Sunday, January 20, 2008

IBRAHIM - Berbagi Cerita - - 'WINTERNACHTEN' Di Den Haag

IBRAHIM - Berbagi Cerita
------------------------------
Sabtu, 19 Januari 2008


- 'WINTERNACHTEN' Di Den Haag


Jum'at siang , 18 Januari kemarin, ketika sedang asyik baca koran di kereta-api yang meluncur laju menuju Den Haag CS, -- HP-ku mulai menyanyi, sinyaal ada yang nilpun. 'Ya, ini saya Bung' , terdengar suara AS Munandar. 'Saya sudah di stasiun Den Haag Centraal'. Memang malam sebelumnya aku sudah ditilpun AS Munandar. Kami berjanji akan bertemu di stasiun keretapi Den Haag Centraal, di muka loket penjualan karcis, pada jam 13.00. Lalu sama-sama akan jalan kaki menuju 'Theater aan het Spui', untuk hadir pada salah satu acara kegiatan 'Malam-malam Musim Dingin' Den Haag ('Winternachten').


Tau kan? 'Winternachten' adalah acara 'Festival Literatur Internasional' yang diadakan setiap musim dingin di Den Haag. Menunjukkan bahwa kegiatan kebudayaan di Belanda jalan terus, meskipun di luar, aduh . . . dinginnya. Tambah pula hujan rintik-rintik dan angin yang terus-menerus.


AS Munandar, mantan pimpinan Akademi Aliarcham, Jakarta, dan ketua SAS, Stichting Aziƫ Studies, Onderzoek en Informatie, dan aku setiap tahun selalu diundang oleh pengurus 'Winternachten' (Yang direkturnya ramah dan simpatik, Ton van de Langkruis). Bisa timbul pertanyaan. Mengapa kok kami stiap kali dapat undangan? Sebabnya? Karena, beberapa tahun yang lalu, kami pernah ambil bagian dalam kegiatan 'Winternachten' sebagai salah satu 'pelakunya' , dalam sebuah diskusi atau seminar kecil, mengenai masalah Indonesia. Dengan fokus sekitar 'Peristiwa 1965' yang menimbulkan begitu banyak korban orang-orang Indonesia yang tak bersalah. Dalam diskusi tsb, hadir juga mantan anggota DPR, wartawan kawakan Ciska Fanggidaej, dan budyawan Gunawan Mohammad. Hadir pula a.l. Ad van der Heuvel, wartawan Belanda, yang pas pada saat-saat terjadinya peristiwa G30S dan sesudah itu, sedang berada di Jakarta.


Aku fikir, sebagai tanda persahabatan dan terimakasih fihak 'Winternachten' Den Haag, setiap kali mengundang kami. Untuk umum dipungut bayaran.


* * *


Sore itu, acara 'Winternachten' yang kami hadiri (acara lainnya banyak lagi, karena pesta literatur dan seni itu berlangsung 4 hari dan 4 malam, dari 17 Jan s/d 20 Januari) adalah sebuah diskusi bertema 'IN A STATE OF FEAR'. Dalam bahasa kita, kira-kira 'DALAM KEADAAN KETAKUTAN'. Cukup banyak perhatian publik. Aku taksir kurang lebih ada 100 orang. Aku bilang pada AS Munandar, coba lihat sebagian besar hadirin adalah perempuan. Ya, kata Munandar, laki-lakinya pada kerja. Aku bilang, perempuan-perempuan yang hadir itu juga orang-orang yang bekerja. Jadi, bukan soal pekerjaan, yang menyebabkan lebih banyak perempuan yang hadir di situ, terbanding laki-laki. Anyway, ruangan Grote Zaal gedung 'Theater a.h. Spui' Den Haag, penuh sesak.




Ada empat orang cendekiawan yang duduk dipanel diskusi. Masing-masing, sosiolog dan penulis Inggris, Prof Frank Furedi (60); penulis dan filsuf Dr Marjolijn Februari (Belanda); penulis Adriaan van Dis (Belanda), dan politikus kawakan mantan walikota Rotterdam, Bram Peper. Mereka tampil dengan 'stelling' mereka masing-masing. Diskusi dipandu oleh penulis novel, dan dosen ekonomi pada Vrije Universiteit Amsterdam, Fouad Laroui (49), warganegara Belanda asal Maroko.


Tema yang diangkat memang cukup berat 'IN A STATE OF FEAR'. Para panelisnya juga bukan sebarang orang. Ada cendekiawan, ada sastrawan dan ada politikus kawakan. Namun, kalau Anda mengharapkan suatu diskusi yang mendalam dan memuaskan pada sore itu, pasti akan kecewa. Menurut istilah mutakhir Jakarta, diskusi semacam itu, memang baik dan menarik, tapi, yah, akhirnya cuma . . . . 'Sampai di situ saja'. Sesungguhnya setiap seminar kecil, yang mengambil waktu beberapa jam saja, apapun tema yang diangkat, betapa beratnyapun susunan panelisnya, apalagi kalau tema yang diambil cukup berat dan aktuil, . . . hasilnya akan sama saja: cuma SAMPAI DI SITU SAJA. Yang dibawa pulang sekadar kesan-kesan semata. Bukan tak ada gunanya. Ada gunanya. Yang jelas, diskisi dan debat tersebut telah menggugah peserta diskusi untuk mendalami sendiri di tempat masing-masing.


Bagiku, seperti kukatakan kepada AS Munandar: Aku memang suka hadir di seminar-seminar kecil seperti ini. Karena, aku selalu dapat kenalan baru. Kali ini aku bisa berkenalan dengan seorang wanita Indonesia asal etnis Tionghoa, bernama dr. Maya Sutedja-Liem, seorang penterjemah sastra Indonesia - Belanda dan suaminya Sutedja Liem.


* * *


Stelling atau dalil yang diajukan ke forum diskusi oleh Prof. Frank Furedi adalah sbb:


"As Kant said, Dare to know instead of fearing the unknown". Society should embrace it and encourage the attitude of experimentation. --


Kemudian stelling Marjolijn Februari,


'Don't be afraid to be afraid, says John Lennon; fear is the essence of citizenship and the beginning of courage -- what we should fight is not so much fear, but corwardice.


Membaca stelling Marjolijn tsb entah mengapa aku teringat kepada Jusuf Isak, wartawan kawakan, pemimpin Hasta Mitra. Jusuf Isak memperoleh bermacam Award, penghargaan dari pelbagai negeri, karena keberaniannya dalam perjuangan untuk kebebasan menyatakan fikiran dan demokrasi. Jusuf mengatakan: 'Banyak orang bilang, bahwa saya tidak kapok-kapoknya, tidak takut berjuang demi kebebasan meskipun sudah keluar masuk penjara Orba bertahun-tahun lamanya'. Ketika itu Jusuf Isak dengan lugu mengatakan, 'Bukannya saya ini tidak punya rasa takut. Saya, sebagai manusia biasa, juga takut kalau-kalau masuk penjara lagi. Soalnya, ialah, kita jangan tunjukkan ketakutan itu dihadapan musuh, di hadapan musuh kita HARUS BERANI. Dan meneruskan perjuanga itu sampai selesai.


Lalau stelling Bram Peper, sang mantan walikota Rotterdam:


A society can't function with fear, that's when authorities have to avoid even action which stimulates a feeling of fear among the general public.


Demikian Bram Peper. Sementara hadirin tak sependapat dengan dalil Bram Peper bahwa 'masyrakat tak bisa befungsi dengan adanya ketakutan'. AS Munandar berucap kepadaku: Lihat saja Orba, nyatanya, selama 32 tahun masyarakat Indonesia di bawah Orba tetap (atau malah justru) berfungsi disebabkan oleh RASA TAKUT anggota masyarakat dan keseluruhannya terhadap rezim Orba yang justru lahir dan tegak atas dasar KETAKUTAN RAKYAT terhadapnya. Aku ya-kan pendapat AS Munandar itu. Lihat saja, begitu timbul keberanian masyarakat, akhirnya Suharto terguling. Sayangnya pendapat AS Munandar tsb belum sempat dikemukakan, karena waktu diskusi yang sedikit itu, sudah diborong oleh perserta diskusi lainnya. Itu suatu contoh bahwa disebabkan singkatnya waktu, AS Munandar, yang tau benar kehadirannya 'state of fear' di negeri kita di bawah rezim Orba, tak sempat mengemukakan pendapatnya.


* * *


Seperti kukatakan di depan, diskusi-diskusi sepert ini, seminar-seminar yang hanya berapa jam saja, sedangkan pesertanya berjumlah puluhan, dengan sendirinya tidak akan memuaskan. Namun, aku ambil bagian juga. Ingin tau pendapat para panelis dan hadirin terhadap pertanyaanku berikut ini:


Ketika minta waktu untuk bicara, moderator Fouad Laroui menanyakan identitasku. Aku bilang: Aku ini orang Indonesia, tetapi pegang paspor Belanda. Gerrr . . . . . , publik tertawa! Apa artinya? Entahlah! Menganggap jawaban itu lucu? Atau karena dengan demikian tau bahwa pembicara adalah seorang EKSIL. Dan mereka memang simpati kepada orang-orang eksil.


Aku ajukan dua pertanyaan yang aku anggap sangat relevan dan aktuil. Begini pertanyaanku:


1.Geert Wilders anggota Parlemen Belanda, ketua parpol PVV, membuat film yang anti-Al Qur'an. Wilders mengumumkan tidak lama lagi akan mempertunjukkan film anti-Al Qur'an itu kepada umum.

Pertanyaanku: Apakah tindakan Geert Wilders itu didorong oleh RASA KETAKUTAN terhadap ISLAM? Atau, Wilders membikin film tsb dengan tujuan SENGAJA untuk menimbulkan STATE OF FEAR, di kalangan masyraka Belanda?


2. Pemerintah Belanda sibuk bikin persiapan, menghubungi para walikota, karena mengantisipasi film Geert Wilders bila dipertunjukkan nanti, akan menimbulkan pelbagai reaksi keras yang membahayakan ketenteraman dan keamanan di kalangan masyarakat. Pertanyaanku: Apakah kebijakan pemerintah Belanda itu, disebabkan karena pemerintah sendiri berada IN A STATE OF FEAR (Keadaan Ketakutan)? Atau, apakah kebijakan pemerintah Belanda itu, justru akan menimbulkan STATE OF FEAR di kalangan masyarakat?


Ketika aku mengajukan kedua pertanyaan tsb terasa benar, hadirin tertegun. Hening, diam! Tak satupun memberikan komentar. Aku bertanya-tanya, mengapa? Bukankah pertanyaanku itu relevan dengan tema diskusi? Bukankah pertanyaanku itu nyambung dengan situasi kongkrit negeri Belanda.


Yang bikin aku kesal dan menyayangkan, ialah kebijakan moderator Fouad Laroui yang mengelak dan tidak memberikan kesempatan kepada para panelis untuk menjawab pertanyaanku itu. Moderator sekadar menyatakan bahwa pertanyaaku itu VERY INTERESTING. Tapi ditambahkannya bahwa, barangkali sebaiknya pertanyaan itu dibicarakan tersendiri saja di ruang cafetaria gedung Theater Spui di dekat situ pada waktu istirahat nanti. Bram Peper, barangkali akan menanggapinya, katanya pula. Tetapi Bram Peper tak berreaksi sedikitpun terhadap saran moderator Laroui.
Masya Allah! Kok begitu jawabannya, fikirku.


Tapi sudahlah!

Aku tak hendak bikin 'ramai'. Sesungguhnya aku bisa bikin soal dan mendesak moderator mengizinkan para panelis dan hadirin yang bersedia untuk menanggapi pertanyaanku itu.


Aku menahan diri, tidak mau 'menganggu' jalannya diskusi dengan suatu protes keras kepada moderator Fouad Laroui.


Betapapun, malam diskusi dengan tema 'IN A STATE OF FEAR' yang diselenggarakan oleh 'Winternachten', tokh ada gunanya juga. Ada manfaatnya. Untuk itu aku berterima kasih.


Jangan heran pembaca!

Tahun depan bila ada kesempatan dan diundang lagi, aku akan hadir lagi. Meskipun jalannya diskusi nanti, hasilnya, kira-kira akan sama saja seperti kemarin sore:
CUMA SAMPAI DI SITU SAJA!


* * *

No comments: