Saturday, February 20, 2010

SEKITAR DISKUSI DUA PENYAIR LEKRA

IBRAHIM ISA -- Catatan Partikeliran
Sabtu, 20 Februari 2010
--------------------------------------------------

SEKITAR DISKUSI DUA PENYAIR LEKRA
~~ Puisi-puisi dari Penjara karya S. Anantaguna dan Nyanyian dalam Kelam karya Sutikno W.S ~~

Kehidupan/kegiatan budaya di kalangan masyarakat pencinta sastra dan seni di Indonesia tidak pernah behenti. Sejak berahirnya secara fomal rezim otoriter Orde Baru, sedikit-sedikit tampak dimulainya kehidupan masyarakat yang demokratis. Dalam pengertian, bahwa, sedikit-banyak sudah ada kebebasan berekspresi, bekumpul dan berorganisasi.

Perkembangan ini bisa juga dilihat a.l dengan diselenggarakannya pelbagai seminar dan workshop, diskusi dan wawancara, meyangkut karya-karya sastra dan seni. Belum lagi tulisan dan buku yang terbit mengisahkan dan mencatat kembali, apa-apa yang dibungkam di masa pemerintahan Jendral Suharto.

Demikianlah kita baca press-release yang dikeluarkan oleh sejarawan muda Asep Sambodja. Sebagai ketua panitia Asep menumumkan bahwa pada tanggal 25 Februari yad akan diselenggarakan Diskusi Buku Dua Penyair Lekra. Penyelenggara diskusi tsb adalah Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) bekerjasama dengan Ikatan Keluarga Sastra Indonesia (IKSI) dan Penerbit Ultimus Bandung.

Pertumbuhan dan perkembangan positif ini termanisfesasi dalam peningkatan produksi film-film dokumenter yang mencatat dan mengisahkan sekitar PERISTIWA 1965, Pelanggaran HAM semasa peiode Orba. Juga telah diproduksi film dokumenter bersangkutan dengan kegiatan LEKRA sebelum Peristiwa 1965. Tentu saja kegiatan Lekra sebelum Peristiwa 1965.

Karena, sejak akhir 1965, ketika Jendral Suharto sibuk dengan kup merangkaknya terhadap Presiden Sukano, bisa dibilang semua anggota dan simpatisan LEKRA dijebloskan dalam penjara, dibuang ke pulau Buru, atau hilang tak tentu rimbanya, menjadi korban pembantaian masa ketika itu.

Perkembangan di bidang kegiatan pencerahan fikiran punya dampak memupuk optimisme dalam perjuangan mengatasi ´kemandulan berfikir´ dan ´ketiadaan nyali´, ´kepatuhan pada arahan atasan´ di kalangan cendekiawan Indonesia yang hidup dan dipupuk oleh kultur otoriter Orba. Menggembirakan adalah perhatian yang bertambah di dalam maupun di luarnegeri terhadap hal-hal yang pada periode Orba oleh masyarakat umum dianggap 'tabu'  dan 'terlarang', bahkan sesutu yang 'pantang'.  Apalagi, sekali lagi, apalagi,  bila itu bersangkutan atau sedikit saja sangkut pautnya dengan kehidupan kegiatan kebudayaan LEKRA. LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) adalah sebuah lembaga kebudayaan Indonesia, yang di sepanjang sejarah modern Indonesia, kegiatannya paling meluas merata di kalangan rakyat. Sampai ke daerah-daerah, pulau-pulau terpencil, kampung-kampung dan desa-desa. Lekra mempunyai anggota terbesar terbanding lembaga kebudayaan lainnya di negeri kita. Ini antara lain disebabkan oleh arah ´MERAKYAT´ yang ditempuh oleh Lekra. LEKRA mengabdikan karya dan kegiatannya demi kepentingan bangsa dan tanah air, demi rakyat.

Lekra bernaung di bawah semboyan SENI UNTUK RAKYAT.

Peningkatan perhatian dan peduli terhadap karya-karya sastra penyair LEKRA punya arti khusus bagi kehidupan demokratis di Indonesia dewasa ini. Bukankah, LEKRA, namanya saja sudah memberikan reaksi dan dampak tertentu bagi kalangan pendukung Orba. Sejak Jendral Suharto merebut kekuasaan negara, sebagai suatu rezim anti-demokratis di Indonesia, LEKRA termasuk salah satu sasran utama rezim Orba dan pendukungnya untuk dihapuskan samasekali dari kehidupan budaya Indonesia.

Meskipun LEKRA telah dilarang Orba -- meskipun rezim Orba sudah digantikan dengan pemerintahan hasil pemilu, sampai sekarang larangan Orba terhadap Lekra tetap saja tidak dicabut – pimpinan dan kader-kader pentingnya banyak yang tewas korban pembantaian masal 1965, banyak yang sudah berumur lanjut, ---- NAMUN, nyatanya LEKRA masih hadir di hati dan fikiran kalangan pemerhati dan peduli budaya Indonesia.

* * *

Berikut ini disiarkan kembali berita yang kuperoleh dari sahabatku Chalik Hamid, sbb
Press Release*)
Diskusi Buku Dua Penyair Lekra

Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) bekerjasama dengan Ikatan Keluarga Sastra Indonesia (IKSI) dan Penerbit Ultimus Bandung menyelenggarakan Diskusi Buku Dua Penyair Lekra.

Kedua buku yang dibedah adalah Puisi-puisi dari Penjara karya S. Anantaguna dan Nyanyian dalam Kelam karya Sutikno W.S. Sejarawan Hilmar Farid akan tampil sebagai pembicara bersama Sunu Wasono (dosen sastra FIB UI) dan Wahyu Awaludin (mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI).

Adapun moderatornya adalah sastrawan yang juga seorang akupunkturis, Putu Oka Sukanta. Acara ini akan dilaksanakan pada Kamis, 25 Februari 2010, pukul 12.00-16.00 WIB di Auditorium Gd. IV (Ruang 4101) FIB UI. Acara ini akan dimeriahkan dengan pemutaran film Tjidurian 19 (sutradara: Lasja F. Susatyo dan M. Abduh Aziz), musikalisasi puisi oleh Sasina IKSI (UI), dan pertunjukan tari oleh Kelompok Insan Pemerhati Seni (KIPAS) IKJ (koreografer Madia Patra). Acara ini terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya (gratis).

Salam, Asep Sambodja (Ketua Panitia)  

Susunan Acara
12.00: Pemutaran film Tjidurian 19. 13.00: Musikalisasi Puisi oleh Sasina IKSI (UI). 13.30: Pertunjukan Tari oleh Kelompok Insan Pemerhati Seni (KIPAS) Institut Kesenian Jakarta (IKJ). 14.00: Diskusi Buku.

Informasi ini sekaligus bisa berarti sebagai undangan.

* * *

Dalam acara tsb diatas akan dipertunjukkan film dokumenter TJIDURIAN 19. Di bawah ini disampaikan sekadar informasi bagi pembaca yang ingin melihat video film tsb silakan mengikuti petunjuk informasi di bawah ini.

Download Hi-Res / Screening Version (397.9 MB) Videos best viewed on VLC player

Full description

This home-office was owned by the head of LEKRA's internal affairs, Oey Hay Djoen. It was seized, occupied, then sold to a third party by New Order state officials. Now it has been turned into a luxurious multi-storey building. The New Order regime systematically and structurally confiscated buildings and buried memory which created significant gaps within the trajectory of the nation's history. Amrus Natalsya, Amrazan Ismail Hamid, S. Anantaguna, Hersri Setiawan, Martin Aleida, Putu Oka Sukanta, and T. Iskandar A.S. all share their experience, as well as their feeling of deep loss. It was in this cultural house that they did not only produce their earlier work, but also exercised equality, and debated about aesthetics, politics, and ideology.
Produced by Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan in cooperation with Institut Sejarah Sosial Indonesia and TAPOL London.

* * *

Mudah-mudahan pembaca berhasil mengkhayati video ~~ TJIDURIAN 19 !

Thursday, February 18, 2010

LAWAN BAHAYA SERIUS BAGI KEBEBASAN PERS

Kolom IBRAHIM ISA
--------------------------------
Kemis, 18 Februari 2010

LAWAN BAHAYA SERIUS BAGI KEBEBASAN PERS

Berita hari ini, seperti dapat dibaca di bawah, berjudul -- :

"AJI TOLAK RPM MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA”.

Ini adalah canang teramat serius yang dinyatakan AJI - "Asosiasi Jurnalis Independen". Menurut berita tsb Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet SBY-II, punya rencana untuk memberlakukan SENSOR PERS. Bicara blak-blakan, pemerintah SBY-II, hendak kembali ke politik dan kultur PENGONTROLAN PERS menuruti model ORBA. Canang sebagai tanda bahaya, apalagi yang sekarang ini diajukan oleh AJI, adalah suatu canang bahaya nyata terhadap KEBEBASAN PERS di Indonesia.


Ketua AJI, Aliansi Jurnalistik Independen, Nezar Patria AJI, menyatakan kepada BBC: Peraturan tsb berbahaya."Berbahayanya adalah lembaga itu kemudian berpotensi menjadi badan sensor baru" .


Oleh karena itu canang ini harus ditabuh sekuat-kautnya dan berulang-kali. Agar masyarakat kita menjadi sadar betul, bahwa bahaya terhadap KEBEBASAN BEREKSPRESI yang datang dari jurusan penguasa, adalah SERIUS dan NYATA. Bahwa bahwa praktek Orba memberangus berita bahkan media yang kritis dan berani, akan terulang lagi!

* * *

Tentu orang bertanya: Bagaimana sikap PWI, Persatuan Wartawan Indonesia? PWI, yang baru-baru ini mengadakan peringatan/ perayaan Hari Pers Nasional? Bagaimana sikap 18 wartawan Indonesia, pertama-tama wartawan senior Rosihan Anwar. Bukankah mereka-mereka itu oleh PWI dianugerahi penghargaan 'NUMBER ONE PRESS CARD'? Bagaimana sikap mereka-mereka itu terhadap percobaan pemerintah untuk memberangus kebebasan pers?


SEGI LAIN dari jalannya perkembangan: Kita menyaksikan bahwa meski gerakan Reformasi 'jalan di tempat', serta adanya usaha keras kekuatan Orba untuk kembali mengontrol media dan pers, -- Namun, kekuatan positif, reaktif dan kritis masyarakat pro-Demokrasi dan pro-Reformasi, masih EKSIS. Terus bertahan dan melangkah mengadakan perlawanan. Pasti perkembangan ini akan meluas melalui proses perjuangan demi kebebasan berekspresi.

* * *

Kita saksikan: -- Melalui Ketua Fraksinya di DPR, Tjahyo Kumolo, PDI-P menyatakan protes keras terhadap rencana pemberangusan pers oleh pemerintah SBY-II < kongkritnya Rancangan Peraturan Menteri (RPM) mengenai konten multimedia>. Kumolo mendesak agar rencana itu segera dibatalkan. Karena, katanya, dapat membahayakan kebebasan pers. Banyak pasal-pasal yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Selain itu,  kata, Kumolo, banyak pasal-pasal yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Penyelenggara internet d i l a r a n g untuk mendistribusikan konten yang dianggap ilegal. Seperti tercermin dalam Pasal 7 sampai Pasal 13 yang mewajibkan penyelenggara internet memblokade dan menjaring semua konten yang dianggap ilegal.

Menurut berita, sejumlah media menolak Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Konten Multimedia di Indonesia. Rancangan setebal 6 bab dan 32 pasal itu dianggap akan membatasi kebebasan pers dan ekspresi umum, serta mengarah pada pembredelan terhadap media internet sebagaimana praktek Departemen Penerangan dibawah rezim Orde Baru.

Dewan Pers dalam rapat hari Selasa menyatakan rancangan peraturan tentang konten multimedia ini bertentangan dengan UUD 1945, UU Pers, dan UU Penyiaran. .(BBC hari ini).

* * *

Mengapa kita katakan adanya bahaya terhadap KEBEBASAN BEREKSPRESI? Kebijakan Menteri Komunkasi dan Informatika Kabinet SBY-II tsb tidak berdiri sendiri. Masih segar dalam ingatan kita, belum lama Kejaksaan Agung RI telah mengeluarkan larangan  beredar terhadap lima buku. Antaranya yang terpenting ialah larangan beredar terhadap buku sejarawan/peneliti  Dr John Roosa, berjudul: A Pretext for Mass Murder - The September 30th Movement & Suharto's Coup d'État In Indomesia" < DALIH UNTUK PEMBUNUHAN MASAL – Gerakan 30 September Dan KUDETA SUHARTO DI INDONESIA>. Difokuskan perhatian pada pelarangan buku Johm Roosa, karena buku John Roosa tsb merupakan suatu usaha serius mutakhir dalam rangka 'pelurusan sejarah', yang sudah begitu diputarbalikkan dan direkayasa oleh Orba dan pendukungnya sampai dewasa ini.

Bukankah ironis sekali keadaan berikut ini? :
Pada kesempatan peringatan Hari Pers Nasional y.l di Palembang, Ketua PWI (periode 2008 – 2013), Margiono seperti dicibirkan oleh banyak komentar, dengan 'khidmatnya' MENCIUM TANGAN PRESIDEN SBY. Sungguh sial! Tak peduli tangannya dicium Ketua PWI Margiono, SBY akan jalan terus dengan rencananya untuk memberangus pers. Jangan ragu lagi: Pemerintah tetap berniat jahat untuk membatasi dan mengontrol Media dan Pers.

Maka itu rencana pemerintah untuk MENYENSOR PERS HARUS DILAWAN dan DIGAGALKAN!

* * *

Sunday, February 14, 2010

IBRAHIM ISA -- Berbagi Cerita
Sabtu, 13 Februari 2010
-----------------------------

SELAMAT TAHUN BARU "IMLEK"


Beberapa hari y.l bersama Murti, kami mampir berbelanja di "Toko Super". Sebuah toko Tionghoa-Suriname di Winkelcentrum Amsterdamse Poort. Kutanyakan pada kasir muda yang bertugas di situ: Hoi, kataku, -- numpang tanya, ya. Kapan persisnya hari raya Imlek? Segera dijawab: Tanggal 14 Februari ini. Jadi berarti besok. Percakapan tsb dilakukan dalam bahasa Belanda. Para pemilik toko Tionghoa di Belanda, yang umumnya adalah migran dari Suriname, generasi mudanya fasih berbahasa Belanda. Kewarganegaraan mereka umumnya juga sudah Belanda.


Putri Sulung kami, -- Tiwi, mengingatkan bahwa orang-orang Tionghoa mulai merayakan Imlek pada malam tanggal 13 Februari. Ini dikatakan Tiwi, karena sebelumnya kukatakan pada Murti, -- Bagaimana kalau kita pada tanggal 14 Februari nanti menikmati JIAO ZI, yang lezat itu. Tapi bikin sendiri, kataku. Putri kami Si Bungsu pandai bikin Jiao Zi. Nostalgi ya, kata Murti menyetujuinya. Kalau mau ikut merayakannya biasanya dimulai pada tanggal 13 Februari, tegas Tiwi.


Sebetulnya yang dimaksudkan Tiwi bukan hanya orang-orang Tinghoa saja yang merayakan Imlek. Di Indonesia masyarakat yang luas ikut merayakan Imlek. Belum ada yang menghitung berapa besar jumlahnya. Apalagi ramé-ramé Cap Go Meh, dua minggu kemudian. Lebih meriah lagi masyarakat ambil bagian dalam perayaan tsb.


Di Indonesia, tanah air tercinta, Imlek secara tradisionil dulunya memang dirayakan oleh orang-orang Tionghoa pendatang. Tetapi juga oleh orang-orang Tionghoa yang turun-temurun bermukim di Indonesia. Bahkan banyak sekali yang sudah menjadi warganegara Indonesia, telah menjadikan Indonesia sebagai tanah tumpah darahnya sendiri. Lihat saja sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita melawan kolonialisme Belanda. Tidak sedikit pejuang-pejuangnya adalah yang keturunan Tionghoa. Siapa yang tidak kenal pejuang-pejuang anti kolonialisme Belanda, seperti Siauw Giok Tjhan (Baperki), Tan Ling Djie (PKI), Mr Tan Po Goan (PSI), John Lie (ALRI), Ir Tjoa Sek In, Oei Tjoe That (Partindo), Yap Thiam Hien , Go Gien Tjwan (Baperki) dan banyak lainnya lagi. Kemudian aktivis dan penulis Benny G. Setiono. Mereka-mereka itu adalah orang-orang Indonesia etnis Tionghoa, sekaligus adalah patriot pejuang kemerdekaan yang tangguh. 'Mereka' adalah sebagian dari BHINNEKA TUNGGAL IKA.


* * *


Pagi ini aku menilpun beberapa sahabat akrab untuk menanyakan a.l bagaimana menulis JIAO Zi dalam ejaan Pingyin. Menjawab pertanyaanku, sahabat kami itu membenarkan bahwa orang-orang yang merayakan Imlek memulainya pada tanggal 13 Februari malam. Pada pasang mercon segala!


Ketika aku bekerja di Beijing, dan kami sekeluarga berdomisili di Tiongkok (1966-1987), setiap Hari Raya Imlek, ramai-ramai sekeluarga, sering juga bersama teman-teman lainnya, menikmati makanan khas Tionghoa pada hari raya Imlek, yaitu JIA ZI. Dalam bahasa Inggris disebut "dumpling'. Rasanya lezat sekali. Kami betul-betul menikmatinya. Juga kutanyakan kepada sahabat-sahabat dekat itu, bagaimana Hari IMLEK dirayakan pada periode Presiden Sukarno dulu. Memang seingatku, masayarakat Indonesia dengan leluasa dan gembira merayakan Imlek di Indonesia.


Perayaan yang damai dan bahagia ini dirusak, diobrak-abrik oleh politik rasialis anti-Tionghoa dan anti-Tiongkok rezim Orba Jendral Suharto. Dari catatan sejarah selama tiga puluh tahun lebih, bisa dikemukakan sbb:

Selama 1965 -1998 perayaan tahun baru Imlek dilarang. Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, yang ditandangani oleh Jendral Suharto melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek. Sebelumnya Suharto meregisir kampanye anti-etnik-Tiomghoa yang disenapaskan dengan kampnye penumpasan G30S dan terhadap orang-orang Kiri. Khususnya PKI. Dalam kampanya itu tak terhitung warga Indonesia keturunan Tionghoa yang jatuh korban. Ribuan orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa terpaksa bereksodus ke Tiongkok. Aksara dan bahasa Tionghoa dilarang. Toko dan jalan-jalan yang menggunakan nama Tiongoa harus ganti nama Indonesia. Sekolah-sekolah dan penerbitanTionghoa ditutup. Bahkan nama (orang) yang Tionghoa disuruh ganti dengan nama Indonesia. Di sepanjang sejarah Indonesia, dalam rangka kita membangun satu nasion yang terdiri dari banyak etnik, tidak pernah ada politik rasis dan rasialis sebiadab pada zaman Orba ini. Maka tidak habis heran kita dibuatnya, ---- Bisa-bisanya ada yang mengusulkan mantan Presiden Suharto , yang bertanggungjawab atas politik rasis dan rasialis anti-Tionghoa dan anti-Tiongkok, ---- dinobatkan jadi PAHLAWAN NASIONAL. Sungguh keterlaluan! Sungguh di luar batas kesopanan elememter!! Lagipula siapa tidak kenal Jendral Suharto sebagai kleptokraat, koruptor dan nepotis terbesar di Indonesia.


* * *

Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional. Syukur Alhamdulillah!


* * *


Semula menyertai tulisan ini ingin kusiarkan cerpen Lu Xun berjudul "LET US DO A LITTLE READING". Maksudnya untuk memperkenalkan lebih lanjut sastra Tiongkok Baru Progresif yang panglima dari gerakan ini adalah sastrawan besar LU XUN.


Setelah membaca tulisan Ali Usman, Magister Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, aku tangguhkan dulu cerpen Lu Xun itu. Artikel Ali Usman ini lebih relevan dan aktuil. Aku fikir: Artikel yang kubaca di mailist 'Gelora 45', Hongkong, baik sekali diresapi oleh lebih banyak orang Indonesia ('pribumi') dan dipertimbangkan baik-baik. Berikut ini tulisan Ali Usman itu:


*Etnis China dalam Keindonesiaan*
Oleh Ali Usman, 13 Februari 2010

SETIAP kali merayakan Tahun Baru Imlek, momen bersejarah itu, ingatan kita selalu tertuju pada suatu komunitas etnis China di Indonesia. Sebagian masyarakat masih awam, mengapa perayaan Imlek diidentikkan dengan etnis China?
Ini bermula dari sejarah etnis atau masyarakat China itu sendiri yang merupakan "sejarah perlawanan". Perlawanan terhadap penindasan, juga perlawanan melawan ketidakadilan atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung diskriminatif.
Pembekuan hak politik hingga tidak diperbolehkannya menjadi PNS menjadi pil pahit yang harus ditelan bagi warga China pada masa Orde Baru. Bahkan, tidak hanya ditenggelamkan dalam penulisan sejarah, masyarakat China telah menjadi tumbal dan kambing hitam rezim demi mempertahankan status quo.
Dalam catatan sejarah, beberapa kali etnis China menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan seperti pembantaian di Batavia 1740, pembantaian China masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal etnis China di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 ,dan kerusuhan Mei 1998.

Kategori dan klasifikasi pribumi dan nonpribumi serta WNI sejak pertengahan tahun 1960-an tampaknya juga menjadi pemicu utama terjadinya kekerasan dan penistaan terhadap masyarakat China di banyak daerah.
Padahal menurut Claudine Salmon, peneliti asal Prancis yang mendedikasikan hampir seluruh kariernya untuk meneliti kebudayaan China dan juga kebudayaan China di Indonesia, dalam bukunya Literature in Malay by the Chinese of Indonesia, a Provisional Annotated Bibliography (1981), mengatakan, bahwa di Indonesia, tulisnya, kalau ada istilah suku-suku, orang China dianggap sebagai suku asing. Tetapi, siapa yang asing, siapa yang pribumi, sebenarnya tidak terpisah seperti minyak dengan air. Bahkan menurut Claudine, "Saya kira sejumlah orang Indonesia yang menganggap diri sebagai orang pribumi adalah keturunan China".

Sadar akan hal itu, baru pascareformasi atau tepatnya di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
Berdasarkan Keppres itu, ekspresi budaya, agama, dan kepercayaan bagi etnis China telah dibebaskan secara terbuka dengan tanpa izin. Keppres inilah yang kemudian mengilhami lahirnya pengakuan tradisi Imlek dirayakan setiap tahun, bahkan dijadikan sebagai hari libur nasional setara dengan hari-hari libur lainnnya.
Namun Keppres itu masih sebatas pengakuan simbolik atas ekspresi bagi etnis China dalam ranah publik dan belum menyentuh pada ranah agama dan kepercayaan Konghucu.
Budaya Pengakuan negara terhadap ekspresi tradisi China sejatinya bukan hanya menyentuh wilayah budaya, seperti peringatan Imlek setiap tahun, suguhan tarian barongsai dan liong melainkan harus menyentuh wilayah agama dan kepercayaan, sehingga yang diperingati sebagai hari libur nasional bukan Tahun Baru Imleknya melainkan pada perayaan agamanya, seperti pengakuan negara terhadap hari libur nasional selama ini, selalu identik dengan ekspresi agama bukan budaya, seperti Natal, Waisak, Nyepi, Idul Fitri, Idul Adha, Hijrah, Maulid, Kenaikan Isa as, dan lain-lain. Suatu ketika saya pernah berbincang dengan dua tokoh China di Yogyakarta. Kedua-duanya mengakui, bahwa era reformasi memang mengembuskan angin segar bagi eksistensi masyarakat China untuk survive kembali setelah sekian lama bopeng menjadi korban kekejaman rezim Orde Baru. Namun sebagai sebuah catatan, era reformasi tidaklah bebas dari kritik dan kekurangan.

"Masyarakat saat ini sudah terbuka dan ada semacam edukasi untuk bisa menerima etnis lain (China). Secara kultural, kita sudah dapat diterima dengan baik, dan kami pun sangat senang membaur dengan mereka. Tetapi pada level-level tertentu, seperti pencantuman agama dan kode khusus pada KTP bagi warga China masih menyisakan problem," kata salah seorang China yang enggan disebutkan identitasnya.
"Jadi, tidak perlu melihat wajah atau foto di KTP, orang melihat kode saja pasti tahu: ini orang China," imbuhnya lagi. Karena itu ke depan, sudah sepantasnya pemerintah untuk segera memulihkan hak penuh masyarakat China, yang tidak lagi membeda-bedakan dengan etnis lain. Jangan lagi ada kategori warga pribumi dan nonpribumi. Dengan melihat fakta tersebut, disadari atau tidak, boleh jadi darah yang mengalir di dalam tubuh kita sebenarnya berasal dari keturunan China. Kita adalah bagian dari mereka. Kita menjadi China, sekaligus menjadi warga Indonesia. Ini yang perlu disadari. (10) * * *

SELECTED NEWS AND VIEWS*

*IBRAHIM ISA'S – SELECTED NEWS AND VIEWS*

*Tuesday, 09 February 2010*

*-----------------------------------------------------------------------------*

*-- Comparing Haiti and Aceh – Dealing with disaster*

*-- THE WOMEN AND THE GENERALS*

*--The integration (Of Papua) is `valid and final'*

*----------------------------------------------------------------------------------------------*


*BBC NEWS*

*Dealing with disaster: Comparing Haiti and Aceh*

The last international disaster on the scale of the January earthquake in Haiti

was the tsunami that devastated coastlines across Asia in 2004. The death toll

in the territory of Aceh in Indonesia was similar to that in the Haitian

capital, Port-au-Prince.


The BBC's International Development Correspondent David Loyn, who reported from

both towns, looks at the differences in the international response.


Within days of the tsunami hitting Aceh, on the northern tip of the island of

Sumatra in Indonesia, an Australian army combat engineering battalion had landed

with a large force of trucks, earth-moving equipment, and water purification

systems.

They were the most visible sign of an international response that swiftly

brought ashore huge quantities of food, shelter, and basic sanitation.

A fleet of vessels, including a Greenpeace ship in the area, was commandeered to

move aid to where it was needed across a wide area.


In contrast, the most visible sign of aid in the same timeframe in Haiti was the

sight of US Navy helicopters ferrying ready-to-eat meals and bottled water from

the fleet anchored offshore.

Aid professionals shook their heads at this approach - so good on TV, but so

ineffective at delivering the quantities of relief necessary to help the three

million people believed to have been affected by the Haiti earthquake.

But at least the US forces were doing something.


In the squalid makeshift camps that emerged on the streets and on any open

ground in Port-au-Prince there was no sign of the shelter, sanitation nor packs

of basic essentials like soap and buckets that usually characterise the first

wave of aid donations.

So what had gone wrong? When there was such huge international generosity, both

by governments and individuals, why has it taken so long for effective aid to

reach those who need it?


Bottlenecks

Part of the answer lay in the security briefings that aid agencies received.

Some isolated scenes of looting and the sound of occasional gunfire reinforced

the view of security advisers that the streets of Port-au-Prince were a war

zone, and it found itself re-categorised into the same bracket of cities that

included Baghdad and Kabul.


That kept many aid workers firmly behind the safety fence at the UN compound.

Another problem came in the sheer scale of the US military deployment.


An aid official from a major and reputable international organisation told me

last week that when he had tried to secure landing rights for a relief flight

from Europe, he was told by the US authorities that the next available landing

slot "was on 9 February".

The airstrip is filled instead with US transport planes bringing in troops and

military equipment.


The problem is that this bottleneck means that the threat of worsening security

could become a self-fulfilling prophecy.

If they do not deliver the aid fast, they will need all those troops.


Despite the enormous loss of life, the Haitian response to the earthquake has

been characterised by the patience and resolve of a people who have suffered much.

But patience is not limitless.


Damaging legacy

The most effective response has come from the World Food Programme (WFP), which

has succeeded in raising food distribution from a few thousand a day to hundreds

of thousands.

But because of the enormous need and failures elsewhere in the system they need

to spend far more time negotiating security issues than they otherwise might.


The third major issue in Haiti was in the lack of coordination of aid. One

reason for this was the huge loss of life in the UN system - more than 80 dead,

including the head of mission.

But there was similar dislocation to the staff of aid agencies in Aceh, and

there the system recovered far more quickly, so that a new co-ordination network

could deliver aid across a far wider area than was affected in Haiti.


The biggest difference between the two countries was their starting point.

Indonesia is a rapidly developing nation, while Haiti is the only country in the

western hemisphere on that unenviable UN list of those defined as Least

Developed Countries (LDCs).

Corruption and the legacy of colonial interference have conspired against good

governance.


At the best of times, water and power are unreliable, and the streets are filled

with rotting refuse.

So it was hard to expect the efficient disposal of more than 100,000 corpses,

while broken water mains continue to flood streets that were not otherwise

affected by the earthquake.


-------------------------------------------


*THE WOMEN AND THE GENERALS*

from The Women and The Generals on Vimeo. For a YouTube-video, which can be viewed on a cellphone, scroll down

a film by Maj Wechselmann


*DIRECTORS' STATEMENT *

We've made this film about the genocide in Indonesia 1965 by General Suharto

*his military and his gangs, with the aspirations and ambitions that "film*

can make a difference"*


The most remarkable you can say about our film is possibly that the

president of the National Commission of Human Rights, Idfal Kassim, in a

film interview for the first time admits that there WAS genocide: "We admit

that the number of the victims were 500.000 or maybe a million". Killed how?

Idfal Kassims subcomminsioner, Kabul Supriyadhie, classifies the killings as

"extraordinary crimes". He talks about the victims from 1965 who were

decapitated, their heads were given to their widows to carry them home.


The first of October 1965 a little group of leftist officers broke into the

homes of six generals to anticipate a coup from American friendly officers -

the leftist officers stated. The six generals were killed and thrown into

the "Alligator Hole", a well in an area just outside the capital Jakarta. In

his countercoup, general Suharto initiated the killings of one million so

called communists and threw at least 200.000 people into jails and prison

camps, where they were held from 9 up till 16 years without any trial or

conviction.


TAPOL is the name of all those prisoners who were never tried in court or

convicted, but nevertheless were tortured and withered away in prisons and

camps during their entire youth. In this film you are going to hear the

stories of TAPOLS who spent a long time in prison, mostly school teachers,

former students, former housewives, trade unionists and foremost women from

the women's movement Gerwani.


We have been able to gather archive pictures from the massacres and not at

least are we for the first time able to show clips from the propaganda film

made by Suharto, which was obligatory for all Indonesian school children

every year for more than 20 years.


That film can make a difference has been proved two times in the case of

the violations of human rights committed by the Indonesian army.


1. In November 1991 the young female journalist, Amy Goodman and a TV-crew,

documented Indonesian soldiers massacring several hundreds of civilians at

the Santa Cruz Cemetery in Dili, East Timor. One of the crewmembers was

almost killed by the Indonesian soldiers. The pictures were cabled out

worldwide, contributed to international awareness of the gruesome repression

by the Indonesian army and finally led to the UN-sanctions against Indonesia


2. Recently another film has made an international audience aware of the

Indonesian cruelties: The Balibo-film, produced in Australia about a team of

five Australian journalists who were reporting about the Indonesian invasion

in East Timor to SBS (the Australian television broadcasting system). They

were tortured and murdered by the Indonesian army, their bodies were burned.

Due to the good business-relations between Australia and Indonesia, this

misdeed was blackened, but the fiction film about the fate of the young

journalists has raised a public storm in Australia and after 44 years of

silence the Australian police authorities have been forced to reopen the

murder case on the now liberated East Timor, where witnesses, even

Indonesian officers, have come forward and told about the killing of the

journalists. According to Reuters, this has resulted in a "chilling" of the

diplomatic relations between Indonesia and Australia - Not bad for a fiction



*INTEGRATION (Of Papua) IS 'VALID AND FINAL'*


Sun, 02/07/2010

Habel Melkias Suwae, a 58-year-old regent of Jayapura who witnessed Papua's

integration into Indonesia on May 1, 1963, and the controversial organizing of

the Papuan People's Free Choice on May 8, 1969, gave his political views on the


Question:

-What is your view on the controversial 1969 Determination of Papuan

People's Free Choice?


Answer:

It was valid and its results were final. Almost 89 percent of 1,200

village heads representing their own people voted for Papua's integration with

Indonesia.

It was organized by the UN and its results have been documented and accepted by

the UN and its member countries worldwide.


But some Papuans have rejected it, saying it was not held by a one-man-one-vote

principle of democracy?/

It was impossible to do so at the time because most people were politically

uneducated and living in remote jungles. And it was also unlikely to postpone it

to a later time when most Papuans had been educated and were aware of their rights.


Papuans have their own bad habits: When they receive money they stay silent but

when the money is finished they begin screaming. When they are in power they

boast that they are part of the Unitary State of the Republic of Indonesia

(NKRI) but after losing power they are outspoken in their criticism of the

government and call for the province's separation.


– Will you fall into the same hole?

I hope I will not do the same. The political style is a choice, we have done it

and all should remain consistent and accept the consequences.


– Can you comment on the increasing rejection of special autonomy for Papua?/

As a matter of policy and decision it cannot satisfy all sides. Many are opposed

because they have gained nothing or very little or they are no longer in power.

But all sides should bear in mind that special autonomy is a national consensus

which Papuans has also chosen and accepted as a solution to unresolved problems

since integration.


In its implementation, special autonomy has its own strengths and weaknesses and

has given a big chance for the people to improve their social welfare. I am

aware of many political barriers in its full implementation but much progress

has been achieved under special autonomy. Papuans have to acknowledge the

progress we have achieved up to now is far better than during the centralistic

government of Soeharto.


– What are the root problems in Papua?/

Backwardness in education and health, poverty and inadequate infrastructures.

Almost 80 percent of the two million indigenous people in Papua are illiterate

and live in remote and isolated areas and they have no access to education and

health services.


The government will continue developing infrastructure, including roads and

bridges to make all villages in mountainous areas accessible. This is important

to bring modernity to the indigenous people and empower them to carry out their

economic development.


Papuan should exercise patience and the economic development will continue

gradually due to the government's limited capacity.


– What do you do in your region?

With the annual budget of around Rp 500 billion, almost 90 percent of 13,500

families in the regency live a normal, humane life.

All the children go to school and we have public health facilities. All

districts are accessible and low-income families have been given training and

capital in farming, fishing and home industries under the people's empowerment

program in the last ten years.


We annually send students to study overseas and now 15 students are taking

post-graduate and doctoral programs in Australia, thanks to the annual special

autonomy fund.


* * *

SUATU TANGGAPAN --

MARCO POLO
----------
SUATU TANGGAPAN


Bung Ibrahim Isa yg terhormat,

Pertama -ingin saya sampaikan MAAF saya kpd Bung Ibrahim Isa , bhw
kendatipun Usia Bung sudah Senior melebihi usia saya sendiri - saya berkenan
dan memberanikan diri untuk menyebut kata "BUNG " instead of Bapak pada Anda.
Tetapi saya punya alasan kuat untuk memberikan Penghormatan Khusus ini. BUNG
Ibrahim Isa -saya menyebut Anda , karena dalam Usia selanjut itu - Bung
begitu Giat , Semangat , Sehat dan tetap melakukan Kegiatan yg sangat
terhormat dan berarti bagi KEMANUSIA dalma ARTI YG LUAS serta Tetap giat dn tabah dng
kemuan keras melawan Dinginnya udara dan Bekunya suhu temperatur dibawah O C


Kedua - Saya Angkat TOPI dan Respekt se-dalam2nya atas segala Kegiatan
dan hasrat yg Bung IBrahim Isa lakukan - JAUH TERHORMAT DAN JAUH TERPUJI
MELEBIHI MANUSIA2 YG KITA SEBUT "BAPAK2 PEJABAT" DAN ATAU " WAKIL2
RAKYAT " YG CENDERUNG MENIPU RAKYATNYA ..dari pada MEWAKILI INTEREST
DAN KEBUTUHAN RAKYATNYA DAN BANGSA SERETA NEGARANYA . BUNG
IBRAHIM ISA adalah TETAP SEORANG PEMUDA - melebihi sekian banyak
PEMUDA indonesia yg mungkin masih banyak dan tetap
MENGKULTUSKAN ORBA dan SOEHARTONYA - rEZIM yg sebaliknya telah menunjukkan
kegiatannya yg ANTI KEMANUSIAAN dlm arti yg Luas.

Meskipun Sepeda dapat dikatakan adalah Kendaraan se-hari
yg lumrah dipergunakan Masyarakat Belanda di komunity Evropah ini, namun
Bersepeda dlm Usia selanjut itu (8O thn) dalam udara yg dingin membeku
dan licin serta harus berdiri sekurang-kurangnya 1 Jam diudara dan ruang
terbuka yg membeku itu ...

untuk mengumpulkan DANA KEMANUSIAAN ( dari Amnesty
International ) yg kembali dipergunakan untuk Tujuan Mulia tsb diatas - maka
atas segala Usaha dan Kegiatan BUNG yg terhormat dan mulia ini - PATUTLAH
PEMERINTAH INDONESIA DAN DPR SECARA KESELURAHNNYA MERASA MALU DAN KECIL
DIHADAPAN seorang seperti BUNG IBRAHIM ISA , BUNG A
MUNANDAR ( Almarhum) dan Banyak Lagi SENIOR "PEMUDA " PEJUANG - baik yg
ditanah air -

maupun yg tetap bermukin di Luar Negri , baik yg dihalangi
pulang ke TA oleh Rezim Lalim Soeharto - maupun yg karena sesuatu hal
lainnya harus menetap di luar Negri dan Tetap Berjuang dan mencurahkan Perhatian dan
dng Credit Moril yg tinggi tetap emikirkan -menyumbangkan pikirannya dan
tenaganya untuk hal yg satu dan mulia : DEMI UNTUK KEHIDUPAN DEMOKRATIS YG
SEBENARNYA, UNTUK KEADILAN HUKUM DAN UNTUK KEMAJUAN DAN KEMAKMURAN
SERTA KEMAJUAN BANGSA DAN NEGARANYA ´- demi untuk KEMANUSIAN DAN HAK2NYA



Ketiga - Diantara Kesibukan Kita semua masing2 yg Kita semua hadapi
se-hari2 dan diantara sekian banyak Informasi dan berita yg masuk dari
berbagai milis , dari surat kabar elektronic dan lain2 sumber berita serta dari Kawan2 milist secarA individuil - " KOLOM IBRAHIM ISA " (yg memuat banyak berita menarik
dari berbagai Topic ) - tetap saya ikuti dan menjadi perhatian saya diantara banyaknyA sumber2 Informasi yg saya terima.

Sebagai akhir kata - ingin saya sampaikan TERIMA KASIH atas
berita2 yg Anda suguhkan dalam mibar GELORA 45 ini dan Respekt Saya atas
segala usaha dan kegiatan Bung Ibrahim Isa yg dalam Usia begitu Lanjut tetap
mempertahankan KEMUDAANYA - BAIK FYSIK MAUPUN PSYCHIS melebihi generasi2 yg
lebih bahkan jauh lebih muda.SEMOGA ANDA TETAP SEPERTI ANDA
SEKARANG : TETAP SEHAT (Jiwa -raga) - TETAP BISA HIDUP AKTIVE - TETAP
HIDUP DNG SEMANGAT DAN OPTIMIST DAN BERJIWA BESAR . INDONESIA membutuhkan PEJABAT2 DAN WAKIL2 RAKYATNYA YG BERKWALITAS DAN BERMORAL TINGGI - AGAR BISA PULA MENUNJUKKAN "KEBESARANNYA" SEBAGAI INDONESIA RAYA .....ATAU TENGGELAM DALAM MIMPI BURUK YG DICIPTAKAN PARA PEJABAT PEMERINTAH DAN LEMABAGA2 NYA....


SELAMAT SIANG , SORE DAN MALAM

Marc .

-------Original Message-------



From: isa

Date: 7.2.2010 21:38:31

To: GELORA45

Subject: [GELORA45] IBRAHIM ISA -- Berbagi Cerita - TJRÉK -- TJRÉK -- TJRÉK
KAMPANYE 'KOLEKTE' DANA





IBRAHIM ISA -- Berbagi Cerita

Minggu, 07 Februari 2010

------------------------------------------





TJRÉK -- TJRÉK -- TJRÉK KAMPANYE 'KOLEKTE' DANA

AMNESTY INTERNASIONAL (1)





Tjrék -- Tjrék -- Tjrék -- .





.Itu adalah bunyi ketika kotak pengumpulan dana AI digoncang-goncangkan.
Memang, tema cerita kali ini di sekitar pengumpulan dana oleh organisasi
Human Rights, Amnesty International, Afd Nederland. Kampanye itu berlangsung
di seluruh negeri. Dimulai hari Minggu tanggal 7 s/d 13 Februari 2010.
Tjrék, tjrék, tjrék, begitulah suara yang terdengar sampai jauh, bila para
sukarelawan Amnesty Internatioanal melakukan tugasnya.




Suhu cuaca musim dingin meskipun sudah masuk minggu kedua Februari, tokh
masih tetap saja dingin. Berjalan di luar rumah bukan alang kepalang
dinginnya. Tetapi naik sepeda lebih-lebih lagi. Kaki menginjak pedal terus
menerus, tetapi suhu badan tak kunjung hangat.




Namun, jam 14.00 siang tadi aku berangkat besepeda menuju Amsterdam Bijlmer
Arena. Nama baru daerah pertokoan, Stadion Ajax, Cinema Pathé (dengan 14
ruangan bioskop yang sekaligus mempertunjukkan film-film baru itu), Music
Hall Heinekens, dll adalah "ARENA BOULEVARD". Kesitu itu, sudah kurancang
beberapa hari yang lalu akan bersepedea. Urusanku ke sana ialah: Sebagai
sukararelawan mengumpulkan dana untuk Amnesty International Nederland.
Paling tidak satu jam aku berdiri di situ. Lebih lama dari itu rasanya sudah
tak sanggup lagi. Harus tau diri, kan?





Orang-orang yang berlalu-lalang dan lewat di situ harus dihampiri, disapa
dengan ramah dan senyum. Sambil menatap wajahnya aku berucap keras: "Wilt U,
een bijdrage doen voor Mensenrechten? Geef om Vrijheid!memberikan sumbangan untuk Hak-Hak Manusia? Berilah Demi Kebebasan>.




Sudah kemarin dulu Ny Lisa Francken khusus datang bersepeda ke rumah. Ia
sendiri mengantarkan kotak plastik keras untuk pengumpulan dana Amnesty
International ke rumah. Katanya, biarlah ia yang mengantar kotak itu.
Mengingat usiaku yang sudah s e n i o r. Ketika sambil lalu kukatakan bahwa
tahun ini aku memasuki usia 80th, Ny Francken tercengang. Ha, delapan puluh?
reaksinya. Ya, aku suka melakukan kegiatan sukarela untuk Amnesty
Internasional, kataku.




Di dalam fikiranku, dengan catatan sesungguhnya tidak sedikit pendapat dan
kritik yang kuajukan terhadap Amnesty International Nederland. Nanti bisa
bisa dibaca lagi suratku kepada Ketua Amnesty International, Nederland, 2009






Ny L. Francken bertindak sebagai kordinator untuk kampanye pengumpulan dana
di daerah Amsterdam Zuidoost. Amnesty Internatioanal Nederland, seperti
halnya organisasi kemanusiaan serupa di banyak negeri di seluruh dunia,
setiap tahun melakukan kampanye pengumpulan dana. Hal ini disebabkan prinsip
yang dipegang Amnesty International, yakni dalam kegiatannya menolak subsidi
pemerintah. Jadi, dalam hal dana untuk melakukan kegiatannya, Amnesty
sepenuhnya bersandar pada iuran anggota-anggotanya. Juga dari pelbagai
sumbangan tak mengikat, yang jumlahnya cukup besar.




Kegiatan AI Nederland untuk hak-hak azasi manusia cukup luas. Anggaran
Belanjanya untuk th 2008 saja meliputi tidak kurang dari Euro 23,9 juta .
Pengeluaran terbesar yaitu Euro 5,8 juta, atau 24% dari seluruh AB, adalah
untuk aksi-aksi. Sedangkan sejumlah Euro 7,4 juta, atau 31%, adalah
sumbangan yang diberikan oleh AI Nederland kepada Sekretariat International
Amnesty di London yang melakukan dan mengkordinir aksi-aksi dan kegiatan
lainnya secara internasional. Untuk peningkatan kesadaran masyarakat
mengenai hak-hak azasi manusia dan pembelaannya dikeluarkan uang sejumlah
Euro 3,2 juta, atau 14% dari AB.




Ini sekaar gambaran tahun 2008. Laporan mengenai AB 2009 akan disampaikan
pada tanggal 2 Juni 2010 dimuka Rapat Umum Anggota AI Nederland





* * *





Siang itu, meski salju sudah lumer dan lenyap dari permukaan bumi, namun
suhu cuaca masih tetap dingin. Kukira sekitar nol derajat C. Dengan
mengenakan kupluk wol, jacket kulit dan sarungtangan wol, orang tua seumurku
ini, syukur Alhamdulillah, masih bisa juga bersepeda. Tidak jauh. Hanya
beberapa menit saja dari rumah kami. Lalu berdiri di cuaca dingin di situ.





Kampanye Amnesty International Afdeling Nederland untuk pengumpulan dana
dilakukan setiap tahun. Selalu dimulai awal Februari. Entah mengapa bulan
Februari itu yang dijadwal untuk kegiatan pengumpulan dana, aku tak mengerti


Kan masih dingin sekali di luar rumah.




Untuk diketahui: Kegiatan pengumpulan dana tsb pada pokoknya dilakukandi
luar rumah. Pokoknya tidak 'indoor´, tetapi 'outdoor'. Biasanya di
sekolah-sekolah, gereja, perpustakaan, daerah pertokoan, stasiun-stasiun
kereta-api, tram atau metro. Disitulah dilakukan pengumpulan. Seperti orang ngamen'. Di tempat tempat
banyak orang.













Tahun ini sebagai anggota AI Nedeland aku ikut lagi 'ngamen' cari dana.
Kalau orang tidak tau, dikira pengumpul dana AI seperti orang-orang yang dakloos'. Orang-orang yang tak punya rumah. Mereka lalu diorganisasi untuk
pengumpulan dana keperluan organisasi mereka.




Amnesty International bukan organisasi ´dakloos´ ! Ini jleas. Sukarelawan
yang ikut dengan kampanye pengumpulan dana 2010 Amnesty International
berjumlah ribuan.





Kegiatan AI yang semacam ini adalah suatu kegiatan yang masih mampu dan
ingin
kulakukan. Meskipun untuk itu, dalam cuaca dingin harus mau berada di luar
satu dua jam.Dengan sabar minta perhatian orang banyak terhadap kegiatan AI
Nederland. Menjelaskan sedikit tentang arti penting organisasi membela HAM
seperti Amnesty Internaional.





* * *





Demikianlah siang tadi ketika berdiri di muka Stasiun KA Amsterdam Bijlmer
Arena, di antara dua gedung besar, Cinema Pathé dan Media Markt, aku berhasil' menarik sejumlah simpatisan untuk mengorek pundi-pundi atau
kantongnya. Mengeluarkan satu atau beberapa mata uang logam Euro dan
menjebloskannya di kotak AI yang kupegang.





Pengalaman serupa ini sudah berkali-kali. Sebagian terbesar orang yang lewat
ketika ditegur-sapa dengan ramah untuk memberikan sumbangan mereka, cuma
meléngos saja. Dengan senyumnya yang dibuat-buat.





Tetapi yang ini lain -- Tahun lalu tak ada pengalaman seperti ini: Seorag
ibu dengan dua orang anaknya menunggu dimuka gedung Cinema Pather, -- rupanya
sedang menanti waktu pemutaran film--. Sang ibu memandang aku dari jauh. Ia
tersenyum, lalu memberikan anak-anaknya masing-masing mata uang logam.
Anak-anak itu disuruhnya menghampiri aku dan masing-masing mencemplungkan
mata uang dari ibunya itu.




´Anekdot´ ini sepertinya tak punya arti apa-apa. Tetapi bagiku punya arti
besar. Karena menyaksikan sendiri seorang ibu bersimpati dengan gerakan
kemanusiaan Amnesty International. Lebih mengesankan lagi, sang ibu mendidik
anak-anaknya untuk bersikap sama. Menjadi pendukung gerakan kemanusiaan.




Peristiwa sejenak ini amat bikin lega hati. Kalau diperiksa pasti tidak
seberapa uang yang dimsukkannya ke dalam kotak dana. Tetapi arti penting
terletak pada semangat sang ibu dan arti pendidikan bagi anak-anaknya.
Bersimpati pada aksi demi kemanusiaan.





Lain lagi sikap Polisi.
Dua orang agen polisi dengan mobil datang menghampiriku. Aku sodorkan kotak
dana AI. Tuan mau memberikan sumbangan, tanyaku. Tidak! Saya mau tanya pada
tuan, kata agen polisi itu. Apakah tuan ada izin untuk melakukan kolekte di
sini? Ya, pasti, jawabku tegas. Aku tunjukkan legitimasi brupa kartu plastik
dari AI Nederland yang kukalungkan di lileherku. Ini, kataku.





Ah, itu legitimasi. Bukan izin. Ya, kataku, kartu ini dua fungsinya. Satu
sebagai legitimasi. Satu lagi sebagai tanda izin. Aku mulai propaganda
tentang pentingnya hak-hak manusia yang di banyak negeri di dunia dilanggar
sewenang-wenang. Dua agen itu cakap-cakap di dalam mobil. Sambil
mengangguk-angguk lalu berangkat.
Heh, aku pikir. Bukan menyokong, tetapi mau cari-cari alasan untuk mengusir
aku dari situ.




Tak lama lagi datang lagi minibus. Ada 4-5 orang agen polisi di dalamnya.
Seorang yang agak tua, turun. Sambil senyum bertanya: Apa tuan punya izin
melakukan kolekte disini? Pertanyaan yang sama lagi, fikirku. Ya, jawabku.
Izin yang kuperoleh adalah untuk seluruh wilayah Amterdam Zuidoost. Oh, kata
polisi, hari ini ada pertandingan antara kesebelasan Ajax lawan Twente. Jadi
ini hari pertandingan. Oleh karena itu tuan tidak boleh berkolekte di sini.
Tuan pergi saja ke Winkelcentrum Amserdamse Poort. Ah, aku bilang, ini hari
Minggu sedikit sekali orang di situ.




Aku berdiri saja di situ. Tetapi agen-agen polisi itu menunggu sampai aku
pergi dari tempat itu. Sebelum aku berangkat, aku katakan kepada polisi,
saya ini suka menulis. Saya ingin menulis kali ini bahwa Polisi Amsterdam
ikut memberikan sumbagan dana untuk Amnesty International. Sambil senyum
assam, agen-agen polisi itu mengatakan -- Ah, kami ini sedang bertugas di
sini. Jadi sedikitpun tidak menyumbang, tanyaku. Ah tidak!, katanya.





* * *





Kampanye ini baru dimulai. Aku masih akan keluar dengan kotak dana AI, dan
menyapa orang-orang lalu, minta perhatian mereka terhadap usaha dan kegiatan
Amnesty International.




Maka paling tidak masih satu kali lagi akan kutulis dalam ruangan ini
mengenai Amnesty International dan kampanye pengumpulan dana yang
berlangsung sekarang ini.

(BERSAMBUNG)





* * *

TJRÉK – TJRÉK KAMPANYE KOLEKTE DANA

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Minggu, 07 Februari 2010
-----------------------------

TJRÉK – TJRÉK – TJRÉK KAMPANYE KOLEKTE DANA
AMNESTY INTERNASIONAL (1)


Tjrék – Tjrék – Tjrék –


.Itu adalah bunyi ketika kotak pengumpulan dana AI digoncang-goncangkan. Memang, tema cerita kali ini di sekitar pengumpulan dana oleh organisasi Human Rights, Amnesty International, Afd Nederland. Kampanye itu berlangsung di seluruh negeri. Dimulai hari Minggu tanggal 7 s/d 13 Februari 2010.

Tjrék, tjrék, tjrék, begitulah suara yang terdengar sampai jauh, bila para sukarelawan Amnesty Internatioanal melakukan tugasnya.


Suhu cuaca musim dingin meskipun sudah masuk minggu kedua Februari, tokh masih tetap saja dingin. Berjalan di luar rumah bukan alang kepalang dinginnya. Tetapi naik sepeda lebih-lebih lagi. Kaki menginjak pedal terus menerus, tetapi suhu badan tak kunjung hangat.


Namun, jam 14.00 siang tadi aku berangkat besepeda menuju Amsterdam Bijlmer Arena. Nama baru daerah pertokoan, Stadion Ajax, Cinema Pathé (dengan 14 ruangan bioskop yang sekaligus mempertunjukkan film-film baru itu), Music Hall Heinekens, dll adalah “ARENA BOULEVARD”. Kesitu itu, sudah kurancang beberapa hari yang lalu akan bersepedea. Urusanku ke sana ialah: Sebagai sukararelawan mengumpulkan dana untuk Amnesty International Nederland. Paling tidak satu jam aku berdiri di situ. Lebih lama dari itu rasanya sudah tak sanggup lagi. Harus tau diri, kan?


Orang-orang yang berlalu-lalang dan lewat di situ harus dihampiri, disapa dengan ramah dan senyum. Sambil menatap wajahnya aku berucap keras: “Wilt U, een bijdrage doen voor Mensenrechten? Geef om Vrijheid!.


Sudah kemarin dulu Ny Lisa Francken khusus datang bersepeda ke rumah. Ia sendiri mengantarkan kotak plastik keras untuk pengumpulan dana Amnesty International ke rumah. Katanya, biarlah ia yang mengantar kotak itu. Mengingat usiaku yang sudah s e n i o r. Ketika sambil lalu kukatakan bahwa tahun ini aku memasuki usia 80^th , Ny Francken tercengang. Ha, delapan puluh?, reaksinya. Ya, aku suka melakukan kegiatan sukarela untuk Amnesty Internasional, kataku.


Di dalam fikiranku, dengan catatan sesungguhnya tidak sedikit pendapat dan kritik yang kuajukan terhadap Amnesty International Nederland. Nanti bisa bisa dibaca lagi suratku kepada Ketua Amnesty International, Nederland, 2009.


Ny L. Francken bertindak sebagai kordinator untuk kampanye pengumpulan dana di daerah Amsterdam Zuidoost. Amnesty Internatioanal Nederland, seperti halnya organisasi kemanusiaan serupa di banyak negeri di seluruh dunia, setiap tahun melakukan kampanye pengumpulan dana. Hal ini disebabkan prinsip yang dipegang Amnesty International, yakni dalam kegiatannya menolak subsidi pemerintah. Jadi, dalam hal dana untuk melakukan kegiatannya, Amnesty sepenuhnya bersandar pada iuran anggota-anggotanya. Juga dari pelbagai sumbangan tak mengikat, yang jumlahnya cukup besar.


Kegiatan AI Nederland untuk hak-hak azasi manusia cukup luas. Anggaran Belanjanya untuk th 2008 saja meliputi tidak kurang dari Euro 23,9 juta . Pengeluaran terbesar yaitu Euro 5,8 juta, atau 24% dari seluruh AB, adalah untuk aksi-aksi. Sedangkan sejumlah Euro 7,4 juta, atau 31%, adalah sumbangan yang diberikan oleh AI Nederland kepada Sekretariat International Amnesty di London yang melakukan dan mengkordinir aksi-aksi dan kegiatan lainnya secara internasional. Untuk peningkatan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak azasi manusia dan pembelaannya dikeluarkan uang sejumlah Euro 3,2 juta, atau 14% dari AB.


Ini sekaar gambaran tahun 2008. Laporan mengenai AB 2009 akan disampaikan pada tanggal 2 Juni 2010 dimuka Rapat Umum Anggota AI Nederland


* * *


Siang itu, meski salju sudah lumer dan lenyap dari permukaan bumi, namun suhu cuaca masih tetap dingin. Kukira sekitar nol derajat C. Dengan mengenakan kupluk wol, jacket kulit dan sarungtangan wol, orang tua seumurku ini, syukur Alhamdulillah, masih bisa juga bersepeda. Tidak jauh. Hanya beberapa menit saja dari rumah kami. Lalu berdiri di cuaca dingin di situ.


Kampanye Amnesty International Afdeling Nederland untuk pengumpulan dana

dilakukan setiap tahun. Selalu dimulai awal Februari. Entah mengapa bulan

Februari itu yang dijadwal untuk kegiatan pengumpulan dana, aku tak mengerti.

Kan masih dingin sekali di luar rumah.


Untuk diketahui: Kegiatan pengumpulan dana tsb pada pokoknya dilakukandi luar rumah. Pokoknya tidak 'indoor´, tetapi 'outdoor'. Biasanya di sekolah-sekolah, gereja, perpustakaan, daerah pertokoan, stasiun-stasiun kereta-api, tram atau metro. Disitulah dilakukan pengumpulan. Seperti orang 'ngamen'. Di tempat tempat

banyak orang.




Tahun ini sebagai anggota AI Nedeland aku ikut lagi 'ngamen' cari dana. Kalau orang tidak tau, dikira pengumpul dana AI seperti orang-orang yang 'dakloos'. Orang-orang yang tak punya rumah. Mereka lalu diorganisasi untuk pengumpulan dana keperluan organisasi mereka.


Amnesty International bukan organisasi ´dakloos´ ! Ini jleas. Sukarelawan yang ikut dengan kampanye pengumpulan dana 2010 Amnesty International berjumlah ribuan.


Kegiatan AI yang semacam ini adalah suatu kegiatan yang masih mampu dan ingin

kulakukan. Meskipun untuk itu, dalam cuaca dingin harus mau berada di luar satu dua jam.Dengan sabar minta perhatian orang banyak terhadap kegiatan AI Nederland. Menjelaskan sedikit tentang arti penting organisasi membela HAM seperti Amnesty Internaional.


* * *


Demikianlah siang tadi ketika berdiri di muka Stasiun KA Amsterdam Bijlmer Arena, di antara dua gedung besar, Cinema Pathé dan Media Markt, aku 'berhasil' menarik sejumlah simpatisan untuk mengorek pundi-pundi atau kantongnya. Mengeluarkan satu atau beberapa mata uang logam Euro dan menjebloskannya di kotak AI yang kupegang.


Pengalaman serupa ini sudah berkali-kali. Sebagian terbesar orang yang lewat ketika ditegur-sapa dengan ramah untuk memberikan sumbangan mereka, cuma meléngos saja. Dengan senyumnya yang dibuat-buat.


Tetapi yang ini lain -- Tahun lalu tak ada pengalaman seperti ini: Seorag ibu dengan dua orang anaknya menunggu dimuka gedung Cinema Pather, – rupanya sedang menanti waktu pemutaran film--. Sang ibu memandang aku dari jauh. Ia tersenyum, lalu memberikan anak-anaknya masing-masing mata uang logam. Anak-anak itu disuruhnya menghampiri aku dan masing-masing mencemplungkan mata uang dari ibunya itu.


´Anekdot´ ini sepertinya tak punya arti apa-apa. Tetapi bagiku punya arti besar. Karena menyaksikan sendiri seorang ibu bersimpati dengan gerakan kemanusiaan Amnesty International. Lebih mengesankan lagi, sang ibu mendidik anak-anaknya untuk bersikap sama. Menjadi pendukung gerakan kemanusiaan.


Peristiwa sejenak ini amat bikin lega hati. Kalau diperiksa pasti tidak seberapa uang yang dimsukkannya ke dalam kotak dana. Tetapi arti penting terletak pada semangat sang ibu dan arti pendidikan bagi anak-anaknya. Bersimpati pada aksi demi kemanusiaan.


Lain lagi sikap Polisi.

Dua orang agen polisi dengan mobil datang menghampiriku. Aku sodorkan kotak dana AI. Tuan mau memberikan sumbangan, tanyaku. Tidak! Saya mau tanya pada tuan, kata agen polisi itu. Apakah tuan ada izin untuk melakukan kolekte di sini? Ya, pasti, jawabku tegas. Aku tunjukkan legitimasi brupa kartu plastik dari AI Nederland yang kukalungkan di lileherku. Ini, kataku.


Ah, itu legitimasi. Bukan izin. Ya, kataku, kartu ini dua fungsinya. Satu sebagai legitimasi. Satu lagi sebagai tanda izin. Aku mulai propaganda tentang pentingnya hak-hak manusia yang di banyak negeri di dunia dilanggar sewenang-wenang. Dua agen itu cakap-cakap di dalam mobil. Sambil mengangguk-angguk lalu berangkat.

Heh, aku pikir. Bukan menyokong, tetapi mau cari-cari alasan untuk mengusir aku dari situ.


Tak lama lagi datang lagi minibus. Ada 4-5 orang agen polisi di dalamnya. Seorang yang agak tua, turun. Sambil senyum bertanya: Apa tuan punya izin melakukan kolekte disini? Pertanyaan yang sama lagi, fikirku. Ya, jawabku. Izin yang kuperoleh adalah untuk seluruh wilayah Amterdam Zuidoost. Oh, kata polisi, hari ini ada pertandingan antara kesebelasan Ajax lawan Twente. Jadi ini hari pertandingan. Oleh karena itu tuan tidak boleh berkolekte di sini. Tuan pergi saja ke Winkelcentrum Amserdamse Poort. Ah, aku bilang, ini hari Minggu sedikit sekali orang di situ.


Aku berdiri saja di situ. Tetapi agen-agen polisi itu menunggu sampai aku pergi dari tempat itu. Sebelum aku berangkat, aku katakan kepada polisi, saya ini suka menulis. Saya ingin menulis kali ini bahwa Polisi Amsterdam ikut memberikan sumbagan dana untuk Amnesty International. Sambil senyum assam, agen-agen polisi itu mengatakan -- Ah, kami ini sedang bertugas di sini. Jadi sedikitpun tidak menyumbang, tanyaku. Ah tidak!, katanya.


* * *


Kampanye ini baru dimulai. Aku masih akan keluar dengan kotak dana AI, dan menyapa orang-orang lalu, minta perhatian mereka terhadap usaha dan kegiatan Amnesty International.


Maka paling tidak masih satu kali lagi akan kutulis dalam ruangan ini mengenai Amnesty International dan kampanye pengumpulan dana yang berlangsung sekarang ini.

(BERSAMBUNG)


* * *

LAKSMI PAMUNTJAK TOLAK RUU PORNOGRAFI

IBRAHIM ISA
-----------
FILE-

Laksmi Pamuntjak:
TOLAK RENCANA UU PRONOGRAFI --




laksmi pamuntjak


RUU Pornografi: Lima Argumen Mengapa Harus Ditolak

Saya baru saja membaca bocoran RUU Pornografi yang akan diserahkan DPR kepada
pemerintah untuk dibahas. Dokumen itu mengerikan. Simak bagian-bagian yang
mencakup definisi "peran serta masyarakat" yang pada praktiknya memberikan izin
untuk main hakim sendiri (pasal 23); definisi "upaya pencegahan" sebagai kartu
hijau untuk premanisasi (pasal 20), dan, ini yang paling mencengangkan, bagian
yang mencakup hukuman pengasingan ke tempat terpencil selama 1 sampai 15 tahun
(ingat Digoel, Buru ?) bagi para pelaku pornografi!

Juga, seperti rancangan terdahulu, tak ada kriteria yang jelas tentang
"pornografi" dan "pornoaksi." Dan apabila kriteria itupun ada, ia akan sudah
pasti mewakili seperangkat nilai tunggal yang tak mencerminkan kemajemukan
Indonesia .

Apalagi "membangkitkan hasrat seksual": siapa yang sanggup, lepas dari apakah ia
berwenang atau tidak, mengetahui hal itu kecuali para individu yang
bersangkutan? Dan apabila kita hendak jujur, takkah mesti kita akui, bahwa
berapa jam, berapa hari dalam hidup kita, apakah sekadar numpang lewat atau
singgah sesaat, kita lalui, seperti kata Susan Sontag, dalam "imajinasi
pornografi?" Meskipun ia sesuatu yang kita lakukan buat kenikmatan kita sendiri,
takkah ia tetap sesuatu yang berharga untuk diketahui karena ia merupakan bagian
dari manusia?

Tahun lalu, ketika perlawanan terhadap RUU ini sedang marak dan 6.000 orang
turun ke jalan dalam sebuah pawai yang damai dan bhineka, saya menerbitkan
sebuah esai panjang berjudul "Kisah si O: Perempuan dan Pornografi" yang dimuat
dalam dua bagian di Koran Tempo. Saya hanya ingin menyatakan ulang sejumlah
argumen saya dalam tulisan itu:

Yang belum tentu berguna, dan malah jauh lebih berbahaya (ketimbang pornografi),
adalah sensor. Pertama, sensor adalah kejam. Ia kejam terhadap kompleksitas,
terhadap warna dan nuansa, dan terhadap kemajemukan. Ia memang efektif dalam
melindungi anak-anak, tapi, seperti kita tahu, susah sekali membedakan mana yang
porno mana yang bukan, mana yang seni mana yang bukan. Ia kejam karena ia bisa
kemana-mana: ia bisa melarang majalah Playboy atau menghentikan tabloid tentang
poligami, tapi ia juga bisa memberangus seorang Agus Suwage, membungkam sejumlah
karya sastra Indonesia .

Pada saat yang sama, bagaimana ia bisa menjamin bahwa nilai-nilai yang
digunakannya mengakui keragaman penilaian seperti yang terkandung dalam
kebhinekaan sebuah bangsa seperti halnya Indonesia? Tak heran apabila masyarakat
Afrika Selatan takut terhadap sensor atas pornografi, karena mereka mengaitkan
sensor dengan nilai-nilai Kristen yang dulu diusung rezim kulit putih yang tak
membiarkan nilai-nilai lain berlaku.

Juga terkait adalah fakta bahwa nilai-nilai itu sendiri kapan saja bisa berubah.
Pada suatu masa, Belenggu-nya Armijn Pane, Tropic of Cancer-nya Henry Miller dan
Lady Chatterley's Lover-nya D.H. Lawrence pernah dianggap tak bermoral dan oleh
karenanya harus dilarang, tapi tidak lagi sekarang.

Kedua, seperti yang terjadi dalam banyak hal, apa yang dilarang akan dicari
orang. Kiranya tak perlu banyak contoh di sini. Yang ironis, tentu, adalah
apabila yang dicari justru karena dilarang adalah yang betul-betul merupakan
pelecehan terhadap perempuan, seperti kasus majalah Playboy.

Ketiga, bagaimana aparat negara bisa berasumsi bahwa ia bisa menghentikan arus
pornografi, dengan adanya teknologi komunikasi modern seperti internet atau
video bajakan? Bahkan dari dulupun, pornografi tak bisa dibendung—ia hadir,
misalnya, dalam bentuk stensil yang disebarluaskan—karena kekuasaan selalu
membuahkan perlawanan.

Keempat, sensor terhadap pornografi ternyata tak juga menghapus penindasan dan
ketakadilan terhadap perempuan di dalam hidup yang nyata. Kekerasan ada sebelum
pornografi. Justru di negara-negara dengan undang-undang anti pornografi yang
paling ketat ketakadilan dan kekerasan terhadap perempuan paling marak. Di Timur
Tengah tak ada pornografi, tapi kita tahu perempuan tetap saja menderita.

Kelima, seberapa jauhkah kerusakan yang dihasilkan oleh pornografi? Pernah
adakah sejarah sebuah masyarakat, baik di Timur atau Barat, yang ambruk oleh
pornografi? Bukankah kampanye "hate-speech"—menyebar-luaskan kebencian kepada
suku lain dan agama lain, seperti yang dialami Yugoslavia —lebih destruktif,
baik dari segi psike maupun jumlah jiwa yang hilang?

Pada akhirnya, bukankah tak sebaiknya kita memusatkan energi terhadap
pemberantasan korupsi, misalnya, atau pengadaan lapangan pekerjaan bagi
saudara-saudara kita? Saya jadi ingat kata-kata teman saya Siti Musdah Mulia
dalam pertemuan setelah Deklarasi Masyarakat Bhineka Tunggal Ika 13 Mei yang
lalu, yang menyebut kekuasaan yang ada sekarang "rezim kesusilaan".
Peraturan-peraturan daerah yang keluar akhir-akhir ini hanya mengurusi
kesusilaan, seakan kita tak punya masalah-masalah lain yang lebih penting.

Laksmi Pamuntjak
Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 02 Februari 2010
------------------------


NASIONAL(IS) DAN DEMOKRAT




Pagi ini, setengah 'surprise' terbaca berita 'hangat': Surya Paloh, salah seorang elite petinggi Golkar, tampil mendeklarasikan suatu organisasi kemasyarakatan (baru). Namanya “NASIONAL DEMOKRAT”. Maksudnya kira-kira berpendirian NASIONALIS dan DEMOKRATIS. Tempat yang dipilih untuk deklarasi juga tidak sebarangan. Yaitu Stadion Utama “GELORA BUNG KARNO”. Dalam rangka “de-Sukarnoisasi”, Orba mengubah nama itu menjadi *Stadion Utama Senayan*. Sejak Presiden Suharto disingkirkan oleh gerakan Reformasi, nama Bung Karno direhabilitasi di situ, dan nama beliau menghiasi lagi Stadion terbesar di Indonesia itu .


Perlu ditunjukkan nama tempat deklarasi organisasi Nasional Demokrat, karena pada tempat dilakukannya deklarasi itu, terkait nama Bung Karno. Dengan demikian, barangkali itu maksudnya, agar nyambung nama tempat deklarasi Stadion Utama Gelora Bung Karno, dengan nama organisasi yang dideklarasikan: Nasional Demokrat. Siapa tidak tahu, bahwa Bung Karno adalah pemimpin nasional utama yang memproklamasikan berdirinya negara kesatuan REPUBLIK INDONESIA.

Bersamaan dengan itu Sukarno juga seorang Demokrat.


Menjadi tambah penting makna deklarasi, kiranya disebabkan oleh nama-nama tokoh yang ambil bagian dalam prakarsa mendirikan organisasi "NASIONAL DEMOKRAT". Mereka itu adalah *Surya Paloh, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Ahmad Syafi-i Maarif, Siswono Yudo Husodo, Syamsul Mu'arif, Khofifah, Soleh Solahudin, Thomas Suyanto, Didik J Rachbini, Anis Baswedan, Rizal Sukma, Jeffrie Geovani, Enggartiasto Lukita, Budiman Sujatmiko, Eep Saefulloh, Franky Sahilatua, dan lainnya.*


Dalam daftar penggagas organisasi kemasyarkatan Nasional Demokrat itu bisa dilihat nama tokoh Reformasi Sultan Hamengkubuwono X; mantan pemimpin Muhammadiah, intelektual prominen Ahmad Syafii Maarif; --- tokoh muda PDI-P Budiman Sudjatmiko, dan pengamat politik dari generasi muda, Eep Safulloh, dll. Sedangkan yang hadir pada pendeklarasian Nasional Demokrat adalah tokoh-tokoh seperti Ketum PDI-P Megawati Sukarnoputri, mantan Wapres Jusuf Kalla dan Ketum DPP Partai Hanura, Wiranto.


Setelah berdialog, yang merupakan bagian dari acara hari itu, Megawati berkomentar, bahwa didirikannya organisasi kemasyarakatan ' Nasional Demokrat', adalah wajar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gagasan Nasional Demokrat, seperti *memantapkan Pancasila, NKRI, dan UUD 1945, *kata Mega, adalah sejalan dengan konstitusi PDI-P.


Pernyataan Megawati tsb sedikit banyak memberikan gambaran arah yang akan ditempuh dan tujuan didirikannya Nasional Demokrat. Paloh menambahkan bahwa belum terfikir untuk mendirikan parpol (baru).


* * *


Menoleh sedikit saja ke catatan sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, kita saksikan bahwa: Suatu gerakan yang awalnya ditandai oleh tujuan melawan ketidak-adilan, memperjuangkan sama hak, --- dalam perkembangannya bermuara pada gerakan untuk kemerdekaan bangsa dan tanah air. Menjadikannya suatu gerakan yang jelas anti kolonialisme dan anti-imperialisme. Dalam gerakan dan perjuangan yang bersifat nasional itu, terdapat di dalamnya golongan yang memnperjuangkan prinsip-prinsip Islam, seperti SI kemudian NU, Muhammadiyah, PSII, belakangan juga Masyumi. Ada juga yang berfaham Marxis seperti PKI dan Partai Sosialis Indonesia.


Dari segi utamanya, gerakan kemerdekaan dalam sejarah kita yang dimulai dari gerakan sosial, religi ataupun budaya, berkembang menjadi suatu gerakan nasional. Yang berpegang pada faham kebangsaan. Ini jelas sekali dimanifestasiskan oleh ikrar SUMPAH PEMUDA , 28 Oktober 1928. Dideklarasikan dalam Kongres Pemuda II, sbb:

Sumpah Pemuda versi orisinal:

*Pertama, Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah
darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea, Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang
satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga , Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa
persatoean, bahasa Indonesia.* (Sumber Wikipedia)

Bahkan PKI, Partai Komunis Indonesia, yang adalah sebuah gerakan Marxis yang juga berfaham internasionalis, adalah gerakan politik yang pertama-tama memperjuangkan kepentingan bangsa sendiri. Ini bisa dilihat dari kegiatannya yang bersifat nasional dan menonjol, yaitu mencetuskan pemberontakan nasional pertama melawan kolonialisme pemerintah Belanda. Tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia lepas dari kolonialisme Belanda.


* * *


Salah seorang tokoh PKI, --- TAN MALAKA, dikatakan berpegang pada pendiran kebangsaan Indonesia yang kuat. Dalam taktik dan strategi pernjuangannya, TanMalaka mengutamakan kepentingan bangsa dan tanah air. Maka ia berbentrokan dengan Komintern di Moskow.


Perhatikan berita penggalian kembali makam Tan Malaka, sbb:

Cukup berarti bahwa penggalian (yang diduga) makam Tan Malaka seorang tokoh Komunis, dilakukan oleh sebuah jawatan pemerintah. Gejala ini menunjukkan bahwa fihak yang berwewenang tidak tutup mata terhadap kenyataan bahwa Tan Malaka adalah seorang tokoh pada awal gerakan kemerdekaan Indonesia. Tan Malaka ambil bagian langsung dan aktif dalam revolusi kemerdekaan. Beliau berpendirian hanya bersedia berunding dengan Belanda, atas dasar pengakuan kemerdekaan Indonesia. Beliau juga memperjuangan persatuan semua kekuatan bangsa melawan kolonialisme. Tetapi hidup beliau berakhir sebagai korban regu-tembak TNI, tanpa melalui paroses hukum apapun. Di segi lain menunjukkan bahwa masyarakat memandang Tan Malaka, pertama-tama dan terutama sebagai pejuang kemerdekaan, yang Komunis!.


* * *


Berita dideklarasikannya organisasi Nasional Demokrat, bisa dikatakan p e n t i n g . Lain dari yang lain. D situ tidak diangkat topik '100 hari Pemerintah SBY II', juga tidak skandal sekitar Bank Century. Pun tidak sekitar kegiatan KPK. Meskipun KPK sedikit mengayunkan langkah. Yaitu dengan ditetapkannya mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, sebagai tersangka tindak korupsi. Menyangkut pembelian mesin jahit dan kasus impor sapi yang dianggap fiktif .


Mudah-mudahan saja didirikannya organisasi kemasyarakatan Nasionl Demokrat, tidak sekadar 'kejutan' akibat tidak menentunya arah politik bangsa dan negeri ini. Atau sebagai reaksi perasaan frustasi di kalangan elite politik. Melihat selama 100 hari menjabat, pemerintah SBY II tidak berbuat sesuatu yang bisa dianggap positif. Orang bilang SBY II hanya posisitif untuk menteri-menteri yang dapat mobil dinas baru, seharga milyardan. Rumah baru dan penambahan gaji pejabat!.


Mari sejenak lagi memandang sejarah bangsa. Sekadar untuk mengingatkan bahwa masalah kebangsaan, prinsip cinta tanah air dan bangsa, -- pandangan dan prinsip ini adalah pandangan dan prinsip setiap patriot Indonesia yang cinta tanah air dan bangsa. Tidak peduli apakah ia seorang resmi sebagai nasionalis, Islam, Kristen, Hindu Bali, Budhis ataupun Marxis. Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dan revolusi kemerdekaan menentang Inggris dan Belanda, yang didukung oleh semua aliran politik dan agama di Indonesia, menunjukkan bahwa faham kebangsaan, dalam arti luas, merupakan FAHAM NASIONAL, adalah milik seluruh bangsa!


Juga perlu memberikan catatan ini: Sementara orang pakai merek NASIONALIS, tetapi tindakannya justru anti-nasional. Banyak juga, baik yang Islam, Kristen, Budhis ataupun Sosialis dan Komunis, yang tanpa merek Nasional, tetapi lebih cinta tanah air, lebih peduli nasib bangsa! Lebih sedia berkorban untuk kepentingan tanah air dan bangsa. Lebih NASIONALIS dari sementra yang formalnya pakai mereka nasionalis.


* * *


Bisa dikatakan berita mengenai deklarasi organisasi kemasyarakat “NASIOAL DEMOKRAT” adalah penting, karena merupakan usaha 'cari jalan keluar' dari situasi bangsa dan negeri yang rumit dewasa ini. Di saat ketika muncul penilaian masyarakat mengenai kebijakan pemerintah SBY II selama seratus hari. Penilaian tsb tidak terbatas dalam kata-kata, dan di media saja. Manifestasi itu sudah merebak ke jalan-jalan raya. Di kota-kota besar berlangsung demo-demo dan unjuk rasa lainnya. Sampai pada tuntutan agar wapres di-impeach bahkan SBY harus turun panggung.


* * *


Apakah berkelebihan bila orang ingin melihat apa tindak lanjut organisasi Nasional Demokrat? Langkah apa yang akan diambil. Lebih penting lagi: NYATAKAN dengan jelas apa rencana dan program kongkrit dalam rangka menyelematkan bangsa ini. Tidak kalah penting, nyatakan kekuatan dan golongan mana saja yang hendak dicakup oleh gerakan kemasyarakatan ini.


Bangsa dan negeri ini sudah lama, terutama sejak berdirinya Orba, terus menerus menjadi sapi perahan modal monopoli global. Sekaligus menjadi mangsa kaum koruptor dan nepotis, pencuri kekayaan negara, yang bergelimang korupsi dan nepotisme, berlomba-lomba memperkaya diri dan golongannya sendiri serta hidup bermewah-mewah di tengah-tengah penderitaan rakyat yang miskin dan papa..



* * *

*MENELAAH DUA KOREA – DUA SISTIM*

*IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita*

*Kemis, 28 Januari 2010*

*---------------------------------------*


*MENELAAH DUA KOREA – DUA SISTIM*

**


Penulis May Swan, Singapore, hari ini menyiarkan sebuah analisisnya mengenai DUA KOREA – DUA SISTIM. Suatu pemikiran yang khas dan berani. Ketika kubaca, muncul fikiran: Alangkah baiknya bila pembaca-ku juga bisa ikut membaca dan mempertimbangkan tulisan May Teo ini. Aku belum minta pendapatnya, tetapi kukiran ia setuju aku ikut menyebarkan tulisannya itu.

Bukankah begitu Mbak May?


Metode analisis May Swan dalam penulisannya tajam dan cukup mendalam. Tulisan ini cukup berat, namun ditulis dengan gaya sederhana tapi lancar dan menggunakan kalimat-kalimat yang tidak sulit difahami. Bisa dipastikan bahwa tulisan May Swan ini paling tidak, memancing dan menggugah pembaca untuk memikirkannya lebih mendalam. Dan tidak dihanyutkan oleh komentar pers Barat tentang Korea Utara, yang umum diketahui menanti-nantikan Korea Utara bubar dan tenggelam sebagai suatu sistim pemerintahan, politik dan ekonomi. Sehingga mereka bisa berteriak menepuk dada: Lihat itu satu lagi negara sosialis yang bubar!


* * *


Kukutip bagian akhir dari tulisan May Teo, yang mencengkam sbb:


“/Dua negara Korea Utara danSelatan, memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Maka apabila kesadaran ini menjadi kesadaran nasional bagi kedua pihak, maka Korea akan menjadi negara yang memiliki corak dan kepribadiannya sendiri, yang memiliki kekuatannya sendiri, akan disegani dan dihormati oleh negara-negara lain./


“/Gejala kesadaran ini nampak muncul dari kedua belah pihak, yang hanya mereka sendiri yang cerdas dan waspada yang memahaminya. Nuclear deterrence dari Korea Utara, di satu pihak menjadi andalan dan dipihak lain menjadi kekuatan yang tak boleh diremehkan oleh siapa pun juga. Inilah puncak keberhasilan nasion di Semenanjung Korea ini./


“/Dalam melihat dan mengamati perkembangan suatu bangsa, kita harus sadar akan hukum kontradiksi, aspek positif dan aspek negatif selalu eksis sejak kelahirannya sampai ketiadaannya. Kontradiksi inilah yang menyebabkan sesuatu perkembangan dan pertumbuhan sampai unsur dua aspek ini lenyap bersamanya./


“/Apa yang kita lihat, yang nampak adalah dominasi dari aspek-aspek yang bertentangan. Dikatakan baik, maju, bagus karena aspek bagusnya dominan, “kejelekannya tidak muncul. Demikian pula sebaliknya. Apa yang pada permulaannya bagus tidak berarti akan bagus selamanya, karena proses perobahan akan selalu berjalan sepanjang masa./



Silakan mengikuti analisis May Teo mengenai DUA KOREA SAAT INI.


* * *


*MAY SWAN :*


*Menanggapi Yahoo News:*

*North Korea fires artillery rounds raising tensions. *


Sejak PD II Korea pecah menjadi dua; Utara dan Selatan. Utara memilih blok Sosialis dan Selatan berpihak kepada blok Kapitalis. Ini adalah produk pasca perang, yang tak dapat dipisahkan dari kepentingan Blok Soviet dan Amerika. Kepentingan ideologi dan politik internasional.


Keadaan menjadi berubah setelah rusaknya Blok Timur yang menjadi jalan kapitalisme. Karena itu tidak ada lagi menanjamnya ancaman perang global. Yang mungkin ada adalah perang regional, seperti di Kuwait, Irak, Afghanistan yang bukan lagi perang politik Sosialisme vs Kapitalisme melainkan intinya adalah kontradiksi antara kepentingan ekonomi imperialime atau kapital monopoli besar lawan ekonomi kapitalis nasional.


Apa yang terjadi di Semenanjung Korea, adalah refleksi merosotnya kontradiksi front Sosialis vs Kapitalis besar. Ketika kaum revisionis Rusia mencapai dominasi atas kaum revolusioner di Soviet Sosialis, perkembangan situasi menjadi berubah Rusia menjadi negara kapitalis. Yang efeknya menjadi kontradiksi kaum revolusioner di dunia pun terpengaruh sebagai akibatnya. Tensinya menjadi kontradiksi antar klas kapitalis didunia.


Di Korea, Kim Il-sung memiliki karakter dan keberhasilan sendiri dalam memimpin rakyat Korea Utara menempuh jalan revolusiner, sebagai penganut dan pengikut Lenin/Stalin, berhasil menanamkan ideologi yang mendalam dan luas atas rakyat Korea Utara. Meninggalnya Kim Il-sung, tidak banyak pengaruhnya untuk merubah ideologi penerusnya, Kim Jong-il. Korea Utara berhasil mempertahankan ketegaran pemeliharaan ideologi Lenin/Stalin walaupun tidak berarti tidak adanya perubahan kuantitatifnya.


Jelas Kim muda tidak sebesar Kim senior. Oleh sebab pengaruh dari luar, situasi dan kondisi di Rusia, dan pengaruh dari dalamnya, Kim Jong-il tidak sepenuhnya sama dengan ayahnya, maka dapat dipastikan adanya perbedaan dan pergeseran. Karena itu sangat tergantung kepada kepemimpinan kolektif mereka untuk mengarahkan Korea Utara mau kemana. Kewaspadaan nasional rakyat Korea nampak sangat tinggi, sehingga dapat terus exist, bertahan melawan tekanan berat dari luar. Satu hal yang pasti Korea Utara tidak larut ke dalam kehidupan borjuasi yang membahayakan existensi dirinya seperti di Rusia dan Eropa Timur.


Dalam segi perkembangan pertahannya ia berhasil memelihara keunggulan nuklirnya baik di bidang pertahanan maupun industrinya. Pemilikan dan penguasaan nuklir ini menjadi andalan deterrence bagi Korea Utara. Kalau ini tidak dipelihara sudah lama Korea Utara ambruk sebagai akibat tekanan embargo dari Sekutu Amerika. Sebaliknya Korea Utara bagaimana pun menjadi kekuatan yang diperhitungkan terutama dari kekuatan nuklir dan senjata nuklirnya. Pers kapitalis barat perlu disaring beritanya yang membesar-besarkan segi-segi negatif rakyat Korea Utara. Ia tidak berdiri rapuh terhadap gejolak krisis ekonomi seperti yang terjadi di negeri-negeri kapitalis. Benar rakyatnya tidak sesemarak kehidupan dunia kapitalis, disebabkan oleh adanya embargo yang ketat.


Korea Selatan, hidup dalam kebebasan ekonomi liberal yang bebas bersaing. Namun ia renatan terhadap krisis ekonomi yang mesti terjadi setiap periode tertentu tak bisa dihindari. Ketika datang ancaman krisis ekonomi mereka panik untuk menyelamatkan diri dari krisis. Salah-salah dapat bangkrut karena dilanda krisis. Dalam pertahanan ia tergantung kepada sekutunya, Amerika Serikat. Maka segala kejadian di Amerika akan sangat mempengaruhi kehidupan politik, sosial dan ekonomi Korea Selatan, sama seperti negara negara yang bergantung pada AS lainnya.


Dua negara Korea Utara danSelatan, memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Maka apabila kesadaran ini menjadi kesadaran nasional bagi kedua pihak, maka Korea akan menjadi negara yang memiliki corak dan kepribadiannya sendiri, yang memiliki kekuatannya sendiri, akan disegani dan dihormati oleh negara-negara lain.


Gejala kesadaran ini nampak muncul dari kedua belah pihak, yang hanya mereka sendiri yang cerdas dan waspada yang memahaminya. Nuclear deterrence dari Korea Utara, di satu pihak menjadi andalan dan dipihak lain menjadi kekuatan yang tak boleh diremehkan oleh siapa pun juga. Inilah puncak keberhasilan nasion di Semenanjung Korea ini.


Dalam melihat dan mengamati perkembangan suatu bangsa, kita harus sadar akan hukum kontradiksi, aspek positif dan aspek negatif selalu eksis sejak kelahirannya sampai ketiadaannya. Kontradiksi inilah yang menyebabkan sesuatu perkembangan dan pertumbuhan sampai unsur dua aspek ini lenyap bersamanya.


Apa yang kita lihat, yang nampak adalah dominasi dari aspek-aspek yang bertentangan. Dikatakan baik, maju, bagus karena aspek bagusnya dominan, kejelekannya tidak muncul. Demikian pula sebaliknya. Apa yang pada permulaannya bagus tidak berarti akan bagus selamanya, karena proses perobahan akan selalu berjalan sepanjang masa.


Salam,

May Swan



* * *

“*PATAH TUMBUH HILANG BERGANTI*

*IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita *

*Rabu, 28 Januari 2010*

*-------------------------------------------*


“*PATAH TUMBUH HILANG BERGANTI*

*GUGUR SATU TUMBUH SERIBU”*

**


Kemarin itu, hari Selasa 26 Januari 2010, jam 12.30, dinginnya bukan main! Sepertinya di Belanda, sudah mencapai suhu terrendah selama musim dingin kali ini. Delapan derajat Celsius di bawah nol. Namun, lebih 200 hadirin memenuhi ruang-duka Goetzee Dela Rouwcentrum, di Boezemsingel 35, Rotterdam. Beberapa orang adalah dari keluarga A.S. Munandar (termasuk dua orang putranya yang datang dari Indonesia) - ”Endro dan Widyo”.


Kebanyakan adalah orang-orang Indonesia. Berpakaian tebal dan songkok musim dingin. Beberapa orang Belanda datang juga, antara lain sahabat lama A.S. Munandar, wartawan senior Joop Morrien. Juga Ketua Wertheim Stichting, dr Coen Hotzappel. Lalu sahabat-sahabat dari Filipina. Demikian juga dari kalangan komunitas Tionghoa-Belanda seperti dr Go Gien Tjwan, Ong HuiYang dan Dr Paul Thung dan istri, dll. Selebihnya adalah kenalan-kenalan lama AS Munandar dari Amsterdam, Den Haag, Leidsendam, Purmerend, Zaandam, Utrecht, Zeist, Rosendaal, Rotterdam, Dortmund, Keulen, Hülhorst, Paris dan Stockholm. Mungkin juga (maaf) ada yang ketinggalan dicatat di sini.


Pertemuan yang mengensankan kemarin itu, dibuka dengan hikmat oleh pimpinan Perhimpunan Persaudaraan Taufik. Diikuti oleh penghentingan cipta mengenangkan A.S. Munandar tercinta.


* * *


Pagi ini – Kutanyakan kesan Andreas Sungkono dari pimpinan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, yang sejak semula bersama kawan-kawannya dari Perhimpunan Persaudraan sibuk mengatur-atur pertemuan hari itu: Bagaimana kesannya mengenai perpisahan dengan Bung Cipto kemarin.


Yaah, jawabnya, kita semua terutama berduka-cita! Tetapi bersamaan dengan itu juga terharu, lega dan gembira menyaksikan begitu banyak yang datang pada upacara perpisahan dengan Bung Cipto. Kiranya fihak Rouwcentrum Goetzee Dela, juga terhera-heran. Begitu banyak hadirin yang datang pada hari pemkakaman A.S. Munandar. Jarang sekali begitu banyak hadiri pada suatu upacara pemakaman.


Kusajikan di sini sajak yang dirangkum Andreas Sungkono dalam kata perpisahannya kepada A.S. Munandar, sbb:


/Selamat Jalan/


/Ketika cuaca dingin membeku/

/Dan cakrawala Nusantara /

/Masih kotor dengan debu/

/Kau pergi tinggalkan kami/

/Walau itu bukan maumu sendiri/


/Kau telah berlawan, bertahan /

/Lebih dari dua pekan/

/Tapi kodrat telah sampai ke batas janji/

/Tak bisa ditunda lagi/


/Kau tinggalkan semua yang kau punya/

/Pemikiran dan keyakinan/

/Juga api yang kau jaga menyala/

/Serahkan pada generasi muda /

/Pelanjut angkatan/

/Meneruskan perjalanan/

/Menuju harapan…./

/Selamat jalan Bung Cipto!/


Beristirahatlah dengan tenang di alam damai dan abadi!


* * *


Sarmaji dari Perhimpunan Dokumentasi Indonesia Amsterdam, berkesan a.l. sbb: Sangat mengharukan kata perpisahan dari dr Paul Thung, sahabat A.S.Munandar sejak muda ketika bersekolah di HBS dan kemudian sama-sama bekerja di laboratorium geologi di Bogor pada zaman pendudukan Jepang, sampai bertemu kembali di Belanda sesudah berpidah duapuluh tahun lebih. Apa kesan Dr Paul Thung: Ashar tidak berubah. Ia adalah orang yang jujur dan berprinsip yang berjuang untuk keyakinannya sampai akhir umurnya. Betapapun kesulitan yang dihadapinya, tanah air dan bangsa, IA TETAP OPTIMIS.


Aku terharu mendengar kata-kata yang diucapkan oleh putera Bung Cip, Widyo yang ditinggalkan bapaknya ketika berumur 1 tahun (1965). Kemudian baru bertemu lagi pada tahun 1988 ketika ia berkunjung ke Belanda untuk pertama kalinya jumpa dengan bapaknya. Kata Sarmaji.


Kutambahkan bahwa juga amat mengharukan betapa cucu AS Munandar, Satria, mengutarakan hubungan dekatnya dengan Opanya, Opa Munandar.


* * *


Yang a.l. hendak difokuskan di sini ialah kata-kata perpisahan yang diutarakan oleh sahabat lama AS Munandar, Umar Said. Umar Said, adalah mantan Pemimpin Redaksi s.k.Ekonomi Nasional dan Bendahara Persatuan Wartawan Asia-Afrika (Jakarta). Umar Said mengangkat satu kalimat yang ditulis oleh A.S.Munandar dalam bukunya, bab: KILASAN KENANGAN MASA LALU. Kalimat-kalimat itu adalah:


“Ribuan kawan dan sahabat dekat yang kukenal sudah tidak ada, mereka telah memberikan pengorbanan luarbiasa, mengenang mereka membuat hatiku amat sedih. Tetapi seperti peribahasa kita: /Patah Tumbuh Hilang Berganti! /Tetap kupelihara rasa optimis, karena percaya pada bangsa dan rakyatku, terutama pada generasi mudanya, yang kelak pasti akan berhasil mewudjudkan cita-citanya untuk masyarakat yang adil”.


Kemudian Umar Said menghubungkan keyakinan A.S. Munandar tsb dengan perkembangan belakangan ini di tanahair. Muncul dan berkembangnya kebangkitan baru kesedaran akan keadilan terutama di kalangan generasi muda, di tengah-tengah membeludaknya kritik-kritik dan protes terhadap skandal-skandal di lembaga pengadilan sekitar penangan kasus koruspsi dan di Bank Century.


* * *


Dalam kata-kata terakhir untuk Bung Cip, kunyatakan sbb: YA KAWAN, YA SESEPUH. Yang kumaksudkan sesepuh di sini, sesungguhnya bukan secara umum semata. Tetapi kongkrit berhubungan dengan analisis dan penilaian beliau terhadap perkembangan situasi polik tanah air dan mancanegara. Khususnya mengenai masalah SOSIALISME dewasa ini dan selanjutnya.


Maka, bila hendak mengetahui pandangan dan fikiran A.S.Munandar, hendak mengetahui siapa A.S. Munandar, kataku, BACALAH BUKUNYA. Bung Cipto sendiri menjelaskan di dalam bukunya bahwa:


“Setelah membaca kembali bahan yang sudah dikumpulkan, penulis (A.S.Munandar) menyedari bahwa penyusunan dan penulisan bahan-bahan itu bagi penulis sendiri merupakan bagian dari suatu proses belajar yang tak ada habis-habisnya dan berlangsung terus sampai akhir hayat manusia”.


* * *


Di dalam uraian itu kita melihat betapa A.S.Munandar rendah hati, tidak berhenti pada penulisannya sendiri di waktu lalu, tetapi memikirkannya kembali. Baginya hal itu merupakan suatu proses belajar yang tak ada habis-habisnya dan berlangsung terus sampai akhir hayat manusia. Betapa rendah hatinya Bung Cip. Betapa besar semangatnya untuk belajar lagi. Karena, pemikiran kita harus didasarkan serta sesuai dengan keadaan dan perkenbangan situasi yang seringkali berlangsung cepat.


Dari sifat rendah hati A.S. Munandar serta semangat belajarnya yang tak kunjung padam itu kita yang ditinggalkannya dapat berteladan!



* * *

/A.S MUNANDAR – A COMRADE, – – A SENIOR




IBRAHIM ISA

Tuesday, 26 January 2010

---------------------------------

(Memorial Speech) - Rotterdam,26 January 2010)

/A.S MUNANDAR – A COMRADE, – – A SENIOR/

//



/Dear families Ami-Nicon, Yanti-Hari; Wiwit-Nono; Endro-Nita ; Widio-Andri and Zus Artin Darma. /


/Friends, ladies and gentlemen,/


/The law of nature and God's Will decided that the life of human-beings, just like those of other living creatures on this planet, will finally come to an end. /

/*Inna Lillahi Wa Inna Lillahi Rajiun.*/


/A time of gathering like we have today is a very sad and heavy one. This is true especially for the children and grand children, the in-laws and other members of the family Munandar. It is very hard to put this feeling into words. The passing away of A.S. Munandar-- made us all, left alone in this world. We are with the whole family in mourning the passing away of A.S. Munandar. We hope the family will be brave in a difficult time in which they are at this very moment.. /


/The passing away of A.S Munandar, -- to his comrade in arms, is a loss of a very close friend. More than that. We are his close friend and comrade in arms. To us, he is a comrade and a senior as well. He is an example for us in plain living. An example of how to be patience. How to be tolelerant. Especially vis a vis different ideas. The more so, he is an example of how to think deeply and act cautiously. It is difficult indeed, to find someone like him. /


/How lucky we are to have a precious and valuable legacy, i.e. his book “SELECTED WRITINGS” – Opinion and Views – (1990 – 2009). Do you want to know the opinion and views of A.S, Munandar, to get to know who he is – reading his book would be helpful./


/I need not to say again what I wrote a few days ago in my articles about A.S. Munandar. I just want to let you know the opinion and impression of those who are from the new generation in Indonesia, and from a Dutch friend./


/Let me tell you the feelings of someone who happened to know Bung Cipto, when he got the news of Munandar's passing away. That friend is a scholar from Indonesia. In 2007 he received his PhD at the Leiden University. It was at that time when he was studying at Leiden, S. Margono, from The Faculty of History of the Gajah Mada University, Jogyakarta, -- had conversations with Munandar and several times listened to his lectures, about the developments in Indonesia./


/He wrote in his e-mail to me, among others: He (Munandar) was indeed a very-very cordial and intimate friend. An intelligent and educated person. His analyses on different issues are very sharp. As a youg man I have learned much from him, either from his lectures or conversations with him, especially held at Korenbloemlaan 59, Leiden./


“/Together w//ith others I pray to God, – – - please give him the best place at Your side, conforming his deeds for the wellbeing of others, for the nation and the country./


/Let us listen to the impression of a member of his family, written in English as follows: /


“/He who has sacrificed himself and even his family for the better life of the unlucky, has passed away. Until the end of his life, he always was an inspiration for his friends . . . . ./


“/We believe what you have fought for, has meaning even just a tiny. Our love goes with you. May you rest in peace.”/


* * *


/I would like to tell you, the wish of our friend from Jogyakarta. S.Margana/

/who did not forget to ask (me). He wrote: “If I may ask you, Pak, where can I get the book of Pak Munandar?”/


/When the news reach dr Coen Holtzappel, chairman of the Wertheim Stichting, about the passing away of A.S. Munandar, who is chairman of SAS – Stichting Azië Studies, Informatie and Documentatie – he spontaneously wrote to me: WHAT A LOSS! Can you, Isa, arrange for a wreath for him from The Wertheim Stichting?/


* * *


/The deep impressions and feelings as expressed by DR S. Margana (Jogyakarta); one from a member of the Munandar family (Jakarta), and another from dr Coen Holtzappel, chairman of the Wertheim Stchting (Amsterdam), -- fully represent my own feelings and impressions on A.S Munandar. /


* * *


/It is a great honour for me to be able to stand here and speak for my comrade in arms beloved A.S. Munandar./


/I thank you, Ami and Nicon and the family../


* * *


------------------------------------------------------------------------

*One Foreigner's Appreciation of Gus Dur

IBRAHIM ISA'S – SELECTED NEWS AND VIEWS

Monday, 25 January 2010

-----------------------

*One Foreigner's Appreciation of Gus Dur *


*Why Indonesia's book bans should not be shrugged off
-----------------------------------------------------

*One Foreigner's Appreciation of Gus Dur
*Written by Philip Bowring
Sunday, 03 January 2010
ImageNot just Indonesia but the Islamic world lost an irreplaceable figure

Symbolism matters. By most measures Abdurrahman Wahid - known universally as
Gus Dur - was a disaster as Indonesia's president. Even Megawati's years of
doing nothing appear an achievement in comparison with Gus Dur's chaotic 21
months in power as Indonesia's fourth leader.

Yet is it possible to argue that the almost blind head of the Nahdlatul
Ulama, who died on Dec. 30, contributed not just more than anyone to
Indonesia's nearly peaceful transition from the Suharto era, of which he was
a part, to plural democracy. Even more important, he embodied a tradition of
tolerance which is as essential as a common language to the survival of
Indonesia, a nation which is not merely multi-religious but harbours a wide
variety of interpretations of the religion of the majority.

His most obvious contribution as president to inclusiveness and tolerance
was his ending of overt discrimination against Chinese people and language.
But that was only one aspect of a career built on a profound belief in the
importance of common values transcending religious divisions. Despite an
unprepossessing physique, he was an effective leader because he combined
several elements. He inherited leadership of the NU from his father and
grandfather, and hence the quasi-feudal authority that went with the grass
roots Muslim organisation.

But he added to that true intellectual weight, a profound knowledge not only
of Islam but of other religions and philosophies combined with an ability,
learned through his years in journalism, to express himself simply and
directly. And to those he added an earthiness to which people at large, be
they peasants from east Java or politicians in Jakarta could easily relate.

The Gus Dur who loved retailing gossip about the sex lives of the first
family was the same Gus Dur who was treated with reverence both by his
fellow kiai - the religious leaders of Indonesian Muslims - and by attendees
at international gatherings.

His failings were obvious too and rather typical of one born to high office.
To those were added physical decline in the wake of his stroke and what
amounted to almost an addiction to politicking which left friends and allies
exasperated. If he had been directly elected as president, things might have
been different. But he proved temperamentally incapable of the managing the
coalition of entrenched interests necessary when the presidency was the gift
of the MPR, the country's fractured House of Representatives. His liberal
views on separatist issues such as Aceh and Irian Jaya also contributed to
his downfall - though in the case of Aceh they paved the way to post-tsunami
peace.

His failures do not undermine his importance as religious leader and
politician in keeping religion and politics separate and ensuring that
mainstream Islam in Indonesia remained tolerant and plural, where religion
was a matter of private conscience and where the secular state kept out of
religious affairs - and vice versa. He also reconciled Islamic teachings
with pancasila, Indonesia's amorphous, five-sided state philosophy of belief
in one god, humanitarianism, national unity, popular sovereignty and social
justice.

It was this belief in pluralism which enabled him to be a moderating
influence in the latter Suharto years and play a central role in the
democratic transition. That a nearly blind cleric who had already suffered
strokes was elected president at all was a reflection of his symbolic role
in a nation searching for a new basis for harmony.

Many Muslim-majority countries (not least Malaysia) could learn much from
the liberal intellectual traditions which Gus Dur embodied. Indeed, the
physical infirmity of his later years largely prevented him from playing an
international role, providing a coherent and good-humored counter to the
exclusivism and extremism displayed by religious and political authorities
in countries as diverse as Iran, Malaysia and Pakistan.

The world, not just Indonesia, needs more Gus Durs.
----------------------
http://www.economist.com/images/blocks/black.gif

*Banyan
The books of slaughter and forgetting*
Jan 21st 2010

*Why Indonesia's book bans should not be shrugged off*

THE past, even in Indonesia, is a foreign country: they did things
differently there. The downfall in 1998 of the 32-year Suharto “New Order”
regime seemed to mark the border as clearly as would a checkpoint and a
queue for immigration. This side of the boundary, Indonesia enjoys
liberties, a raucous free-for-all of competing ideas and the luxury of
democratic choice. On the other side lurked repression, rigged elections,
stifled opinions and a long list of banned books. So it is odd and not a
little disturbing, in this last respect, to find the freely elected
government of President Susilo Bambang Yudhoyono not doing things
differently at all. In December the attorney-general’s office banned five
books. The government is looking at proscribing a further 20, which might,
it frets, prove a threat to “national unity”.

If this is continuity, it is also an attempt to disguise it. Most of the
books in question are histories; guidebooks to parts of that foreign country
which the government still wants to keep out of bounds. One tackles the
mysterious atrocities that still haunt Indonesia: the massacre of hundreds
of thousands of alleged communists and others as Suharto consolidated his
power in 1965-66. Few horrors have been so unexamined. In Cambodia a flawed
judicial process is at last asking questions about the Khmer Rouge terror
from 1975-78. Even in China the show-trial of the Gang of Four served to
hold a few responsible for the crimes of the many in the Cultural Revolution
(1966-76). But in the villages of Java and Bali people still live
side-by-side with their parents’ murderers or their families. And the
torrent of bloodshed in which they were bereaved has never been officially
acknowledged, let alone subjected to a truth-and-reconciliation commission.

Back in 1998 the late Pramoedya Ananta Toer, Indonesia’s greatest novelist,
a prison-camp veteran who was by then a deaf and cantankerous but still
eloquent old man, enjoyed a moment of untypical optimism. At last, he
believed, the truth about 1965 would come out. He dismissed the usual guess
of up to 500,000 deaths, claiming there had been 2m. Now that Suharto had
gone, there was no reason the truth had to lie buried with the many dead.
Today Pramoedya’s books, at least, are unbanned. But had he lived, he would
be raging against the incompleteness of reformasi (“reformation”) and the
resilience of censorship.

Nor is 1965 the only forbidden territory. Also banned (censors do not do
irony) is a book called “Lekra Doesn’t Burn Books”, a reference to a leftist
cultural institute, very influential in the early 1960s, to which Pramoedya
belonged and which was later demonised by the Suharto regime. Another banned
volume covers Indonesia’s controversial annexation of Papua in 1969.

An Australian film has also been banned. “Balibo” presents the story of the
deaths of five Australian journalists during the 1975 invasion of East
Timor. The film is flawed as a work of history. José Ramos-Horta, president
of what is now Timor-Leste, jokingly grumbled to the director that the actor
playing him as a young firebrand was not handsome enough. He can have had
few other complaints about his portrayal. But its basic plot is the one
Australia’s courts have decided is true: that the five were murdered by
Indonesian soldiers.

Few Indonesians have much time for Australian efforts to dig up this bit of
their country’s past. And some argue that the fuss the usual
civil-libertarian suspects have made over the book bans misses the point.
Far from sliding back to the authoritarian ways of the past, Indonesia now
has arguably the freest and most vibrant press in South-East Asia. “Law
number 4”, passed in 1963 to sanction fierce censorship, was lifted for the
press in 1999.

So, though books, pamphlets and posters remain under the censor’s thumb,
newspapers and magazines have proliferated. They report the latest political
intrigues involving Mr Yudhoyono with little restraint. The
attorney-general’s office is reportedly also mulling a ban on a book
claiming campaign-finance violations by the president last year. But as soon
as this became known hawkers started flogging pirated versions across
Jakarta. Indonesia has more than 30m Indonesian internet-users, with access
to every fact, theory and guess about their country’s recent past. The
censors’ argument—the one used by their peers everywhere—is that the banned
works might divide the nation and lead to bloodshed. That does not hold
water, for censorship no longer works.

By the same token, it does not seem to matter overmuch that censors try to
keep a couple of fingers in the information dyke. The attempt to suppress
recent history, however, does have two serious consequences. One is that the
same mistakes keep being made: not because they are forgotten, but because
there is little public exploration of other options. So the blunders
Indonesia’s occupying soldiers made in East Timor—the dependence on torture,
the co-option of unreliable local thugs, the closing-off of the region and
refusal to discuss it with foreign countries—have been repeated elsewhere,
in Aceh and now Papua.

SBY’s new New Order?

Second, and more fundamentally, the book bans hint at the identity crisis
suffered by the Indonesian political elite. The Yudhoyono regime is rightly
proud of its other democratic and liberal credentials. But it is not willing
to declare a complete break with the past. The president himself is a New
Order general who served in East Timor. Both the main opposing presidential
tickets in last year’s election featured another Suharto-era general (each
with a murkier reputation). It is easy to understand why they are unwilling
to confront the past. But until they have—and have repudiated parts of
it—Indonesia’s democratic transformation will always seem provisional, and
the past not so much a foreign country as the place where its leaders still
live.

* * *