Sunday, February 14, 2010

Andrée Feillard: MENENGOK KHIDUPAN GUS DUR

IBRAHIM ISA
-----------------------------------------
Sekretaris Wertheim Foundation, Amsterdam
Publisis



Komentar mengenai tulisan Andrée Feillard - Peneliti Senior bidang sejarah di CNRS (Pusat Penelitian Prancis), mengenangkan Gus Dur.

Kesan pertama: Sebuah tulisan yang jujur dan terbuka. Objektif dan berimbang.

Makin terasa bagaimana kita 'KEHILANGAN' Gus Dur. Tetapi Gus Dur tak akan hilang dalam sejarah PENCERAHAN di INDONESIA.
Diharapkan lembaga yang didirikan Gus Dur dan putrinya Jenny, 'ABDURRACHMAN INSTITUTE' mulai membuat sebuah buku yang kira-kira berjudul GUS DUR DAN ARTI FIKIRAN PENCERAHANNYA BAGI MUSLIM INDONESIA.

Amsterdam, Minggu, 10 Januari 2010

http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=d1fe1fd1f1a352f229bf4d
24630264e2&jenis=

b706835de79a2b4e80506f582af3676a

http://www.surabayapost.co.id/images/logo_cetak.gif

* * *

MENENGOK KEHIDUPAN GUS DUR YANG BERGEJOLAK

Dari Paris bersalju, menengok kehidupan Gus Dur yang Bergolak
Sabtu, 9 Januari 2010 | 09:12 WIB

http://www.surabayapost.co.id/gambar/4c813bd947fdac02c67d7808831d351b.jpg

Andre Feillard

http://www.surabayapost.co.id/images/hRule2.gif

Oleh : Andrée Feillard - Peneliti Senior bidang sejarah di CNRS (Pusat
Penelitian Prancis)

Berada sangat jauh di kota Paris yang dingin---hari ini bersuhu di bawah 7
derajat celcius dan salju dimana mana---kabar mengenai wafatnya Gus Dur
menjadi sulit dipercaya. Pernah Gus Dur mengunjungi saya disini, satu hari
siang pada bulan september 1999 di pinggiran kota Paris yang hijau --
sekarang putih semua. Waktu pulang, dia pun terpaksa naik kereta api seperti
orang biasa untuk menghindari kemacetan lalu lintas. Orang lain mungkin
sudah menggerutu, tetapi Gus Dur tidak. Ia pun bersukacita dan bergurau,
mirip seorang pemuda ceria yang melakukan kegiatan jalan-jalan yang tak
terduga. Gus Dur senang dengan hal-hal yang tak terduga. Di kereta api
pinggiran kota itu, kami berbicara sebentar tentang arah politik yang mau ia
ambil, dan tentang kesempatan yang akan dilewatkannya bila itu terjadi
(termasuk rencana mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Prancis bersama
isteri dan empat putrinya, sesuatu yang sudah lama diinginkannya).

September 1999 itu merupakan bulan terakhir dalam hidupnya sebagai pemimpin
sebuah komunitas keagamaan untuk menjadi kepala negara di sebuah negara yang
multiagama.

Abdurrahman Wahid bukan sembarangan orang untuk memegang posisi seperti ini.
Bukankah dia adalah anak pertama Wahid Hasyim, mantan menteri agama
Indonesia, yang pidatonya pada 2 Januari 1950 mungkin bisa dilihat sebagai
sebuah pertanda prophetic?

Izinkan saya mengutip pidato Wahid Hasyim itu yang diucapkan di tempat
khusus pada hari khusus : di istana negara, pada perayaan Maulud Nabi..
Pidato ini saya baca pertama kali waktu mulai meneliti Nahdlatul Ulama, pada
tahun 1980an, di buku Aboebakar Atjeh yang diterbitkan Departemen agama
setelah wafatnya Wahid Hasyim. Entah kenapa, pidato itu muncul kembali di
benak saya:

"Bismillah hirrahman nirrahim. Sungguh sangat menggembirakan hati, bahwa
hari-hari pertama daripada Republik Indonesia Serikat, sebagai bentuk jang
dianggap sah daripada kemerdekaan Rakjat Indonesia jang telah ditjapai pada
17 Agustus 1945, djatuh pada hari-hari dari dua orang pemimpin dunia jang
sangat kenamaan, jalah Nabi Muhammad s.a.w. pembawa adjaran-adjaran
al-Qur'an dan sjari'at Islam, serta Nabi Isa bin Marijam a.s., pembawa
adjaran-adjaran Indjil dan sjari'at Nasrani.

Djarang terdjadi dalam perhitungan tahun, bahwa dua peristiwa itu berlaku
dalam masa jang berdekatan, ialah hari lahir suatu negara dengan hari lahir
seorang nabi Allah. Tetapi lebih djarang lagi terjadinya hari lahir sesuatu
negara dengan hari-hari lahir dua orang pesuruh Allah seperti pada peristiwa
lahirnya Republik Indonesia Serikat ini.... " (Aboebakar Atjeh, Sedjarah Hidup
KH Wahid Hasjim, 1957, hlm. 677).

Sekarang ini, sebagian besar pers Indonesia merayakan Gus Dur sebagai "tokoh
pluralis," dan ini tampaknya dibenarkan dengan rasa duka mendalam dari kaum
Buddha dan Kristen yang bersatu untuk berkabung dengan kaum Muslim.

Memang, selama ini, tak diragukan, banyak orang datang pada Gus Dur untuk
meminta perlindungan dan "keadilan" pada masa transisi yang riuh: pada
1990an, kaum minoritas datang waktu mereka sedang mengalami efek buruk
"identity politics" (politik identitas menekankan perbedaan kelompok untuk
tujuan politik), dengan perusakan gereja yang makin banyak. Demikian juga
datang kaum demokrat yang saat itu menghadapi rezim Soeharto yang mencoba
bertahan "at all costs". Selanjutnya pada 2000an, yang datang pada Gus Dur
adalah kaum Muslim pluralis (dan liberal) saat mereka menghadapi kelompok
Islamist radikal. Mereka semua mendatangi Gus Dur dengan harapan besar,
mungkin juga harapan yang terlalu besar, yang terkadang bisa saja
dikecewakan. Namun siapa lagi selain dia yang bisa menyatukan begitu banyak
kelompok lemah? Dan siapa lagi yang memiliki keberanian untuk melakukan
pembelaan dengan membawa gaung yang begitu kuat?

Tahun 1980an dan tahun 1990an berbeda. Pada 1980an, Gus Dur mengambil peran
kunci untuk menghentikan kebuntuan politik, setelah mendengarkan ulama
senior yang lelah dengan politik dan dampak negatifnya terhadap kegiatan
keagamaan. Sedangkan sepuluh tahun kemudian, pada 1990an, peran kuncinya
adalah menjaga pluralisme. Saya teringat pada satu momen istimewa di
Lampung pada tahun 1992, ketika di suatu malam yang sunyi, duduk bersama
beberapa kaum intelektual, dia menyampaikan ungkapan panjang amarah yang
merupakan ungkapan rasa kekecewaannya yang mendalam dengan pembentukan ICMI,
yang Gus Dur lihat sebagai sindrom akan munculnya politik identitas.
Diprediksinya ini akan menghancurkan masyarakat Indonesia yang pluralis
sejak kemerdekaan sekaligus akan membendung gelombang demokrasi yang sedang
coba muncul sejak akhir tahun 1980an. Beberapa orang intelektual yang hadir
menyimak dalam kesunyian.

Saat saya melakukan kunjungan tahunan saya ke Indonesaia pada November 1996,
Gus Dur mengajak saya untuk melakukan perjalanan ke Malang, tempat dia
diundang setelah pembakaran serangkaian Gereja dan sekolah di Situbondo pada
Oktober 1996. Saat itu tepat satu bulan setelah insiden pembakaran tersebut.
Aula tempat pertemuan sudah penuh ketika kami tiba, orang-orang datang dari
tempat yang jauh. Kami mendengarkan berbagai laporan yang mengkhawatirkan
dari tokoh katolik lokal mengenai ketegangan dan ancaman terselubung. Kita
semua baru menyadari sedang muncul satu era baru yang tak terduga. Itu kali
pertama saya melihat orang Katolik berdoa begitu dalam bagi seorang teman
mereka, Gus Dur, yang dinilai satu-satunya yang mungkin mampu membalik arus.
Perkembangan baru memang begitu antinomis bagi reputasi pluralisme
Indonesia, yang kontras dengan kekerasan yang dialami Pakistan sejak
berdirinya tahun 1947. Waktu itu negara itu muncul dengan memisahkan diri
dari Hindia dalam pertumpahan darah (bloodbath) yang menakutkan. Saya
mengakhiri perjalanan di Jawa Timur dengan satu kunjungan menyedihkan di
Situbondo, saat sebuah perayaan massa digelar dalam sebuah gereja katolik
yang usai dibakar, tanpa atap, tanpa kursi, tanpa benda2 sakral, hanya
tembok-tembok tinggi yang menghitam. Orang-orang duduk di atas tikar di
lantai. Hidup berlanjut. Misa belum selesai, saya pun meneruskan perjalanan
dengan teman-teman NU yang mendampingi saya.

Mengapa Gus Dur begitu penting sepanjang tahun-tahun tersebut? Pasti ada
banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Keberaniannya mungkin berasal dari
keunikannya. Dia mempunyai legitimasi keagamaan yang luar biasa tinggi lewat
garis keturunanya, sebagai cucu dari sekaligus dua kiai pempimpin ormas
Islam terbesar di Indonesia : Hasyim Asy'ari dan Bisri Syansuri. Legitimasi
ini menjadi sangat penting dengan makin banyaknya rujukan religius dalam
politik Indonesia selama tahun 1990an. Keberanian ini ditambah dengan
kepercayaan diri yang berasal dari didikannya yang tinggi : ia telah membaca
literatur Barat dan Arab. Bukan itu saja, dia bukan seorang intelektual yang
hanya tahu buku, dia kenal banyak manusia setelah bertemu orang dari
berbagai ras, agama dan negara. Yang mungkin lebih penting, dia biasa
bertemu banyak orang Indonesia, dari kepala negara hingga kaki lima, selama
perjalanan atau di rumahnya yang terbuka bagi orang-orang lintas batas
sosial. Mungkin itu semua bergabung untuk menjadikannya sosok yang berani
sangat vokal.

Meskipun memiliki garis keturunan luar biasa, namun tahun-tahun 1990an tetap
menjadi masa yang berat bagi Gus Dur setelah ia menjadi target dari para
politisi yang jelas-jelas terganggu dengan kehadirannya. Pada 1994, di
Cipasung, tanpa perlindungan dan pembelaan intensif dari para kiai senior,
dia tak akan terpilih lagi sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama. Namun menarik
dicatat bahwa tidak ada kiai yang ikut bergabung dengan Forum Demokrasinya.
Kenapa? Terlalu banyak risiko politik buat mereka justru pada saat Presiden
Soeharto telah berhasil mengkooptasi sebagian elit intelektual muslim dengan
menunjukkan wajah yang lebih bersahabat pada agama islam.

Era pasca Soeharto membawa satu kemenangan besar bagi Gus Dur dengan
terpilihnya sebagai Presiden Indonesia, namun tahun-tahun itu juga justru
menjadi masa penuh tantangan dan kesakitan. Sebagian pengamat telah
menyalahkan para lawan politiknya yang kurang fair. Gus Dur sendiri yakin
bahwa dia menjadi korban dari sebuah plot. Yang jelas, salah langka
strategis sedikit bisa fatal bagi mereka yang berada di puncak kekuasaan.
Segala bisa dijadikan senjata yang siap pakai oleh para sekutu kecewa.
Menawarkan hubungan komersial dengan Israel dan rehabilitasi komunisme tentu
akan membuat musuh di koalisi yang baru memilihnya sebagai presiden -- yang
justru paling anti-Israel dan paling anti-komunis. Gus Dur sang intelektual
dengan kuat meyakini misinya dan menjalankannya segera. Namun Gus Dur sang
kiai dituntut mencari penyesuaian pada seting politik baru. Dan ini jauh
lebih rumit dibandingkan dunia agamis homogen yang mengelilingnya di NU.
Tetapi mungkinkah menjadi presiden saat itu adalah misi tak mungkin, "une
mission impossible"?

Sebuah ironi bahwa adalah hal politik (penolakan terhadap politik praktis)
yang mengantarkan Gus Dur pada garda depan ruang publik pada awal 1980an
(ingat para kiai yang menyebut politikus sebagai "tikus-tikus" pada 1979?),
dan justru politik lagi (sekali ini pilihan kembali ke politik praktis
dengan menjadi calon presiden) yang ikut menjatuhkannya dua puluh tahun
kemudian. Akhir 1999 adalah satu momen bahaya memang, seperti diakui oleh
para kiai senior, Sahal Mahfudh dan Kiai Muchith Muzadi, yang telah
memberikannya nasehat agar tidak maju mencalonkan diri pada jabatan nomor
satu negeri ini.

Menengok ke belakang, sungguh luar biasa bagaimana satu orang saja bisa
mempunyai pengaruh begitu besar dalam perpolitikan selama tiga puluh tahun
sementara mengemban amanat sebagai presiden hanya kurang dari dua tahun.

Sementara itu, orang akan terus berziarah di makamnya seperti halnya saat
mereka mencoba menyentuh mobil yang Gus Dur naiki seusai pengajian,
istighosah atau pertemuan lainnya. Bila orang berbicara tentang "barokah"nya
terkadang membuatnya tertawa, namun terkadang dia juga menyikapinya dengan
serius. Sesewaktu dia menarik tangannya dengan cepat bila orang ingin
mencium tangannya, namun di lain waktu dia juga membiarkan tangannya itu
dicium. Gus Dur selalu akan merupakan orang yang berbeda untuk orang yang
berbeda di masa yang berbeda. Dia akan tetap demikian.

Tak diragukan, bagaimanapun, di samping semua kekurangan yang akan
disebutkan orang, dia akan juga dikenang (tentunya saya akan mengenangnya)
sebagai seorang teman (bahkan pahlawan?) dari pluralisme dan kebudayaan
lokal. *

Penulis buku NU vis-à-vis Negara, Pencarian Bentuk, Isi dan Makna, LkiS,
1997.

No comments: