Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 12 Januari 2012
-----------------------------
SOKONG RIBUAN KAUM TANI YANG TURUN KE JALAN – JALAN
KEBANGKITAN KAUM TANI SEMAKIN MENINGKAT. . .
* * *
PENYELESAIAN KONFLIK TANAH HARUS a.d – UUPA 1960
* * *
Menurut berita dari Jakarta, hari ini, 12 Januari 2012, ribuan kaum tani dari berbagai penjuru tanah air, akan mulai aksi turun jalan. Mereka akan berunjuk-rasa ke Istana Presiden dan Gedung DPR. Tuntutan mendesak yang diajukan adalah: PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA yang kian marak belakangan ini.
Ini apa yang terjadi akhir-akhir ini bersangkutan dengan perjuangan kaum tani untuk tanah:
Di Senyerang, Jambi, kurang-lebih 1000 petani menduduki lahan yg dirampas perusahaan HTI – Hutan Tanaman Industri. Dalam kasus tsb (Nov 2010) seorang petani, A.A.Syafri (38) tewas ditembak Mobrig. Sampai kini kasus ini belum juga diselesaikan (oleh penguasa). Belakangan adalah kasus Mesuji, Sumatera Selatan, serta di Bima NTB. Di kedua tempat tsb aparat menggunakan kekersan senjata.
Jelas! ---, Kemarahan, perlawanan, aksi-aksi dan tuntutan kaum tani selama ini, dan yang turun ke jalan-jalan hari ini adalah masuk akal, adil dan WAJAR DAPAT SOKONGAN SELURUH MASYARAKAT! Pemerintah harus mengakhiri politiknya yang jelas-jelas menguntungkan kepentingan bisnis, kepentingan perusahaan dalam negeri, apalagi perusahaan asing. Pemerintah harus mengakhiri tindakan kekerasan terhadap kaum tani yang menuntut keadilan dan hak-hak mereka.
Penyelesaian masalah tani, masalah tanah, masalah agraria adalah salah satu kunci penting menuju pembangunan ekonomi negeri yang berkeadilan sosial.
* * *
Di bawah ini dikutip bagian-bagian dari sebuah tulisan penting oleh Sidik Suhada, Ketua DPN REPDEM bidang Penggalangan Tani dan aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Sidik Suhala menekankan a.l.: bahwa “ . . . . .
basis utama konsep pembangunan nasional, (adalah ) sebagaimana AMANAT PANCASILA, UUD 1945 DAN UUPA (1960).
JALAN KELUAR KONFLIK AGRARIA-- Oleh Sidik Suhada, 11.01.2012
“. . . . sejumlah kalangan pun mendesak pemerintah segera melaksanakan pembaruan agraria dan membentuk lembaga percepatan penyelesaian konflik agraria. Ini karena akar masalah dari semua konflik tersebut sebenarnya adalah soal agraria.
Sumber-sumber agraria (bumi, air, dan kekayaan alam lainnya) yang ada di Indonesia yang seharusnya dikuasai sepenuhnya oleh negara untuk kesejahteraan rakyat ternyata banyak yang dikuasai segelintir orang.
Konsentrasi kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan sumber-sumber agraria, baik tanah, hutan, maupun tambang, hanya ada di tangan segelintir pemilik korporasi besar sehingga melahirkan ketimpangan dan kemiskinan di kalangan rakyat yang menjadi kaum mayoritas.
Semangat UUPA
Salah satu semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 sebenarnya untuk mengakhiri praktik-praktik monopoli hak penguasaan tanah yang dapat melahirkan ketimpangan.
Karena itu, secara umum tujuan utama UUPA adalah
pembaruan hukum agraria kolonial (Agrarische wet 1870) menuju hukum agraria nasional;
2) menjamin kepastian hukum;
(3) mengakhiri kemegahan modal asing dengan cara menghapus hak asing dan konsesi kolonial atas tanah di Indonesia;
(4) mengakhiri penghisapan feodal dan perombakan struktur penguasaan tanah timpang
(5) mewujudkan implementasi Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Namun, setelah Soeharto berhasil melakukan kudeta tahun 1965 dan berhasil melahirkan kekuasaan Orde Baru, semangat dan tujuan UUPA diselewengkan. Meski undang-undang itu tidak pernah dicabut, hingga saat ini juga tidak pernah dijalankan.
Dalam mengelola pertanian, perkebunan, hutan, dan tambang misalnya, pemerintah lebih suka mengutamakan agar dikelola pengusaha ketimbang rakyat. Berbagai fasilitas kemudahan dan regulasi dibuat semata-mata hanya untuk melayani kepentingan modal agar dapat mengeruk semua kekayaan alam, serta sumber-sumber pokok agraria lainnya dibawa ke luar negeri.
Tulis Sidik Suhada selanjutnya:
“Untuk dapat mempercepat proses pelaksanaan pembaruan agraria, pemerintah harus segera membentuk badan atau komite khusus pelaksanaan percepatan reforma agraria. Badan atau komite ini langsung dipimpin presiden.
Dasarnya, Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah memberikan mandat jelas pada Presiden dan DPR, yakni (1) menjalankan pembaruan agraria dan (2) menegakkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Sebagai arahan kebijakan, TAP MPR ini menghendaki: (1) dilakukan peninjauan kembali segala perundangan-undangan dan peraturan di bidang agraria yang selama ini sifatnya sektoral, tumpang tindih, dan tidak mengandung semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat banyak dalam hal penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan tanah, dan sumber daya alam lainnya; (2) dilakukannya penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan yang lebih dikenal dengan istilah land reform, sekaligus dilakukan pendataan dan inventarisasi tanah untuk kepentingan land reform ini; (3) diselesaikannya konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam dengan berpegang pada prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk memperkuat kelembagaan yang akan bertugas melaksanakan penyelesaian sengketa-sengketa ini; dan (4) mengupayakan pembiayaan bagi program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik agraria maupun dalam pengelolaan sumber daya alam.. . . .
“Tugas pokok badan percepatan pelaksanaan reforma agraria:
Pertama, mendata dan memverifikasi kasus-kasus konflik agraria, baik kasus yang diadukan kelompok petani ataupun yang diprediksi dapat melahirkan konflik agraria, termasuk kasus-kasus lama yang belum terselesaikan hingga saat ini.
Kedua, membuat dan menyampaikan rekomendasi penyelesaian kasus-kasus konflik agraria tersebut kepada para pihak yang terlibat di dalam konflik.
Ketiga, memfasilitasi penyelesaian konflik melalui mediasi, negosiasi, dan arbitrasi.
Keempat, menyusun rancangan peraturan perundang-undangan dan kelembagaan (pembentukan pengadilan khusus agraria) untuk penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria.
Kelima, melakukan sosialisasi, koordinasi, dan kerja sama dengan badan-badan pemerintah maupun non-pemerintah dalam rangka pencapaian tujuan utama dari pelaksanaan pembaruan agraria.
Keenam, menetapkan dan merencanakan tata guna tanah sebagai basis utama pembangunan nasional.
Tata guna tanah ini meliputi (1) di mana dan berapa luas areal kawasan hutan yang harus dilestarikan, (2) di mana dan berapa luas area perkebunan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, (3) serta di mana dan berapa luasan area tambang.
Penetapan tata guna tanah ini selain penting sebagai basis utama pembangunan nasional ke depan, juga penting untuk menghindari gesekan dan sengketa tanah yang selama ini marak terjadi.
Semoga ke depan tidak ada lagi konflik agraria yang selalu memakan korban jiwa. Tidak ada lagi pembantaian kaum tani yang sedang berjuang mendapatkan hak atas kepemilikan tanah, dan tidak ada lagi perampasan tanah secara sewenang-wenang yang dilakukan para pengusaha“.
Pada akhir tulisannya Sidik Suhada menekankan bahwa . . .
“PEMBARUAN AGRARIA SEHARUSNYA DILETAKKAN SEBAGAI BASIS UTAMA KONSEP PEMBANGUNAN NASIONAL SEBAGAIMANA AMANAT PANCASILA, UUD 1945 DAN UUPA (1960) . . . . . “
Demikian Sidik Suhada, -- yang bagian-bagian tertentu dari tulisannya dikutip diatas.
* * *
No comments:
Post a Comment