Sunday, January 20, 2008

IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA -- INTERMEZO (5) -Tuntutan GOLKAR Dan Surat YANTI Dari Jkt

IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA
------------------------------------
Jum'at, 11 Januari 2008
INTERMEZO (5)

Tuntutan GOLKAR Dan Surat YANTI Dari Jkt

Mengikuti perkembangan situasi kesehatan mantan Presiden Suharto, yang pada minggu pertama Januari diopname karena macam-macam penyakit yang diidapnya bertambah parah kemudian mengakibatkan KRISIS, --- perhatianku tertarik pada berita Jakarta Post yang berjudul 'Golkar's Soeharto call backfires'. Maksudnya seruan Golkar agar Suharto dibebaskan dari segala tuntutan hukum, malah menjadi 'senjata makan tuan'.

Tertarik pula perhatianku terhadap sepucuk surat yang kuterima dari Yanti Mirdayanti. Ia menyampaikan bahwa rakyat yang menderita kesulitan hidup dari hari ke hari, tidak tertarik pada berita sekitar Suharto dan tuntutan pengampunan terhadapnya. Rakyat lebih memusatkan tenaga dan fikirannya pada masalah bagaimana untuk bisa 'survive'.

* * *

Golkar, suatu parpol yang dilahirkan, dibesarkan dan menjadi tumpuan politik mantan Presiden Suharto selama 32 tahun kekuasaan Orba, menjadi amat khawatir disebabkan sikap pemerintah yang sejalan dengan inisiatif StAR - Stolen Asset Recovery, disponsori oleh Bank Dunia, yang melaporkan bahwa Suharto (86 th) digolongkan sebagai maling terburuk sedunia atas kekayaan negara.

Tapi, justru karena kegiatan Golkar (dan sekutu-sekutunya) yang pontang-panting bikin suasana 'ampuni Suharto', timbullah reaksi yang berlawanan dari banyak penjuru, terutama dari kalangan pengelut hukum dan undang-undang.

Jaksa Agung Hendarman Supanji, ketika merespons tuntutan 'ramé-ramé mengampuni Suharto', menyatakan bahwa tuduhan kriminal atas Suharto sudah lama dihentikan, tetapi, --- tuntutan pidana akan diteruskan. Yang masih jalan terus adalan perkara perdata terhadap 7 yayasan milik Suharto. Dikemukakan bahwa 7 yayasan milik Suharto itu: Yayasan Dakab, Dharmais, Amal Bakti Muslim, Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong dan Yayasan Trikora, ternyata telah menyalurkan banyak dari dana yang mereka terima kepada perusahaan-perusahaan milik kroni-kroninya Suharto. Hendarman menandaskan bahwa mengampuni Suharto tidak mungkin di bawah hukum Indonesia.

Ketua MPR, Hidayat Nurwahid dan Wakil Ketua MPR, A.M. Fatwa -- MPR pernah mengeluarkan dekrit untuk mengadili Suharto,--- minta kepada pemerintah agar Suharto diajukan ke pengadilan. Hendardi dari LBH dan HAM menegaskan, bahwa dalam memberikan tanggapannya Presiden (SBY) dan Wapres(JK) telah kebablasan. Emerson Yuntho dari Indonesian Corruption Watch menegaskan bahwa hukum harus diberlakukan terhadap Suharto. Waktunya tepat sekali untuk menunjukkan bahwa pemerintah punya 'political will' untuk mengajukan Suharto ke pengadilan, kata Yuntho.

Nah, ramai-ramai minta pengampunan, akibatnya malah timbullah penegasan dari Jaksa Agung bahwa tuntutan perkara perdata terhadap Suharto akan diteruskan.

Mari kita ikuti cerita Yanti Mirdayanti dari Jakarta.

* * *

SURAT YANTI DARI JAKARTA

Malam ini kuterima surat e-mail dari Cendekiawan muda YANTI MIRDAYANTI, kini bekerja sebagai dosen pada sebuah universitas di Bonn, yang sedang di Jakarta, dengan judul berikut ini:

*SUHARTO DI RUMAH SAKIT.


Suasana di Indonesia masih biasa saat Soeharto di RS

Saya perhatikan, sejak seminggu saya berada di tanah air, masyarakat Indonesia tidak begitu ramai membicarakan soal Soeharto di Rumah Sakit.

Teman-teman, saudara, maupun tetangga yang sempat saya temui, di setiap pembicaraan dengan saya tak pernah menyingung tentang Soeharto sakit. Padahal di koran dan tv soal ini ramai diliput. Selama ini saya belum sempat menonton tv, lupa terus!
Jadi, berita tentang Seharto hanya saya dapatkan dari koran-koran.

Mungkin saat ini bagi kebanyakan rakyat Indonesia, soal Soeharto sakit di RS tak begitu menarik untuk dibicarakan. Atau mungkin karena umumnya saya berinteraksi dengan rakyat biasa, bukan dengan para pejabat. Tapi saya kira, kalau umpamanya muncul berita kematian, maka suasana akan lain dan tema pembicaraan di kalangan rakyat biasa pun akan lebih ramai.

Tapi hari Jumat ini agak sedikit lain: begitu saya sampai rumah dari acara jalan-jalan di toko buku Gramedia, kakak dan suaminya seperti dikomando langsung menyambut saya dengan kalimat: 'Tadi di berita tv kondisi Pak Soeharto diberitakan parah.'

Sayangnya saya datang agak larut malam, sudah tak ada berita lagi di tv.

Jadi, kesimpulan sementara saya, masyarakat umum Indonesia akan mulai menaruh perhatian ke soal Soeharto sakit, jika dua hal terjadi: Kondisi sakit yang sudah parah sekali dan berita meninggal dunia.

Oh ya, orang-orang yang kebetulan berinteraksi dengan saya hampir semuanya mengeluhkan soal semakin beratnya beban hidup. Penghasilan bulanan kakak-kakak saya yang pegawai negeri misalnya tidak pernah cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari untuk sebulan penuh. Sebelum setengah bulan perjalanan, uang gaji sudah tekor!

Memang harga-harga d Indonesia cukup mahal untuk ukuran penghasilan rakyat biasa dan pegawai negeri secara umum. Harga uang rupiah tak begitu memiliki nilai. Sejuta rupiah sekarang untuk saya pribadi nilainya seperti seratus ribu atau dua ratus ribu rupiah ketika saya mengunjungi Indonesia tiga tahun lalu. Atau mungkin ini perasaan saya saja.

Makanya, saya pikir, rakyat bawah Indonesia mana ada waktu dan minat untuk memperhatikan masalah Soeharto sakit. Untuk survive sehari-hari saja sudah cukup
merepotkan!

(Jabar, Jan. 2007)






No comments: