah siang, dan bangunkan juga teman- teman yang lain, bikin terompet sangkakala, tiup keras-keras dan bangunkan semua orang di seluruh kota dan desa.

Tidak bisa mem- Pinochetkan Suharto hanya dengan tidur nyenyak dan mimpi. Mimpi memang indah. Masih ingat bukan, mimpi indah tetapi ketika bangun berada di sel tahanan seluruh badan berasa remuk redam habis disiksa di siang hari? Masih ingat bukan siapa-siapa penyikanya seperti Datong, Hardjito, Acep dan entah siapa lagi. Begitu banyak orang yang mau menjadi pengkhianat.

Di umurku yang sebulan lagi sudah akan mencapai 82 tahun ini, aku memang sudah tidak sabar lagi menginginkan perubahan. Tapi nasib sesuatu kaum tidak akan berubah kalau kaum itu sendiri tidak berniat untuk merubahnya. Dan merubah nasib diperlukan suatu tindakan, bukan bermimpi.

Suharto orang pintar dan bukan pemimpi. Dia mampu merubah Indonesia yang ketika itu sangat revolosioner dan menjadi mercu suar memimpin Asia Afrika dan bahkan gemanya sampai ke Latin Amerika, begitu mudahnya kekuasaan bung Karno dipunggel hanya dengan peristiwa satu malam yang namanya G30S. Hebat 'kan Suharto itu yang sangat pintar lempar batu sembunyi tangan?

Karena apa? Karena Suharto bukan pemimpi. Dia bukan hanya pintar mengatur taktik dan strategi tapi dia memang disiplin dan gesit dalam bertindak. Dia betul-betul belajar dari KNIL, Jepang, PETA dan menanamkan tekad dan rasa dendam ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam.

Itulah sebabnya Suharto bisa berkuasa paling lama di Republik ini dan bahkan sisa-sisa kekuasaannya masih berakar dalam sampai sekarang.

Coba renungkan baik-baik. Kenapa ada DI, TII, PRRI, PERMESTA dll.? Bukankah itu semua adalah usaha laten untuk memecah Negara Kesatuan Republik indonesia ini.

Jelas sekali bukan, PRRI berusaha melepaskan Sumatra dari Jawa dan menguasai tambang-tambang minyak dan gas serta menguasai Selat Malaka yang begitu penting, PERMESTA akan memisahkan Sulawesi, dll. Usaha ini masih akan terus berlangsung sebab pusat atau otak pemikirnya masih segar mengotak-atik terus bagaimana memecah NKRI.

Coba renungkan baik-baik, hakim mana di negeri ini yang berani atau mampu mengadili pemimpin Orba Suharto?

*Penegak hukum yang mana dan siapa yang bisa dan berani mengusut hilangnya atau matiny Aidit, Lukman dan Nyoto pemimpin PKI, yang sudah jelas jemelas dan sudah dibaca rakyat banyak di koran, majalah TEMPO, tabloid dll. bahwa pembunuh Aidit adalah kolonel Yasir Hadibroto?*

Apakah ada penegak hukum atau polisi yang memanggil atau menginterogasi kolonel itu?

JAUH, JAUH PANGGANG DARI API.

Tak ada gunanya bermimpi lagi. Bangun dan bertindaklah. Tiuplah terompet bangun, bangun, bangun. Bangunlah kaum yag terhina, bangunlah kaum yang lapar.

Koran, koran, koran baru. Ini koran rakyat. Berita hangat dan aktual. Koran, koran, koran.

Koran yang mengajak rakyat merubah nasibnya. Mengatasi banjir, mengatasi derita lumpur LAPINDO dan mengatasi derita rakyat. koran, koran, koran................

Suara kakek jompo sudah serak, Tak bisa teriak lagi. Teriaklah hai orang-orang muda. Teruskan tongkat perjuangan estafet ini. Nyanyikan keras Darah Rakyat masih berjalan, menderita sakit dan miskin Pada datangnya pembalasan rakyat yang menjadi hakim, Hayo-hayo bersiap sekarang..........................

Tri Ramidjo.



* * *



H A R S U T E J O
-----------------
06 Januari, 2008



DOA UNTUK MANTAN PRESIDEN SUHARTO

Saya berdoa agar mantan presiden Jenderal Besar (Purn) Suharto segera sembuh dari sakitnya. Ketika ia menjadi sehat semoga dapat dituntut oleh pengadilan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya dalam hal pelanggaran berat kemanusiaan, utamanya pembantaian jutaan orang Indonesia pada 1965-1966 serta pelanggaran lainnya seperti pemalsuan sejarah dan pengebirian Supersemar, kudeta terhadap Presiden Sukarno, pembunuhan Bung Karno secara perlahan, juga perbuatannya dalam menjarah kekayaan negara dan rakyat beserta para begundalnya selama 32 tahun.

Saya sadar, harapan saya tentang diadilinya Suharto itu suatu mimpi belaka. Tiap orang boleh mimpi bukan, sebelum mimpi pun dilarang oleh anak buah Suharto. Mimpi juga dapat menghibur dan rileks sejenak, saya bermimpi karena ingin membuang segala macam ilusi.

Bekasi, 5 Januari 2008

Harsutejo, salah seorang korban rezim militer Orba yang bertahan hidup.

* * *




IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA -- INTERMEZ0 (3) - 'TRAUMA'

IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA

Sabtu, 05 Januari 2008

---------------------------------------


INTERMEZ0 (3)


Hari ini aku menerima e-mail panjang dari T R I R A M I D J O ---- . Itu nama sahabat- kentalku di Jakarta.


Ketika aku berkunjung ke Jakarta beberapa tahun yang lalu, kami berjumpa lagi, setelah puluhan tahun pisah. Aku mengenal Tri Ramidjo sejak tahun 50-an abad lalu. Ia pernah studi di sebuah Universitas di Tokyo.


Tamat, ia pulang ke Indonesia untuk mengabdikan pengetahuan yang diperolehnya di perguruan tinggi Jepang, demi kemajuan dan kebesaran bangsa dan tanah air Indonesia. Namun, oleh rezim Jendral Suharto Tri Ramidjo dijebloskan di penjara. Disiksa sampai babak-belur. Kemudian dibuang ke P. Buru. Kesalahannya? Dosanya? Wallahualam bissawaab! Semata-mata karena fitnah dan tuduhan tanpa bukti dan alasan, rezim Orba itulah Tri Ramidjo menderita begitu lama, sebagaimana jutaan rakyat kita (para eks tapol dan keluarganya), didiskriminasi, difitnah, dimarginalkan, dicap sebagai ORANG BERMASALAH.


Padahal orang BERMASALAH PALING TOP di Indonesia, adalah mantan Presiden Suharto sendiri.


Umur Tri Ramidjo sudah mencapai (kalau tak salah) --- 82th. Ia ANAK DIGUL. 'Digulis', kata orang dulu. Bapaknya Ramidjo, panggilan akrabnya Mbah Ramidjo, juga kukenal baik. Sudah meninggal dunia.


Bapak dan putranya itu dua-duanya pejuang. Pejuang kemerdekaan dan juga pejuang untuk kebenaran dan keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyat Indonesia. Dua-duanya anggota PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia).


Meskipun umurnya sudah lanjut dan kesehatan kurang baik - pernah diserang stroke -- tetapi semangatnya ----- bukan main! Patut diteladani kita semua, dan oleh kaum muda. Baca saja CERKAT-nya di bawah ini berjudul TRAUMA.


Tri Ramidjo sudah berkali-kali menulis dan menyiarkan cerpen atau cerkatnya. Tajam, lugu dan menyegarkan semangat!. Silakan baca sendiri.


* * *



Tri Ramidjo

--------------


T R A U M A

CERKAT (cerita singkat) 010408


Hari Senin 1 Oktober 2007. Anakku pulang dari kantor membawa majalah TEMPO. Jarang dia membeli majalah itu sebab harganya cukup mahal. Harga sejilid majalah TEMPO bisa untuk membeli dua kilogram telur ayam negeri dan cukup untuk lauk makan beberapa hari. Harga Koran dan majalah memang tidak terjangkau untuk rumah tangga kami yang hidupnya pas-pasan.


Mengapa hari itu anakku membeli majalah TEMPO yang harganya duapuluh-dua-ribu-lima-ratus rupiah lebih? Mengapa uang sebanyak itu diboroskan untuk beli majalah? Biar bapak baca, katanya. Biar tahu apa peranan Aidit orang nomor satu PKI itu yang mengakibatkan bapak masuk penjara puluhan tahun, katanya.


Mulailah hari itu aku membaca majalah TEMPO, halaman demi halaman. Di halaman 50 tertera potret Aidit sedang menginspeksi pasukan wanita saat HUT PKI ke 45. Di sebelah kanan bawah halaman 51 ada tulisan putih dan kuning dengan huruf yang cukup besar berbunyi DUA WAJAH DIPA NUSANTARA. Aku tidak mengerti apa yang dimaksud “dua wajah” dan “Dipa Nusantara” adalah nama Aidit yang singkatannya DN.


Di halaman 52 dan 53 yang terdiri kurang lebih 26 alenia mengisahkan peran Aidit yang memimpin partai pada usia 31 tahun dan dalam waktu setahun melambungkan partai PKI ke dalam karegori empat besar di Indonesia dan mengklaim memiliki 3.5 juta pendukung dan menjadi partai komunis terbesar di dunia setelah Rusia dan Tiongkok. Aidit memimipikan masyarakat Indonesia yang tanpa klas tetapi akhirnya terhemas dalam prahara 1965. “Seperti juga peristiwa G.30-S, kisah tentangnya dipenuhi mitos dan pelbagai takhyul.” Di enam baris alenia terakhir tulisan itu berbunyi “Apa yang disajikan dalam Liputan Khusus TEMPO kali ini adalah upaya mengetengahkan versi-versi itu. Juga ikhtiar membongkar mitos D.N.Aidit. Bahwa ia bukan sepenuhnya “si brengsek” , sebagaimana ia bukan sepenuhnya tokoh yang patut jadi panutan”, demikian Tempo.


Di halaman 54 dan 55 berjudul Anak Belantu Jadi Kumunis. Kemudian di bawahnya di atas strep kuning dengan tulisan hitam berbunyi : “Datang dari keluarga terhormat, bibit komunisme tumbuh dalam diri Aidit ketika menyaksikan nasib buruh kecil di perusahaan tambang timah di Belitung”. Potret Aidit setengah badan dan potret keluarga besar Aidit.


Ketika aku sedang asyik membalik-balik halaman majalah Tempo itu, isteriku datang mendekati. Ya, aku membaca majalah itu di kamarku.

Isteriku tanya itu gambar bintang film mana? Biasanya kan gambar wanita yang dipajang di halaman depan majalah. Tapi itu kok itu potret pria. Warnanya merah menantang lagi. Bintang film India, ya.


“Aidit? Aidit kan pemberontak komunis itu tokh. Yang bikin bapak ditahan puluhan tahun dan keluarga kita jadi berantakan? Udah, bakar aja majalah itu. Buat apa baca-baca majalah gituan, Aku gak mau menderita lagi. Fitnah-fitnah dilemparkan paman sendiri, gara-gara komunis. Apa sih enaknya komuis itu? Digul, Madiun, G30S semuanya gara-gara komunis. E, paman bapak itu lho kok ya tega-teganya keponakan sendiri difitnah anak Digul dan akibatnya puluhaan tahun dibuang di Buru. Waktu kecil masih bayi ikut dibuang ke Digul, sudah tua masih dibuag lagi ke Pulau Buru. Sudah pak, sini majalahnya, akan kubakar.” Kata isteriku sewot.


“Gak usah traumalah. Itu semua kan sudah masa lalu, buat apa dikenang lagi. Coba, kalau gak ada pejuang-pejuang Perintis Kemerdekaan Indonesia (PKI) yang berani berkorban sampai dibuang ke Digul, Manokwari, Bengkulu, Endeh dll. Apa Indonesia bisa merdeka seperti sekarang ini. Apa ada orang-orang Indonesia yang jadi Jendral pimpinan TNI. Apa ada tentara nasionsl Indonesia? Apa ada the smiling general? Semua itu kan hasil dari revolusi Agustus ’45. Dan semuanya itu didahului perjuangan perintis-perintis kemededekaan Indonesia. Jelas belum. PKI adalah singkatan dari Perintis Kemerdekaan Indonesia. Tanpa PKI tidak akan ada Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sayangnya negeri kita sekarang ini dikuasai oleh maling-maling dan para koruptor. Semoga saja bapak kita Presiden SBY yang sekaran ini bisa membasmi kotuptor-koruptor yang merugikan Negara dan rakyat. Sini majalahnya, aku belum selesai membacanya. ” Kataku menimpali ocehan isteriku.


Isteriku meninggalkanku dan langsung ke dapur. Dan aku meneruskan membaca majalah Tempo. Aku merasa sangat sedih, begitu besarnya akibat trauma yang diderita isteriku dan mungkin juga keluarga lainnya. Benar-benar hebat propaganda orde baru Suharto selama puluhan tahun. Rakyat menjadi semakin AHO (goblok – bahasa Jepang) dan cara berfikirnya mundur puluhan tahun.


Indonesia akan bisa maju lagi kalau penerangan dan agitasi politik lebih gencar sampai ke desa-desa. Koran, perlu Koran masuk desa. Musik ngak-ngik-ngok dan pameran dada telanjang mememenuhi tayangan TV selama 24 jam. Bagaimana budaya rakyat desa gak makin amblek. Apa gak prihatin? Jangan harap menteri PDK kita akan turun tangan, mungkin malahan angkat tangan dan tepuk tangan kegirangan. * * *


Tangerang, Jum’at Legi 04 Januari 2008.-

--------------------------------------------------

INTERMEZO - < 2 > -- Sekitar INFORMASI Dan DOKUMENTASI

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
-------------------------------
Jum'at, 04 Januari 2008

INTERMEZO - <>

Sekitar INFORMASI Dan DOKUMENTASI

Akhir Desember 2007 y.l. aku memulai kolom (baru) yang kuberi judul 'INTERMEZO'. Maksudnya ialah untuk menyoroti, mengangkat dan mengomentari seperlunya apa saja yang bersangkutan dengan perkembangan situasi di Indonesia. Secara singkat padat, bisa juga lebih panjang. Yang satu dan lain hal, ada hubungannya dengan usaha dan gerak Reformasi, Demokratisasi dan pemberlakuan HAM di Indonesia. Kongkritnya tentang bahan tertulis maupun audio, yang memenuhi layar Internet selama 24 jam sehari. Berasal dari Indonesia maupun mancanegara terutama mengenai Tanah Air, juga mancanegara. Untuk diberikan perhatian secukupnya. Apa saja. Tentu yang dinilai patut menjadi perhatian bersama.

Juga dimaksudkan agar berita dan informasi tsb, dengan baik bisa terdokumentasi, tidak hilang ditelan waktu.

* * *

Semantara kawan dan sahabat peduli Indonesia, asing maupun orang Indonesia, sudah melakukannya selama ini. Seperti a.l. John MacDougall (Amerika), Sunny (Stockholm), Tossi (Aboepriyadi Santoso, Jakarta), Chalik Hamid (Amsterdam), Chan CT(Hongkong), Heri Latief (Amsterdam) dll. Apa yang mereka lakukan itu sangat bermanfaat dan patut dihargai. Apalagi bila diingat, bahwa pendokumentasian berita dan artikel tentang Indonesia, terutama sejak berdirinya Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, lebih-lebih lagi semasa periode rezim Orba, keadaannya masih jauh dari memadai. Sering terjadi, untuk mencari bahan tentang Indonesia guna keperluan riset dan studi, orang harus pergi ke Holland, Amerika atau ke Australia. Mungkin ada juga yang ke Moskow, kareha dikatakan bahwa, disana cukup banyak bahan dan dokumentasi tentang Indonesia di Perpustakaan Moskow, atau pada Arsip Negara yang sudah bisa diakses untuk keperluan penulisan dan studi.



Selain itu, sementara jurnalis atau penulis secara reguler menulis tentang Indonesia dan mancanegara dalam bahasa Indonesia, seperti wartawan kawakan Umar Said (dengan Websitenya yang termasuk paling lengkap dan bagus), Kusni Jean ( Paris, budayawan asal Dayak Indonesia), Kohar Ibrahim (pelukis, penyair - Brussel), K. Prawira (Den Haag), Trikoyo (Jakarta), Yanti Mirdayanti (Bonn, Jerman), Sobron Aidit (almarhum, Paris), Tossi ( Jakarta, sering menulis dalam bahasa Inggris di Jakarta Post), dll. Hematku mereka melakukan yang berguna bagi usaha pencerahan dan usaha emansipasi bangsa Indonesia.



Ketika menyampaikan SELAMAT TAHUN BARU 2008 kepada John MacDouggle (cendekiawan Amerika peduli Indonesia) khusus kunyatakan penghargaanku kepadanya bersangkutan dengan usaha pendokumentasian menyangkut Indonesia, yang dilakukannya sejak bertahun-tahun lamanya. Ia juga membangun situs 'Indonesia-Studies'. Dewasa ini, John MacDouggle mencurahkan perhatian utamanya khusus terhadap Timor Leste. Kegiatan semacam itu, pada pokoknya merupakan usaha mendokumantasi peristiwa-pertistwa yang berlangsung di dan mengenai Indonesia. Amat berguna pada masa kini, apalagi di masa mendatang. Bagi generasi sekarang maupun mendatang. Sudah lama, kita bisa mengklik 'mesin pencari' 'Google.dot.com' atau 'Wikipedia', untuk menemukan artikel, keterangan maupun lain-lain informasi yang diperlukan. Tokh dirasakan informasi dan dokumentasi mengenai Indonesia, masih belum memadai. Di negeri Belanda, kita saksikan kegiatan bermanfaat yang dilakukan oleh INDOC (Indonesië Documentatie) yang dikelola oleh Ny Martha Meyer (mantan ketua Amnesty Internaitonal Belanda), dan oleh Komite Indonesia yang diprakrsai oleh Prof. Dr Wertheim. Mereka telah menyusun suatu dokumentasi tentang perkembangan politik di Indonesia khususnya semasa periode rezim Orba.

Tak boleh dilupakan dan luput dari perhatian kita, banyaknya milis dan atau website, situs, maupun bloggspot yang menghiasi dunia internet. Seperti misalnya, 'Perhimpunan Persaudaraan', 'Nasionalis', 'Temu Eropa', 'Indonesia Media', 'Apakabar', 'Wahana News', 'KabarIndonesia', 'LISI', 'Sastra Pembebasan', 'HKSIS', 'Budaya Tionghoa', 'Bhinneka Tunggal Ika', 'Wanit Muslimah', 'Istiqlal', 'Partai Keadilan', 'Mimbar Politik', 'DPR Indonesia', 'Mondia', 'Gustaf Dupé', 'Lembaga Pembaga Korban 65, Holland', 'Tionghoa-Net', 'Kincir Angin', 'Pasar Buku', dll.



Pernah ditulis di NRC Handelsblad, bahwa paling tidak satu milyar warga dunia tak bisa lagi tanpa internet. Di situ, di INTERNET, mereka bisa melihat jam berapa keretapi berangkat, seberapa banyak penduduk Alaska. Dan bagaimana Saddam Hussein dieksekusi. Mereka bisa mengikuti rute dari unggas yang terbang (ke atau dari Afrika). Mereka menggunakan INTERNET untuk seni rupa. Melakukan kontak dengan e-mail. Melakukan 'chatten'. Dan tentu mereka me-'download' musik (pop) mutakhir (dan film). Mereka melakukan jual-beli di Amazon.com, serta memperoleh CD-CD baru. Pokoknya segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia di planit ini. Tercatat sudah adanya paling tidak 50 juta weblog. Disitu mereka menulis tentang segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri. Bahkan mempertunjukkan video yang dapat dilihat oleh siapa saja.



Dunia Informasi dan Komunikasi sejak ditemukannya computer dan internet sudah mengglobal. Maka jangan sekali-kali meremehkan penulisn dan informasi di INTERNET. Seluruh dunia, bila mau, bisa membacanya. Di sinilah arti pentingnya bagi siapa saja yang berusaha hendak memberikan sumbangan betapa kecilnyapun bagi kegiatan pencerahan fikiran bangsa kita, bagi usaha besar emansipasi nasion Indonesia, ----- dengan pandai, efektif dan bijaksana memanfaatkan hasil ilmu dan teknologi baru ini: COMPUTER DAN INTERNET. *

* * *

Fenomena Jimmy Wales, -- Sang Pendobrak!Patut dicatat di sini, adalah berdirinya sebuah lembaga di Amerika, yang bernama 'The Wikipedia Fondation'. Mengapa aku katakan punya arti penting sekali dalam dunia informasi. Tertuama adalah prinsip, motif dan kegiatan yang diprakarsai dan dilaksanakannya. Lembaga informasi ini didirikan oleh seorang cendekiawan filantrop. Seorang pencinta ilmu dan pengetahuan, yang punya kepedulian besar terhadap kemajuan umat manusia. Namanya JIMMY WALES.

Siapa Jimmy Wales?
Dalam edisi 'Time Magazine', 17 September 2007, Wales menulis: 'My passion is captured in the vision statement that guides my work. "Imagine a world in which every single person on the planet has free access to the sum of all human knowledge". Apa kongkritnya yang dikejakan oleh Jimmy Wales. Bayangkan ia berprakarsa membangun suatu dunia di mana setiap orang di planit ini punya akses bebas-gratis ke total jendral pengetahuan umat manusia. Betul-betul suatu prakarsa pendobrak yang menakjubkan!



Aku sering mendongkol sekaligus sedih dan marah, bahwa akibat dari ideologi individualisme dan kebiasaan segala sesuatu dikomerisikan, maka, tidak sedikit buku yang memperingatkan (menakut-nakuti) pembacanya, atau penerbit lain, bahwa segala sesutu yang tertulis dibuku itu, dilarang dikopi dan digunakan dalam bentuk apapun, tanpa seizin penulis atau penerbitnya. Lihat tu! Bukankah itu sertus persen bertolak belakang dengan prakarsa Jimmy Wales, yang mendobrak 'hak penerbit' atau 'hak penulis' (copyright), yang hakikatnya membatasi penyebar-luasan informasi dan ilmu ----- ke khalayak ramai.?

Adalah dalam tahun 2001, jadi baru enam tahun yl, Jimmy Wales (bersama sekelompok sekarelaan) mendirikan WIKIPEDIA. Suatu lembaga yang merupakan suatu 'community-edited online encyclopedia. 'Situs ini sekarang berbangga telah memiliki lebih dari 4 juta artikel dalam lebih dari 125 bahasa di dunia ini. WIKIA dalam 65 bahasa. Kata Wales, proyek-proyek ini -- untuk membangun sebuah ency dan selebihnya perpustakaan tsb -- menunjukkan pada kita, jalan menuju pada pengetahuan di seluruh dunia. Pendekatan sumber terbuka memberikan kepada siapa saja di dunia ini, yang dapat menemukan jalan untuk berhubungan dengan Internet, untuk bergabung dengan impian besar kami membangun suatu dunia pengetahuan yang gratis dan bebas. Orang harus diberi hak untuk mengkopi, menyempurnakan dan menyiarkan kembali - baik komersial maupun non-komersial -- yaitu pengetahuan yang harus kita miliki bersama.

Lembaga yang didirikan Jimmy Wales itu, adalah sebuah organisasi 'charitable' yang didedikasikan pada usaha untuk mendorong maju perkembangan dan distribusi , 'mesin pencari' (search engine) multi bahasa yang g r a t i s .

Kata Jimmy Wales, menjelaskan tujuan dan usaha lembaganya itu: Yang kami maksudkan dengan jumlah keseluruhan (sum of total general) dari pengetahuan manusia, adalah segala sesuatu yang dapat dikumpulkan oleh masyarakat dan dimanfaatkan bersama, apakah itu encyclopaedia, sebuah kamus, atau suatu penyuluh kehidupan di dalam segala bentuk manifestasinya yang beraneka ragam.

Kita hidup dalam dalam suatu era yang unik, kata Wales. Orang bicara mengenai segala sesuatu (peer to peer). Tapi, adalah keyakinan saya bahwa hanya sedikit yang benar-benar telah mencengkam, apa yang dimaksudkan, dan kita ini akan kemana. Kita harus belajar bahwa 'peer-to-peer works' tsb berjalan melalui saling menghargai mengenai masing-masing 'peers'.

Bagaimana kita melakukannya itu? Satu-satunya jalan ialah mengakui nilai dari masing-masing kehidupan individuil manusia.. Menghargai hak setiap individu untuk mencipta, tumbuh dan membangun sesuatu yang baru dan exciting. Kita harus memiliki suatu lingkungan sosial global yang mendorong maju dan mendukung yang paling baik diantara kita untuk tampil ke depan dan memberikan sumbangan terhadap tujuan besar ilmu-pengetahuan.



'Peer to peer learning' (dalam bahasa Indonesia kira-kira belajar melalui saling memperhatikan melihat) adalah kunci. Bila seorang anak di Zimbabwe secara langsung dapat memiliki cerita harapan dan derita dengan seorang anak di Albania, maka, kita untuk pertama kalinya -- membuat menjadi kenyataan -- pandangan bahwa kita semua ini berada di suatu planit yang kecil. Oleh karena itu, sebaiknya kita menjadikanny sesuatu yang paling baik untuk kita semua.

Mari ikuti sedikit lagi apa yang dinyatakan oleh Jimmy Wales: Baik saya uraikan lebih lanjut apa yang saya nyatakan. Dengan mengatakan 'setiap orang-perorang di atas planit ini; saya telah mengajukan suatu tantangan untuk berfikir lebih jauh lagi dri Internet. Hanya 1 milyar dari kita ini, memiliki akses pada saat ini, tetapi disebabkan oleh perkembangan teknologi yang cepat sekali; milyar berikutnya dan kemudian milyar berikutnya lagi akan bergabung dengan ONLINE - bicara dengan kita semua dan bergabung dengan konversasi global -- jauh sebelum kita ada waktu untuk berfikir tentang bagaimana implikasinya dari perkembangan itu.

Sementara INTERMEZO (2) diakhiri di sini. Sampai kali berikutnya.


* * *

Wednesday, January 2, 2008

Kolom IBRAHIM ISA - TERUSKAN TUNTUTAN REFORMASI !

Kolom IBRAHIM ISA
------------------------
Senin, 31 Desember 2007


TERUSKAN TUNTUTAN REFORMASI !


Nasion ini telah lahir, tegak, bangkit, bergerak maju, dan akhirnya berhasil mencapai kemerdekaan nasional. Semua itu, tak lain tak bukan --- adalah berkat perjuangan bersama, berkat susah payah berjangka lama yang diderita rakyat , penuh pengorbanan, oleh semua lapisan masyarakat, oleh pelbagai aliran politik yang hidup berjuang dinegeri kita, ditujukan untuk mengakhiri kolonialisme dan imperialisme, untuk menyetop kekuasaan dan pemerasan kekuatan asing terhadap negeri kita.


Dalam dekade terakhir ini, telah berlangsung perjuangan sengit untuk merealisasi tuntutan Reformasi, Demokratisasi dan pemberlakukan HAM. Kekuatan-kekuatan demokratis dan progresif nasional berjuang melawan pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia yang dilakukan oleh Orba, (i.e. pembantaian masal 1965 terhadap warganegara yang tak bersalah). Telah berlangsung pula pelbagai usaha dan kegiatan melawan usaha arus-balik, yang hendak menyeret kembali bangsa dan negeri ini, ke kekuasan dan suasana politik serta kultur Orba yang bergelimang dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Suatu kultur usang yang memerosotkan kearifan manusia serta membodohkan kemampuan bangsa untuk berfikir bebas mandiri. Sebagai hasil dari gerakan Reformasi telah dicapai hasil-hasil penting dalam perjuangan pemberlakuan hak-hak demokrasi.


Namun, hasil-hasil yang dicapai tsb masih jauh dari harapan dan tuntutan seperti yang tercantum dalam program Reformasi yang dikumandangkan pada saat-saat menggeloranya gerakan massa yang telah menggulingkan rezim Orba.


Sejak digulingkannya Orba secara formal, kekuatan nasional, demokratis dan maju menuntut diakhirinya 'impunity' serta ditegakkanya supremasi hukum dan diakhirinya dominasi militer di bidang politik dan ekonomi. Serta diajukannya tuntatn adil untuk diadilinya para pelanggar HAM terbesar pada awal rezim Orba. Telah diajukan terus-menerus tuntutan untuk direhabilitasinya nama baik, kehormatan, hak-hak politik dan hak-hak kewarganegaraan semua korban pelanggaran HAM oleh Orba. Rakyat menuntut ditangani dan diadilinya semua pelanggar hukum dan HAM sejak awal berdirinya Orba, pada tahun-tahun 1965-1966-1967, pelanggaran HAM di Aceh, Papua, Maluku, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra Selatan, kasus Mei 1998 (Jakarta), kasus Tanjung Priok, kasus 'Petrus' dan serentetan pelanggaran HAM dan hukum lainnya.


* * *


Pada saat kita memasuki tahun ke-10 periode Reformasi, akhir 2007 ini, pantaslah kita bertanya pada diri sendiri: --


Adakah kemajuan dalam usaha melaksanakan tuntutan-tutntuan Reformasi dan Demokratisasi, sejak diakhirinya secara formal rezim militeris-otoriter dan anti-demokratis Orde Baru di bawah Presiden Suharto pada tahun 1998? Bukankah masa Reformasi sudah berlangsung hampir 10 tahun.


Bukankah merupakan kewajiban setiap patriot Indonesia, setiap parpol, stiap organisasi masyarakat maupun lembaga-lembaga studi dan peneliti peduli bangsa, untuk dengan berdikari melakukan pemikiran kembali, menarik pelajaran yang amat diperlukan dari priode Reformasi ini, dan membuat kesimpulan-kesimpulan yang mantap, mempersatukan semua kekuatan Reformasi dan Demokratisasi, untuk maju terus. Agar mampu mengatasi setiap kendala dan kesulitan pada jalan yang sedang ditempuh.


* * *


Satu Nusa dan Satu Bangsa, dari Sabang sampai Merauké.

Namun, lihatlah betapa bedanya kesan 'orang-oarng awak sendiri' -- 'orang kita sendiri', mengenai negeri yang indah dan kaya raya ini. Alangkah berbeda-bedanya penilaian orang mengenai negeri cantik, serta rakyatnya yang rajin dan ulet!


Bagaimana orang menilai, bagaimana terkesan dalam fikiran masing-masing, keadaan negeri dan rakyat kita dewasa ini, bagaimana nasib peri kehidupan mayoritas rakyat kita, berapa banyak dari bangsa kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bagaimana keadaan ekonomi nasional, bagaimana keadaan kesehatan rakyat, pendidikan dan perumahan wong cilik? Bagaimana yang berwewenang dan bertanggungjawab mengatasi penderitaan rakyat yang tak putus-putusnya dilanda bencana alam: Tsunami, Gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lumpur Lapindo, dsb!


Dan . . . . . bagaimana pula sikonnya, keadaan penguasa. Kadang-kadang aku merasa aras-arasan menggunakan kata 'penguasa'. Karena kata penguasa, di kalangan tertentu, khususnya yang riil memegang kekuasaan di pelbagai bidang dari akar rumput sampai ke puncaknya --- merasa risih --kok dibilang penguasa. Nyatanya sesungguhnya mereka itu berkuasa. Dipertanyakan masyrakat, bagaimana prestasi pemerintahannya, yang dikepalai oleh seorang Presiden yang langsung dipilih oleh pemilih. Bagaimana pula DPR -nya, Lembaga Hukum dan Pengadilannya. Berbagai fihak tidak sama mencerminkan keadaan-keadaan itu dalam fikiran mereka. Lain kedudukan, lain pencerminannya. Lain golongan, lain pula tanggapannya. Lain pula yang disoroti dan yang diungkapkannya.


* * *


BETULKAH NEGERI KITA 'LAIN' TERBANDING PAKISTAN?


Sebagai contoh. Coba simak pendapat seorang pimpinan utama partai yang berkuasa di negeri kita, yaitu Partai Demokrat. Dalam usahanya agar para politisi Indonesia tidak was-was, jangan-jangan nasibnya bisa seperti mantan PM Pakistan Benazir Butho (dibunuh), Ketua DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum membuat suatu pernyataan. Dikatakannya , bahwa kultur politik di Indonesia beda dengan Pakistan. Ditegaskannya --- 'Pakistan memiliki tradisi kekerasan, berbeda dengan kita' (29/12/07).


Di sini ketua Partai Demokrat itu bukan saja kebablasan dalam memberikan tanggapannya, tetapi juga , dan ini lebih parah lagi, ia telah membuat penilaian yang TERAMAT KELIRU!


Seakan-akan tertutup mata hati Ketua Partai Demokrat itu. Seakan-akan ia tidak tau samasekali, bahwa rezim Orde Baru di bawah pimpinan Jendral Suharto, adalah suatu rezim yang muncul di atas mayat ratusan bahkan jutaan korban pembantaian rakyat yang tudak bersalah, yang dipicu oleh fihak militer di bawah Jendral Suharto. Adalah pada saat itu di Indonesia, dimulai kultur kekerasan militer secara besar-besaran. Bagaimana prosedur dan proses Presiden Sukarno disingkirkan dari jabatannya. Siapa tidak tau bahwa, beliau, tanpa proses hukum apapun, dikenakan tahanan rumah, seratus persen disekat dari dunia luar, tanpa boleh berhubungan dengan siapapun, kecuali keluarganya, sampai akhir umur beliau. Bukankah itu suatu manifestasi dari kekerasan militer seperti yang diderita sekarang ini oleh Aung San Sukyi dari Birma? Kemudian, siapakah yang tidak tau mengenai pulau pembuangan Pulau Buru? Bahwa di situ puluhan ribu warganegara yang tanpa tuduhan, tanpa proses pengadilan disekap sepuluh tahun lebih? Belum lagi peristiwa Tanjung Priok, kasus Aceh, Papua, Maluku dan Peristwa Mei 1998 di Jakarta? Bukankah kasus-kasus itu semuanya adalah manifestasi dari suatu kultur dan politik kekerasan yang dilakukan oleh penguasa?


* * *


Mari ambil satu kasus lagi. Tentang kemiskinan rakyat kita. Seberapa banyak kemajuan yang diperoleh negeri ini dalam mengurangi kemiskinan rakyat. Kalangan elite yang turut mempersoalkan masalah kemiskinan rakyat kita, ramai berdebat mengenai berapa sebenarnyua angka kemiskinan itu. Pers Indonesia yang menjadi bosan dan muak dengan perdebatan penguasa dan elite yang tak menentu tsb, sampai menulis, bahwa mungkinlah yang diperdebatkan elite mengenai kemiskinan itu, bukan TURUNNYA ANGKA KEMISKINAN tetapi adalah mengenai KEMISKINAN YANG TURUN TEMURUN dari bangsa kita.


Meskipun pemerintah mengumukan bahwa ada kemajuan di bidang pertumbuhan ekonomi nasional; nyatanya keadaan peri kehidupan rakyat kita masih payah, masih susah. Penyebabnya? Baik ikuti komentar Gus Dur, mantan Presiden RI, baru-baru ini, mengenai keadaan ekonomi kita.


Gus Dur menandaskan bahwa, Indonesia kehilangan orientasi pembangunan nasional. Akibatnya, rakyat tidak percaya pada pemerintah yang berkuasa saat ini. Orientasi pembangunan kita nggak jelas. Selama ini, pembangunan ditujukan untuk kalangan atas. Akibatnya, jumlah rakyat miskin bertambah dan pengangguran tetap tinggi. Pemerintahan SBY didikte oleh super power. Sama seperti pemerintahan orde baru yaitu pembangunan untuk kalangan atas saja. Yang kaya, tambah kaya. Yang melarat, tambah melarat. Hilangnya orientasi pembangunan, tak lepas dari pengaruh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Organisasi Perdagangan Dunia. Selama ini, tiga organisasi dunia itu memaksa Indonesia berutang Sehingga, nilai utang luar negeri saat ini mencapai US$ 600 miliar. Bahkan, ada pihak yang berpendapat nilai utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 1,3 triliun. "Pemerintah lupa bahwa yang harus membayar utang
adalah anak cucu kita". Demikian uraian Gus Dur (Sumber: Catatan A. Umar Said, 31 Des 07).


* * *


Sebelum menutup akhir tahun 2007, perhatikan perkembangan sekitar penanganan kasus korupsi di Indonesia. Pemerintah SBY menyatakan dicapainya kemajuan di bidang penanganan kasus korupsi.

Namun suatu keajaiban telah terjadi:


YANG TERGUGAT MENGGUGAT. SI KORUPTOR MENUNTUT KEADILAN dan fihak Kejaksaan Indonesia membenarkan tututan koruptor terbesar di Indonesia, mantan Presiden Suharto. Begini kasus kongkritnya.


Seperti ditulis oleh International Herlad Tribune, 30 des 2007, beberapa bulan yl pengadilan Indonesia memerintahkan kepada Time Magazine untuk membayar kepada mantan diktator tsb sejumlah US$ 111 juta. Kasus antara Time Magazine dengan Jendral Suharto adalah berkenaan dengan sebuah cover-story edisi Asia dari Time, yang memberitakan bahwa keluarga Suharto telah mengumpulkan kekayaan (haram) kira-kira US$ 15 milyar, termasuk US$ 9 milyar di bank Austria. Atas pemberitaan ini mantan Presiden Suharto menggugat Time Magazine. Ia mengatakan bahwa berita Time tsb menggambarkan mantan orang kuat tsb sebagai seseorang yang rakus dan tamak. Pengadilan Indonesia memerintahkan kepada Time untuk minta maaf kepada Suharto dan membayar uang denda sebesar US$ 111 juta itu.


Cobalah pembaca fikirkan kasus Suharto dengan Time Magazine tsb. Memang kasus bahwa koruptor terbesar di Indonesia, mantan Presiden Suharto, berhasil menggungat sebuah majalah asing yang mengungkap praktek korupsinya, benar-benar terjadi di Indonesia. Sang koruptor terbesar Indonesia malah, berkat sikap pengadilan Indonesia, akan memperoleh uang ganti rugi, karena nama baiknya, katanya telah dirusak.


Kalau begini ceritanya: Bagaimana bisa dikatakan bahwa ada kemajuan dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia.


* * *


Beberapa contoh dan kasus yang diungkapkan di atas kiranya sudah bisa menunjukkan bahwa tuntutan-tuntutan gerakan Reformasi dan Demokratisasi, masih jauh dari terrealisasi di negeri kita.


Memasuki tahun 2008, jalan terbaik adalah meneruskan usaha dan kegiatan dengan keberanian dan keuletan yang lebih besar lagi, untuk merealisasi semua tuntutan-tuntutan demokratis dan HAM yang dikumandangkan oleh Gerakan Reformasi sepuluh tahun yang lalu.


* * *