Wednesday, January 18, 2012

Sekitar DEMOKRASI DAN KORUPSI Di INDONESIA

Kolom IBRAHIM ISA

Rabu, 18 Januari 2012

------------------------------

Sekitar DEMOKRASI DAN KORUPSI Di INDONESIA

Bagaimana persisnya saling hubungan dan saling pengaruh antara “demokrasi” dan “korupsi”? Masalah ini sudah lama juga dibicarakan di pelbagai kalangan dan di media nasional maupun internasional. Ada yang nyeletuk: Korupsi dan KKN zaman REFORMASI ini, setelah jatuhnya Suharto, --- malah semakin menjadi-jadi, – – – – sejadi-jadinya. Sehingga dengan demikian timbullah asumsi keliru: “Ah, di zaman Reformasi dan Demokrasi sekarang ini, terbanding sebelumnya, maka zaman Pak Harto keadannya lebih baik!”.



* * *



Benarkah bila ada orang bilang, bahwa, -- DEMOKRASI di Indonesia telah menghasilkan KORUPSI? Kalau memang begitu, maka, gerakan REFORMASI yang didukung massa luas dan semakin bergelora pada tahun 1998-an, -- sehingga pada 22 Mei 1998, berhasil menggulingkan Presiden Suharto dari kedudukan DIKTATORIAL yang dikuasainya selama 32 tahun itu, -- BENAR-BENAR TELAH GAGAL TOTAL.


Namun, kenyataan di Indonesia, tidak demikian adanya. Bebasnya semua tahanan politik, dimulainya kebebasan berorganisasi, dan kebebasan menyatakan pendapat, merupakan aset-aset baru dalam arsenal senjata perjuangan bangsa ini selanjutnya. Diseretnya mantan Presiden Suharto ke pngadilan, meskipun tak tuntas, merupakan permulaan pemberantasan korupsi yang bisa digalakkan lebih lanjut. Last but not least, diakhirinya pendudukan TNI atas Timor Leste, dan berdiri tegaknya negara merdeka Timor Leste --- semua itu tak terlepaskan dari perjungan Reformasi dan Demokrasi bangsa ini. Hal ini samasekali tak boleh disalahtafsirkan!


Perjuangan untuk Reformasi dan Demokrasi masih panjang sekali. Kita selamanya tidak akan melupakan belum ditanganinya pelanggaran HAM terbesar sekitar Peristiwa Tragedi 1965, dimana jutaan korban telah jatuh. Serta sekitar 20 juta keluarga korban 1965 yang samasekali belum direhabilitasi hak-hak politik dan kewarganegaraannya.


Tetapi seperti dikatakan oleh salah seorang filsuf Tiongkok, Lao Tse: '”Perjalanan ribuan li, (harus) dimulai dengan langkah pertama”.


* * *



Sementara komentar dan tanggapan, beralasan sekali mengemukakan, bahwa, korupsi besar-besaran yang belum pernah terjadi dalam sejarah bisnis dan perekonomian Republik Indonesia, --- sesungguhnya dimulai sejak rezim Orba. Koruptor-koruptor raksasa itu, dengan rakus sekali mencuri/mengantongi bermilyar-milyar dolar AS milik kas negeri yang diperoleh dari pinjaman IMF dan World Bank. Dan bahwa, koruptor dan manipulator terbesar, yang paling kakap, adalah Presiden Suharto dengan keluarganya serta konco-konconya. Adalah pada saat itu juga membengkaknya konglomerat-konglomerat kakap di Indonesia. Yang tidak sedikit adalah orang-orang Indonesia yang berasal etnis Tionghoa, seperti 'taipan' Liem Siu-liong, dan raja INDOMIE, Anton Salim, puteranya Liem Siu Liong.



Masyarakat masih belum lupa bahwa Liem Siu Liong adalah partner atau 'Babanya, dari Ali Baba' dalam penyelundupan dari Jawa Tengah ketika Jendral Suharto masih menjabat Panglima Div Diponegoro.



Dari sini bisa ditelusuri bahwa Jendral Suharto yang sejak jadi Presiden rezim Orba, ketika ia sendiri, dan kliknya memprakarsai dan melaksanakan politik diskriminatif dan rasialis anti-etnis Tionghoa, anti- yang segala-galanya “Cina”, dan yang anti-Tiongkok (RRT), yang teramat kejam dan biadab –; --- , Dalam kehidupan riil sehari-harinya, dalam kariernya sebagai seorang militer, Suharto punya partner berkomplot (bisnis) orang Indonesia asal etnis-Tionghoa. Sang partner komplotan dalam 'bisnis' ini, tak lain tak bukan adalah LIEM SIU LIONG. Inilah contoh 'politik dua-muka' atau 'belati bermata-ganda' yang sangat lihay yang dilakukan Jendral Suharto terhadap orang-orang Indonesia asal etnis-Tionghoa. Diberitakan juga bahwa Mohammad “Bob” Hassan, asal etnis-Tionghoa yang pernah diangkat Suharto jadi Mentri Perdangan RI, formalnya diakui sebagai 'teman dekat' Jendral Suharto, – – – - sesungguhnya adalah 'anak-angkatnya” Suharto. Berita ini tak pernah ada pembuktian, tetapi juga tak pernah ada bantahan.



Suharto dan rezim Orba, di satu fihak secara nasional melakukan politik rasialis dan diskriminatif terhadap golongan Tionghoa, namun, bersamaan dengan itu 'berkompanyon' dan berkomplot sama-sama memanipulasi ekonomi nasional demi kepentingan prihadi dan golongan masing-masing. Maka, juga tidak heranlah kiranya, bahwa, tidak sedikit kalangan bisnis Indonesia berasal etnis-Tionhoa menyatakan bahwa pada periode rezim Orba, situasinya adalah 'lebih baik'. Dalam periode itu mereka bisa 'hidup' dan berkembang cepat menjadi 'konglomerat-konglomerat' nasional. Sehingga tergolong orang-orang terkaya Indonesia.



* * *

Budi Kurniawan, dosen pada Universitas Lampung, melemparkan tulisan penting, analitis, kritis dan menarik di “The Jakarta Post”, berjudul “DEMOCRACY And CORRUPTION In INDONESIA”. DEMOKRASI Dan KORUPSI Di INDONESIA.

Kurniawan menulis bahwa,



Mengapa itu bisa terjadi? Menurut peneliti Olson yang dikutip oleh Kurniawan, a.l. sbb: “ Sebabnya ialah, bahwa transformasi politik di negeri-negri ini, dari otoriterisme ke demokrasi – hanyalah mengubah tipe korupsi, atau dalam istilah Olson, dari bentuk “bandit stasionair' menjadi bentuk 'bandit pengembara' ('roving bandit'). 'Bandit stasionair', maksudnya rezim-rezim komunis yang korup. Bandit-bandit stasionair itu tahu, mereka itu berkuasa dalam jangka waktu panjang. Mereka memberikan perlidungan pada bandit-bandit ukuran teri, disebabkan mereka memonopoli kekuasaan (negeri).



Selanjutnya: “Ketika, rezim-rezim tsb berubah menjadi demokrasi, tipe-tipe bandit (stasionair) menjelma menjadi bandit-bandit pengembara, halmana lebih berbahaya terbanding ketika bandit-bandit itu masih 'stasionair'. Bandit-bandit pengembara itu (roving bandits) sadar bahwa mereka punya hanya sedikit waktu untuk memerintah – disebabkan berlakunya sistim demokrasi. Oleh karena itu mereka malakukan korupsi raksasa selama masih berkuasa.

Sistim demokrasi mendorong kelakuan 'cari kesempatan' di kalangan bisnis dan politisi. Kaum politisi perlu uang untuk memenangkan pemilihan, dan kalangan bisnis memberikan uang tsb kepada politisi. Setelah politisi itu terpilih, mereka mengembalikan uang tsb kepada kalangan bisnis dalam bentuk fasilitas dan keuntungan dari politik-politik negara. Konsekwensinya, ialah, politisi yang terpilih itu, tak mempedulikan kepentingan pemilih mereka, seperti masalah menghapuskan kemiskinan, memajukan kesehatan dan pendidikan umum. Kaum politisi tsb hanya memikirkan bagaimana membayar kembali ongkos proses pemilihan. Kenyataan ini bukanlah demokrasi, tetapi, plutokkrasi, sebuah istilah dari Aristoteles ketika menyebut dominasi orang-orang kaya dan menguasai pemerintahan. (Intermezo: Dalam cakap-cakapku dengan seorang sahabat dalam perjalanan Jakarta-Yogyakarta p.p. Oktober/November thun lalu, ia menjelaskan bahwa dalam setiap pemilihan, apakah pilkada, pemilu ataukah pemilihan presiden, apa yang terjadi, adalah persis seperti apa yang dijelaskan dalam tulisan Kuirniawan, mengenai saling hubungan antara bisnis, politisi dan pemilihan).



Maka tak keliorulah apa yang disimpulkanan dalam tulisan Budi Kurniawan, bahwa apa yang terjadi bukanlah DEMOKRASI tetapi PLUTOKRASI.



* * *



Selanjutnya Kurniawan dan Olson, mengungkapkan: “Efek lainnya dari cari untung adalah oligarki. Setelah diperintah oleh rezim otoriter, Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar elite politik dan para pemimpinnya, memfokuskan, menyibukkan diri, dengan melakukan perdebatan antar sesama mereka sendiri. Mengenai bagaimana memperoleh kekuasaan – bukannya berdebat mengenai masalah bagaimana mengembangkan ekonomi Indonesia.



* * *



Hadiz dan Robison (2004) menunjukkan bahwa demokrasi yang sesungguhnya tak pernah ada setelah zaman Suharto. Adalah kekuasaan oligarki-bisnis yang lebih menentukan kehidupan politik Indonesia, terbanding kaum politisinya dan masyarakat umum. Namun, kebanyakan pemimpin Barat memuji Indonesia sebagai suatu negeri demokrasi dan Muslim terbesar (di dunia).



Masih dalam tulisan Kurniawan: Sementara cendekiawan berargumentasi bahwa pers yang bebas akan menempatkan pemerintah dibawah kontrol masyarakat dan oleh karena itu pula akan menciptakan transparansi.



Namun, di negeri-negeri demokratis media itu adalah bagian dari industri. Di bawah sistim demokrasi, media yang bebas tidak benar-benar berlaku sebagai “watch dog” (pengontrol) atas pemerintah. Samasekali tak ada media yang benar-benar independen, bebas. Media hanya membebek kepentingan politik pemiliknya. Bila pemilik-pemilik mereka merupakan bagian dari koalisi, maka mereka tak akan memberitakan isu-isu yang bisa membayakan kredibilitas pemerintah. Misalnya kasus-kasus skandal korupsi yang melibatkan politisi yang ada kaitan dengan koalisi yang sedang memerintah. Di lain fihak, jika mereka itu ber-oposisi, maka mereka akan 'blow-up', mebesar-besarkan isu-isu tsb untuk menyerang kredibilitas pemerintah.


Dalam keadaaan-keadaan demikian ini, media yang kuat (kuat dalam modal), mereka itulah yang membentuk pendapat umum, teristimewa mengenai isu-isu perkembangan. Media yang berpengaruh itu juga akan membentuk sikap dan pandangan para pemilih sehubungan dengan calon-calon terbaik dan partai-partai yang akan mereka pilih. Dengan hegemoni atas media demikian itulah seorang bisnisman seperti Silvio Berlusconi dapat memenangkan kedudukan top di Itali.

Akhirnya, keadaan-keadaan ini merupakan penyebab utama di negeri-negeri demokratik, betapa pentingnya arti supremasi hukum. Namun, dalam beberapa kasus, badan-badan penunjang hukum masih saja dikontrol oleh sistim otoriter. Itulah sebabnya kaum Reformis harus mendirikan lembaga-lembaga yang kuat, seperti halnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


Elemen paling berharga dari KPK adalah kemampuannya menahan/memenjarakan para koruptor. Suatu lembaga penunjang hukum yang kuat seperti KP K tak akan ada gunanya, bila badan itu tak punya kekuasaan untuk menghapuskan korupsi.


Demikian tulisan sarjana Kurniawan mengenai DEMOKRASI DAN KORUPSI Di INDONESIA yang penting dibaca khususnya kaum muda kita.


* * *

No comments: