Tuesday, January 31, 2012

WANI: “SELEPAS BAPAKKU HILANG”

Kolom IBRAHIM ISA

Selasa, 31 Januari 2012

--------------------------------


BUKU Fitri N WANI: “SELEPAS BAPAKKU HILANG”

(2)


Tanggal 28 Januari yl kutulis: “DALAM RANGKA MENYAMBUT BUKU WANI”, Hari ini adalah lanjutan tentang buku kumpulan puisi putrinya Widji Thukul tsb: Sengaja dimulai dengan pertama-tama sedikit menyoroti Widji Thukul. Bisa saja sementara pembaca sudah agak lupa, siapa Widji Thukul.


Dalam tahun 1999 oleh STICHTING WERTHEIM, Widji Thukul dianugerahi Penghargaan.


Berikut ini teks “Penghargaan WERHTEIM” kepada Widji Thukul:


-----------------------------------------------------------------------------------------
MBAK SIPON, (ISTRI WIDJI THUKUL Dan PIAGAM WERTHEIM
-----------------------------------------------------------------------------------------

IBRAHIM ISA – NOTISI TRANSPARAN, .
Solo, 21 Agustus 2003.

Tidak mudah dimengerti tapi benar adanya!

Lebih dari duabelas tahun yang lalu, 4 Juli 1991, setelah Stichting Wertheim, Leiden, Holland, memilih a.l. WIJI THUKUL, penyair muda dan pejuang, sebagai pemenang PIAGAM WERTHEIM, --- namun, barulah pada tanggal 21 Agustus 2003 yang lalu ini, MBAK SIPON, istri WIJI THUKUL, mengerti dan tahu apa isi dari PIAGAM WERTHEIM.

Lebih dua tahun yang lalu MBAK SIPON menerima manuskrip PIAGAM WERTHEIM tsb dalam keadaan kumal. Yang diterimanya melalui tangan ke tangan. Dengan teliti dan hati-hati Mbak Sipon membukanya, merumatinya dan kemudian diberi bingkai dan dipasangnya dengan penuh kebangaan menghiasi dinding rumahnya.

Dengan PIAGAM WERTHEIM menghiasi dindingnya, dalam hati Mbak Sipon semakin kuat keyakinan, bahwa WIJI THUKUL punya kawan dimana-mana, sampai ke Nederland sejauh itu. Semakin kuat pula keyakinan Mbak Sipon bahwa, apa yang dinyanyikan Widji Thukul dalam syair-syairnya penuh mengandung humanisme, sekaligus sarat dengan perlawanan terhadap ketidak-adilan. Yang amat melegakan hati Mbak Sipon, ialah, bahwa karya-karya WIDJI THUKUL mendapat penghargaan mancanegara.

Lebih dari duabelas tahun yang lalu, Stichting Wertheim menilai a.l. WIDJI THUKUL sebagai salah seorang penyair teladan Indonesia, yang pada umurnya yang masih muda telah memberikan sumbangannya terhadap usaha EMANSIPASI RAKYAT INDONESIA.

Timbul pertanyaan kecil: -- Mengapa begitu lama Mbak Sipon baru menerima ditangannya sendiri, PIAGAM WERTHEIM tsb? Nyatanya, baru kemarin pada tanggal 21 Agustus 2003, Mbak Sipon mengerti apa sesungguhnya isi Piagam Wertheim yang dipasangnya dengan penuh hormat pada dinding rumahnya yang amat sederhana, --- kalau tidak hendak dikatakan terus terang, sungguh rumah seorang yang "tidak berpunya".

Rasa terharu dan hormat mengisi rongga dadaku, ketika aku berkesempatan mengunjungi rumah Mbak Sipon di Solo, pada tanggal 21 Agustus y.l. Dengan gembira, sebagai Sekretaris Stichting Wertheim, kusampaikan salam hangat dan hormat Pengurus Stichting Wertheim kepada Mbak SiPon. Mbak Sipon yang sudah begitu lama menanti, baru dua tahun belakangan ini menerima di tangannya sendiri Piagam Wertheim yang telah diserahkan oleh St Werheim.

Pada saat inilah aku berkesempatan untuk membacakan kembali teks PIAGAM PENGHARGAAN Stichting. WERTHEIM dalam teks bahasa Belandanya, dan kemudian menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, seperti terlampir dalam tulisan di bawah ini.
Mengapa sampai terjadi begitu? Banyak faktor yang menyebabkannya.

Namun, penyebab yang terpokok, ialah --- bahwa penyair kita WIDJI THUKUL, pada periode Orba, telah dijadikan orang buronan politik dikejar-kejar terus, sehingga Widji boleh dikatakan tidak pernah tinggal di rumah sejak itu, selalu berpindah tempat tinggal. Rumahnya yang ketika itu hanya ditinggali Mbak Sipon dan dua orang anak-anaknya, seorang putri dan seorang putra yang masih kecil, berkali-kali didatangani aparat, dan dengan bengis mengancam menanyakan kepada Mbak Sipon, dimana Widji Thukul!


* * *

Menjelang jatuhnya Suharto, ketika tindakan-tindakan teror Orbanya Suharto semakin mengganas, tiba-tiba tidak terdengar lagi berita sedikitpun dari dan tentang WIDJI THUKUL. Siapapun tak tahu dimana rimbanya. Widji Thukul mengalami nasib ORANG HILANG. Kemungkinan Wijdi telah menjadi korban intel Orba yang keji itu.

Jatuhnya Suharto telah membawa sedikit perubahan pada keadaan Mbak Sipon.

Namun, sampai kini tetap tidak ada berita tentang Wiji Thukul. Mbak Sipon yang mengalami penderitaan diisolasi dan dinajiskan oleh penguasa, karena dirinya adalah istri Widji Thukul, belakangan ini, nyatanya semakin menjadi tempat penduduk sekitar menanyakan segala sesuatu bila menghadapi pelbagai soal kehidupan, khususnya mengenai urusan yang menyangkut penguasa setempat. Kejujuran, keberanian dan semangat memperhatikan nasib para tetangga dan penduduk setempat, menimbulkan respek yang wajar di kalangan penduduk setempat terhadap Mbak Sipon.

Demikianlah suka-duka yang dihadapi oleh Mbak Sipon, sebagai istri dari penyair teladan dan pejuang Widji Thukul.

Dalam rangka usaha mengenangkan kembali tokoh Wiji Thukul, Stichting Wertheim, Leiden, dalam waktu dekat ini akan meluncurkan edisi kedua KUMPULAN SYAIR-SYAIR WIDJI THUKUL, dalam bahasa Belanda.


* * *



Berikut ini disajukan teks lengkap – PIAGAM PENGHARGAAN STICHTING WERTHEIM

“Het Bestuur v.d. WertHeim Stichting heeft besloten om de aanmoedigingsprijs v.d. Stichting toe te kennen aan de Indonesiche dichter, Widji Thukul, voor zijn verdiensten voor de emancipatie v.h. Indonesishce volk in het bijzonder op het gebied van de letteren en de theater kunsten.
De prijs wordt o 4 julie 1991 in de aula v.d Universiteit van Amsterdam, uitgereikt door Prof. W.F. Wertheim.

Amsterdam, 4 juli 1991.

Sekretaris: C.J.G. Holtzappel

Voorzitter: J. Huizer.

* * *


Pengurus Yayasan Wertheim memutuskan untuk memberikan penghargaan Yayasan kepada penyair Indonesia Widji Thukul untuk jasa-jasanya bagi emansipasi rakyat Indonesia teristimewa di bidang sastra dan seni teater.

Penghargaan diberikan pada tanggal 4 Juli 1991 di Aula Universitas Amsterdam oleh Prof. Dr. W.F. Wertheim.

Amsterdam, 4 Juli 1991.

Sekretaris: C.J.G.

Holtzappel Ketua: J. Huizer.


* * *


Kumpulan Puisi Wani, SELEPAS BPKKU HILANG, lain dari yang lain. Karena bundel ini berisikan puisi Wani dalam bahasa Indonesia, aslinya. Dan dalam bahasa Inggris. Jadi pada muka pertama bahasa Indonesia, berjudul seperti tsb diatas. Dan kalau kita balik buku itu maka judulnya

AFTER MY FATHER DISAPPEARED”. Malah dihiasi pula dengan sebuah sajak Wani, a.l. Sbb:


From all this, my brother

Don't ber week, though father's not there

Make it all a starting point

For your life journey

To become

A true and courageous man


* * *


Ketika mengantar buku Wani, seorang sarjana sastra Australia, Barbara Hatley, menyatakan bahwa, “Wani Seniman Feminis dan Pembela Sastra Remaja”.


Perhatikan penutup sambutan Barbara Hatley, sbb:


Wani menganggap puisi-puisinya sebagai biasa saja. Ia tidak mengerti, mengapa orang mengatakan ia luar-biasa.Tetapi sesudah ia mengkaji karya puisi dan fiksi tulisan anak lain yang sebaya dengannya, ia menjadi mengerti. Ia juga menulis tentang percintaan dan dunia sekolah. Tetapi ia merasakan adanya desakan tuntutan dari keluarga dan masyarakatnya agar menulis tentang masalah-maslah yang lain.


Dengan keadaan serba amburadul begini, apakah saya tidak menulis?”


Wani sendiri menghargai sastra remaja, dan tidak ingin melihatnya ditampik sebagai sesuatu yang tanpa bobot. Salah satu alasan untuk menerbitkan karyanya, dengan senyum tersipu ia mengatakan untuk “mengangkat nilai sastra remaja ke tengah-tengah para senior kami”. Mengubah profil seluruh genre sastra merupakan tugas yang sangat besar dan luas.


Wani menghubungkan dangkalnya sastra remaja dengan melodrama-melodrama percintaan ringan yang mengungguli acara-acara yang lebih substansial pada televisi Indonesia. Kedua-duanya merupakan hasil dari kebudayaan yang merusak masyrakatnya dari sejak umur dini dengan hiburan-hiburan yang isinya lebih mengacaukan ketimbang mendidik. Dan adat kebudayaan yang sudah berakar akan sukar dilenyapkan.


Seandainya satu orang bisa mempengaruhi kebudayaan angkatannya melalui apa yang dilakukannya, mungkin juga orang itu (adalah) NGANTHI WANI yang luar biasa. Semuanya itu menambah alasan memacu penerbitan buku kumpulan puisi yang penting ini.



* * *


Cukup padat dan bermutu tanggapan cendekiawan Australia Barbara Hatley mengenai WANI dan puisiya.


Kita ikuti sekarang apa kata NURHIDAYAT POSO, seorang budayawan asal Tegal dan tinggal di Tegal. Ini a.l yang ditulisnya:


Di panggung, kelompok kampung dengan kostum apa adanya, penampilan sekenanya, menyanyi, membaca puisi dengan energi yang luar biasa, sebuah gumam, suara kampung yang lahir dari ketertindasan, keputusasaan, ketidak adilan. Thukul dengan suara pelonya, tatapan bersinar bersemangat membacakan sajak-sajak protesnya.


Sipon terlihat menggendong Wani yang masih balita berada diantara mereka, ikut berjanyi, memainkan sendok dan gelas membentuk irama. Dan saya tidak tahu apakah Wani yang dalam gendongan ibunya itu sedang tertidur atau ikut bernyanyi? Wani, bayi itu sepertinya menjadi saksi dan bagian bagaimana sebuah keluarga miskin dari kampung Kalangan yang sangat bersahaja dan kritis meneriakkan kegundahannya terhadap kondisi kehidupan berbangsa yang dicengkeram oleh sebuah orde yang korup dan fasis dengan melawannya melalui ekspresi seni: puisi.


Ya, waktu telah berlalu saat Wani di SD saya ketahui ia mulai menulis puisi. Sampai kemudian Thukul raib saya masih sering menjambangi keluarga ini. Kemudian saya bertemu dengan Richard Curtis sahabat bulé dari Australia yang dulu rajin mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak kampung Kalangan. Richard sangat dekat dengan keluarganya Thukul, sejak tahun 1993 . Ia juga bolak-balik ke rumah saya di Tegal, untuk riset dan menyelesaikan desertasi doktornya tentang kesenian dengan semangat kerakyatan.


Saat Wani di SMA dia menyodorkan segepok puisinya kepada saya. Saya tercengang karena beberapa sajaknya yang ia tulis saat usianya masih sepuluh tahun. Tetapi isi puisinya tidak seperti kebanyakan anak seusianya, ada pemberontakan, ada keberanian untuk menyatakan diri dengan bahasa yang lugas.


Sauya tiba-tiba sangat tergoda untuk menerbitkannya. Untungnya ide saya ini langsung disambut oleh Richard Curtis dengan antusias. Harapan kami kumpulan puisi ini terbit sebelum Wani lulus SMA agar dinikmati sesuai dengan fase alam remajanya. Tetapi karena kendala teknis upaya ini tak bisa terlaksana. Baru saat Wani masuk universitas buku ini bisa terbit.


Kami juga memandang perlu menerbitkan kumpulan puisinya ini dengan dua bahasa, Indonesia dan Inggris agar menjangkau publik pembaca yang lebih luas mengingat banyaknya permintaan akan hal itu. Kemudian disadari juga bahwa bahasa puisi sebagai teks akan berbeda dengan ketika dibacakan. Akhirnya kami juga memenuhi kebutuhan tersebut dengan membuat CD pembacaan puisi yang dilakukan oleh suaranya Wani secara langsung. Kami pilih beberapa puisi yang kami anggap cocok untuk kebutuhan tersebut.


Sungguh, upaya kami yang sangat terbatas ini masih banyak kekurangannya. Kepada Richard Curtis yang tak letih bolak-balik ke Indonesia hanya untuk proses terbitnya buku ini, Mbak Endah yang selalu memberi dorongan kuat, Sipon yang menjadi inspirasi ketegaran seorang Ibu, serta NGANTHI WANI yang percaya baha jaman sudah berubah, kepada semuanya saja yag tak bisa diseebutkan satu persatu hingga terbitnya buku ini, tabik dan terima kasih.

Tegal, 12 Februari 2008.


Sekian a.l pengantar NURHIDAYAT POSO, berjudul CATATAN KECIL UNTUK WANI.


* * *


Kumpulan Puisi `SELEPAS BAPAKKU HILANG` berisi 88 sajak termasuk Epilog. Lalu ada sdikit uraian tentang penulis, FITRI NGANTHI WANI. Tebalnya 90 halaman. Versi bahasa Inggris, tebalnya 87 halaman.


Masih akan ada satu kali lagi penulisan menyambut kumpulan puisi Wani. Kali ini penulisan akan diakhiri dengan sebuah sajak Wani berjudul,


UNTUK PARA PENGKHIANATKU

(Memoar abadi dari Solo)


Persahabatan adalah tai kucing

Yang diserok dalam bongkahan pasir lembut

Lantas dilemparkan ke laut

Oleh hempasan tangan si pengecut


Ditanganmu

Sahabat tak ada artinya

Di jidatmu

Sahabat hanya barang fana

Yang seolah mampu kau gadai

Dan kau tukar-tukar sesuka mu


Ya, begitulah

Bagi kalian pemuja uang

Tak ada yang berarti

Selain seonggok ketinggian hati


Kalian perlakukan sahabat bagai binatang

Ataukah justru kami yang tak dihargai

Oleh binatang-binatang seperti kalian


Arimbi, Jogja, 4 Sept 07 * * *


Sunday, January 29, 2012

Menoleh SEBENTAR Ke “PERISTIWA 27 JULI 1996”

Kolom IBRAHIM ISA

Minggu, 29 Januari 2012

-------------------------------


Menoleh SEBENTAR Ke “PERISTIWA 27 JULI 1996” Atau 'PERISTIWA SABTU KELABU”


Mengapa sekarang mengangkat kembali “Peristiwa 27 Juli 1996”?

Maksudnya, tak lain, adalah, untuk menambah bahan, dokumentasi, analisis kritis dan fakta, dalam rangka mencari-tau mengapa 'konflik antara SBY dan Mega' begitu heibat. Sehingga Mega beroposisi terhadap pemerintah Presiden SBY, dan tidak mau hadir dalam undangan-undangan penting Presiden SBY kepadanya. Termasuk undangn perayaan 17 Agustus 1945.


Tampaknya tidak umum diketahui, termasuk oleh anggota-anggota PDI-P, bahkan kader-kadernyapun kurang menyadari, bahwa 'konflik” SBY vs Mega, sesungguhnya punya latar belakang agak jauh ke belakang, Paling tidak sejak 'Peristiwa 26 Juli 1996”, di Jalan Diponegoro 58, Jakarta. Yaitu, ketika kantor PDI Mega diserbu massa pendukung PDI pimpinan Soeryadi. PDI Soeryadi dengan bantuan aparat keamanan negeri sebagai kekuatan pokoknya.


Kalau ditelusuri ke belakang, maka tampaknya penjelasan mengenai apa sebab terjadi konflik Mega vs SBY, bahwa itu dikarenakan -- Mega dua kali kalah dalam pemilihan presiden, --- itu bukan merupakan penjelasan yang mengungkap inti masalah. Barangkali memang ada faktor itu, tetapi ada yang lebih mendasar, lebih prinsipil. Bahwa, – - 'konflik' antara Mega vs SBY, bukan masalah 'like and dislike', bukan masalah pribadi, tetapi MASALAH PRINSIPIL. Katakanlah punya latar belakang IDEOLOGIS.


SBY, --- Seperti jelas dari praktek politiknya selama menjabat fungsi tertinggi negara, dan Partai Demokrat yang dilahirkannya, tampak beda besar dengan strategi dan politik PDI-P di bawah pimpinan Mega.


PDI-P Mega menjadikan Pancasila dan ajaran Bung Karno sebagai ideologi pembimbingnya (paling tidak seperti yang dideklarasikannya).Sedangkan Partai Demokrat yang dibina SBY meneruskan strategi dan politik Orba, yang berorientsi pada NEO LIBERALISME.


* * *


Peristiwa 27 Juli 1996”, -- baik disegarkan ingatan kita, --- adalah peristiwa penyerbun dan didudukinya dengan kekerasan kantor Partai Demokrasi Indonesia, yang dipimpin oleh Megawati Sukarnoputri, Kekerasan tsb telah menimbulkan korban yang tewas, luka-luka dan 'hilang'.. Mega ketika itu sudah mencuat namanya sebagai tokoh politik periode rezim Orba, yang berani berkonfrontasi, berhadap-hadapan terhadap Orba. Mega menantang Presiden Suharto yang ketika itu sedang jaya-jayanya.


Sejak Megawati berani secara terbuka menantang Suharto, mula-mula sekitar penyelenggaraan Kongresi PDI, dimana kekuatan rezim Orba melakukan segala sesuatu untuk menggeser Megawati dari kepimpinan PDI, --- sampai kepada ucapan Mega, bahwa ia bersedia mengambil oper kepemimpinan negara bila itu disetujui rakyat. Sejak itu rezim Orba menggencarkan segala daya upaya untuk menghancurkan PDI pimpinan Mega. Menggantikannya dengan PDI pimpinan Soeryadi yang sepenuhnya merupakan alat politik yang patuh pada Suharto.


Perisitiwa 26 Juli 1996” adalah puncak operasi intel Suharto untuk menggeser Megawati dari dunia politik Indonesia dan menghancurkan samasekali PDI pimpinan Megawati.


Nah, dalam operasi “Peristiwa 27 Juli 1996” militer yang bertanggung-jawab, yang mengambil keputusan 'penyerbuan' itu tidak lain adalah Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu ia menjabat Kasdam Jaya.


Inilah al. LATAR BELAKANG konflik SBY vs Mega. Sudah sejak dulu SBY dan kekuatan yang diwakilinya HENDAK MENHANCURKAN PDI-P PIMPINAN MEGAWATI.


* * *


Baik telutusuri “suntingan” WIKIPEDIA, sekitar “PERISTIWA 27 JULI 1996”, sbb:

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,

Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.

Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.

Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara.

ISTILAH

Ada dua istilah untuk Peristiwa 27 Juli ini, yaitu:

  • Kudatuli. Akronim dari Kerusuhan 27 Juli. Pertama kali dimuat di Tabloid Swadesi dan kemudian luas digunakan oleh berbagai media massa. Mayjen TNI (Purn.) Prof. Dr. Soehardiman, SE juga pernah menggunakannya dalam bukunya.

  • Sabtu Kelabu. Merujuk pada hari saat terjadinya peristiwa ini yaitu hari Sabtu, kata "kelabu" untuk menggambarkan "suasana gelap" yang melanda panggung perpolitikan Indonesia saat itu. Tidak diketahui pencetusnya, namun diduga semula beredar dalam forum-forum di Internet.

  • LAPORAN KOMNAS - HAM

Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.

Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.

Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000.[1]

Latar belakang

Soeharto dan pembantu militernya merekayasa Kongres PDI di Medan dan mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan Megawati itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI.

Mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan aktivis penentang Orde Baru, telah mampu membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi pengambilalihan secara paksa, perlawanan dari rakyat pun terjadi.

Pasca Orde Baru

Pengadilan Koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI. Ia dihukum dua bulan sepuluh hari, sementara dua perwira militer yang diadili, Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.

Garis waktu

  • Pukul 01.00

Di Markas PDI ada sekitar 300 orang yang berjaga -- suatu kebiasaan dilakukan sejak Kongres Medan lalu. Di luar pagar, ada sekitar 50 orang. Satgas dan simpatisan Megawati mulai terlelap dan sebagian ada yang main catur di pinggir pelataran kantor dan juga di Jalan Diponegoro dengan beralaskan terpal.

  • Pukul 03.00

Para pendukung Mega mulai mencium sesuatu bakal terjadi, setelah patroli mobil polisi berkali-kali melintas. Sebagian dari mereka mencoba memantau keadaan dari jembatan kereta api Cikini.

  • Pukul 05.00

Serombongan pasukan berbaju merah, kaus PDI, bergerak menuju Diponegoro 58. Konon mereka diangkut dengan delapan truk.

  • Pukul 06.15

Pasukan berkaus merah tadi akhirnya sampai di depan Kantor PDI dan kedatangan mereka disambut para pendukung Mega dengan lemparan batu. Pasukan merah tadi pun membalas dengan batu dan lontaran api. Maka, spanduk yang menutupi hampir semua bagian depan Kantor PDI terbakar ludes. Bentrok fisik pun tak terhindarkan. Sebuah sumber mengatakan ada empat orang tewas, tapi angka ini belum dikonfirmasi.

Semua jalan menuju ke arah Diponegoro sudah diblokir oleh kesatuan polisi. Perempatan Matraman menuju ke Jalan Proklamasi ditutup dengan seng-seng Dinas Pekerjaan Umum yang sedang dipakai dalam pembangunan jembatan layang Pramuka-Jalan Tambak.

Massa sudah berkumpul di depan Bank BII Megaria. Sedang di samping pos polisi sudah bersiap dua mobil anti huru-hara dan empat mobil pemadam kebakaran persis di depan DPP PDI. Polisi anti huru-hara terlihat ketat di belakang mobil anti huru-hara dan di depan Kantor PDI.

  • Pukul 09.15

Di samping Kantor PDI (dan PPP) terlihat massa -- yang tampaknya bukan dari PDI -- sedang baku lempar batu dengan ABRI yang bertameng dan bersenjatakan pentungan. Massa terus melawan dengan melempar batu.

  • Pukul 09. 24

Massa di belakang Gedung SMP 8 dan 9, di samping Kantor PDI dan PPP, mulai terdesak mundur ketika ada bantuan pasukan yang tadinya hanya berjaga-jaga di bawah jembatan kereta api. Mereka dipukul mundur sampai di belakang Gedung Proklamasi. Tiga wartawan foto mulai membidik massa yang lari tunggang langgang, Sedang salah seorang wartawan foto mendekati pasukan loreng dan berusaha mengambil gambar. Tiba-tiba seorang wartawan foto -- yang belakangan diketahui bernama Sukma dari majalah Ummat -- terlihat dipukuli pasukan loreng dan diseret bajunya (Lihat berita KOMPAS, 29 Juli 1996). Dari sana Sukma -- dengan menarik bajunya -- dibawa ke belakang Gedung SMP 8 dan 9 Jakarta, tempat pasukan loreng berkumpul yang berjarak 300 meter dari tempat pertama pemukulan.

  • Pukul 09. 35

Massa di depan Megaria yang diblokade pasukan polisi anti huru-hara, melempar batu ketika mobil ambulans dari Sub Dinas Kebakaran Jakarta yang meluncur dari kantor DPP PDI mencoba menerobos kerumanan massa dan polisi di depan Bank BII di pertigaan Megaria. Massa yang berada di depan gedung bioskop Megaria dan Bank BII, berteriak-teriak dan bernyanyi, "Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang".

  • Pukul 09. 45

Wartawan dalam dan luar negeri, yang sedari pagi berkumpul di depan pos polisi, mulai dihalau oleh pasukan anti huru-hara menuju kerumunan massa di depan Bank BII.

Saat itu juga terlihat kepulan asap hitam membubung dari DPP PDI. Salah seorang satgas PDI pro Mega mengatakan bahwa sebagian Kantor PDI sempat dibakar dan arsip-arsip di dalam kantor sudah dimusnahkan. Korban tewas dari PDI pro Megawati yang berada di DPP diperkirakan empat orang. Sekitar 300 orang luka parah, 50 orang diantaranya dari cabang-cabang Jawa Timur yang tengah berjaga-jaga di Kantor PDI.

Jalan Diponegoro di depan DPP PDI mulai dibersihkan dari batu-batu dan bekas kebakaran. Seonggok bangkai mobil dan motor yang terbakar juga disiram dan berada persis di depan pintu masuk Kantor PDI.

  • Pukul 11. 30

Ribuan massa terus bertambah dan terpisah letaknya di tiga tempat. Yaitu di depan Bioskop Megaria, di depan BII, serta di depan Telkom, persis di depan jalan tempat Proyek Apartemen Menteng. Mereka menjadi satu kerumunan besar di pos polisi di bawah jembatan kereta api layang. Belum lagi massa dari arah Selatan di bawah jembatan layang kereta api yang sebelumnya dipukul mundur, sudah mulai bergerak maju dan menjadi satu kembali dengan massa besar tadi.

Mimbar bebas pun digelar. Helikopter polisi terus memantau massa yang mulai mengadakan mimbar bebas. Dipandu aktivis pemuda, mimbar bebas menjadi ajang umpatan pada aparat keamanan, dan sanjungan untuk Mega. "Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang.....," terus terdengar. Massa yang masih di dalam pagar lintasan kereta api mulai merobohkan pagar besi, lantas menyatu dengan massa peserta mimbar bebas.

  • Pukul 11. 40

Massa yang berada di dalam pagar lintasan kereta api mulai melempar batu ke arah aparat yang sudah berjaga-jaga di depan SMP 8 dan 9 Jakarta. Terdengar dari kejauhan massa di mimbar bebas terus berteriak mengecam aparat berseragam loreng. Batu-batu yang beterbangan membuat wartawan berlindung di belakang blokade polisi dan sebagian lagi menyelamatkan diri dengan berlindung di mobil anti huru-hara.

Pihak kepolisian Jakarta Pusat berusaha menenangkan massa yang melempari pasukan dari Yon Kavaleri VII dan Yon Armed 7 Jayakarta. Massa yang terus bergerak membuat pasukan berseragam loreng bertahan di sekitar Jalan Pegangsaan Timur.

Di depan pos polisi, massa yang terus bertambah jumlahnya memenuhi pentas mimbar bebas. Massa di depan bioskop Megaria merobohkan pagar besi pembatas jalan dan bergabung menyaksikan mimbar bebas. Salah seorang tampak berdiri di tengah lingkaran massa dengan membawa tongkat berbendera Merah Putih yang dikibarkan setengah tinggi tongkat. Dia berteriak, "Kita di sini menjadi saksi sejarah. Kawan-kawan kita mati di dalam Kantor PDI. Kita harus menunggu komando langsung dari Ibu Mega," teriaknya lantang. Yang lain menyanyikan, "Satu komando..... satu tindakan." Kemudian ada doa bersama untuk mereka yang tewas.

  • Pukul 12. 40

Pihak keamanan meminta utusan mimbar bebas untuk bersama-sama pihak keamanan masuk melihat situasi di dalam Kantor PDI. Lima orang akhirnya dipilih, sementara mimbar bebas terus berjalan.

  • Pukul 12. 45

Bantuan polisi dari satuan Sabhara Polda Metro Jaya mulai berdatangan memenuhi jalan depan Kantor PDI. Sedang lima orang utusan di bawah pimpinan Drs. Abdurrahman Saleh, bekas pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, masuk ke dalam kantor DPP yang porak poranda. Sekitar lima menit berada di dalam Kantor PDI, lima utusan tadi ke luar. Salah seorang wakil utusan, ketika ditanya TEMPO Interaktif tentang bagaimana kondisi di dalam kantor DPP, mengatakan, "Di dalam tidak ada apa-apa; darah berceceran di semua ruangan." Orang ini bercerita sambil menahan tangis; matanya sarat air mata, sambil membawa jaket merah PDI bernama dada Nico Daryanto, mantan Sekretaris Jenderal PDI, dan satu spanduk merah.

Kelima utusan tersebut didaulat naik ke atas mobil anti huru-hara untuk melaporkan keadaan di dalam gedung. Baru beberapa kata terucap dari utusan tadi, sebuah batu melayang entah darimana dan mengenai tangan seorang utusan yang berdiri di atas mobil anti huru-hara. Akhirnya, laporan keadaan Kantor PDI berhenti sampai di situ.

  • Pukul 13. 52

Pengacara Megawati, RO Tambunan, berpidato di depan Kantor PDI. Dia mengatakan, "Kita menduduki Kantor DPP karena Megawati adalah pimpinan yang syah. Negara ini adalah negara hukum, jadi tunggu proses hukum selesai," katanya keras. Yang dimaksud Tambunan adalah proses hukum berupa tuntutan Megawati ke alamat Soerjadi dan sejumlah pejabat pemerintah di pengadilan yang sampai kini masih disidangkan, sehingga status Kantor PDI belum diputuskan.

Menurut RO Tambunan, Kapolres Jakarta Pusat sudah berjanji tidak seorang pun diperkenankan masuk, termasuk kubu Soerjadi. Barang-barang tak satu pun boleh keluar dari dalam kantor; pihak pengacara akan mendaftar barang-barang DPP. "Ini negara hukum, kita harus turuti perintah hukum," ujar Tambunan.

  • Pukul 14. 05

Soetardjo Soerjogoeritno, salah satu pimpinan DPP PDI yang pro Megawati, tiba-tiba terlihat berjalan mendekati Kantor PDI. Sesaat kemudian Soerjogoeritno bicara dengan Kapolres Jakarta Pusat soal status Kantor PDI.

Massa yang mencoba mendekati Soerjogoeritno dihalau anggota Brimob yang bersiaga dengan anjing pelacak. Tapi, melihat ribuan orang, dua anjing herder itu tak berani bergerak mengejar massa. Massa makin berani. "Kami ini manusia, kok dikasih anjing," kata seseorang marah. Siang itu pula setumpuk koran Terbit yang memberitakan Kantor DPP PDI Diserbu, ramai-ramai dirobek-robek.

  • Pukul 14. 29

Hujan batu terjadi. Massa yang di berada depan pos polisi melempari barikade polisi anti huru-hara. Satuan anti kerusuhan itu terpaksa mundur dan berlindung dari hujan batu. Mobil anti huru-hara yang tetap nongkrong di bawah jembatan layang dilempari batu bertubi-tubi. Dua lapis barisan polisi dan tentara bergerak maju. Dengan tameng dan tongkat mereka merangsek maju menghalau massa. Maka, ribuan orang itu beringsut mundur ke arah Salemba.

Ada sekitar seratus orang yang berlindung di dalam gedung Kedutaan Besar Palestina, persis di depan Kantor PDI. Di samping Kantor PDI, di Kantor PPP, terlihat puluhan wartawan berkumpul. Sementara itu, polisi dan tentara mengejar massa sampai di depan Rumah Sakit Cipto (RSCM). Beberapa orang terlihat dipentung dengan rotan. Seorang siswa STM 1 Jakarta, menangis di depan bioskop Megaria -- lengannya patah ketika menangkis pukulan dan pentungan petugas. Di depan Megaria itu suasananya gaduh, ambulans meraung-raung terus menerus. Korban-korban yang bocor kepalanya dan luka-luka diseret ke depan Kantor PDI dan menjadi bidikan foto wartawan.

  • Pukul 15. 00

Enam buah panser mulai berdatangan di depan pos polisi Megaria. Persis di depan Rumah Sakit Cipto (RSCM), sebuah bus tingkat dibakar massa. Tak jauh dari bus yang terbakar, satu lagi bus PPD nomor trayek 40, disiram bensin dan dibakar dengan sebuah korek api. Terbakarlah bus jurusan Kampung Rambutan-Kota itu.

  • Pukul 15. 37

Persis di depan Fakultas Kedokteran UI Salemba, sebuah bus Patas PPD nomor trayek 2, habis terbakar. Ribuan massa mulai mencabuti rambu-rambu lalu lintas dan menghancurkan lampu lalu-lintas di pertigaan Salemba. Asrama Kowad -- yaitu gedung Persit Kartika Candra Kirana -- merupakan gedung pertama yang diamuk massa. Pertama-tama dengan lemparan batu dari luar, kemudian massa masuk ke halaman, dan membakar gedung tersebut. Sebuah kendaraan jip yang diparkir di halaman dibakar massa, menimbulkan api yang besar.

Wisma Honda yang terletak di sebelah Barat gedung Persit, tak luput dari lemparan batu. Tapi, beberapa jam kemudian, gedung Honda itu pun habis dilalap si jago merah. Massa kemudian bergerak ke arah Selatan dan membakar Gedung Departemen Pertanian yang berlantai delapan. Sebuah sedan Mercy juga dibakar habis.

  • Pukul 15. 55

Massa terus bergerak ke arah Matraman. Maka, beberapa gedung pun jadi korban amukan api yang disulut massa. Pertama-tama gedung Bank Swansarindo Internasional. Api yang berasal dari karpet lantai dan korden jendela kaca itu dengan cepat merambat ke atas gedung berlantai lima ini. Show room Auto 2000 yang berada disebelahnya juga tidak luput dari amukan massa dan dibakar beserta mobil yang dipamerkan di dalamnya. Selanjutnya Bank Mayapada juga dibakar massa.

Ribuan massa terus bergerak ke arah Matraman. Dengan tembakan ke udara, massa mulai tercerai-berai. Sebagian ke arah Pramuka, sebagian lagi ke arah Proyek Perdagangan Senen. Sebelumnya, seorang polisi kelihatan memegangi kepalanya yang bocor kena lemparan batu. Dia berkata kepada seorang rekannya yang berseragam loreng, "Bapak yang bawa senjata ke depan saja Pak."

  • Pukul 16. 19

Massa rupanya melempari Bank BHS di Jalan Matraman. Kelihatan api mulai menyala di samping gedung BHS, tetapi tidak sampai menyentuh gedung bank itu karena sepasukan tentara berbaret hitam dengan tronton pengangkut pasukan segera tiba.

Sedangkan jalan Salemba Raya terlihat gelap. Asap hitam tebal dari gedung Bank Mayapada dan Auto 2000 membubung ke udara. Massa yang bergerak ke arah Salemba inilah yang kemudian membakar gedung Darmex, Gedung Telkom, terus sampai ke arah Senen. Namun mereka dihalau panser tentara dan gagal mencapai Senen.

  • Pukul 16. 33

Tiga panser didatangkan ke perempatan Matraman. Panser ini berhasil membubarkan massa yang merusak semua rambu-rambu lalu lintas.

  • Pukul 19.00

Massa di Jalan Proklamasi mulai berkerumun. Tak lama kemudian mereka membakar toko Circle K, Studio SS Foto, dan beberapa bangunan lagi. Aksi dikabarkan berlangsung sampai pukul 01.00 dinihari.[2]

Buku dan penelitian

Peristiwa 27 Juli menghasilkan sejumlah buku dan sejumlah penelitian. Pejabat militer juga menulis buku untuk menjelaskan posisinya dalam kasus itu. Benny S Butarbutar, yang menulis buku Soeyono Bukan Puntung Rokok (2003), memaparkan Kasus 27 Juli dari perspektif Soeyono yang kala itu menjabat Kepala Staf Umum ABRI. Ia membangun teori persaingan srikandi kembar antara Megawati dan Siti Hardijanti Rukmana sebagai latar terjadinya Kasus 27 Juli. Ia juga memaparkan, rivalitas di tubuh tentara yang membuatnya tersingkir dari militer. Soeyono menyebutnya sebagai Killing the Sitting Duck Game, rekayasa untuk "Membunuh Bebek Lumpuh." Sehari sebelum kejadian, Soeyono mengalami kecelakaan di Bolaang Mongondow.

Buku lain yang muncul adalah Membongkar Misteri Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 dengan editor Darmanto Jatman (2001). Tim peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga membukukan hasil penelitian mengenai Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru-Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli? (2001).

Peringatan

Pada Rabu 26 Juli 2006, Malam Dasawarsa Tragedi 27 Juli 1996 digelar di bekas Kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat. Acara hanya dihadiri keluarga korban dan saksi mata peristiwa ini. Petinggi partai yang sudah berubah nama menjadi PDI Perjuangan tidak terlihat hadir. Begitu juga Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri. Walau begitu acara berjalan khidmat. Setelah tahlilan, peringatan itu diteruskan pemotongan tumpeng kemudian ditutup dengan renungan. [3]

Referensi

  1. ^ Selimut Politik Sabtu Kelabu, Tempo

  2. ^ TEMPO Interaktif, edisi 23/01 - 10/Agustus/1996

  3. ^ Liputan 6

Pranala luar


Saturday, January 28, 2012

DALAM RANGKA MENYAMBUT BUKU : “SELEPAS BAPAKKU HILANG” Oleh WANI

Kolom IBRAHIM ISA

Sabtu, 28 Januari 2012

-----------------------------


DALAM RANGKA MENYAMBUT BUKU :

SELEPAS BAPAKKU HILANG” Oleh WANI


Menyongsong pembicaraan buku buah tangan Fitri Nganthi WANI, putri penyair yang “hilang” WIDJI THUKUL -- pada periode menjelang berakhirnya rezim kepresidenan Jendral Suharto, --- di bawah ini disiarkan (kembali) sebuah tulisan mengenai MALAM WIDJI THUKUL yang diselenggarakan bersama INDONESIA HOUSE dan STICHTING WERTHEIM, pada tanggal 25 Oktober, 2003, 8 tahun yang lalu, di gedung INDONESIA HOUSE, Amsterdam.


Masih akan dipublikasikan tulisan-tulisan sekitar Widji Thukul dalam rangka menyambut buku indah mungil berjudul SELEPAS BAPAKKIU HILANG – Kumpulan puisi (1999-2007) Fitri Nganthi WANI. Penerbit Pusat Sejarah Etika Politik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Maret 2009.


Silakan baca tulisan di bawah ini:

AMSTERDAM SUKA PADA WIJI THUKUL, . . . .
<Kolom IBRAHIM ISA, Amsterdam, 30 Okt 2003>


Pada akhir MALAM WIJI THUKUL yang sukses di INDONESIA HOUSE, Amsterdam, malam Minggu, 25 Oktober 2003 y.l., hatiku gembira, puas dan lega. Di Belanda sini, suatu malam peringatan, atau malam kebudayaan yang diselenggarakan oleh sesuatu LSM, ornop, perkumpulan kebudayaan ataupun ilmu-pengetahuan, lebih dari limapuluh orang saja yang hadir itu sudah sukses. Temanku, seorang penyair, cerita bahwa pernah ia membacakan sajak pada suatu malam kebudayaan yang hadir hanya tujuh orang.

Tapi pada Malam Wiji Thukul weekend y.l., yang hadir paling tidak 65 orang. Ada yang bilang70 lebih. Gedung “INDONESIA HOUSE”, PENUH SESAK. Malam budaya ini dipandu oleh penyair Mung Murbandono (Radio Hilversum) dan Lea Pamungkas (Indonesia House). Pertemuan diawali dengan kata sambutan Ketua Stichting Wertheim, dr C.J.G. Holtzappel, mengantar peluncuran edisi kedua sajak-sajak Widji Thukul berjudul “HET LIED VAN DE GRASPOLLEN” (NYANIAN AKAR RUMPUT). Edisi kedua ini sebagaimana halnya dengan edisi pertama, juga penerbitan Stichting Wertheim, berisi sajak-sajak Widji yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, disamping masing-masing aslinya dalam bahasa Indonesia.

Suasana khidmat kemudian menjadi santai dan gembira. Khidmat, karena pada mula pertemuan semua tidak lupa bahwa tahun ini, sudah hampir lima tahun Widji Thukul HILANG.

Kemudian menjadi santai dan gembira, karena menyaksikan pemutaran film(video) Widji Thukul, produksi Tinuk Yampolsky, Dawn Buie dan Gita Wiya Laksmini. Sebuah film tentang penyair muda yang menuangkan kepedulian dan keterlibatannya dengan nasib dan perjuangan orang miskin, dengan perlawanan terhadap kemiskinan dan ketidakadilan. Sebuah film yang mencengkam, mengesankan yang menyangkut terus dalam kenangan masing-masing.

Malam itu diliputi suasana gembira, karena sempat menyaksikan (melalui film Tinuk Yampolsky tsb), betapa gaya Wiji berdeklamasi, matanya besinar berapi-api melantunkan suara lantangnya menentang ketidak-adilan dan menuding penguasa. Untuk mensosialisasikan syair-syairnya yang tajam, kritis dan tidak kenal ampun terhadap ketidak adilan, Widji tak segan-segan melakukannya lewat “ngamen”. Sikapnya yang bertolak-belakang dengan penguasa inilah yang menyebabkan akhirnya Widji mengalami nasib sedih menjadi ORANG HILANG, kira-kira pada saat yang bersamaan dengan “hilangnya” beberapa aktivis PRD yang diculik oleh TimMawar dari Kopasus.

Tentu orang ingin tahu, siapa saja yang datang pada malam itu? Ada yang tua-tua, setengah baya dan ada yang muda-muda. Pokoknya mayoritasnya orang-orang INDONESIA yang cinta kebudayaan Indonesia, yang merindukan kebenaran serta cinta pada sajak-sajak Wiji Thukul. Ada anak Maluku, anak Minang, anak Jawa, anak Sunda, anak Manado, anak Batak, ada anak Bengkulu, salah seorang pimpinan Serikat Nelayan Bengkulu, ada yang dari Stichting Indonesia Media, ada yang dari organisasi PERSAUDARAAN, Amsterdam, Utrecht, Zeist, ada yang dari Stichting SAPULIDI, Stichting Azie Studies, Onderzoek dan Informatie, Rotterdam, dan banyak lagi. Dengan sendirinya sejumlah kawan-kawan dari INDONESIA HOUSE dan dari STICHTING WERTHEIM, para organisator MALAM WIDJI THUKUL tsb. Maafkan kalau ada yang terlupa disebut disini.

Tentu juga hadir sejumlah yang lumayan orang-orang Belanda Bulé. Ada yang dari Pengurus Stichting Wertheim, ada putri-putri Prof Dr Wertheim, hadir juga Auke van den Berg dari Rozenberg Publishers, Amsterdam, penerbit Bundel Widji Thukul Edisi Ke-2, 2003. Tampak pula mantan wakil KITLV di Jakarta, Jaap Erkelens, seorang pengenal dan pencinta Indonesia yang hampir tigapuluh tahun lamanya bekerja di Indonesia. Juga datang memenuhi undangan Joop Morriën penulis buku INDONESIA LOS VAN NEDERLAND (Indonesia Lepas dari Belanda), mencerminkan politik CPN yang membela Indonesia Merdeka.

Selain menyantap menu Indonesia yang sedap masakan penyair Heri Latief, yang dinikmati beramai-ramai sampai “ludes”, hadirin juga menikmati deklamasi sajak-sajak yang dibawakan oleh hadirin. Tak ketinggalan juga dibacakan sajak Wiji dalam terjemahan bahasa Belanda oleh Agnes. Rupanya sajak Wiji begitu mencengkamnya sehingga orang-orang Belandapun sampai berkomentar, begitu indah dan kuatnya sajak Wiji, meskipun itu dideklamasikan terjemahannya dalam bahasa Belanda.

Herankah kita jika ada yang nyeletuk, kebetulan terdengar di telingaku:

SIAPA BILANG ORANG-ORANG BELANDA HANYA BISA MENGKRITIK INDONESIA SAJA?

Mengapa ada yang berkomentar begitu?, fikirku. Tentu saja, bukankah belum lama berselang Menkumdang Yusril Ihza Mahendra, Ketua Partai Bulan Bintang, bikin “heboh” berkenaan dengan ucapannya: “I hate them!”, “saya membenci mereka”,“mereka” maksudnya orang-orang Belanda. Pasalnya, orang-orang Belanda, menurut Yusril kerjanya selalu mengeritik Indonesia saja, mencari-cari kesalahan tentang HAM di Indonesia, dsb. Soalnya, wartawan NOS Journal (TV publik Belanda), mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang rada “nyelekit” dan mungkin juga “provokatif” berkaitan dengan rencana u.u. pengganti KUHP, yang diajukan oleh kementeriannya Yusril. Nah, dalam rencana u.u. itu a.l. “kumpul kebo” pria dan wanita (maksudnya tentu yang tidak nikah) akan ditindak secara hukum, begitu juga hubungan-hubungan antara sesama h o m o , dsb itu semua diancam dengan hukuman. Nah, sang wartawan Belanda mempertanyakan apakah rencana u.u. itu tidak mencampuri soal-soal “pribadi” dan dengan demikian melanggar HAM, tambahan lagi bernada hendak memberlakukan syariah Islam ke dalam perundang-undangan Indonesia? Sesungguhnya kritik-kritik semacam itu terhadap rencana u.u. pengganti KUHP produksi kementeriannya Yusril itu, bukan saja dari Belanda, malah lebih banyak kritik dari masyarakat Indonesia sendiri, termasuk para Muslimin.

Walhasil, Yusril, teriritasi dengan adanya kritik-kritik tsb, terus naik pitam, lalu main pukul rata, mengimplikasi bahwa semua orang Belanda itu “anti-Indonesia”. Maka keluarlah pernyataan menteri “kita” ini,yang menurut tata-krama diplomatik adalah “non-etis”, alias “kampungan”.

Nah, tahu sendiri orang-orang VVD (Partai Liberal Belanda, yang paling getol membela individualismenya kapitalisme, dan dikenal sebagai partainya orang-orang kaya) kontan berreaksi. Nyaring suaranya di s.k., TV dan media lainnya. Mereka menuntut agar Kementerian Luarnegeri Belanda memanggil Dubes Indonesia di Den Haag, untuk “dimintai keterangannya”. Walhasil, terjadilah yang menurutungkapan rakyat Belanda “een storm in een glas water”, “taufan di dalam segelas air”. Jadi ribut-ribut seperti “Thaliban kebakaran jenggot”, tetapi . . . . Akhirnya “ramé-ramé” itu reda juga, sesudah Menko Polkam SBY mengeluarkan pernyataan, bahwa soal itu“kan disebabkan oleh kesalahfahaman saja”.

Tapi dari “taufan di dalam segelas air” dalam hubungan Indonesia-Belanda, bisa ditarik pelajaran bahwa sang menteri kita, kecuali cepat naik pitam, juga tidak mengerti sejarah hubungan Indonesia-Belanda, khususnya hubungan antara rakyat Belanda dan rakyat Indonesia. Hubungan ini dijalin oleh pelbagai peristiwa solidaritas antara kedua rakyat.

Siapa tidak kenal MULTATULI dengan a.l. novelnya MAX HAVELAAR, bekas residen Lebak, Banten pada zaman kolonial Belanda, yang hatinya kemudian jatuh pada rakyat Indonesia.

Siapa tidak kenal nama Piet van Staveren yang tidak takut dipenjara oleh pemerintahnya, karena ia menolak memerangi rakyat Indonesia selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.

Siapa pula tidak kenal nama Haji Poncke Princen, yang jadi warganegara Indonesia, “mengkhianati” pemerintahnya sendiri yang memerangi rakyat Indonesia, “nyeberang” ke pasukan TNI. Dan kemudian menceburkan dirinya dalam kegiatan perjuangan demi HAM di Indonesia sampai akhir hidupnya.

Demikianlah MALAM WIJI THUKUL mengingatkan kita lagi, bahwa antara rakyat Belanda dan rakyat Indonesia, sudah lama terjalin hubungan persahabatan dan solidaritas, tidak peduli pemerintah apa yang berkuasa di kedua negeri.

Aku akhiri tulisan ini disini, karena hendak siap-siapbesok berangkat ke Essen, Jerman, untuk ikut berpatisipasi dalam TEMU EROPA-II,
(31 Okt-2 Nov, 2003).

Friday, January 27, 2012

SEMUA PEDULI HAM SEYOGIANYA BACA BERITA PAGI INI:

IBRAHIM ISA

Jum'at, 27 Januari 2012

---------------------------

SEMUA PEDULI HAM SEYOGIANYA BACA BERITA PAGI INI:

KOMNASHAM TAK MAMPU SELESAIKAN KASUS HAM, GATRA 26 JANUARI 2012.

* * *

Korban: Komnas HAM Tak Mampu Selesaikan Kasus HAM

Thursday, 26 January 2012 22:31

0 Komenta

Jakarta - Keluarga korban berbagai tragedi tindak pelanggaran hak asasi berat (HAM) menilai, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2007-2012 tidak mampu menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Tanah Air.

Rasa kekecewaan tersebut disampaikan beberapa orang keluarga korban peristiwa Semanggi I dan II, Trisakti, Mei 1998, penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998, Talang Sari, Wasior- Wamena, dan Talang Sari di Kantor Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta, Kamis (26/1).

"Periode Komnas HAM tinggal beberapa hari lagi, saya menarik kesimpulan, walaupun sekarang yang duduk dari LSM, seperti Ifdal Kasim, tapi tidak bisa berbuat banyak selesaikan kasus pelanggaran HAM berat," kata Pujo Untung, keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat tahun 1965.

Menurutnya, hal tersebut lantaran anggota komisioner tidak independen dari tekanan pemerintah, aparat penegak, hukum, dan kekuasaan. Ia juga mendesak, anggota Komnas yang terpilih untuk periode 2012-2017 harus berani mengusut tahun 1965.

"Saya meminta, Komnas HAM usut korban 65 karena semua berawal dari kasus 65," ungkapnya.

Ungkapan di atas senada dengan keluarga korban Semanggi I, Sumarsih. Menurutnya, Komnas HAM punya andil besar terhadap berulangnya berbagai tindak kekerasan. Pasalnya, Komnas HAM tidak berhasil melakukan berbagai penyelidikan dan pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM besar.

"Komnas HAM hanya mengulur-ulur waktu penyelidikan berbagai kasus, seperti Semanggi I dan II, Wasior, Lampung, dan lain-lain. Kami sangat kecewa pada Komnas HAM periode ini. Mereka hanya aktivis yang duduk di pemerintah," terangnya.

Keluarga korban kasus Tanjungpriok, Beni Biki, menilai, anggota Komnas HAM periode sekarang, dengan mendiamkan kasus pelanggaran HAM berat, sama dengan telah melakukan pelanggaran HAM berat.

"Komnas HAM melakukan pelanggaran lebih berat daripada pelaku pelanggaran HAM, karena mendiamkan kasus pelanggaran HAM berat. Mereka lalai, loyo, dan tidak mampu melakukan apa-apa," tandasnya. [IS]

Thursday, January 26, 2012

SEKITAR “KAUM KIRI” – SIAPA & DIMANA MEREKA?

Kolom IBRAHIM ISA

Kemis, 26 Januari 2012

-----------------------------



SEKITAR “KAUM KIRI” – SIAPA & DIMANA MEREKA?



Menjelang Tahun Baru Imlek, ---- hari Minggu tanggal 22 Januari, 2012 yl, kurang-lebih lima- puluhan sahabat-sahabat Indonesia di Belanda mengadakan pertemuan di “Restaurant Lei Ping”, Amsterdam. Antara lain untuk menyambut TAHUN BARU IMLEK.



Pengertian di kalangan sementara orang Indonesia masih belum sama. Ada yang mengucapkan 'Selamat Tahun Baru Imlek, kepada yang bersangkutan'., dll. Maksudnya kepada teman-temannya yang turunan Tionghoa. Padahal Tahun Baru Imlek adalah HARI NASIONAL. Sama halnya dengan Tahun Baru yang sama-sama kita rayakan secara nasional.



Dalam cakap-cakap hari itu, hal ini diingatkan kembali. Sekarang ini, Tahun Baru Imlek, pengertiannya bukanlah 'Tahun Baru Ciné' . . . . . seperti 'tempo doeloe'. Terutama sejak jatuhnya Suharto, kita sama-sama merayakannya. Karena hari itu adalah HARI RAYA NASIONAL KITA.



* * *



Pertemuan sahabat-sahabat Indonesia itu, sudah menjadi kegiatan tukar-fikiran yang reguler. Kali ini memang dipadukan dengan menyambut datangnya “Tahun Naga”. Kami makan-bersama mi-goreng, kueh-ranjang dll, suguhan Siauw May Lie dan Azis Burhan. Banyak terima kasih kita ucapkan untuk suguhan itu.



* * *



Yang ingin dicakapkan di sini ialah ini: Dalam acara cakap-cakap hari Minggu yl itu, salah satu temanya adalah “TENTANG KAUM KIRI DI INDONESIA” Kebetulan aku diminta untuk memberikan pemahamanku mengenai tema tsb setelah berkali-kali berkunjung ke Indonesia. |Terutama setelah diskusi-diskusi dengan kaum muda di Indonesia yang menurut pemahamanku tergolong atau banyak berpandangan “Kiri”.



Hasil cakap-cakap itu mengarah pada kesimpulanku pribadi, bahwa ada beberapa faktor, mengapa KAUM KIRI BELUM MERUPAKAN SUATU KEKUATAN BERSATU YANG UTUH dan DIPERHITUNGKAN OLEH KAWAN MAUPUN LAWAN. Faktor-faktor yang menyebabkannya antara lain adalah:



1 - Jelas, dimana-mana marak grup-grup dan forum-forum serta organisasi-organisasi yang bisa dikatagorikan Kiri. Tetapi belum berhasil membuat suatu platfom atau forum dengan program besar bersama mengenai Indonesia, kini dan hari-depannya.



2 - Umumnya masih bersikap menantikn situasi “MOMENTUM” begelorannya gerakan dengan tuntutan yang progresif seperi ketika berkobarnya gerakan dan tuntutan turunnya Presiden Suharto, serta dilaksanakannya Reformasi dan Demokrasi, pada periode sekitar Mei 1998.



3 – Masing-masing grup, forum, organisasi masyarakat, bahkan parpol, dsb merasa dirinya yang paling besar, kuat, paling dulu, paling Kiri, serta paling benar. Maka menganggap dirinyalah yang harus jadi inti dari gerakan Kiri di Indonesia, karena merasa dirinya atau kelompoknyalah yang merupakan kekuatan politik dan massa dengan strategi dan taktik yang tepat.



4 – Terdapat perasaan iri dan cemburu di kalangan kaum Kiri. Seperti perasaan: “Mengapa dia,- – - bukankah seharusnya saya atau kami yang lebih dulu dan lebih mampu dsb.



Mengenai hal-hah yang dikemukakan diatas, berhubung masih mendengarkan pendapat tema-tema lainnya dan kurangnya waktu, maka masih belum sempat diadakan tukar-fikiran. Dimaksudkan akan dilanjutkan pada kali berikutnya.



* * *



Kok, pas sekali, tadi malam kuterima sebuah artikel yang ditulis oleh seorang profesor Australia: Katharine McGregor. Kukenal baik dia. Tahun lalu kami bertemu dan cakap-cakap panjang lebar di Perpustakaan Umum Amsterdam, OBA.



Artikel profesor Australia itu berjudul: WHAT'S WRONG WITH COMTEMPORARY INDONESIA? Ada Masalah Apa Dengan Indonesia Dewasa Ini?. Katharine menceriterkan cakap-cakapnya dengan salah seorang aktivis Kiri Indonesia: HARSUTEDJO, nama lengkapnya adalah Harsono Sutedjo. Dimuat di majalah Australia, “INSIDE INDONESIA”, 23 Januari 2012. Sebuah majalah (quarterly )– kwartalan, mengenai Indonesia, rakyat, kebudayaan, politik, ekonomi dan lingkungan hidupnya. Inside Indonesia mula diterbitkan di Melbourne tahun 1983, oleh IRIP (the Indonesian Resources and Information Program (IRIP). Mudah, kok, bisa dicari di Google.com.



Menarik sekali tulisan McGregor itu. Karena, di situ ditulis tentang tinjauan ke masa lalu, oleh Harsutejo, seorang Kiri Indonesia, mengenai kariernya dalam politik, dan mengenai keadaan Indonesia dewasa ini. Harsutedjo menyebutkankan 'kekurangan-kekurangan' gerakan Kiri masa lampau, serta bagaimana sebaiknya sekarang dan selanjutnya.



* * *



Yang juga menarik dari nomor INSIDE INDONESIA kali ini, ialah kumpulan tulisan yang analitis dan kritis yang ditampilkan di situ, berjudul: WHERE IS THE LEFT?



Misalnya ada Edward Aspinall dengan tulisan berjudul WHERE IS THE LEFT?.Dimana Kaum Kiri Itu? Dikemuakan a.l. : Kadang-kadang tampaknya ada sedikit (saja) ruangan untuk politik progresif di Indonesia.



Satu lagi artikel Aspinall berjudul: STILL AN AGE OF ACTIVISM. Dengan pengantar: Politik-politik Kiri ter-fragmentasi, tetapi, yang mengherankan adalah, bahwa, ide-ide Sayap-Kiri : PUNYA PENGARUH.



Diikuti oleh tulisan Jeffrey Winters, berjudul: JALAN MENUJU KE PRSIDEN (PILIHAN) RAKYAT. Tulisan itu mengedepankan ide: Bila orang-orang Indonesia mau menemukan calon untuk melawan kaum oligarki, mereka harus mulai dengan melakukan pekerjaan organisasi sekarang ini.



Menyusul tulisan berjudul: LOCATING THE POWER OF LABOUR, Menemukan Kekuatan Buruh, oleh Benny Hari Juliawan. Dimulai dengan kalimat-kalimat ini: Kaum Buruh bukan merupakan kekuatan dominan dalam kehidupan politik, tetapi mereka itu jauh dari tak-punya-kekuatan.



Menyusul tulisan oleh Rianto Bachriadi, berjudul BERJUANG UNTUK TANAH -- Gerakan Sosial di pedesaan punya latar belakantg sejarah kaya di Indonesia. Dan mereka telah mencatat hasil-hasil penting dalam tahun-tahun belakangan ini .



Menarik bahwa penulisnya memulai tulisannya dengan mengingatkan bahwa dalam tahun 1953, DN Aidit yang ketika itu merupakan bintang muda yang sedang menanjak di PKI, mengajukan analisanya tentang masyarakat agraria Indonesia. Aidit mengatakan bahwa revolusi agraria harus merupakan hakikat dari revolusi demokrasi rakyat di Indonesia. Dalam kongres kelima partai setahun kemudian, PKI mensahkan analisa Aidit sebagai inti dari program agraria yang baru. Program tsb berseru kepada partai untuk membangun kekuatan massa di pedesaan, serta menjadikan perjuangan untuk landreform sebagai seruan utamanya, dengan menggunakan slogan “TANAH UNTUK KAUM TANI”.



Tulisan selanjutnya oleh Vedi R. Hadiz, berjudul “ISLAMISM YES, COMMUNISM NO!”. Didahului dengan kalimat-kalimat sbb: Islamisme semakin mengokoh di bagian-bagian dari Jawa

yang dulunya adalah benteng-benteng kaum Kiri.



Yang terakhir adalah tulisan Prof, Katharine McGregor, yang sudah dibicarakan di atas. Berjudul: “ADA MASALAH APA DENGAN INDONESIA DEWASA INI? “





* * *



Artikel-artikel yang disajikan oleh INSIDE INDONESIA itu, penting dan menarik sebagai bahan analitis yang kritis, untuk bahan pertimbangan bagi siapa saja yang berniat mengenal keadaaan kaum Kiri di Indonesia dewasa ini.



Bahan-bahan itu semuanya dalam bahasa Inggris. Dalam siaran ini tidak diterjmahkan. Karena bahasa Inggris cukup dikenal dan dikuasai oleh yang berpendidikan umum dan masyarakat Indonesia peduli politik dewasa ini.



* * *



Di bawah ini dilampirkan tulisan lengkap Prof Katharine McGregor:



WHAT IS WRONG WITH CONTEMPORARY INDONESIA

By Katharine McGregor, Monday, 16 January 2012



Harsono Sutedjo, an old leftist looks back at his career in politics, and at the state of Indonesia today



* * *



Between 1965 and 1968 half a million Indonesians were killed by the military and

civilian vigilantes and hundreds of thousands imprisoned without trial. The

purpose of this violence was to eliminate the Indonesian left which had wanted

to introduce socialism to Indonesia. The repression targeted not only members of

the PKI (Indonesian Communist Party) and affiliated organisations, but also

Sukarno supporters from the Indonesian Nationalist Party and the military.



It is thus hard to generalise about the political views of the broad spectrum of

people targeted in this violence, including those who survived the killings or

imprisonment. Nevertheless, asking the survivors to reflect on the state of

contemporary Indonesia is one way we can gauge what was lost from Indonesia’s

political life with the destruction of the left, and to look for continuities

between earlier and contemporary periods of political struggle. In this article

I explore the opinions of one former political prisoner about contemporary

Indonesia in order to assess what is left of the Indonesian left.





A life in politics

Harsutejo (Harsono Sutedjo) was born in the late 1930s in Wlingi East Java. His

mother was an illiterate farmer who managed an aunt’s rice farm. Although she

remained illiterate for life she always stressed the importance of education to

Harsutejo. His father was a sugar factory employee who frequently challenged his

Dutch boss. He was detained and imprisoned by the Dutch for his activities in

the leftist organisation, Sarekat Rakyat (People’s Association) and by the

Japanese for his involvement in the underground resistance to Japanese rule. On

the second occasion, he was dragged from the bedroom in their family home,

stripped naked and kicked in front of the family. The violence of this arrest

triggered in Harsutejo feelings of revenge towards colonialists, but also a

rejection of violent methods.



When the Japanese period (1942-45) ended his father was released and joined the

struggle against the Dutch. Many important figures in the independence struggle

(1945-1949) visited Harsutejo’s house when he was a young boy. He was surrounded

by talk of politics. When his father was pursued by the Dutch, the family fled

to the mountains and lived with another family. Harsutejo worked as a courier

for the revolution and witnessed much violence during this period.



In 1953, Harsutejo joined his first organisation, IPPI (Indonesian High School

Students and Youth Association). Although IPPI discussed some national issues

such as the struggle for the ‘return’ of Western New Guinea (now known as Papua)

to Indonesia, his participation in IPPI focused on cultural activities. In 1957,

he joined Pemuda Rakyat (People’s Youth), a youth organisation affiliated with

the PKI. He continued to be involved in cultural productions like poetry

reading, choirs and ensembles as a means of promoting the organisation.



Harsutedjo read widely as a child and he was the only member of his family to

complete a university degree. When he began his degree in cultural history at

Airlangga University in Malang he joined the student organisation CGMI

(Indonesian Student Movement Centre). Again he was involved in cultural

activities, but also in protests against the Dutch refusal to surrender the

territory of Western New Guinea to the Republic. He recalls being part of a

crowd that surrounded a Dutch school in Malang and told the students and staff

to go home. By the late 1950s, the Indonesian government had nationalised all

Dutch assets and also began to expel Dutch nationals. CGMI activists protested

against the Vietnam War and against nuclear weapons. They connected Indonesian

struggles to those in similar countries at the time.



After graduating and becoming a lecturer at Airlangga, Harsutedjo joined HSI

(Indonesian Graduates’ Association). Like the other organisations he had joined,

it opposed imperialism and feudalism and promoted socialism as the best

political system. One of their greatest concerns was that Indonesia would become

just a puppet state to be used by others’. By the mid-1960s, as President

Sukarno leaned increasingly to the left, Harsutedjo recalls that most radicals

were convinced that Indonesia would become socialist, or at least implement an

Indonesian form of socialism.



Harsutejo was conscious of challenges from conservative groups to all the

left-aligned organisations he joined. Yet ‘we felt a sense of strength and that

the government was on our side’. Like many other members of mass organisations,

Harsutejo was unprepared for the violent assault following the Thirtieth

September Movement event. He stated that ‘no-one imagined it would be so bad.’

In his view, they should have been better prepared for such an attack.



Harsutejo was arrested in Malang in 1965 and imprisoned for six months. He fled

to Surabaya and then Jakarta so as to avoid the pernicious monitoring the

Suharto regime imposed on former political prisoners. After assuming a new

identity and cutting all family ties, Harsutedjo worked in a foreign bank for

two decades.



Staying steady

In an interview in Bekasi I asked if and in what sense he considered himself

representative of the Indonesian left. He responded that he defined himself as a

leftist in that he was ‘anti- establishment, anti-feudal, anti-capitalist and

anti-bureaucratic’. In short, he is for the people and opposes anything that

does not support the people’s interests.



He stated that his basic political views had not changed throughout his life,

but he now believed that the way to communicate these ideas should be more

moderate. ‘I am probably different to others who think that socialism can be

implemented just as we learned in the past. In the Soviet Union it failed.

Suryono a former journalist for Harian Rakyat (People’s Daily) said in the

Soviet Union the communist party ran the country, but he did not meet one

communist.’



Harsutedjo began to have hesitations about the Soviet Union as a model for

Indonesia in the 1950s, when he learnt about the violent repression in Poland

and Hungary. As for China as model he noted, ‘In the People’s Republic they said

they would build communism, they have developed a lot but in the end there is a

big gap between the rich and the poor.’



Reflecting on the Indonesian left in the 1960s Harsutejo comments that ‘our

methods were too extreme, our language was too strong, it had no nuance. We

conceptualised things in black and white’. In this rare critique from a former

activist, Harsutejo recalls the dogmatic nature of politics in the mid 1960s as

those of the left called for a ‘retooling’ of people who were not sufficiently

anti-imperialist or anti-feudalist.





Our methods were too extreme, our language was too strong, it had no

nuance. We conceptualised things in black and white.



When asked to compare the pre-1965 period with today’s Indonesia, Harsutedjo

commented that ‘the gap between the rich and poor was not so pronounced, while

we spoke of capitalist bureaucrats this referred largely to the military and

civilians’. He feels that there was a greater sense of social conscience after

independence, perhaps because the people were more spirited. From independence

onwards there were united efforts, for example, to eradicate illiteracy.



During the Suharto era, Harsutedjo observed the escalation of capitalism in

Indonesia from within the system. Working in a foreign bank, an institution that

symbolises modern capitalism, he was sometimes frustrated as to how he could

achieve change in society. He studied banking laws and attempted to ensure the

bank’s policies were fair with regard to Indonesian interests.



After the fall of Suharto in 1998, Harsutedjo began to publish works about his

experiences and about his political views. In 2010 he published a book,

Dictionary of the New Order’s Crimes: Love your Homeland and Your Nation.

Although the book is focused on the New Order it traces not only the crimes of

that regime, but also its enduring legacies. In it, Harsutedjo provides a

comprehensive catalogue of all the problems he sees today in Indonesian society

and the need for a stronger sense of nationalism. Some key themes of the book

are environmental exploitation, foreign ownership of Indonesian assets and the

neglect of human rights, including the rights of the poor.





From red to green

Harsutedjo explains that for him ‘loving one’s country means protecting and

safeguarding the land and water that we own and all that grows and lives in it,

all flora and fauna and all water and sea as well as the air above it and its

people’ (p. 5). He expresses great regret that Indonesian leaders do not seem to

value these things as evidenced by the 2002 ‘loss’ to Malaysia of the two

islands of Sipadan and Ligitan at the border of East Kalimantan. According to

him, the two islands were handed over because of a regime that ‘prioritised its

own power and its own pockets’. More small islands have been and will continue

to be lost and to sink because of ‘the greed of giant investors’. According to

Harsutedjo ‘They collude with the regime to steadily steal the coral, the sand

and to dig up the mangrove trees which have for thousands of years guarded and

preserved our seas and our land’ (p. 5).



The illegal sale of timber, sand and soil at low prices to Singapore is evidence

that Indonesians have already sold their homeland’ (p. 5). Throughout his

dictionary Harsutedjo lists many other cases in which Indonesia’s economic

sovereignty has been compromised such as through the sale of mining and oil

concessions to foreigners. In our interview, Harsutedjo stated that ‘compared to

the Sukarno era there is now more foreign exploitation, but also national

exploitation’. He gives the example of the privatisation of water for use in

rice fields and of drinking water.