Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 05 Januari 2012
------------------------------
BAGAIMANA MEMAHAMI TIONGKOK “DULU” DAN SEKARANG
BERANIKAH MENJADIKAN TIONGKIOK SEBAGAI TELADAN?
Masalah ini: – Bagaimana Memahami Tiongkok “Dulu” dan sekarang, pandangan dan sikap terhadap Tinongkok dan bangsa Tionghoa, terhadap orang-orang Tionghoa perantau, yang kebanyakan sudah berintegrasi atau berasimilasi dengan tanah-airnya yang baru dimana mereka telah hidup turun-temurun selama ratusan tahun, -- masalah ini dari dulu sampai sekarang masih tetap ramai dibicarakan dan diperdebatkan di berbagai kalangan, oleh berbagai pakar, politisi maupun oleh para 'teoretikus-teoretikus' tentang Tiongkok, baik yang lama maupun yang baru.
Mengapa TIONGKOK semakin menjadi perhatian dunia? Dikatakan penyebab utamanya ialah , karena Tiongkok semakin besar peranan dan pengaruhnya di dunia internasional dan dalam percaturan politik di dalam dan di luar PBB. Perlu dicatat bahwa meskipun tidak kurang tulisan dan analisis mengenai Tiongkok yang setiap tahun bertambah terus, yang mengambil posisi tidak bersahabat bahkan antagonis terhadap Tiongkok --- namun, tidak sedikit pula – yang berusaha obyektif. Obyektif dalam memahami BAGIMANA TIONGKOK “DULU” dan sekarang. Juga berusaha melihat Tiongkok dng berusaha memahami pandangan orang-orang Tiongkok sendiri, dulu dan sekarang.
Banyak buku, hasil studi atau penyimpulan pengalaman sendiri dalam berkomunikasi dengan Tiongkok, YANG OBYEKTIF demikian itu. Paling tidak yang tidak apriori, berprasangka ataupun memusuhi.
* * *
Aku mulai saja dengan pandangan dan sikapku sendiri terhadap Tiongkok. Bagaimana sikap Anda terhadap Tiongkok sekarang?, tanya seorang kawan. Kan Anda sekeluarga bermukim di Tiongkok tidak kurang dari duapuluh tahun lamanya. Mestinya punya kesan yang menarik? Begitu tanya berbagai fihak kepadaku. Pernah wartawan radio Vara dari Hilversum juga mengajukan pertanyaan setengah nyindir demikian kepadaku, ketika mewawancarai aku berkenaan dengan ultah ke-60 RRT.
Pengenalanku cukup lama! Aku kenal orang-orang Tiongkok, wakil-wakil organisasi pemuda Tiongkoik, pertama-tama dalam suatu pertemuan internasional tahun 1952 di Kopenhagen, Denmark. Ketika itu pelbagai organisasi pemuda dunia sedang mempersiapkan Konferensi Pemuda Sedunia. Tiongkok masih dalam posisi 'terisolasi' di dunia internasional yang dikuasai Barat. Kursi Tiongkok di PBB, karena dukungan kuat AS dan sekutu-sekutunya, masih diduduki oleh utusan rezim Chiang Kaishek (Kuomintang) di Taiwan.
Pada periode itulah aku mulai berkomunikasi, belajar kenal dan bekerjasama dengan orang-orang Tiongkok Baru. Selanjutnya komunikasi dan kerjasama itu diteruskan di pelbagai konferensi internasional untuk perdamaian dunia (1952-1960).
Kemudian di Sekretariat Tetap Organisasi Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika di Cairo, Mesir (1960-1965). Ketika kekuasaan pemerintahan dan negara di bawah Presiden Sukarno dikup oleh Jendral Suharto, dan kami sekeluarga dicabut paspornya oleh penguasa Indonesia, kami sekeluarga pindah ke Beijing. Itu terjadi atas undangan Lembaga Persahabatan Tiongkok Dengan Luarnegeri.
Duapuluh tahun di Tiongkok(1966-1986) bermukim di Tiongkok, mengalami masa yang paling dahsyat di Tiongkok, yaitu periode Revolusi Kebudayaan, membuat aku lebih mengenal Tiongkok dan orang-orang Tionghoa dari dekat. Mereka-mereka yang terlibat dalam urusan pemerintahan dan pelbagai organisasi masyarakat.
Kesan-kesanku telah sedikit-sedikit kutulis di media ini. Juga telah kusampaikan dalam pelbagai wawancarea dengan media internasional maupun di pertemuan-pertmuan diskusi. Di bawah ini disiarkan kembali salah satu dari kesanku tentang Tiongkok. Yang kutulis lima tahun yang lalu.
Ketika kami meninggalkan Tiongkok pindah ke Belanda, sahabat-sahabat kami orang Tiongkok, menyatakan: BUNG ISA ADALAH SAHABAT KAMI, SAHABAT LAMA, silakan datang lagi ke Tiongkok bila ada kesempatan. Kesempatan itu terjadi pada tahun 1998. Ketika kami berkunjung lagi ke Tiongkok, setelah 10 tahun meninggalkan negeri itu, Tiongkok telah mengalami perubahan dan kemajuan besar sekali di pelbagai bidang kehidupan rakyatnya. Kemajuan luar biasa telah dicapai di bidang modernisasi kehidupan: Teknologi, ilmu, industri, pertanian, pertahanan serta di bidang-bidang lainnya.
Kutanyakan mengenai PERUBAHAN BESAR yang telah terjadi di Tiogkok. Sahabat-sahabatku orang-orang Tiongkok menjawab dengan rendah hati: Apa yang kami lakukan di Tiongkok sekarang adalah experimen, Kami tidak bisa dan tidak akan menempuh 'jalan sosialisme' Uni Sovyet atau negeri manapun. Kami harus menempuh 'jalan sosialis Tiongkok' sendiri. Kami berhak untuk menemukan jalan kami sendiri. Yang penting kami harus mengurus makan, tempat tinggal, lapangan kerja, pendidikan dan kesehatan lebih dari satu milyar orang Tionghoa. Ini tanggungjawab utama kami. Untuk itu Tiongkok harus berjuang dan berjuang. Harus berani bereksperimen.
Bagaimana Anda memandang Tiongkok sekarang? Tanya sang wartawan yang tadi itu. Kujawab tegas. BAGI INDONESIA, MENJALIN HUBUNGAN BAIK DAN KERJASAMA SALING MENGUNTUNGKAN, MENGGALANG PERSAHABATAN DENGAN TIONGKOK ADA LAH MAHA PENTING dalam melaksanakan politik luar negerinya. Dalam berhubungan dengan Tiongkok aku bukan tidak punya pendapat sendiri mengenai hal-hal tertentu, kataku kepada wartaan Belanda itu. Tetapi itu selalu kuajukan langsung kepada yang bersangkutan. Dan ini mereka terima dengan baik! Kita harus menempatkan hubungan kerjasama dan persahabatan antara Indonesia dan Tiongkok selalu pada tempat pertama.
* * *
Di hadapanku ada dua buku baru mengenai Tiongkok: Yang satu dipinjamkan oleh seorang sahabat. Berjudul “CHINA MET ANDERE OGEN”, dalam bahasa Indonesia kira-kira begini: “ MELIHAT TIONGKOK DENGAN PANDANGAN LAIN”. Penulisnya, Annette Nijs. Ia mengenal Tiongkok dari penglamannya berhubungan dengan Tiongkok. Dalam dunia bisnis dan pendidikan tinggi. Untuk itu dalam sebulan paling tidak ia seminggu berada di Tiongkok. Ini dilakukannya sudah bertahun-tahun.
Buku yang satunya ditulis oleh penulis Belanda terkenal Jan van der Putten. Berjudul : TIONGKOK YANG MENGAGUMKAN. SEBUAH KEKUATAN DUNIA MACAM LAINNYA. Mengenai buku ini lain kali kita bicarakan.
Mari kita sedikit ungkap apa yang ditulis oleh Annette Nijs:
Dalam kata pengantar bukunya, Annette Nijs menulis al sbb: “Kita membaca, melihat dan banyak mendengar: -- Tentang Tiongkok yang tidak melakukan pemilihan umum; Tentang korupsi dan skandal-skandal lainnya, terutama yang dilakukan oleh kaum politisinya; Tentang perusahaan-poerusahaan Tiongkok yang mencuri teknologi Barat; Tentang perusahaan-perusahaan raksasa Tiongkok, yang dengan koper penuh duit, mencari perusahaan-perusahaan Barat untuk dibelinya; Tentang jurnalis-jurnalis Tiongikok dan Barat yang tidak bisa menulis semua yang mereka inginkan; Tentang pemberontakan—pembrontakan kecil dan besar di dalam dan di luar Tibet dan Urumqi; Tentang pengotoran luar biasa sungai-sungai dan udara sumpek di Beijing dan Shanghai, yang tampaknya tidak berkurang; Tentang kaum buruh tambang Tiongkok yang tewas karena tambangnya runtuh; Tentang mainan anak-anak dan makanan produk susu di supermark Tiongkok yang mungkin membahayakan nyawa anak-anak; Tentang warga Tiongkok yang rumahnya digusur dan mereka harus pergi dari situ, karena akan dibangun gedung pencakar langit di situ; dan Tentang pengekangan terhadap kebebasan mengakses internet di computer, dsb.dsb.
Annette Nijs menulis bahwa ia tahu tentang itu semua. Tidak ada maksud untuk menyembunyikannya. Dan Tiongkok harus berbuat benyak untuk mengubah hal-hal tsb. Tetapi saya tidak hendak memasuki soal-soal itu, kata Annette.
Mengapa? Sebabnya ialah karena saya anggap baik (bagi orang Belanda), bila lebih banyak lagi yang dengan cara lain – dengan mata lain – berani melihat Tiongkok. Ini baik! Karena saya adalah satu orang dari banyak yang berpendapat bahwa mungkin sekali abad ke XXI ini adalah 'ABADNYA TIONGKOK'. Oleh karena itu lebih baiklah untuk mengetahui mengenai perkembangan terakhir Tiongkok. Kalau tidak akan ketinggalan dengan berkembangnya fakta-fakta. Adalkah baik untuk menjadikan Tiongkok sebagai teladan.
Buku Annette Nijs terdiri dari tiga bagian: Negara yang sedang belajar – tentang KEDAMAIAN LANGIT. Tentang Sukses berbisnis – tentang kekayaan yang mulya. Dan tentang kehidupan dan dimenangkannya kembali kebebasan.
Yang kita bicarakan di atas dimaksudkan sebagai bahan pertimbangan semata. Agar seperti dianjurkan oleh penulis Annette Nijs, BERANI MELIHAT TIONGKOK DENGAN CARA PANDANGAN YANG LAIN.
Di bawah ini adalah sebagian dari pandanganku tentang Tiongkok.
* * *
Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 28 Juni 2007
---------------------------
TIONGKOK YANG KUKENAL (4)
Tuturan santai ini, adalah kelanjutan dari serentetan tulisanku berjudul
'TIONGOK YANG KUKENAL'. Ia dimaksukan sebagai suatu pembeberan dan
refleksi kesan-kesan mengenai Tiongkok. Begitu banyak komentar dan
tulisan; begitu berragam buku, film dan hasil karya seni, mengenai satu
negeri itu: -- Tiongkok. Kalau kita baca bahan-bahan yang banyak ditulis
orang tentang Tiongkok dan bangsa Tionghoa yang berdiam di Republik
Rakyat Tiongkok daratan, --- sungguh menakjubkan. Karena, begitu
beraneka ragam dan bervariasi posisi dan titik tolak serta pendapat
orang mengenai negeri dan bangsa berkebudayaan kuno itu. Begitu
memancing orang untuk berargumentasi.
Sebagai contoh: Tentang nama saja, --- apakah negeri itu tepatnya disebut
Tiongkok atau Cina, --- atau lebih baik dinamakan China (mengikuti orang
Inggris), mengenai itu saja sudah ada perbedaan pendapat. Begitu juga
mengenai nama apa yang semestinya digunakan untuk menyebut bangsa itu,
apakah bangsa Tionghoa, bangsa Chinese atau bangsa Cina?
Penyebutan nama menjadi ramai dibicarakan lagi, terutama sesudah
jatuhnya Presiden Suharto. Asal-muasal timbulnya soal, dimulai pada mula
kekuatan militer di bawah Jendral Suharto menggeser Presiden Sukarno,
mengambil oper kekuasaan atas Republik Indonesia, dan mendirikan Orde
Baru. Orang tidak akan melupakan suasana tegang dan mengenaskan,
menyinggung rasa harga diri dan perasaan, ketika pemerintah Orba
melarang penggunaan bahasa Tionghoa, tidak membolehkan nama-nama
Tionghoa digunakan untuk toko-toko, jalan-jalan dan apa saja. Suratkabar
dan penerbitan lainnya dalam bahasa Tionghoa ditutup. Juga
sekolah-sekolah Tionghoa dihentikan. Bahkan nama orangpun dengan satu
atau lain cara diusahakan oleh penguasa supaya diubah, dari nama
Tionghoa, menjadi nama 'a s l i' Indonesia.
Apapun alasan atau dalih yang dikemukakan untuk membenarkan politik Orba
demikian itu, inti sari kebijaksanaan Orba itu adalah d i s k r i m i n a s i
dan r a s i s m e yang ditujukan terhadap warganegara Indonesia
turunan etnis Tionghoa. Dengan sendirinya muncul pula dampak negatifnya
terhadap hubungan kenegaraan kedua negeri
* b * *
Tidak sedikit tulisan dan pendapat yang diajukan mengenai Tiongkok dan
bangsa Tionghoa (khususnya) yang di daratan, ----- bertolak dari suatu
sikap yang merasa 'takut' terhadap Tiongkok. Sebab, fihak-fihak yang
dulu menguasai, mendominasi dan mengeksploitasi Tiongkok, menyaksikan
bagaimana Tiongkok yang sekarang ini, bukan lagi 'the sick man of Asia'.
Bukan lagi Tiongkok 'tempo doeloe', tetapi Tiongkok Baru yang lain
samasekali. Tiongkok yang sekarang ini, sejak 1 Oktober 1949, sudah
menjadi suatu kekuatan politik, ekonomi dan militer di Asia yang selalu
harus diperhitungkan. Terutama oleh Amerika, Jepang dan Eropah, yang
begitu lama mendominasi Asia sebelum Perang Dunia II.
Mencerminkan kekhawairan yang begitu mendalam, sehingga ada yang
menamakan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai 'the new superpower',
'negara adikuasa yang baru'. Makanya, kata mereka, Tiongkok harus
'diwaspadai'. Kekhawatiran dan ketakutan tsb terutama disebabkan oleh
berdirinya suatu Tiongkok yang kuat yang berani melawan setiap usaha
untuk mendominasinya. Bertambah besar kekhawatiran itu, dalam
tahun-tahun belakangn ini disebabkan oleh cepat lajunya pertumbuhan
ekonomi Tiongkok, yang luar biasa sejak Deng Xiaobing memegang tampuk
pimpinan pemerintah dan negara. Dengan bertambah kuatnya ekonomi
Tiongkok, juga kekuatan militernya ditakuti. Ketakutan dan kekhawatiran
itu, bila ditelurusuri ke belakang, hal itu tak lepas dari konsep dan
strategi 'politik perang dingin'. Dikatakan juga kekhawatiran itu
disebabkan oleh semangat 'politik perang dingin' dalam kondisi dan
situasi baru.
Politik 'perang dingin' di Asia, sejak semula, terutama ditujukan
terhadap Republik Rakyat Tiongkok. Mengapa RRT dijadikan sasaran utama
strategi 'perang dingin' fihak Barat, di Asia, -- sebab utamanya ialah,
karena Tiongkok ada dibawah kekuasaan Partai Komunis. Sebagai negeri
yang dipimpin oleh Partai Komunis, diperhitungkan pasti ada dalam satu
blok dengan Uni Sovyet. Menurut Barat Blok Sovyet dalam persaingannya
dengan blok Barat punya ambisi untuk menghancurkan Barat dengan sistim
ekonomi kapitalisnya, kemudian menguasai dan mengkomuniskan seluruh dunia.
Perkembangan kemudian ternyata menunjukkan bahwa, perhitungan Barat itu
meleset samasekali. Ternyata RRT adalah suatu negara, suatu kekuatan di
Asia yang tidak tunduk pada siapapun. Tidak (lagi) tunduk pada Barat
atau pada Jepang seperti pada periode sebelum Perang Dunia II. Dikatakan
bahwa di dalam blok Sovyet dimana RRT tergabung, pemimpinnya adalah Uni
Sovyet. Nyatanya RRT tidak tunduk pada Uni Sovyet. Tiongkok bukan saja
bertolak-belakang dengan Uni Sovyet, tapi, bahkan sampai terlibat dalam
konflik bersenjata dengan Uni Sovyet. Yang dikenal sebagai perang
perbatasan antara RRT dan Uni Sovyet(1969).
Ditelaah secara seksama, konflik-konflk militer, yang terjadi antara RRT
dengan tetangga-tetangganya, seperti dengan India (1962), kemudian
dengan Sovyet(1969) lalu dengan Vietnam Utara (1979), --- semua itu
adalah konflik-konflik militer atau perang yang menyangkut masalah
perbatasan. Semua itu adalah perang perbatasan. Daerah atau wilayah
tertentu yang dikuasai oleh Tentara RRT ketika perang perbatasan dengan
India, dengan Sovyet maupun dengan Vietam Utara, --- itu semua
menyangkut masalah perbatasan. Perang dimana terlibat RRT itu semua
bukan perang agresi untuk menguasai negeri lain. Makanya, melalui
perundingan damai, bisa dicapai penyelesaian, meskipun belum sepenuhnya
tuntas.
Bisalah disimpulkan bahwa konflik-konflik militer itu, semua menyangkut
masalah yang merupakan problim sisa-sisa zaman ketika imperialisme
menguasai Tiongkok dan Asia. Ketika wilayah Tiongkok dikacau dan
dibagi-bagi, perbatasan serta daerah pengaruh ditentukn seenaknya oleh
imperialisme. Sedangkan bagian-bagian tertentu dari wilayah Tiongkok
menjadi daerah konsesi negeri asing tsb, atau bahkan menjadi koloni
seperti Manchuria (dikuasai Jepang), Hongkong (jadi koloni Inggris) dan
Macau (jadi koloni Portugis).
Bahkan 'Perang Korea' (1950-1953), yang mulanya terjadi antara Korea
Selatan versus Korea Utara, kemudian berkembang menjadi suatu peperangan
terutama antara Tiongkok-Korea Utara dengan bantuan Sovyet, melawan
AS-Korea Selatan dan sekutu-sekutu Barat. Dalam Perang Korea, RRT
menurunkan 'Tentara Sukarelawan'-nya, sesungguhnya adalah untuk MENJAMIN
KEAMANAN PERBATASAN di sepanjang TIONGKOK-KOREA. Bisa diasumsikan bahwa
bagi Tiongkok, Perang Korea samasekali tidak ada sangkut pautnya dengan
usaha untuk mencaplok wilayah negeri lain, apalagi sebagai usaha untuk
'menyebarkan faham Komunisme'.
* * *
Politik Barat terhadapTiongkok itu dikenal populer sebagai 'China
containment policy', 'politik mengekang Tiongkok'. Dari perumusan itu,
orang didorong untuk menyimpulkan bahwa Tiongkok itu adalah suatu
kekuatan yang agresif. Padahal sejak seratus tahun ke belakang, Tiongkok
selalu didominasi dan dieksploitasi oleh imperialisme Barat dan Jepang.
Pernah pula Tiongkok di intervensi oleh belasan tentara intervensionis
asing, dengan tujuan untuk membagi-bagi serta mendominasi dan
mengeksploitasi Tiongkok. Tokh, gampang-gampangan saja sementara fihak
menuduh Tiongkok itu sejak dulu agresif dan berambisi untuk menguasai
negeri lain.
* * *
Ketika dilangsungkan Konferensi Asia-Afrika yang bersejarah di Bandung
(1955), Perdana Menteri Zhou En-lai, dengan jelas sekali mengutarakan
politik luarnegeri Tiongkok. Politik luarnegeri Tiongkok, bertolak dari
prinsip-prinsip yang kemudian dirumuskan oleh Presiden Sukarno
(Indonesia), PM Nehru (India), PM U Nu (Birma), John Kotelawala (Ceylon)
dan PM Ali Khan (Pakistan), bersama dengan 24 negeri-negeri Asia dan
Afrika lainnya, dalam PRINSIP-PRINSIP BANDUNG, 10 Prinsip Hidup
Berdampingan antara negeri-negeri yang merdeka dan berdaulat.
Dokumen bersejarah Konferensi Asia-Afrika Bandung mencatat, kata-kata PM
Zhou Enlai dalam Konferensi, a.l., sbb: Delegasi Tiongkok datang ke
Konferensi Bandung dengan kehendak kuat untuk perdamaian dan
persahabatan. Disebabkan oleh serangan-serangan yang dilontarkan oleh
sementara delegasi, dimana hadir Delegasi Tiongkok, yang ditujukan
terhadap komunisme sebagai 'diktatorial' dan 'neo-kolonialisme', bahkan
mencurigai Tiongkok melakukan kegiatan subversi terhadap negeri-negeri
tetangganya, PM Zhou Enlai menyatakan dengan tegas, bahwa:
Delegasi Tiongkok datang kemari (Bandung) untuk mencari persatuan dan
bukan untuk bersengketa, untuk mencari landasan bersama dan bukan untuk
menciptakan perbedaan-perbedaan. Di antara negeri-negeri Asia dan Afrika
dan rakyat-rakyatnya terdapat landasan bersama yang didasarkan atas
kenyataan bahwa sebagian besar negeri-negeri dan rakyat-rakyt Asia dan
Afrika, menderita dan masih menderita dari bencana kolonialisme. Tak
peduli apakah dipimpin oleh kaum komunis ataupun nasionalis
negeri-negeri ini mencapai kemerdekaannya dari kolonialisme.
PM Zhou: -- Kita harus mencari dan mencapai saling pengertian dan saling
menghormati satu sama lain, bersimpati dengan dan mendukung satu sama
lainnya dan bahwa Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai dapat
sepenuhnya menjadi dasar bagi kita semua untuk mencapai hubungan
persahabatan, kerjaasma dan bertangga-baik.
Politik luarnegeri RRT terhadap negeri-negeri tetangga Asia-Afrika yang
mengutamakan persamaan besar dan menyisihkan perbedaan, sesuai dengan
politik luarnegeri RI ketika itu, maka bersama telah menyelamatkan
Konferensi Bandung dari terseret pada kontroversi mengenai komunisme dan
diktatur serta tuduhan-tuduhan subversi.
* * *
Telah ditelusuri politik luarnegeri Tiongkok terhadap negeri-negeri
lain, khsususnya terhadap negeri-negeri Asia-Afrika. Telah kita kenal
politik luarnegeri Republik Indonesia sejak proklamasi kemerderkaan
Indonesia. Telah kita saksikan pula kerjasama yang baik antara Delegasi
Indonesia dan Delegasi RRT dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955).
Dari situ bisa dikonstatasi bahwa politik luarnegeri Republik Indonesia
di bawah Presiden Sukarno terhadp RRT, adalah politik luarnegeri yang
brinsip dan konsisten, didasarkan atas prinsip-prinsip bebas mandiri dan
bertetangga baik, atas dasar soliaritas A-A dalam perjuangan melawan
kolonailisme dan mempertahankan kemerdekaan dan perdamaian dunia.
Prinsip-prinsip tersebut kemudian dirumuskan bersama oleh semua peserta
Konferensi Asia-Arika (1955), dalam Prinsip-Prinsip Bandung.
Dengan demikian, perkembangan hubungan RI-RRT tahun-tahun belakangan
ini, terutama pada periode pasca Suharto, perlu disambut baik. Karena
hal itu memperbesar dan memperluas bidang-bidang kerjasama antara kedua
negeri. Suatu perkembangan yang mempererat tali perasahabatan, memajukan
hubungan ekonomi dan kebudayaan. Suatu politik yang punya latar belakang
sejarah yang cukup lama, yaitu sejak berdirinya RI dan RRT.
Suatu politik yang tidak terprovokasi oleh kecohan-kecohan sementara fihak
yang ditujukan untuk merusak hubungan baik dan bersahabat antara
Indonesia dan Tiongkok. * * *
No comments:
Post a Comment