Sunday, February 14, 2010

“BUKAN ROMAN, ITU ADALAH GUGATAN”

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Rabu, 13 Januari 2010
----------------------------

Buku “Max HAVELAAR” Oleh Multatuli

“BUKAN ROMAN, ITU ADALAH GUGATAN”



Sudah kurang lebih dua minggu, orang-orang yang tinggal di negeri
Belanda ini menggigil kedinginan. Hampir setiap hari ada kemacetaan
lalu-lintas. Jalan-jalan licin. Sang suhu bertahan terus di bawah
nol derajat Celcius. Sejauh mata memandang . . . . putih, putih, dan
putih oleh salju yang menutupi bumi dan pepohonan. Ketika menulis
ini aku melongok sejenak keluar lewat jendela kaca kamar kerjaku, .
. . . tak ada tanda-tanda salju akan lumer. Dan begitulah di
kebanyakan negeri-negeri Eropah Barat/Utara lainnya, Tiongkok,
Jepang dan Amerika Utara.

* * *

Beginilah Belanda. Musimnya ada empat. Musim panas yang paling
menyenangkan dan indah dengan pameran jutaan bunga di Taman Bunga
Keukenhof, tapi . . . yang musim dinginnya begini ini.


Ironisnya . . . belum lama para pemimpin dunia berkumpul di
Kopenhagen, Denmark, membicarakan bagaimana caranya . . . . .
mencegah planit bumi ini jangan sampai menjadi lebih cepat panas
(yang disebabkan oleh pengotoran alam oleh industri) sehingga tak
mungkin lagi hidup tanaman apalgi dihuni machluk apapun. Bisa
dibayangkan, betapa sibuknya para organisator konferensi Kopenhagen
itu, menyusun dokumen konferensi untuk dipublikasikan, dalam cuaca
yang . . . . dingin begini ini.

Setiap hari, setiap jam, radio, TV selalu sibuk melaporkan cuaca. Papasan dengan kenalan dan tetangga, yang jadi kata-kata sapaan juga adalah mengenai cuaca yang . . . . Het is koud heh . . .? Ya, ya, ya! Het is winter. . . . . . toch?! Oleh karena itu, tidak diteruskan pembicaraan mengenai cuaca dan suhu!

* * *

Dalam suasana dingin seperti ini, ada juga yang membikin hati kita menjadi hangat dan antusias. Khususnya dalam hubungan perkembangan hubungan Indonesia-Belanda. Hari ini kuterima lewat pos sebuah undangan dari direksi “Bijzondere Collecties van de Universiteit van Amsterdam”, dan pengurus “Multatuli Genootschap”. Undangan tsb untuk tamggal 2 Februari, 2010 yad, -- berkenaan dengan 150 tahun diterbitkannya buku Dr Douwes Dekker (Multatuli), berjudul “MAX HAVELAAR”.

Lengkapnya judul buku tsb adalah *"*/*Max Havelaar*/* of de koffieveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappy".*

Peringatan yang diselenggarakan bersama oleh “Universiteit van Amsterdam” dan “Multatuli Genootschap”, pada tanggal 2 Februari 2010 yad, adalah suatu langkah positif lebih lanjut kearah membagusnya hubungan Indonesia-Belanda. Jelas ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh mantan Menteri Luar Negeri Belanda Josias Van Aartsen dulu. Pada November 2000, van Aartsen menugaskan Institut Sejarah Belanda (ING) untuk menulis sebuah 'studi' berkenaan dengan kasus Act of Free Choice tahun 1969 di Papua.* *Sayang, hasil studi Prof Piet Drooglever yang dapat tugas (sial itu!) tidak membikin hubungan Indonesia-Belanda menjadi lebih baik.

Hasil 'studi' Drooglever yang diluncurkan dengan pelbagai pidato dan sambutan di gedung Amnesty International Amsterdam, adalah guyuran air dingin pada suasana membaiknya hubungan Belanda-Indonesia. Kongkritnya hungan yang membaik setelah Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot hadir pada “Perayaan 17 Agus” di Jakarta, di saat ketika beliau minta maaf pada Indonesia, serta menunjukkan pengertian/pengakuan bahwa hari “17 Agustus 1945”, adalah hari PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA. Yang disusul belum lama ini dengan munculnya SARAN kepada pemerintah Belanda oleh lebih duapuluh sejarawan dan cendekiawan Belanda. Mereka mendesak pemerintah Belanda supaya secara r e s m i MENGAKUI 17 AGUSTUS 1945, sebagai HARI KEMERDEKAN INDONESIA.

Mengapa dinyatakan di sini bahwa peringatan 150 th BUKU MAX HAVELAAR, sebagai suatu peristiwa yang positif menuju perkembangan lebih bagus lagi antara Indonesia dan Belanda. Karena itu menunjukkan pasnya pemahaman mengenai masa lampau di Indonesia. Mari baca bersama penilaian para organisator PAMERAN 150 tahun MAX HAVELAAR:

“*HET IS GEEN ROMAN, 'T IS EEN AANKLACHT”. *

Begitulah ditulis pada halaman pertama kartu undangan tsb. Artinya (terjemahan bebas, I.I.): Buku Max Havelaar itu,* “BUKAN ROMAN, ITU ADALAH SUATU GUGATAN”. * Memang demikianlah isi buku Multatuli (Douwes Dekker). Memang itulah tujuan beliau menulis buku itu: MENGGUGAT kekejaman feodalisme dan kolonialisme di Hindia Belanda waktu itu.

Dijelaskan selanjutnya: 150 th yang lalu, Multatuli menulis bukunya yang termasyhur MAX HAVELAAR. Suatu karya yang tidak hanya memiliki kwalitas literer yang luar biasa, tetapi juga memberikan pada sejarah Belanda di bidang kemasyarakatan dan politik arah yang lain. Itulah sebabnya hal itu dimasukkan dalam Canon Sejarah Belanda.

Multatuli, nama samaran sebagai penulis, adalah seorang pegawai negeri Hindia Belanda yang lalu, yang nama aslinya adalah Douwes Dekker. (1820-1887). Dengan bukunya itu ia secara definitif telah mengubah pemikiran di Nederland tentang masalah kolonialisme.

Setelah terbitnya buku Max Havelaar, orang tidak bisa lagi membantah bahwa di koloni (maksudnya di Indonesia, I.I.) banyak sekali hal-hal yang tidak beres. Diterbitkannya buku penting ini, diperingati dengan sebuah pameran di “Bijzondere Collecties van de Universiteit van Amsterdam”, tempat dimana tulisan-tulisan tangan Multatuli disimpan.

Dalam pameran ini ditunjukkan arti penting politik, kemasyarakatan dan literer dari buku Max Havelaar tsb. Pameran diusahakan oleh Bijzondere Collecties van de Unibersiteit van Amsterdam, bersama-sama dengan “Multatuli Genootschap”.*Fokus ditujukan pada gugatan terhadap penindasan, suatu pesan yang sampai sekarang masih aktuil (*cetak tebal oleh penulis I*.I)*

Maka jelaslah kiranya, -- bicara soal jembatan hubungan Indonesia – Belanda, maka yang menjadi jembatan itu adalah penulis buku MAX HAVELAAR, Multatuli, yang nama aslinya adalah Dauwes Dekker. Itu adalah orang-orang dan tokoh-tokoh yang mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti Prof. Dr Wertheim, banyak kaum progresif dan Kiri Belanda, teristiwewa mereka-mereka yang dari CPN, Partai Komunis Belanda, yang konsisten menukung perjuangan anti kolonialisme bangsa Indonesia.

Adalah mereka-mereka itu yang menjembatani hubungan Indonesia-Belanda, yang didasarkan atas sama derajat dan sama hak. Bukanlah Persetujuan Linggarjati, Revnville apalagi persetujuan Koferenai Meja Bundar (KMB).

Persetujuan-persetujuan tsb adalah taktik dan strategi pemerintah Belanda ketika itu untuk mencekik dan memusnahkan Republik Indonesia, dan menjadikan Indonesia tetap tergantung pada kerajaan Belanda. Sedangkan di fihak kita, Republik Indonesia, karena dalam keadaan masih asor, maka terpaksa berkompromi dengan Belanda dan memberikan konsesi-konsesi besar. Oleh karena itu setelah berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS), Belanda resmi keluar dari Indonesia, fihak Indonesia di bawah pimpinan Presiden Sukarno telah membatalkan Persetujuan KMB itu, mengembalikan Irian Barat ke pangkuan REPUBLIK INDONESIA yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agusstus 1945.

* * *

Aku akan berusha hadir dalam pertemuan PERINGATAN 150^th terbitnya buku “MAX HAVELAAR”. Tidak sedikitpun ada keraguan bahwa peringatan yang dilakukan itu, dari fihak Belanda, jelas bertujuan meningkatkan pengertian dan pemahaman masyarakat Belanda mengenai masa lampau kolonialisme Belanda di Indonesia. Agar dengan demikian masyarakat Belanda bisa lebih memahami kejahatan kolonialisme Belanda terhadap Indonesia, memahami mengapa rakyat Indonesia perlu berrevolusi untuk mencapai kemerdekaannya. Dan dengan demikian terjalinlah saling pengertian, saling menghargai yang wajar antara Indonesia dan Belanda.

* * *

No comments: