Sunday, February 14, 2010

LAKSMI PAMUNTJAK TOLAK RUU PORNOGRAFI

IBRAHIM ISA
-----------
FILE-

Laksmi Pamuntjak:
TOLAK RENCANA UU PRONOGRAFI --




laksmi pamuntjak


RUU Pornografi: Lima Argumen Mengapa Harus Ditolak

Saya baru saja membaca bocoran RUU Pornografi yang akan diserahkan DPR kepada
pemerintah untuk dibahas. Dokumen itu mengerikan. Simak bagian-bagian yang
mencakup definisi "peran serta masyarakat" yang pada praktiknya memberikan izin
untuk main hakim sendiri (pasal 23); definisi "upaya pencegahan" sebagai kartu
hijau untuk premanisasi (pasal 20), dan, ini yang paling mencengangkan, bagian
yang mencakup hukuman pengasingan ke tempat terpencil selama 1 sampai 15 tahun
(ingat Digoel, Buru ?) bagi para pelaku pornografi!

Juga, seperti rancangan terdahulu, tak ada kriteria yang jelas tentang
"pornografi" dan "pornoaksi." Dan apabila kriteria itupun ada, ia akan sudah
pasti mewakili seperangkat nilai tunggal yang tak mencerminkan kemajemukan
Indonesia .

Apalagi "membangkitkan hasrat seksual": siapa yang sanggup, lepas dari apakah ia
berwenang atau tidak, mengetahui hal itu kecuali para individu yang
bersangkutan? Dan apabila kita hendak jujur, takkah mesti kita akui, bahwa
berapa jam, berapa hari dalam hidup kita, apakah sekadar numpang lewat atau
singgah sesaat, kita lalui, seperti kata Susan Sontag, dalam "imajinasi
pornografi?" Meskipun ia sesuatu yang kita lakukan buat kenikmatan kita sendiri,
takkah ia tetap sesuatu yang berharga untuk diketahui karena ia merupakan bagian
dari manusia?

Tahun lalu, ketika perlawanan terhadap RUU ini sedang marak dan 6.000 orang
turun ke jalan dalam sebuah pawai yang damai dan bhineka, saya menerbitkan
sebuah esai panjang berjudul "Kisah si O: Perempuan dan Pornografi" yang dimuat
dalam dua bagian di Koran Tempo. Saya hanya ingin menyatakan ulang sejumlah
argumen saya dalam tulisan itu:

Yang belum tentu berguna, dan malah jauh lebih berbahaya (ketimbang pornografi),
adalah sensor. Pertama, sensor adalah kejam. Ia kejam terhadap kompleksitas,
terhadap warna dan nuansa, dan terhadap kemajemukan. Ia memang efektif dalam
melindungi anak-anak, tapi, seperti kita tahu, susah sekali membedakan mana yang
porno mana yang bukan, mana yang seni mana yang bukan. Ia kejam karena ia bisa
kemana-mana: ia bisa melarang majalah Playboy atau menghentikan tabloid tentang
poligami, tapi ia juga bisa memberangus seorang Agus Suwage, membungkam sejumlah
karya sastra Indonesia .

Pada saat yang sama, bagaimana ia bisa menjamin bahwa nilai-nilai yang
digunakannya mengakui keragaman penilaian seperti yang terkandung dalam
kebhinekaan sebuah bangsa seperti halnya Indonesia? Tak heran apabila masyarakat
Afrika Selatan takut terhadap sensor atas pornografi, karena mereka mengaitkan
sensor dengan nilai-nilai Kristen yang dulu diusung rezim kulit putih yang tak
membiarkan nilai-nilai lain berlaku.

Juga terkait adalah fakta bahwa nilai-nilai itu sendiri kapan saja bisa berubah.
Pada suatu masa, Belenggu-nya Armijn Pane, Tropic of Cancer-nya Henry Miller dan
Lady Chatterley's Lover-nya D.H. Lawrence pernah dianggap tak bermoral dan oleh
karenanya harus dilarang, tapi tidak lagi sekarang.

Kedua, seperti yang terjadi dalam banyak hal, apa yang dilarang akan dicari
orang. Kiranya tak perlu banyak contoh di sini. Yang ironis, tentu, adalah
apabila yang dicari justru karena dilarang adalah yang betul-betul merupakan
pelecehan terhadap perempuan, seperti kasus majalah Playboy.

Ketiga, bagaimana aparat negara bisa berasumsi bahwa ia bisa menghentikan arus
pornografi, dengan adanya teknologi komunikasi modern seperti internet atau
video bajakan? Bahkan dari dulupun, pornografi tak bisa dibendung—ia hadir,
misalnya, dalam bentuk stensil yang disebarluaskan—karena kekuasaan selalu
membuahkan perlawanan.

Keempat, sensor terhadap pornografi ternyata tak juga menghapus penindasan dan
ketakadilan terhadap perempuan di dalam hidup yang nyata. Kekerasan ada sebelum
pornografi. Justru di negara-negara dengan undang-undang anti pornografi yang
paling ketat ketakadilan dan kekerasan terhadap perempuan paling marak. Di Timur
Tengah tak ada pornografi, tapi kita tahu perempuan tetap saja menderita.

Kelima, seberapa jauhkah kerusakan yang dihasilkan oleh pornografi? Pernah
adakah sejarah sebuah masyarakat, baik di Timur atau Barat, yang ambruk oleh
pornografi? Bukankah kampanye "hate-speech"—menyebar-luaskan kebencian kepada
suku lain dan agama lain, seperti yang dialami Yugoslavia —lebih destruktif,
baik dari segi psike maupun jumlah jiwa yang hilang?

Pada akhirnya, bukankah tak sebaiknya kita memusatkan energi terhadap
pemberantasan korupsi, misalnya, atau pengadaan lapangan pekerjaan bagi
saudara-saudara kita? Saya jadi ingat kata-kata teman saya Siti Musdah Mulia
dalam pertemuan setelah Deklarasi Masyarakat Bhineka Tunggal Ika 13 Mei yang
lalu, yang menyebut kekuasaan yang ada sekarang "rezim kesusilaan".
Peraturan-peraturan daerah yang keluar akhir-akhir ini hanya mengurusi
kesusilaan, seakan kita tak punya masalah-masalah lain yang lebih penting.

Laksmi Pamuntjak

No comments: