Monday, January 28, 2008

IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA -- INTERMEZO (12) -- 'PERMINTAAN MAAF' ---SEBUAH ESAY YANTI MIRDAYANTI

IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA
---------------------------------------
Jum'at , 25 Januri 2008



INTERMEZO (12)


'PERMINTAAN MAAF' ---SEBUAH ESAY YANTI MIRDAYANTI


Hari ini kuterima kiriman sebuah esay dari Jakarta, berjudul 'Permintaan Maaf Dari Keluarga Suharto Lebih Baik Sekarang'. Penulisnya adalah sahabatku cendekiawan muda, YANTI MIRDAYANTI.


Membaca esay Yanti, kesanku ialah bahwa essay itu ditulis dengan tulus. Disarankan kepada keluarga mantan Presiden Suharto, mumpung yang bersangkutan hayat masih dikandung badan, sadarlah, mintalah maaf kepada rakyat Indonesia, yang telah menjadi korban dari politik pembasmian secara politik dan fisik siapa saja yang menentang Jendral Suharto pada tahun-tahun 1965-67 dst.


Sejarah mencatat bahwa bukan pelanggaran HAM terbesar itu saja yang dilakukan mantan Presiden Suharto sejak ia berkuasa sampai 'lengser'. Suharto sendiri terlibat dengan korupsi besar-besaran atas kerugian kas negara yang notabene banyak diperoleh dari pinjaman luarnegeri, yang harus diangsur kembali oleh rakyat Indonesia turun temurun.


Maka Yanti, di dalam esaynyai itu, tidak saja menyarankan agar keluarga mantan Presiden Suharto minta maaf, tetapi selanjutnya mengembalikan jumlah dana milik negara yang telah dikorup dan dicurinya bersama anak-beranak, sesanak-sesaudara, sekroni-kroninya.


Bacalah essay Yanti Mirdayanti, di bawah ini.


* * *


YANTI MIRDAYANTI

Permintaan Maaf Dari Keluarga Soeharto Lebih Baik Sekarang

Kata 'maaf' hanyalah terdiri dari empat huruf, tetapi maknanya sangat dalam. Namun mengapa kata yang pendek ini sampai hari ini belum juga terucap lantang dari pihak keluarga Soeharto kepada seluruh rakyat Indonesia? Padahal sebenarnya mungkin sekaranglah waktunnya yang paling tepat, ketika Sang Bapak dalam kondisi yang sangat sakit.

Sejak masuknya Soeharto ke Rumah Sakit di penghujung tahun 2008 ini, para pejabat telah beramai-ramai secara estafet mengajak rakyat Indonesia untuk memaafkan Soeharto dari segala kesalahannya. Ada yang menerima ajakan tersebut, tetapi kebanyakan sebenarnya
menanggapinya bagaikan sebuah lelucon.

Nah, ternyata lama juga Tuhan memanjangkan usia Soeharto. Terbukti pula bahwa para dokter Indonesia - kalau mau - sangat pintar dalam memperpanjang usia seorang yang sakit, terutama jika sang pasen termasuk level yang demikian 'dipusakakan', bukan si pasen dari
kaum papa yang terpinggirkan.
Tuhan barangkali sedang menguji seluruh keluarga Soeharto, ingin melihat sampai sejauh mana kebesaran hati mereka. Apakah mereka akan segera berbicara di depan layar televisi untuk menyampaikan kata maaf atas nama Soeharto kepada seluruh rakyat Indonesia? Kepada para keluarga korban HAM semasa Sang Bapak berkiprah dalam dunia kepresidenan? Ataukah cukup berdiam saja, karena kebisuan itu adalah bagaikan emas?

Barangkali beban berat kondisi Soeharto saat ini akan turut teringankan, jika kata maaf kepada rakyat segera disampaikan. Tidak perlu lama-lama dan muluk-muluk. Satu atau dua kalimat saja. Lebih baik sekarang di saat Soeharto masih hidup daripada terlambat nanti.
Tak ada gunanya permintaan maaf disampaikan kalau yang berkepentingan misalnya sudah dipanggil yang MahaKuasa.

Tentu saja teriring ucapan maaf tersebut keluarga Soeharto pun sebaiknya mem-follow up kata maaf dengan pengembalian seluruh uang yang dianggap milik negara ke kas negara. Maka barangkali kalau ini dilakukan sisa hidup Soeharto maupun proses kepergiannya nanti
akan mendapat keringanan dari Sang Pencipta.

Bumi Indonesia makin panas. Di dalam rumah pun tak ada kesejukkan lagi. Selama tiga minggu aku berada di tanah air, hujan baru dialami dua kali. Yang terakhir adalah hari ini ketika aku berdiri di depan makam Ibu, menatapnya dengan penuh kerinduan. Di atas pusaranya tertera tanggal kepergian Ibu: 30 September 2003. Tanggal ini mengingatkan aku ke awal masa gelapnya sejarah Indonesia yang sampai hari ini masih penuh dengan misteri: 30 September 1965.
Last day in Indonesia,

Salam,

Yanti

* * *








No comments: