Saturday, December 29, 2012

*INDONESIA MAU KEMANA? *

*Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 30 Desember 2012
------------------------------------*

*INDONESIA MAU KEMANA? *

*Menyimak (kembali) Karya Studi Agraria M. SOHIBUDIN Dan Ahmad Nasbih LUTFHI

"SOSIALISME ALA NGANDAGAN" --*

*PEMBERDAYAAN SOSIALISME di INDONESIA? *


   ** * **

   Menjelang tutup tahun 2012, kiranya ada manfaatnya, kita tidak
   semata-mata terpancang pada masalah korupsi dan sekitar siapa yang
   akan menggantikan SBY . . . tetapi juga memikirkan masalah yang
   sesungguhnya lebih penting lagi , yaitu memikirkan kembali
   pertanyaan ini: -- *INDONESIA MAU KEMANA? Sekarang ini kita sedang
   memberlakukan sistim ekonomi yang bagaimana? Sekadar menjadi
   embel-embel dari sistim kapitalisme yang semakin mengglobal? Ataukah
   akan menempuh JALAN PEMBANGUNAN EKONOMI YANG BERDIKARI?*

   *
   *Bung Karno, mantan Presiden Republik Indonesia, memberikan jawaban
   yang jelas: Negeri kita *HARUS MEMBANGUN SOSIALISME INDONESIA.
   Beliau mrumuskan jalan permulaan pembangunan ekonomi Indonesia
   seperti yang dituangkan dalam konsepsi DEKLARASI EKONOMI (Dekon).
   *
   Sejak robohnya rezim Orba, yang jelas-jelas menjadikan Indonesia
   negeri yang berhaluan kapitalisme, terkait dan bergantung pada
   sistim kapitalisme dunia, ---- Pemerintah-pemerintah pasca Reformasi
   sampai detik ini tidak (mampu) mengajukan konsep pembangunan ekonomi
   Indonesia yang kongkret didasarkan atas "Perekonomian Nasional
   Menurut Pasal 33 UUD Negara RI Tahun 1945".


Maka, masalah kemana arah perkembangan selanjutnya ekonomi Indonesia masih belum memperoleh jawaban yang tegas sesuai UUD-RI.

* * *

Dua orang cendekiawan Indonesia M. Sohibudin dan Ahmad Nasbih Lutfhi, berusha memberikan dorongan pada pendiskusian dan pemecahan masalahnya:

Mari ikuti tulisan mereka mengenai masalah bersangkutan< Tulisan ini disiarkan pada 21 Januari 2011 dengan judul *"SOSIALISME ALA NGANDAGAN"* --

*PEMBERDAYAAN SOSIALISME di INDONESIA?*


* * *


*IBRAHIM ISA -- Berbagi Cerita
Selasa, 25 Januari 2011
--------------------------------------*

*"SOSIALISME ALA NGANDAGAN"
PEMBERDAYAAN SOSIALISME di INDONESIA? *
*


Sering diajukan pertanyaan: Apakah Indonesia dewasa ini sudah menjadi negeri dengan sistim ekonomi kapitalis? Ataukah, --- masih merupakan negeri yang sistim ekonominya terutama adalah sistim ekonomi feodal. Pernah pula dinyatakan, sistim ekonomi/politik Indonesia dewasa ini, terutama, sesudah diadakannya persetujuan KMB -- Konferensi Meja Bundar, 1949, -- antara Indonesia dengan Kerajaan Belanda, Indonesia sudah menjadi negeri setengah jajahan dan setengah feodal. Soal ini belum tuntas ditelaah dan didiskusikan.


Apalagi sesudah berkuasanya rezim Orba, dengan dilaksanakannya kebijakan politik ekonomi menurut garis IMF dan World Bank untuk negeri-negeri 'yang sedang berkembang'. Akibatnya Indonesia terutama menjadi lahan penanaman modal asing, dengan tenaga kerja murah dan pasaran untuk pelemparan hasil-hasil negeri-negeri luar Indonesia. Sedangkan sumber-sumber kekayaan bumi dan air Indonesia berada di bawah kontrole dan dominasi modal asing.


Sekitar masalah tanah, di Indonesia masih *b e l u m j e l a s* duduk perkaranya, kalau bicara mengenai landreform.


* * *


Sebagai gambaran mengenai 'masalah tanah' pun di mancanegra telah terjadi perkembangan dan perubahan yang menunjukkan merasuknya modal besar ke bidang eksploitasi tanah dan tenaga kerja murah. Bukan eksploitasi tanah (dan tenaga kerja) di negeri sendiri tetapi di negeri-negeri lain. Di negeri-negeri miskin.

Perhatikan informasi ini: *
LUARNEGERI MENCARI DALAM NEGERI.*
"Secara internasional negeri-negeri kaya membeli tanah di negeri-negeri miskin, untuk mengamankan suply bahan makanan negerinya sendiri. Juga kaum spekulan melirik tanah-tanah pertanian kosong; (karena) itu (diangggap) lebih baik ketimbang emas. Geopolitik dari keamanan bahan makanan.

"Ethiopia, salah satu negeri yang banyak tertimpa bencana kelaparan, di tahun-tahun mendatang akan melihat lebih banyak bahan makanan yang dihasilkan di negerinya. Ratusan juta hektar tanah telah dibeli untuk dijadikan perusahaan pertanian luas yang modern.

Tetapi dari janji hasil gandum, beras dan soya yang diperoleh dari situ, orang-orang Etiopia tidak akan ikut memaknnya. Semua hasil bumi akan langsung dikapalkan ke India dan Saudi Arabia, pemilik-pemilik baru tanah-tanah luas di Ethiopia.

"Ini bukan kejadian yang berdiri sendiri. Kuweit telah membeli tanah di Kamboja, Tiongkok dan Congo. Arab Emirat membeli tanah di Pakistan, Korea Selatan, dan di Tanzania. Dan begitu seterusnya. Pembelian tanah tsb begitu besar dan terjadi dalam waktu singkat dan cepat. Sehingga sementara NGO menyatakan bahwa telah terjadi 'perebutan tanah besar-besaran'. Atau dikatakan 'perebutan baru tanah di Afrika dan Asia'. Suatu penaklukkan neo-kolonialisme oleh modal asing terhadap Dunia Ketiga.

"Menurut World Bank tanah-tanah yang dibeli fihak asing itu meliputi 40 juta hektar tanah pertanian -- luasnya 10 kali luas negeri Belanda atau lebih besar dari luasnya negeri Jerman. Demikian ulasan sebuah mingguan nasional Belanda 'De Groene Amsterdammer'.

Dari uraian diatas bisa kita saksikan, masalah tanah bukan saja merupakan masalah di Indonesia, tetapi juga merupakan masalah dunia. Modal-modal besar sudah menjadi TUAN TANAH BARU, di negeri-ne geri berkembang.

Dengan demikian masalah LANDREFORM, PERUBAHAN TANAH, juga merupakan agenda mendesak di dunia internasional. Karena, jalas hubungannya dengan perkembangan baru, eksploitasi dan pemerasan terhadap negeri-negeri miskin oleh negeri-negeri kaya, semakin mengakarnya sistim NEO-KOLONIALISME.

* * *

   Menyangkut masalah tanah di Indonesia, di bawah pemerintahan
   pra-Orba telah dilakukan perjuangan dan pelbagai usaha untuk
   PERUBAHAN TANAH, untuk suatu LANDREFORM. Kegiatan dan perjuangan
   untuk perubahan tanah di Indonesia, di masa pra-Orba, mungkin
   dilakukan, karena adanya hak-hak demokratis bagi kaum tani dan
   organisasi-organisasi tani serta parpol-parpol progresif. Semasa
   rezim Orba kebebasan demokratis itu sudah tak ada samasekali.
   Sehingga kegiatan dan perjuangan untuk perubahan tanah, terhenti
   bahkan mengalami kemunduran.

   * * *

   Sehubungan dengan masalah tanah dan 'landreform' di Indonesia, Moh.
   Shohibuddin bersama Ahmad Nashih LUTFHI, dari Lingkar Belajar
   Reformasi Agraria , belum lama menulis sebuah brosur penting
   dan menarik. Berjudul:
   *
   "SOSIALISME A LA NGANDAGAN"*: Revisit Inisiatif Land Reform di
   Sebuah Desa Jawa, 1947-1964. Desember 2010 -- Launching:pertengahan
   Februari 2011. Penerbit: STPN dan Sajogyo Institute.
   Beruntung aku dapat membaca tulisan *Gunawan Wiradi*, mengantar buku
   Moh. Sohibudin dan Lutfhi. Suatu penjelasan yang Bagus! Inofatif,
   inspiratif dan amat menggugah bagi yang peduli *PERUBAHAN TANAH DI
   INDONESIA. *

   *Dimasuki pula masalah "SOSIALISME INDONESIA". *
   Silakan baca di bawah ini tulisan Gunawan Wiradi sekitar buku
   "SOSIALISME A LA NGANDAGAN": Revisit Inisiatif Land Reform di Sebuah
   Desa Jawa, 1947-1964. Desember 2010 --




   *GUNAWAN WIRADI:Mengenai buku baru: *
   "SOSIALISME A LA NGANDAGAN": Revisit Inisiatif Land Reform di Sebuah
   Desa Jawa, 1947-1964. Desember 2010 -- *
   *

   Buku ini merupakan hasil studi "revisit" atas kasus inisiatif land
   reform lokal di desa Ngandagan, sebuah desa di Jawa Tengah, yang
   terjadi    pada tahun 1947-1964. Penulis mendiskusikan profil land
   reform inisiatif lokal tersebut dan mencoba mendalami proses
   diferensiasi agraria yang terjadi sebagai konteks krisis agraria
   yang berlangsung. Pelaksanaan land reform di Ngandagan membawa
   dampak secara sosial-ekonomi yang cukup signifikan terhadap struktur
   sosio-agraria setempat, serta konfigurasi politik dan keagamaan.

   Pelaksanaan land reform inisiatif lokal yang terjadi di Ngandagan
   dijalankan dengan cara melakukan perubahan sistem kepemilikan,
   peruntukan, dan pemanfaatan tanah serta perubahan relasi
   ketenagakerjaan. Kebijakan land reform itu mengharuskan semua
   pemilik tanah kulian menyisihkan 90 ubin dari setiap unit tanah
   kulian yang dikuasainya. Hasil penyisihan ini kemudian dialokasikan
   untuk sawah buruhan yang dikelola langsung oleh desa untuk diatur
   pembagiannya di antara warga desa yang tidak memiliki tanah. Ukuran
   standar baru unit sawah buruhan ditetapkan seluas 45 ubin, yakni
   separoh dari ukuran sebelumnya yang 90 ubin, sehingga jumlah
   penerima potensial dari kebijakan redistribusi tanah bisa diperluas.
   Inilah ukuran batas minimum versi lokal Ngandagan. Pelaksanaan itu
   juga dipadukan dengan kebijakan perluasan tanah pertanian
   (ekstensifikasi) dengan memanfaatkan lahan kering berstatus abseente
   seluas 11 hektar yang ada di ujung desa. Dihasilkan pula sistem baru
   berupa skema pembayaran hutang hari kerja di lahan kering yang
   bermakna sebagai pertukaran tenaga kerja.

   Kebijakan desa Ngandagan itu secara sadar diarahkan untuk
   meruntuhkan basis feodalisme agraris di desa, yakni pola hubungan
   patronase yang dibangun oleh petani kuli baku dengan buruh kuli-nya.
   Redistribusi tanah dilakukan tidak seperti pada masa tanam paksa,
   yakni dalam rangka penyediaan tanah dan mobilisasi tenaga untuk
   produksi tanaman ekspor, namun sebaliknya secara sadar diarahkan
   untuk mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah. Hal demikian tidak
   dapat berlangsung tanpa kepemimpinan kuat seorang lurah bernama
   Soemotirto yang dinilai legendaris.

   Selain land reform, juga ditekankan kembali norma hukum adat yang
   melarang pelepasan tanah, baik melalui penjualan, penyewaan maupun
   penggadaiannya kepada orang lain. Semua bentuk transaksi tanah ini
   dilarang keras baik terhadap penerima sawah buruhan yang memang
   hanya memiliki hak garap maupun terhadap petani kuli baku sendiri
   selaku pemilik tanah. Kebijakan ini mampu mencegah kehilangan
   tanahnya secuil demi secuil (peacemeal dispossession), suatu kondisi
   yang pernah dialami warga Ngandagan sebelum pelaksanaan land reform.
   Inovasi baru dalam hubungan produksi diciptakan dalam suatu
   mekanisme tukar menukar tenaga kerja di antara warga dalam
   mengerjakan berbagai tahap produksi pertanian. Mekanisme ini disebut
   sebagai grojogan. Dengan sistem ini semua warga tanpa terkecuali,
   termasuk pamong desa, akan bekerja di lahan pertanian milik
   tetangganya. Kultur feodalisme di pedesaan yang barbasis pada
   penguasaan tanah diruntuhkan melalui mekanisme semacam ini.

   Kebijakan agraria desa Ngandagan bukannya tanpa halangan. Ketika
   Soemotirto melakukan kebijakan konsolidasi tanah pada tahun 1963,
   yakni melakukan penataan permukiman warganya, maka muncul
   pertentangan. Ia diperkarakan ke pengadilan kabupaten dengan tuduhan
   pengambilan tanah tanpa seizin pemiliknya. Posisinya lemah, sebab
   berbeda dengan penataan terhadap tanah sawah dan lahan kering,
   terhadap penataan tanah pekarangan dan rumah ini ia tidak memiliki
   legitimasi kultural dan pembenar dari hukum adat.

   Relasi asosiatif politik warga Ngandagan pada Partai Komunis
   Indonesia dalam pemilu 1955, sebenarnya lebih didahului karena
   keberhasilan pelaksanaan land reform 1947 dan orientasi pemimpinnya,
   yakni lurah Soemotrito, daripada sebaliknya. Ngandagan sampai dengan
   awal tahun 1960-an, dikenal sebagai "desa RRT di kandang banteng",
   artinya PKI di tengah-tengah pengikut PNI. Akan tetapi dengan adanya
   proses peradilan itu, maka konflik politik di Ngandagan yang semula
   hanya menyangkut soal dukungan atau penolakan atas redistribusi
   tanah pekulen dan melibatkan antar elit di lingkup desa, kemudian
   berkembang menjadi bagian dari kontestasi ideologi di daerah
   (kabupaten) yang melibatkan unsur politik kepartaian yang bahkan
   berakibat pada konversi agama.

   Meskipun diperkarakannya Soemotrito berakibat pada berakhirnya
   kekuasaan dia sebagai lurah, sebuah politik perlawanan masih ia
   lakukan sebelum lengser. Ia memerintahkan warganya yang menjadi
   pengikut PKI untuk pindah ke partai lain. Sebagian besar warga
   mengikuti ke mana arah angin berhembus dan lantas memutuskan memilih
   PNI. Namun Soemotirto sendiri, bersama para pengikutnya, menyatakan
   sikap anti-PNI mereka dengan memilih Partai Katolik, meskipun dengan
   risiko menjadi kelompok minoritas agama. Konversi agama ini terjadi
   sekitar setahun sebelum peristiwa "G 30 S", dan hal demikian berbeda
   dengan kondisi di tempat lain yang prosesnya justru terjadi setelah
   meletusnya peristiwa tersebut.

   Berbagai perombakan sistem tenurial dan ketenagakerjaan itulah yang
   memberi gambaran sosialisme ala Ngandagan", suatu
   "tafsir-dalam-praktik" mengenai cita-cita keadilan sosial di bidang
   agraria. Inovasi "sosialisme" berbasis adat itu terpangkas prosesnya
   pada tahun 1963 di level lokal, disusul dengan peristiwa 1965 di
   level nasional yang menghempaskan Ngandagan dan desa-desa lain
   secara umum di Indonesia, menuju ke arah yang berbeda.

   Kebijakan sosialisme ala Ngandagan adalah hasil dari kombinasi
   antara revitalisasi dan reinterpretasi hukum adat dalam rangka
   mewujudkan sistem penguasaan tanah dan hubungan agraria yang lebih
   adil. Sejarah desa Ngandagan menunjukkan bahwa land reform
   dilaksanakan dalam kerangka hukum adat serta adanya tafsir dan
   praktik land reform yang lebih sesuai dengan tuntutan dan kondisi
   lokal yang berhasil diwujudkan oleh masyarakat desa sendiri. Jika
   saja inisiatif progresif semacam itu mendapatkan apresiasi dan
   dukungan politik semestinya, dan bukan justru diseragamkan, maka
   betapa banyak alur gelombang emansipasi dari bawah yang dapat
   diharapkan akan berkembang secara "alamiah", dan yang pada
   gilirannya akan turut memperkaya proses formasi sosial dan
   perkembangan politik bangsa Indonesia secara keseluruhan. [ ]

        Sebagai hasil dari suatu "studi ulang" atas sebuah desa yang 63
        tahun lalu telah melakukan land reform lokal, buku ini bukan saja
        memaknai peristiwa itu dalam konteks kekinian dan mewacanakan
        berbagai perubahan sosial ekonomi dan politik seiring dengan
   proses
        perubahan zaman selama sekian tahun itu, tetapi bahkan sekaligus
        juga mencerminkan usaha kedua penulisnya untuk "berimajinasi
        sosiologis" dengan merakitkan gejala lokal tersebut dengan konsep
        gagasan besar "Sosialisme Indonesia". *Karenanya, buku ini perlu
        dibaca para generasi muda, peminat sejarah, pengkaji masalah adat,
        pemerhati, aktifis dan pengambil kebijakan penanganan masalah
        kemiskinan dan reforma agraria, dan para peminat ilmu sosial
   secara
        umum. (Gunawan Wiradi, 2011)
   *
   * * *


BUKU BARU - RANTAI KAPITALISME GLOBAL


         Ibrahim Isa
         Kemis, 27 Des 2012
         ------------------------

         Berita baik kita baca hari ini. Ada buku baru terbit. Bukan
         sebarang buku. Adalah buku berjudul "RANTAI KAPITALISME
         GLOBAL". Launchingnya di Jakarta tanggal 06 Januari 2013.

         Sudah lama dinantikan sebuah buku analitis mengenai
         KAPITALISME GLOBAL, terutama yang berlangsung di negeri kita.

         * * *

         Sangat menarik judul buku buah pena BONNIE SETIAWAN, mengenai
         isu yang banyak dibicarakan dan diananlisis di mancanegara.
         Pasti akan "dilalap" para pemeduli perkembangan ekonomi
         khususnya di negeri kita.

         Semoga kita yang tidak ada di Jakarta dan tidak bisa hadir
         dalam launching buku Bonnie Setiawan tsb pada tanggal 06
         Januari 2013 yad bisa mengikuti liputannya. Dan siapa tahu
         akan memesannya . . . SYUKUR-SYUKUR BISA MEMBACA RESENSINYA . . .

*JALAN PANJANG MENUJU NEGARA HUKUM INDONESIA Yang SEKULER Dan TOLERAN*

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Rabu, 26 Desember 2012*
*------------------------*


*JALAN PANJANG MENUJU NEGARA HUKUM INDONESIA Yang SEKULER Dan TOLERAN*



Di hari kedua Hari Natal, di bawah ini disajikan tulisan mantan Presiden RI, K.H. Abdurrachman Wahid. Ketika itu beliau (1981) belum menjabat presiden RI. Dipublikasikan ulang karena dirasa relevan dengan situasi aktuil kita .


Di akhir tulisannya Gus Dur bertanya dengan lugu, sbb: *kapankah akan ada kejelasan tentang ujung dan pangkal kasus "Fatwa Natal", yang juga berarti ujung dan pangkal MUI sendiri? *Nyatanya sampai detik ini kejelasan yang diharapkan Gus Dur itu, belum ada. Belum ada kejelasan tentang ujung pangkal kasus "Fatwa Natal". Hal mana menunjukkan bahwa
BONsebagai Negara Hukum belum tegak. Masih dalam proses yang panjang dan lama.


Tulisan Gus Dur tsb maerupakan input yang berguna sebagai bahan pertimbangan untuk difikirkan bersama. Dalam rangka kita hendak menegakkan Indonesia sebagai NEGARA HUKUM, yang Berbhineka Tunggal Ika, toleran, adil dan makmur.


Dengan hati lega bisa dicatat, ----- Bahwa pemikiran masyrakat kita mengenai masalah tsb berkembang ke arah possitif.


Langkah Presiden Palestina Ferhat Abbas, misalnya, yang berkunjung ke Gereja di Palestina untuk merayakan Hari Natal, dan . . . . . . berlangsungnya upacara perayaan Hari Natal yang diadakan di Gereja Katolik tertua di Jakarta, hari ini, dalam suasana harmonis dan damai -- -- -- -- Dimana hadir Gubernur Jakarta Jokowi dan para pejabat kekuasaan dan birokrasi Jakarta, semoga menggugah dan mendorong lebih lanjut, . . . . pemikiran possitf, dalam usaha kita bersama menegakkan NEGARA HUIKUM yang Berbhinneka Tunggal Ika dan toleran!



* * *


*FATWA NATAL, UJUNG DAN PANGKAL*

*Oleh: KH. Abdurrahman Wahid*


KASUS "Fatwa Natal" dari Majelis Ulama Indonesia ternyata menghebohkan juga. Lembaga itu didesak agar "mencabut peredaran" fatwa yang melarang kaum muslimin untuk menghadiri perayaan keagamaan golongan agama lain.


Ini sungguh merepotkan, hingga orang sesabar dan sebaik Buya Hamka sampai meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI. Emosi pun mudah terganggu mendengarnya, kemarahan gampang terpancing, dan kesadaran lalu hilang di hadapannya: yang tinggal cuma sumpah serapah.


Padahal, masalahnya kompleks. Sebagai kumpulannya para ulama, bolehkah MUI menggunakan terminologi dan pengertian yang lain dari apa yang diikuti para ulama umumnya? Kalau tidak boleh, bukankah sudah logis kalau MUI mengeluarkan fatwa seperti itu, karena memang masih demikianlah pengertian para ulama sendiri? Kalau boleh, lalu terminologi dan pengertian apakah yang harus dipergunakan oleh MUI?


Jadi, ternyata pangkal persoalan belum ditemukan pemecahannya.*Ia menyangkut penetapan wewenang membuat penafsiran kembali banyak prinsip keagamaan yang sudah diterima sebagai bagian inheren dari sistem berpikir keagamaan kaum muslimin.*


Lembaga seperti *MUI*, yang memang dibuat hanya sekadar sebagai penghubung antara pemerintah dan umat pemeluk agama Islam (itu pun yang masih merasa memerlukan kontak ke luar), *sudah tentu sangat gegabah untuk diharapkan dapat berfungsi demikian*. Ia hanyalah sebuah pusat informasi yang memberikan keterangan tentang umat kepada pemerintah dan maksud pemerintah kepada kaum muslimin.


Tidak lebih dari itu. Kalau lebih, mengapa ia dirumuskan sebagai "tidak bersifat operatif dan tidak memiliki jenjang vertikal dengan Majelis-majelis Ulama di daerah? *Kalau ia dikehendaki mampu merumuskan sendiri pedoman pengambilan keputusan atas nama umat Islam, mengapakah bukan tokoh-tokoh puncak tiap organisasi Islam yang dijadikan "perwakilan" di dalamnya?*


Main Mutlak-mutlakan Itu tadi tentang pangkal persoalannya: tidak jelasnya status keputusan yang dikeluarkan MUI, di mana titik pijak berpikirnya, dan kepada siapakah ia selalu harus berbicara (supaya jangan selalu babak belur dicaci maki pihak yang terkena).


*Bagaimana halnya dengan ujung persoalan "Fatwa Natal"? Apakah lalu akan keluar fatwa tidak boleh pacaran dengan gadis beragama lain, lalu fatwa sama sekali tidak boleh pacaran? Apakah menganggukkan kepala kalau bertemu gadis juga dimasukkan ke dalam kategori pacaran? Bagaimana pula tersenyum (baik malu-malu ataupun penuh harapan)? Bolehkah, nanti anak saya bersekolah satu bangku dengan murid lain yang beragama Budha? Bagaimana kalau ada tamu Hindu, haruskah saya banting pecahkan gelas bekas ia meneguk minuman yang saya suguhkan (walaupun mungkin gelas pinjam dari orang lain)? Dan seterusnya, dan seterusnya.*


Kalau tidak ada keinginan menetapkan ujung persoalannya, *jangan-jangan nanti kita tidak boleh membiarkan orang Kristen naik taksi yang di kacanya tertulis kaligrafi Arab berbunyi Bismillahirrahmanirrahim. Alangkah pengapnya udara kehidupan kita semua, kalau sampai demikian!*


Tetapi, mencari ujung itu juga tidak mudah, karena ia berangkat dari seperangkat postulat yang main mutlak-mutlakan dalam pemikiran keagamaan kita.


Yang celaka kalau pemeluk agama-agama lain juga bersikap eksklusif seperti itu. Salah-salah, si muslim nakal bisa mengalami nasib sial: sudah mencuri-curi perginya melihat perayaan Natal (takut dimarahi MUI), sesampai di tempat perayaan itu diusir oleh penjaga pintu pula.


Karenanya, mengapakah tidak kita mulai saja mengusulkan batasan yang jelas tentang wilayah "kajian" (atau keputusan, atau pertimbangan, atau entah apa lagi) yang baik dipegangi oleh MUI? Mengapakah tidak masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa saja. Bagaimana merumuskan kemiskinan dari sudut pandangan agama, bagaimana mendorong penanganan masalah itu menurut pandangan agama, bagaimana meletakkan kedudukan upaya penanganan kemiskinan (haram, halal, mubah, makruh, sunahkah?) oleh berbagai lembaga di bawah? Bagaimana pula kaum muslimin seyogianya bersikap terhadap ketidakadilan, terhadap kebodohan?


Jawabannya tentulah harus terperinci dan konkret, jangan cuma sitiran satu dua hadis tentang kewajiban belajar hingga ke liang kubur saja. *Nah, kapankah akan ada kejelasan tentang ujung dan pangkal kasus "Fatwa Natal", yang juga berarti ujung dan pangkal MUI sendiri? ( semuacetak tebal dalam artikel Gus Dur tsb adalah dari Penulis Kolom ini)*


Kolom TEMPO, 30 Mei 1981



***


BANGSA KITA TOLERAN ---- YANG KONSERVATIF SANGAT KECIL .

IBRAHIM ISA
Senin, 25 Desember 2012
---------------------------------

BANGSA KITA TOLERAN ---- YANG KONSERVATIF SANGAT KECIL .


Ini ada artikel bagus di The Jakarta Post, hari ini, di tulis oleh Margaret S. Aritonang.

Silakan baca, sebagai tambahan input mengenai masalah SEPERtI APA TOLERANNYA BANGSA INDONESIA, selain seperti yang diutarakan oleh Pak Menteri bahwa tidaklah soal mengucapkan selamat hari Natal kepada ummat Kristen:

* * *

Indonesia more tolerant than perceived: LSI
Margareth S. Aritonang, The Jakarta Post, Jakarta December 24 2012, 10:15 AM

A new survey conducted by the Indonesia Survey Circle (LSI) found that the majority of people are tolerant and concerned about worsening discrimination against religious and ethnic minorities.

According to the survey, conducted between Dec. 14 and 17, only 10 percent of respondents condoned discrimination against minority groups in the country and insisted that minority groups should submit to the wishes of the majority.

LSI, however, found that although intolerant people were few in number, they were opinion setters who wielded influence in their communities.

The survey outfit found that intolerant groups could inflict violence on a regular basis because of lax law enforcement.

“These groups include, among others, members of the Islam Defenders Front (FPI). These people are very vocal and actively reach out to society declaring that they represent the majority of the population to legitimize their violent actions [against members of minority groups]. We now know that they are the minority,” LSI researcher Adjie Alfaraby said in a press briefing on Sunday.

He said that radical groups could freely commit violence because of the inaction of moderate groups.

“These people would not dare impose their will if the majority Indonesians were united in rejecting their arbitrary actions. It would also help if the government enforced the law strictly when there are violent acts,” he added.

In its latest survey, LSI interviewed 440 respondents from around the country in focus group discussions. Field workers also had in-depth interviews with the respondents over the country’s diversity.

In the survey, 88.84 percent of the respondents favored equality among all religious groups, and only 9.15 percent insisted that the government should favor members of the majority religion.

When asked about ethnicity issues, 93.04 percent of the respondents were of the opinion that ethnic identity should not determine treatment toward others.

Only 5.22 percent wanted special treatment for those of the ethnic majority.

LSI found that in spite of the spirit of tolerance among members of the community, politics made it difficult to promote respect for those of other faiths and ethnicity.

“Politicians will capture members of this small, powerful group to get support for their political interests. We, for example, identified that violent attacks by such groups tend to escalate during certain periods,” Novriantoni Kahar from nonprofit group Denny JA Foundation said.

Novriantoni said that religious clashes tended to happen, both at local and national levels, at around the time of elections.

Although the majority of the respondents accepted differences, only half of them said they would accept leaders, particularly at the local administration level, of different faiths and ethnicity.

Of six minority categories given as options, women were the most welcomed to lead in local government, with homosexuals being the most frowned upon.

Other categories included atheists, Ahmadis, Shiites and adherents to different faiths.

“This reflects the condition of our society. People would tend to vote for female candidates rather than male Ahmadis or Shiites, for example,” LSI researcher Adjie said.

The finding also confirmed LSI’s study released in October citing gays and lesbians as the group most likely to face the highest level of hostility.

According to the survey, rejection of having gay or lesbian neighbors had increased significantly since 2005 as Indonesians would prefer to live next door to people of other faiths, even with those they deem deviant like Shia or Ahmadiyah.

“However, having seen that the majority of Indonesians in fact embrace differences, we want to encourage leaders of this country to promote and protect these differences. We also want to suggest that candidates running in the 2014 presidential election not be afraid to advocate differences over the fear of losing votes,” Adjie added.

Tuesday, December 25, 2012

“*HARI NATAL” TERKENANG JOESOEF ISAK*

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Senin, 24 Desember 2012*
-------------------------


*HARI NATAL” TERKENANG JOESOEF ISAK*

*< Menyambut prakarsa memgeluarkan Buku Sekitar Penerbit HASTA MITRA>*


Menjelang Hari Natal kali ini, yang dirayakan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang berfalsafah hidup,berfaham dan berpendirian BHINNEKA TUNGGAL IKA, --- aku terkenang sahabat-karib teman seperjuangan *JOESOEF ISAK*. Mendiang Josoef Isak, dikenal dengan sapaan-akrab “*UCUP”,* kukenal, adalah seorang yang memberikan arti amat penting pada KEBEBASAN BERFIKIR --- KEBEBASAN MENYATAKAN PENDAPAT. Beliau telah memberikan seluruh hidupnya untuk perjuangan kemerdekaan bangsa dan khususnya untuk *Freedom of expression, Freedom of Speech*. Untuk itu beliau telah berkali-kali memperoleh penghargaan internasional.


Seperti penghargaan ketika menerima Australian Pen Award, lalu prnghargaan yang serupa dari Amerika dan kemudian dari Perancis. Juga dari negeri Belanda, Ucup menerima *WERTHEIM AWARD*, sebagai demokrat, pejuang tangguh demi emansipasi bangsa Indonesia.


* * *


Mantan Presiden AS, Jimmy Carter, mengirimkan Utusan pribadinya, Patricia Derien, untuk khusus menemui Joesoef Isak di Jakarta ketika itu (Mei 1978). Carter menyebut *Joesoef Isak *adalah: ---


*. . . “seorang penerbit yang dihormati yang mewakili dirinya sendiri dan banyak ribuan lainnya tahanan politik yang dipenjarakan sejak tahun 1960-an dan tidak pernah diadili. Menurut Joesoef Isak dan tahanan lainnya, disebabkan oleh usaha pemerintah kami dan usaha-usaha pelbagai organisasi seperti Amnesty International, lebih dari 35 000 tahanan politik dibebaskan antara 1977 dan 1980 dari tempat tahanan Pulau Buru dan penjara-penjara lainnya di seluruh nusantara . . .”*

(Dari buku, “Indonesia in the Soeharto Years, Issues, Incidents and Images“, Lontar, 2005 --Jimmy Carter: Foreword The Present and Future of Democracy in Indonesia. Jimmy Carter, mantan Presiden AS dan Pemenang Hadiah Nobel Untuk Perdamaian, memainkan peranan kunci dilepaskannya tahanan-tahanan politik Indonesia selama ia menjabat Presiden AS).


* * *


*Mengenang Ucup menjelang HARI NATAL* ini, bukan sesuatu yang kebetulan. Ada rencana sedjumlah kawan muda di Jakarta, sahabat-sahabat Joesoef Isak untuk menerbitkan buku sekitar PENERBIT HASTA MITRA, yang ketika itu dikepalai oleh Joesoef Isak.Tanggal 19 Desember y.l. aku menerima siaran dari Verdi Jusuf, a.l menjelaskan:


*. . . . ingin membagi informasi tentang prakarsa/ inisiatif yg sudah dilakukan oleh sejumlah kawan-kawan Joesoef Isak di Jakarta yang menulis sebuah buku tentang Hasta Mitra. Kawan-kawan ini (semuanya satu generasi lebih muda dari Yoesoef Isak), termasuk: Dolorosa Sinaga, pematung/perupa; Bonnie Triyana, Wartawan/Historikus ; Hilmar Farid, Peneliti/ Historikus; Enrico Soekarno, Pelukis; Wilson Obrigados, Peneliti/Historikus ; Adrian Mulyana, Wartawan/Photographer.*


*. . . .Buku ini mencoba mendokukemtasi sepak-terjang Hasta Mitra (Pramoedya, Hasyim Rachman dan Joesoef Isak) sebagai salah satu tonggak (milestone) perjuangan demi kebebasan berpendapat dan demokrasi di Indonesia. Direncanakan terbit Maret 2013. Demikian antara lain informasi dari Verdi Jusuf, putranya Joesoef Isak.*


** * **


Jelas, pemberitahun dari Verdi Jusuf inilah yang menyebabkan menjelang Hari Natal kali ini aka terkenang JOESOEF ISAK. Nama Joesoef Isak tak terlepaskan dan menyatu dengan nama Penerbit Hasta Mitra.


Masyarakat pemeduli demokrasi dan publik umum pasti menyambut hangat prakarsa untuk menerbitkan buku tentang HASTA MITRA yang dikenal sebagai penerbit penerobos. Yang berani berjuang sejak masih bekuasanya rezim otoriter Orba, -- demi KEBEBASAN BERICARA DAN KEBEBASAN MENERBITKAN. Dalam sejarah penerbitan Indonesia, Hasta Mitra adalah teladan yang berdiri di depan. Pantang mundur berjuang melawan rezim otoriter Orba dan pewaris-pewarisnya di pemerintahan periode pasca REFORMASI.


* * *


    Dalan situasi usaha pemberantasan korupsi di negeri kita, dalam
    suasana bersama merayakan HARI NATAL, ---baik diingat-ingat lagi apa
    yang pernah dikemukakan oleh Joesoef Isak (Jakarta September 2002)
    a.l sbb:


    “Mau memberantas KKN Orde Baru Soeharto? Kita tentu sutuju sekali,
    tetapi kekuatan reformasi terlalu sering melupakan bahwa lebih
    parah, lebih jahat, lebih serius daripada KKN bukan cuma menguras
    dan mengkorupsi kekayaan bumi tanah-air Indonesia, melainkan
    menguras dan merusak SDM anak bangsa, sumber-daya-manusia generasi
    muda, rakyat Indonesia. Yang dikuras dan dikorup selama tigapuluh
    tahun adalah sumber-daya intelektual bangsa, intelegensia kita.
    Tertuama para politikus kita sampai sekarang, menjadi terbiasa dan
    canggih terlatih berekayasa, menganggap abstraksi-abstraksi sebagai
    fakta, kebohongan sebagai kebenaran. Sebagai warisan yang
    ditinggalkan Soeharto, intelegnsia di era reformasi ini sampai
    sekarang masih terus rentan pada konstruksi berpikir yang rancu.
    Soeharto dan seluruh mesin kekuasannya – Golkar sebagai kendaraan
    politiknya – sistematis dan efektif menyelenggarakan penyeragaman
    berpikir alias pembodohan. Jadi bukan saja krismon yang kita hadapi,
    akan tetapi terutama krisis intlektual! Itulah yang kita sebut
    sebagai lebih parah daripada KKN, bahkan lebih parah daripada
    pembantaian massal. Itulah warisan pertama dari dua warisan Soeharto
    yang kita anggao serius dan sangat berbahaya, tetapi terlalu
    diabaikan.” (Dari buku Liber Amicorum”, 80 tahun Joesoef Isak –
    Seorang Wartawan,Penulis, dan Penerbit – Penyunting Bonnie Triyana &
    Max Lane, Jakarta 2008. --


* * *


*SELAMAT HARI NATAL DAN TAHUN BARU 2013 *

*UNTUK PARA SAHABAT, *

*HANDAI TAULAN *

*DAN SEMUA . . . . . *

*YANG BER-BHINEKA TUNGGAL IKA!*


** * **









*TUKAR FIKIRAN tentang PENEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA.*

*Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 21 Desember 2012
----------------------------------*


*TUKAR FIKIRAN tentang PENEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA.*

Membaca tulisan Kolom IBRAHI ISA, tertanggal 21 Desember 2012,, yang berjudul 'KURANGNYA PENEGAKKAN HUKUM?? , Chan CT, Pemimpin Maillist GELORA 45, Hongkong, mengirimkan pendapatnya terhadap Kolom tsb.

Dalam suasana tukar-fikiran bersahabat tanggapan Chan CT tsb dikomentari oleh Penulis. Maksudnya sekadar memperluas horizon dalam rangka masalah PENEGAKKAN HUKUM di Indonesia.

Berikut ini dua tulisan yang dimaksud, sbb:

*ChanCT, 21 Desember 2012 *

   Bung Isa yb,

   Satu tulisan yang sangat baik dalam mengungkap masalah. SEPENUHNYA
   SETUJU!!! Hanya saja judul tulisan kenapa gunakan "Kurangnya
   Penegakkan Hukum???", jadi seperti kurang yakin sampai 3 X tanda
   tanya. Hehehee, ...

   Bukankah lebih baik tegaskan saja "AKIBAT HUKUM tidak ditegakkan
   secara baik!", Karena kenyataan, bukan hanya kurang, dan tidak perlu
   dipertanyakan lagi! Itulah yang terjadi dalam perjalanan sejarah
   bangsa Indonesia, khususnya setelah jenderal Soeharto berhasil
   merebut kekuasdaan RI! Jadi, benar seperti kata Mahfud MD, Ketua
   Mahkamah Konstitusi, yang bung kutip itu: "Dalam sistem hukum
   Indonesia terdapat mafia-mafia yang bisa mengatur semua masalah
   hukum. Mafia itu bisa mengatur siapa penyidik, apa pasal yang akan
   dikenakan, serta siapa jaksa dan hakim yang akan menangani suatu
   masalah hukum".

   Jadi, jelas karena HUKUM dinegeri ini masih dikuasai Mafia, masih
   berlakukan siapa kuasa, siapa berduit dialah yang berada dipihak
   benar dan menang! Masih berlakukan HUKUM-rimba! Begitulah akibatnya,
   selama ini pelanggaran HAM-BERAT, pembunuhan massal, pembuangan dan
   penangkapan terhadap jutaan rakyat tidak berdosa, yang pernah
   terjadi paska G30S, tidak pernah berhasil menyeret jendral Soeharto
   kedepan pengadilan sebagai orang-pertama yang harus
   BERTANGGUNGJAWAB! Sekalipun Jenderal Soeharto sudah lengser 21 Mei
   1998 yl, lebih 14 tahun, Pemerintah yang berkuasa selama ini, juga
   belum berkemampuan menyelesaikan "Pelanggaran HAM-BERAT" yang pernah
   terjadi dan membuat goresan hitam sejarah bangsa Indonesia ini.
   Bahkan sebaliknya, tuntutan KEADILAN yang diajukan korban-korban
   1965 dan sudah diajukan KOMNAS-HAM ditolak. Lalu, ... HUKUM apa yang
   diberlakukan dinegeri ini? Boleh saja orang dipenjarakan, dibuang ke
   pulau Buru selama belasan tahun, bahkan dibunuh begitu saja tanpa
   proses pengadilan sah yang membuktikan dimana kesalahan dan dosa
   yang telah dilakukan, ...!

   Selama tradisi "PELANGGARAN HAM-BERAT" yang dipelopori jenderal
   Soeharto ini tidak disalahkan dan dikutuk, selama itu
   jenderal-jenderal dan pengikut Soeharto akan terus menjalankan
   tradisi "BOLEH SAJA menangkap orang bahkan main TEMBAK" pada siapa
   saja tanpa proses pengadilan yang sah dan adil. Benar-benar
   menjadikan bangsa Indonesia ini tidak bedanya seperti bangsa barbar,
   ...! Itulah pernyataan pangdam Diponegoro dan elite NU yang kemarin
   ini dicetuskan yang bisa saja setiap saat diwujudkan menjadi
   kenyataan. Bangsa ini akan kembali berlumuran darah, darah rakyat
   tidak berdosa setiap saat mengalir hanya karena TUDUHAN, prasangka
   yang tidak berdsar apalagi terbukti kesalahan dan dosa yang dilakukan!

   Satu bukti kuat RI belum merupakan negara HUKUM! Dan tidak perlu
   dipertanyakan keembali, ...!

   Salam,
   ChanCT


*Bung Chan CT y.b.,*

Terima kasih atas tanggapan Bung terhadap tulisan saya ttg 21/12.2012.

Judulnya sengaja dipilih begitu, . . . .maksudnya --
Mempertanyakan, meragukan, menyanggah ucapan Mahfud yang
berpendapat bahwa soalnya adalah "KURANGNYA PENEGAKKAN HUKUM"
Makanya  judul tsb diakhiri dengan tiga kali tanda tanya . . .

Masalahnya bukanlah karena "KURANGNYA PENEGAKKAN HUKUM", --

Tetapi, hukum itu sendiri tidak punya dasar, tidak eksis di Indoneisa, selama tidak ditanganinya
masalah utama:

YAITU MENGADILI JENDRAL SUIHARTO,
ADALAH SUHARTO  yang mulai merobohkan sendi-sendi negara hukum Indonesia,
dengan tindakannya menggulingkan Presiden Sukarno, merebut kekuasaan negara dan pemerintahan, menegakkan
rezimotoriter Orba, menghapuskan hak-hak demokratis yang ada ketika itu, serta
melancarkan pembantaian masal, pemenjaraan, pembuangan ke Pulau Buru, dll  pelanggaran HAM,  serta tindakan otoriter
terhadap warga yang tidak beralah.

Selama soal hukum yang utama tsb tidak ditangani, --  selama itu
INDONESIA BUKAN NEGARA HUKUM. Pemerintah sesudah lengsernya Suharto, dasar legetimitasnya, kan masih
berlandaskan, masih meneruskan  hukum periode Orba. Meskipun telah dimenangkan
sementara hak-hak semokrasi penting. Seperti dibebaskannya tapol, adanya kebebasan menyatakan pendapat,
kebebasan pers, kebebasan mengorganisasi ormas dan parpol, berdemo dll,  dan diadakannya pemilihan
untuk pejabatnegara, mulai dari walikota, bupati,gubernur sampai presiden.

Dengan catatan penting sekali bahwa politik besar Orba seperti TAP MPRS NoXXV/ 1966, ketentuan MPRS yang
melorot Presiden Sukarno, Larangan terhahap PKI masih saja terus . . .

Maka, masalahnya bukan KURANGNYA PENEGAKKAN HUKUM, tetapi
tidak ditanganinya pelanggar hukum terbesar Jendral Suharto dkk.

Jika dibuat judul  kolom, yang seperti Bung usulkan . . . . . boleh juga!

Salam hangat,

I.I
------------

*Kurangnya Penegakkan Hukum ???*

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Jum'at, 21 Desember 2012**
---------------------------*



*Kurangnya Penegakkan Hukum ???*



* * *


*Insubordinasi Jen. SUHARTO Terhadap Panglima Tertinggi Presiden SUKARNO
adalah Pelanggaran Hukum Terbesar Yang Harus Ditangani*


Di hari-hari penghujung tahun 2012, beberapa fikiran dilemparkan ke
masyarakat oleh sementara kalangan. Ada yang "aneh" kedengarannya.
Seperti yang dinyatakan oleh Pangdam Kodam IV Diponegoro. Pernyataan
"aneh" lainnya ialah yan dilontarkan oleh kalangan elite NU. Tokoh NU
itu ingin memutar-balikkan apa yang menurut dia, diputar-balikkan.
Intisari dua fikiran tsb diatas, . . . hendak mengembalikan Indonesia
sepenuhnya sebagai negara TANPA HUKUM! Persis seperti Indonesia ketika
dikuasai oleh rezim otoriter Orba.


Mungkin apa yang diutarakan oleh Pangdam Kodam IV Diponeggoro dan Elite
NU, termasuk yang dimaksudkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud
MD. Baru saja beliau menyatakan bahwa tidak ada yang salah dengan sistem
politik dan demokrasi yang dipilih, tetapi karena *kurangnya penegakan
hukum sehingga reformasi belum berhasil. . . . *


Mahfud selanjutnya: *"Penegak hukum saat ini sudah tersandera oleh
masalah hukumnya sendiri dan mafia-mafia yang ada di dalam sistem hukum".*


*"Dalam sistem hukum Indonesia terdapat mafia-mafia yang bisa mengatur
semua masalah hukum. Mafia itu bisa mengatur siapa penyidik, apa pasal
yang akan dikenakan, serta siapa jaksa dan hakim yang akan menangani
suatu masalah hukum".*


* * *


Jendral Pangdam Kodam IV Diponegoro menabuh canang: *"AWAS PKI"* .
Selanjutnya ia akan *menembak kepala siapa saja* yang berani-berani
menghidupkan kembali PKI. Ia menggertak *"TAK PATENI"*. Dikatakan
"aneh", karena, bagaimana mungkin seorang perwira tinggi tentara jebolan
Akademi Militer Nasional, kok begitu dungu. Begitu tidak mengerti apa
itu h u k u m ? Ia hanya memamah biak yang pernah diucapkan oleh
Presiden Suharto dan panglima AD ketika masih kuasa: "GEBUK!", "LIBAS!"
"PATENI WAÉ"! Terhadap siapa saja yang berani melawan
kesewenang-wenangan kekuasaan mereka.


Ia hendak memberlakukan kembali cara-cara memerintah rezim Orba yang
sudah terguling. Jendral ini tidak menyadari, atau tidak mau menyadari,
bahwa rezim Orba sudah gulung tikar. Buta terhadap realita bahwa seluruh
bangsa sedang mencari jalan bagaimana sebaiknya memberlakukan,
melaksanakan TUNTUTAN-TUNTUTAN REFORMASI DAN DEMOKRASI. Sang Jendral
masih bermimpi bahwa ia bisa berbuat semaunya karena dipundaknya
tersemat bintang-bintang bersepuh emas. Selain itu (ini lebih penting)
ia memiliki pistol dan mengkomandoi satu divisi tentara!!



Namun, Sang Jendral tidak sadar bahwa bangsa ini sedang berjuang untuk
MENEGAKKAN HUKUM! Dan mungkin sekali ia tidak mampu mengantisipasi apa
yang akan terjadi bila ia gelap mata lalu mengulangi lagi
praktek-praktek rezim Orba. Sang Jendral menilai amat rendah
perkembangan kesadaran massa rakyat kita melawan yang tidak benar dan
tidak adil. Melawan kesewenang-wenangan kekuasaan, yang biasanya datang
justru dari aparat negara dan fihak-fihak yang seyogianya tugasnya
membela dan memberlakukan HUKUM.


Sasaran Sang Jendral, seolah-olah bahaya PKI. Tetapi sesungguhnya
sasaran Jendral "kita" ini adalah sebuah lembaga kemanusiaan dan
keadilan yang dibentuk oleh Negara, bernama *KomnasHAM*. Komisi Nasional
Hak Azasi Manusia.


Begitu juga kalangan elite NU yang menyuarakan ide yang sama. Mereka
menentang dan menantang serta menggugat Kesimpulan-Rekomendasi KomnasHAM
tertanggal 23 Juli 2012. Yaitu Rekomendasi Komnas HAM yang menuntut agar
Kejaksaan Agung mengambil langkah, memulai penanganan kasus pelanggaran
HAM berat dimana terlibat aparat militer negara terhadap warganegara
tidak bersalah.



* * *



Walhasil, Mahfud menyimpulkan bahwa *di kalangan lembaga hukum terdapat
MAFIA HUKUM, yang bisa mengatur semua masalah hukum. Mafia itu bisa
mengatur siapa penyidik, apa pasal yang akan dikenakan, serta siapa
jaksa dan hakim yang akan menangani suatu masalah hukum.*


Bukankah ini suatu *CANANG YANG MENGENAI SASARAN*. Canang yang benar!
Yang bukan "asbun" (asal bunyi) seperti yang diutarakan oleh Sang
Jendral dari Jawa Tengah dan kalangan elite NU?


Patut ditegaskan bahwa di satu fihak telah beroperasi mafia hukum yang
dengan leluasa mengatur kegiatannya menggerowoti dasar-dasar hukum
negeri ini. Namun di lain fihak juga terdapat fikiran-fikiran absurd
seperti yang diutarakan oleh tokoh tentara dan tokoh agama tsb diatas.
*Karena hakikat dari pernyataan mereka itu, adalah MENGHENDAKI
KEMBALINYA KETIADAAN HUKUM di negeri ini.



* * *


*SELAMA KASUS PERISTIWA 1965 TIDAK DITANGANI, . . . SELAMA ITU SOAL
TERBESAR HUKUM DI INDONEISA BELUM DIJAMAH*


Kiranya perlu dikemukakan, bahwa KASUS HUKUM BESAR yang baru hendak
ditangani oleh KomnasHAM, adalah yang menyangkut pelanggaran HAM berat
di sekitar tahun 1965/66/67/68, justru adalah KASUS PERISTIWA 1965 itu.
Justru kasus 1965 ini yang oleh sementara kalangan konservatif, dari
fihak milier dan agama, yang hendak dimasukkan kembali ke peti és. Agar
tidak dijamah untuk selama-lamanya.


Bicara soal pelanggaran hukum terbesar di negara ini, itu adalah yang
terjadi sekitar Peristiwa 1965. Ketika itu telah berlangsung pembantaian
masal ekstra judisial. Bersamaan waktunya dengan proses *kudeta
merangkak* Jendral Suharto terhadap Presiden Sukarno.


Di negara ini peristiwa pembangkangan seorang jendral AD terhadap
atasannya, yang paling besar dan paling heibat, adalah ketika Jendral
Suharto membangkang terhadap keputusan Panglima Tertinggi Presiden
Sukarno, yang mengangkat Jendral Pranoto Reksosamudro, pengganti Jendral
Ahmad Yani, sebagai Panglima Angkatan Darat.



Mari baca bunyi berita selengkapnyayang disairkan oleh Radio Republik
Indonesia, 03 Oktober 1965.


*Pidato Pertama Bung Karno Pasca G30S*


DISIARKAN RRI pada tanggal 3 Oktober 1965 pukul 1.33 dinihari dan dimuat
di harian Berita Yudha tanggal 4 October.


Dalam pidato pertama kepada publik ini, Bung Karno menyatakan bahwa
dirinya dalam keadaan selamat dan tetap memegang pucuk pimpinan negara.


Tanggal 2 Oktober Bung Karno mengumpulkan semua pemimpin Angkatan
Bersenjata dan Waperdam II Dr. Leimena. *Bung Karno telah menetapkan
Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai pengganti Panglima Angkatan
Darat Jenderal Ahmad Yani. Sementara Mayor Jendera Suharto diberi tugas
memulihkan keamanan dan ketertiban pasca G30S.



** * *


*Pidato pertama Bung Karno pasca G30S, seperti dibawah ini diperoleh
dari Cornell University. *


"Brothers, repeating my order as Supreme Commander of the Armed
Forces/Great Leader of the Revolution which was announced on October 1,
1965, and to eliminate all uncertainty among the people, herewith I once
again declare that I am safe and well and continue to hold the top
leadership of the state and the top [leadership] of the government and
the Indonesian Revolution.


Today, October 2, 1965, I summoned all Commanders of the Armed Forces,
together with Second Deputy Prime Minister, Dr. Leimena, and other
important official quickly settling the problem of the so September 30
Affair. To be able to settle this problem I have ordered the prompt
creation of a calm and orderly atmosphere and for this purpose it is
necessary to prevent any possibility of armed conflict.


In the present stage of the determined struggle of the Indonesian
people, I command the entire population continuously to increase
vigilance and preparedness in the framework of intensifying the
implementation of Dwikora.


I appeal to all the Indonesian people to continue to remain calm and to
all ministers and other officials continuously to carry out their
respective duties as before.


At present the leadership of the Army is directly in my hands, and to
discharge the day-to-day tasks within the Army, I have appointed
temporarily Major General Pranoto Reksosamudro, Third Assistant to the
Minister/Commander of the Army.


To carry out the restoration of security and order in connection with
the September 30th Affair, *I have appointed Major General Suharto,
Commander of KOSTRAD, in accordance with the* *policy I have already
outlined. Brothers, let us persist in nurturing the spirit of national
unity and harmony. Let us steadfastly kindle the anti-Nekolim spirit.
God be with us all. *


* * *


Dari kutipan berita RRI yang ketika itu juga disiarkan oleh s.k, Berita
Yuda (4 Oktober 1965), yang menyuarakan golongan militer ketika itu, --
jelas bahwa Panglima Tertinggi ABRI Presiden Sukarno telah mengambil dua
keputusan penting. Yaitu pertama, Mayjen Pranoto Reksosamudro,
ditetapkan sebagai pengganti Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad
Yani. Kedua, Mayor Jendera Suharto diberi tugas memulihkan keamanan dan
ketertiban pasca G30S. *



** * **


Tindakan-tindakan Jendral Suharto --- justru adalah pembangkangan
terhadap dua putusan maha penting Panglima Tertinggi Presiden Sukarno,
Kepala Negara, Kepala Pemerintah dan Kepala Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia. Suharto membangkang dengan tindakannya menolak Mayjen Pranoto
sebgai Panglima Angkatan Darat, sekaligus mengambil alih pimpinan
tentara di bawah kekuasaannya sendiri.


Insubordnasi Suharto selanjutnya ialah menggunakan wewenagnya sebagai
panglima Kostrad untuk memulai kampanye pembohongan di sekitar
pembunuhan 6 jendral oleh G30S. Ia memfitnah anggota-anggota Gerwani
sebagai "kambing hitam", dan menuduh PKI sebagai dalang G30S yang
dinyatakannya sebagai suatu pemberontakan. Bersamaan dengan kampnye
fitnah terhadap Gerwani dan PK, --I Jendral Suharsto memulai kampanye
pembantaian masal, penangkapan, pemenjaraan dan pembuangan tahanan
politik ke P. Buru. Suatu tindakan yang sepenuhnya bertentangan dengan
perintah Presiden Sukarno untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.


Adakah insubodinasi militer dan pengkhianatan negara, yang lebih besar
dari yang pernah terjadi di negara ini, seperti apa yang dilakukan
Jendral Suharto terhadap Panglima Tetinggi Presiden Sukarno? Belum lagi
dibicarakan disini bagaimana Jendral Suharto menyalahgunakan
"SUPERSEMAR", Perintah Presiden Sukarno kepada Jendral Suharto,
menyulapnya menjadi senjata pribadinya, - untuk merebut kekuasaan negara
dan pemerintah dari Presiden Sukarno!




Bicara mengenai masalah hukum di negara ini, adakah pelanggaran dan
pengkhiantan hukum yang lebih besar seperti apa yang dilakukan oleh
Jendreal Suharto terhadap Presiden dan Negara RI?


Maka, tanpa mengurus masalah tsb diatas tidak mungkin direalisasi
penegakkan hukum di negara ini.


* * *


*MENGULANGI PELANGGARAN HAM TERBESAR YG TERJADI DI SEKITAR PERISTIWA 65-68 ???*

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Rabu, 19 Desember 2012*
*----------------------*


*MENGULANGI PELANGGARAN HAM TERBESAR YG TERJADI DI SEKITAR PERISTIWA 65-68 ???*


Beberapa hari ini tersiar berita sbb:

Pangdam IV/Divisi Diponegoro, MENGAUM MENGANCAM AKAN MENEMBAK KEPALA yang berani-berani mau menghidupkan kembali PKI. Di Jawa Tengah sang Jendral menyatakan sudah memiliki "info" sekitar usaha orang lama dan orang muda yang hendak "menghidupkan kembali PKI".


Begini beritanya:

Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Hardiono Saroso mengklaim munculnya indikasi adanya PKI di Jawa Tengah dan DIY. Menurut Pangdam dapat dideteksi dari adanya *sejumlah kalangan yang menyatakan ingin meluruskan sejarah pemberontakan G30 S/PKI dalam sejarah Indonesia. Baik di Jogja maupun Jawa Tengah semua ada indikasi itu.*


Lalu dengan garangnya sang Jendral mengancam:

"Kami sudah mengendus adanya indikasi munculnya PKI. Perlu dicatat, jangan coba-coba PKI bangkit di wilayah Jateng dan Jogja, pasti akan saya tumpas dan hancurkan.*Hancurkan itu ngerti?**Hancurkan ya tak pateni (saya bunuh),"*tegas Pangdam.

*Dia mengaku, tidak akan segan menembak mati orang-orang yang berani menghidupkan kembali komunisme di Jawa Tengah.**"Kalau ada, saya tidak akan segan-segan menembak kepalanya," tegasnya lagi.*(Semarang, Muslimdailly.net -- 17 Desember 2012)


* * *


Setelah bubarnya rezim Orba, tentara tidak lagi mengurus masalah keamanan dalam negeri, -- karena tugas itu sudah menjadi urusan polisi. Demikianlah keadaanya sejalan dengan hapusnya sistim "Dwifungsi Abri".


Maka orang bertanya-tanya ---- Sejak kapan diputuskan tentara kembali mengurus keamanan dalam negeri dan mencampuri urusan politik praktis. Sejak kapan ada undang-undang baru atau keputusan pemerintah bahwa seroang jendral panglima divisi tentara bisa menembak kepala orang yang dituduhnya hendak membangun kembali PKI.*Bukankah ini pembunuhan ekstra-judisial yang memang dilakukan oleh aparat militer dan polisi secara besar-besaran dan nasional, ketika melancarkan pembantaian masalah terhadap rakyat tak bersalah atas tuduhan PKI, simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno?*


* * *


Di media bisa dibaca banyak canang yang dinyatakan oleh pembaca, bahwa fihak militer ingin kembali ke periode rezim Orba, ketika aparat secara sewenang-wenang menghakimi siapa saja yang menentangnya. *Mereka ingin menghapuskan sementara hak-hak demokrasi yang telah direbut rakyat sejak gerakan massa rakyat untuk Reformasi dan Demokrasi yang telah menggulingkan Presiden Suharto.*


Sesungguhnya pernyataan sang jendral yang digongi oleh sementara politikus NU, adalah lagu lama yang sudah usang! Barangkali yang berteriak "Awas PKI", dia sendiri tidak percaya pada kebohongannya itu. Di zaman rezim militer Orba, teriakan "Awas PKI" sudah tidak digubris lagi. Karena dikeluarkan oleh fihak militer dengan tujuan utama -- untuk menindas oposisi atau siapa saja yang punya fikiran lain dengan penguasa.


AWAS KOMUNIS!!! Teriakan itu dianggap suatu indikasi bahwa yang bersangkutan takut dengan bayangannya sendiri.


Teriakan "Awas PKI" adalah teriakan untuk menakut-nakuti, mengancam siapa saja yang berani berfikir lain dari mereka yang kuasa: Yaitu militer dan birokrasi yang sudah kewalahan menutup-nutupi dosanya terhadap rakyat. Yaitu mereka-mereka yang selama ini tidak kenyang-kenyangnya melakukan korupsi dan manupulasi serta menggadaikan kekeayaan negeri ini pada kaum modal asing.


Siapa yang akan bisa percaya PKI bisa bangkit lagi? Bukankah PKI sudah dibubarkan lebih setengah abad y.l , dan hanpir tiga juta orang tak bersalah yang anggota maupun yang dituduh PKI atau simpatisan PKI, pendukung Presiden Sukarno, telah dibantai habis atau dipenjarakan belasan tahun.


* * *


Berita lain senada dan searah-sehaluan ialah yang tersiar dari kalangan NU, sbb:


Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Dr Ali Masykur Moesa menilai sejarah tentang G-30-S/PKI *telah dijungkirbalikkan dengan laporan pelanggaran HAM dari korban G-30-S/PKI ke Komnas HAM.(Antara, Surabaya).*

"Ya, ada upaya menjungkirbalikkan sejarah G-30-S/PKI (dengan laporan
ke Komnas HAM)," katanya dalam sambutan pada pelantikan dan
musyawarah kerja PW ISNU Jatim,  pada hari Minggu y.l.

*    *    *

Jelas,  ----  baik dari kalangan militer (Pangdam Kodam IV Divisi Diponegoro) maupun dari kalangan agama,  kongkritnyaKetua Umum PP Ikatan SarjanaNahdlatul Ulama (ISNU) Dr Ali Masykur Moesa, mengarahkan sasaran ujung tombak mereka  pada:

*LAPORAN DAN REKOMENDASI KOMNASHAM, 23 Juli 2012.*

Laporan tsb mengungkap pelanggaran HAM berat oleh aparat negara, polisi  dll dalam  peristiwa 1965/68. KomnasHAM mendesak Kedjaksaan Agung untuk melaksanakan rekomendasi KomansHAM dan memulai mengadakan penyidikan kasus tsb.

Mereka-mereka itu menuduh pendapat dan kesimpulan yang diutarakan didalam Laporan/Rekomendasi KomnasHAM, 23 Juli 2012, sebagai usaha untuk menjungkir-balikkan sejarah.*Padahal siapa tidak tahu sekarang, bahwa merekalah yang selama rezim Orba, sampai sekarang ini telah merekayasa dan memalsu sejarah bangsa kita, khususnya sekitar Peristiwa 1965-68.*

Makan tidak heran sementara komentar menyatakan bahwa mereka/mereka itu tidak berbeda dengan*  MALING YANG TERIAK MALING!!*

*    *    *



Sebagai sekadar litgeratu untuk melengkapi kolom ini ada baiknya menelusuri sebuh tulisan yang relevan:AWARD OF EXCELLENCE Untuk Film


*"40 TAHUN KEHENINGAN", Suatu Tragedi Indonesia.*

Suatu penghargaan dan kehormatan diberikan untuk film berbahasa Inggris
produksi luarnegeri dengan tema Indonesia. Berjudul "40 Years of
Silence: An Indonesian Tragedy"-- Directed by Robert Lemelson, USA.


Film itu tidak sebarang cerita. Temanya berkenaan dengan apa yang
terjadi dalam sejarah bangsa kita. Suatu peristiwa berdarah yang begitu
parah, disekitar tahun-tahun 1965-66-67. Yang diangkat di film itu ialah
sekitar peristiwa "Gerakan 30 September" (G30S) dan apa yang terjadi
kemudian. Yaitu kekerasan militer Indonesia dalam kampanye pengejaran,
penahanan, penyiksaan, pemenjaraan, pembuangan dan pembunuhan masal
terhadap warga yang tidak bersalah. Dengan dalih bahwa mereka terlibat
dalam G30S, bahwa mereka itu adalah anggota, diduga anggota atau
simpatisan PKI, serta orang-orang Kiri lainnya yang membela Presiden
Sukarno.

Kejadian itu, suatu pelanggaran HAM terbesar yang pernah terjadi di
Indonesia, yang sering disebut tragedi atau malapetaka nasional, telah
direkayasa dan dipalsukan sedemikian rupa oleh rezim otoriter Orba,
dalam sebuah film berjudul "*Pengkhianatan G 30 S/PKI". *Film pemalsuan
sejarah tergawat tsb dibuat dengan keterlibatan sejumlah pelaku, penulis
dan artis periode rezim Orba.

Film yang disutradarai oleh Robert Lemelson, adalah sebuah film
'antipode' terhadap film sekitar G30S yang diprodusir oleh rezim Orba.
Film *"**40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy" *, bisa dinilai
sebagai pengkoreksian atas pemalsuan sejarah yang dilakukan rezim Orba.

* * *

Sebagai ilustrasi mari kita telusuri sedikit apa yang ditulis a.l oleh
WIKIPEDIA tentang film rekayasa sejarah yang dibuat Orba: *Pengkhianatan
G 30 S/PKI*: Sutradara Arifin C. Noer, Produser G. Dwipayana. Penulis
Arifin C. Noer, Bram Adrianto, Syu'bah Asa, Ade Irawan, dan Amoroso
Katamsi.Pemeran, Omar Kayam dll. Panjang: 220 menit. Dapat penghargaan
Festival Film Indonesia 1984.

"*Pengkhianatan G 30 S/PKI"*adalah judul flm propaganda Indonessia dari
tahun 1984 yang disutradarai oleh Arifin C Noer. Cerita film ini adalah
versi resmi pemerintah Orde Baru tentang peristiwa yang terjadi pada
malam 30 September dan pagi 1 Oktober di Jakarta. Pada malam dan pagi
hari itu terjadi pergolakan politik di Indonesia yang kemudian berujung
pada pergantian rezim dari Sukarno ke Suharto.

Pihak Orba di bawah pimpinan Suharto mengatakan bahwa PKI melakukan
pemberontakan yang kemudian digagalkan oleh Suharto sendiri. Inilah yang
menjadi dasar film tersebut. Sampai hari ini

masih banyak orang yang mempertentangkan kebenaran hal tersebut dan
topik ini masih diselimuti banyak kontroversi dan rahasia.

Pemerintahan Suharto kemudian memerintahkan satu-satunya stasiun TV di
Indonesia ketika itu, TVRI, untuk *menayangkan film ini setiap tahun
pada tanggal 30 September malam*. Pada saat stasiun-stasiun TV swasta
bermunculan, mereka juga dikenai kewajiban yang sama. Peraturan ini
kemudian dihapuskan pada tahun 1998 dan sejak saat itu film ini belum
pernah lagi diputar di stasiun televisi Indonesia. Demikian Wikipedia.

Setelah Suharto tersingkir oleh gelombang kebangkitan Reformasi dan
Demokratisasi, pemerintah yang menggantikannya menghentikan pengedaran
film rekayasa dan kebohongan sejarah "*Pengkhianatan G 30 S/PKI". *Namun
pemerintah Megawati, Gus Dur maupun SBY sampai sekarang tidak pernah
mengkoreksi pemalsuan sejarah dan pembohongan yang disebarkan oleh rezim
Orba.

Patutlah film *"40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy", *disambut
sebagai suatu usaha untuk melempangkan sejarah yang dibengkokkan rezim Orba.

* * *

Kita mengucapkan SELAMAT, dengan diraihnya AWARD OF EXCELLENCE untuk
film "40 TAHUN KEHENINGAN"di Festival Film Internasional untuk
Perdamaian, Inspirasi dan Kesetaraan. Semoga pementasan film bersejarah
tsb di Indonesia bisa berlangsung dengan lancar dan sukses tanpa
gangguan dari fihak-fihak yang khawatir dan takut pada pengungkapan
fakta-fakta sejarah bangsa dengan pementasan film "40 TAHUN KEHENINGAN". Suatu TRAGEDI INDONESIA.

Awards Night Premiere akan berlangsung pada tanggal 30 Agustus 2012 di
Blitzmegaplex bioskop, Grand Indonesia, Jakarta. Penyelenggara
mengundang para penggemar di Indonesia untuk menyaksikannya. Penggemaer film juuga bisa menyaksikannya di http://www.internationalfilmfestivals.org/winners.htm._




Sunday, December 23, 2012

F A M I L Y ...

IBRAHIM ISA
Dec 18, 2012
-----------------

F A M I L Y ...

FAMILY . . . . Family life . . . . 
Harmony of family life is the biggest asset 
And basic of human life . . . So is ours . . .
*    *    *

2012 has been a year of further strengthening our family union and harmony . . . 
A HEALTHY AND HAMONIOUS FAMILY LIFE IS 
THE MOST IMPORTANT AND RELIABLE FUNDMENTALS 
OF A HEALTHY, STRONG, JUST AND PROSPEROUS 
NATION . . . . !!

CEPLAS-CEPLOS JUSUF KALA KALI INI PERLU DISAMBUT!!

IBRAHIM ISA
Sabtu, 22 Desember 2012
--------------------------------

CEPLAS-CEPLOS JUSUF KALA KALI INI PERLU DISAMBUT!!

INI BERITA PERLU DISAMBUT HANGAT . . .
BAGAIKAN SEBUAH "KADO" NATALAN
UNTUK PEYAKIN "BHINNEKA TUNGGAL IKA" . . .

Ceplas-ceplosnya JUSUF KALA kali ini memang . . . BRAVO!!!

Ini dia:

JUSUF KALA ---:

MUI TIDAK MENJAGA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

"Saya ucapkan selamat Natal bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT)," kata
Jusuf Kalla di Kupang, Kamis, 20 Desember 2012.

Jusuf Kalla mengabaikan Fatwa MUI soal ucapan Selamat Natal.

Majelis Ulama Indonesia menyarankan umat Islam tidak mengucapkan selamat
Natal kepada pemeluk agama Nasrani. Selain itu, ada fatwa MUI yang melarang
untuk mengikuti ritual Natal.

Jusuf Kalla juga mengimbau agar masyarakat Sulawesi Selatan yang tergabung
dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Sealatan (KKSS) di Kupang untuk tetap
menjaga kerukunan antarumat beragama di daerah ini.

"KKSS harus tetap menjaga kerukunan di daerah ini," katanya. (TEMPO)

TUKAR FIKIRAN tentang PENEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA.

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 21 Desember 2012
----------------------------------

TUKAR FIKIRAN tentang PENEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA.

Membaca tulisan Kolom IBRAHI ISA, tertanggal 21 Desember 2012,, yang berjudul 'KURANGNYA PENEGAKKAN HUKUM?? , Chan CT, Pemimpin Maillist GELORA 45, Hongkong, mengirimkan pendapatnya terhadap Kolom tsb.

Dalam suasana tukar-fikiran bersahabat tanggapan Chan CT tsb dikomentari oleh Penulis. Maksudnya sekadar memperluas horizon dalam rangka masalah PENEGAKKAN HUKUM di Indonesia.

* * *

Berikut ini dua tulisan yang dimaksud, sbb:

ChanCT, 21 Desember 2012

Bung Isa yb,

Satu tulisan yang sangat baik dalam mengungkap masalah. SEPENUHNYA SETUJU!!! Hanya saja judul tulisan kenapa gunakan “Kurangnya Penegakkan Hukum???”, jadi seperti kurang yakin sampai 3 X tanda tanya. Hehehee, ...

Bukankah lebih baik tegaskan saja “AKIBAT HUKUM tidak ditegakkan secara baik!”, Karena kenyataan, bukan hanya kurang, dan tidak perlu dipertanyakan lagi! Itulah yang terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya setelah jenderal Soeharto berhasil merebut kekuasdaan RI! Jadi, benar seperti kata Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, yang bung kutip itu: “Dalam sistem hukum Indonesia terdapat mafia-mafia yang bisa mengatur semua masalah hukum. Mafia itu bisa mengatur siapa penyidik, apa pasal yang akan dikenakan, serta siapa jaksa dan hakim yang akan menangani suatu masalah hukum”.

Jadi, jelas karena HUKUM dinegeri ini masih dikuasai Mafia, masih berlakukan siapa kuasa, siapa berduit dialah yang berada dipihak benar dan menang! Masih berlakukan HUKUM-rimba! Begitulah akibatnya, selama ini pelanggaran HAM-BERAT, pembunuhan massal, pembuangan dan penangkapan terhadap jutaan rakyat tidak berdosa, yang pernah terjadi paska G30S, tidak pernah berhasil menyeret jendral Soeharto kedepan pengadilan sebagai orang-pertama yang harus BERTANGGUNGJAWAB! Sekalipun Jenderal Soeharto sudah lengser 21 Mei 1998 yl, lebih 14 tahun, Pemerintah yang berkuasa selama ini, juga belum berkemampuan menyelesaikan “Pelanggaran HAM-BERAT” yang pernah terjadi dan membuat goresan hitam sejarah bangsa Indonesia ini. Bahkan sebaliknya, tuntutan KEADILAN yang diajukan korban-korban 1965 dan sudah diajukan KOMNAS-HAM ditolak. Lalu, ... HUKUM apa yang diberlakukan dinegeri ini? Boleh saja orang dipenjarakan, dibuang ke pulau Buru selama belasan tahun, bahkan dibunuh begitu saja tanpa proses pengadilan sah yang membuktikan dimana kesalahan dan dosa yang telah dilakukan, ...!

Selama tradisi “PELANGGARAN HAM-BERAT” yang dipelopori jenderal Soeharto ini tidak disalahkan dan dikutuk, selama itu jenderal-jenderal dan pengikut Soeharto akan terus menjalankan tradisi “BOLEH SAJA menangkap orang bahkan main TEMBAK” pada siapa saja tanpa proses pengadilan yang sah dan adil. Benar-benar menjadikan bangsa Indonesia ini tidak bedanya seperti bangsa barbar, ...! Itulah pernyataan pangdam Diponegoro dan elite NU yang kemarin ini dicetuskan yang bisa saja setiap saat diwujudkan menjadi kenyataan. Bangsa ini akan kembali berlumuran darah, darah rakyat tidak berdosa setiap saat mengalir hanya karena TUDUHAN, prasangka yang tidak berdsar apalagi terbukti kesalahan dan dosa yang dilakukan!

Satu bukti kuat RI belum merupakan negara HUKUM! Dan tidak perlu dipertanyakan keembali, ...!

Salam,
ChanCT

* * *

Bung Chan CT y.b.,

Terima kasih atas tanggapan Bung terhadap tulisan saya ttg 21/12.2012.

Judulnya sengaja dipilih begitu, . . . .maksudnya --
Mempertanyakan, meragukan, menyanggah ucapan Mahfud yang
berpendapat bahwa soalnya adalah "KURANGNYA PENEGAKKAN HUKUM"
Makanya judul tsb diakhiri dengan tiga kali tanda tanya . . .

Masalahnya bukanlah karena "KURANGNYA PENEGAKKAN HUKUM", --

Tetapi, hukum itu sendiri tidak punya dasar, tidak eksis di Indoneisa, selama tidak ditanganinya masalah utama:

YAITU MENGADILI JENDRAL SUIHARTO,
ADALAH SUHARTO yang mulai merobohkan sendi-sendi negara hukum Indonesia,
dengan tindakannya menggulingkan Presiden Sukarno, merebut kekuasaan negara dan pemerintahan, menegakkan
rezim otoriter Orba, menghapuskan hak-hak demokratis yang ada ketika itu, serta
melancarkan pembantaian masal, pemenjaraan, pembuangan ke Pulau Buru, dll pelanggaran HAM, serta tindakan otoriter terhadap warga yang tidak beralah.

Selama soal hukum yang utama tsb tidak ditangani, -- selama itu
INDONESIA BUKAN NEGARA HUKUM. Pemerintah sesudah lengsernya Suharto, dasar legetimitasnya, kan masih berlandaskan, masih meneruskan hukum periode Orba. Meskipun telah dimenangkan sementara hak-hak semokrasi penting. Seperti dibebaskannya tapol, adanya kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers, kebebasan mengorganisasi ormas dan parpol, berdemo dll, dan diadakannya pemilihan untuk pejabat negara, mulai dari walikota, bupati,gubernur sampai presiden.

Dengan catatan penting sekali bahwa politik besar Orba seperti TAP MPRS NoXXV/ 1966, ketentuan MPRS yang melorot Presiden Sukarno, Larangan terhahap PKI masih saja terus . . .

Maka, masalahnya bukan KURANGNYA PENEGAKKAN HUKUM, tetapi
tidak ditanganinya pelanggar hukum terbesar Jendral Suharto dkk.

Jika dibuat judul kolom, yang seperti Bung usulkan . . . . . boleh juga!

Salam hangat,

I.I

KURANGNYA PENEGAKKAN HUKUM?

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Jum'at, 21 Desember 2012**
------------------------------------*



*KURANGNYA  PENEGAKKAN  HUKUM???*



* * *


*Insubordinasi Jen. SUHARTO Terhadap Panglima Tertinggi Presiden SUKARNO
adalah Pelanggaran Hukum Terbesar Yang Harus Ditangani*


Di hari-hari penghujung tahun 2012, beberapa fikiran dilemparkan ke
masyarakat oleh sementara kalangan. Ada yang "aneh" kedengarannya.
Seperti yang dinyatakan oleh Pangdam Kodam IV Diponegoro. Pernyataan
"aneh" lainnya ialah yan dilontarkan oleh kalangan elite NU. Tokoh NU
itu ingin memutar-balikkan apa yang menurut dia, diputar-balikkan.
Intisari dua fikiran tsb diatas, . . . hendak mengembalikan Indonesia
sepenuhnya sebagai negara TANPA HUKUM! Persis seperti Indonesia ketika
dikuasai oleh rezim otoriter Orba.


Mungkin apa yang diutarakan oleh Pangdam Kodam IV Diponeggoro dan Elite
NU, termasuk yang dimaksudkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud
MD. Baru saja beliau menyatakan bahwa tidak ada yang salah dengan sistem
politik dan demokrasi yang dipilih, tetapi karena *kurangnya penegakan
hukum sehingga reformasi belum berhasil. . . . *


Mahfud selanjutnya: *"Penegak hukum saat ini sudah tersandera oleh
masalah hukumnya sendiri dan mafia-mafia yang ada di dalam sistem hukum".*


*"Dalam sistem hukum Indonesia terdapat mafia-mafia yang bisa mengatur
semua masalah hukum. Mafia itu bisa mengatur siapa penyidik, apa pasal
yang akan dikenakan, serta siapa jaksa dan hakim yang akan menangani
suatu masalah hukum".*


* * *


Jendral Pangdam Kodam IV Diponegoro menabuh canang: *"AWAS PKI"* .
Selanjutnya ia akan *menembak kepala siapa saja* yang berani-berani
menghidupkan kembali PKI. Ia menggertak *"TAK PATENI"*. Dikatakan
"aneh", karena, bagaimana mungkin seorang perwira tinggi tentara jebolan
Akademi Militer Nasional, kok begitu dungu. Begitu tidak mengerti apa
itu h u k u m ? Ia hanya memamah biak yang pernah diucapkan oleh
Presiden Suharto dan panglima AD ketika masih kuasa: "GEBUK!", "LIBAS!"
"PATENI WAÉ"! Terhadap siapa saja yang berani melawan
kesewenang-wenangan kekuasaan mereka.


Ia hendak memberlakukan kembali cara-cara memerintah rezim Orba yang
sudah terguling. Jendral ini tidak menyadari, atau tidak mau menyadari,
bahwa rezim Orba sudah gulung tikar. Buta terhadap realita bahwa seluruh
bangsa sedang mencari jalan bagaimana sebaiknya memberlakukan,
melaksanakan TUNTUTAN-TUNTUTAN REFORMASI DAN DEMOKRASI. Sang Jendral
masih bermimpi bahwa ia bisa berbuat semaunya karena dipundaknya
tersemat bintang-bintang bersepuh emas. Selain itu (ini lebih penting)
ia memiliki pistol dan mengkomandoi satu divisi tentara!!



Namun, Sang Jendral tidak sadar bahwa bangsa ini sedang berjuang untuk
MENEGAKKAN HUKUM! Dan mungkin sekali ia tidak mampu mengantisipasi apa
yang akan terjadi bila ia gelap mata lalu mengulangi lagi
praktek-praktek rezim Orba. Sang Jendral menilai amat rendah
perkembangan kesadaran massa rakyat kita melawan yang tidak benar dan
tidak adil. Melawan kesewenang-wenangan kekuasaan, yang biasanya datang
justru dari aparat negara dan fihak-fihak yang seyogianya tugasnya
membela dan memberlakukan HUKUM.


Sasaran Sang Jendral, seolah-olah bahaya PKI. Tetapi sesungguhnya
sasaran Jendral "kita" ini adalah sebuah lembaga kemanusiaan dan
keadilan yang dibentuk oleh Negara, bernama *KomnasHAM*. Komisi Nasional
Hak Azasi Manusia.


Begitu juga kalangan elite NU yang menyuarakan ide yang sama. Mereka
menentang dan menantang serta menggugat Kesimpulan-Rekomendasi KomnasHAM
tertanggal 23 Juli 2012. Yaitu Rekomendasi Komnas HAM yang menuntut agar
Kejaksaan Agung mengambil langkah, memulai penanganan kasus pelanggaran
HAM berat dimana terlibat aparat militer negara terhadap warganegara
tidak bersalah.



* * *



Walhasil, Mahfud menyimpulkan bahwa *di kalangan lembaga hukum terdapat
MAFIA HUKUM, yang bisa mengatur semua masalah hukum. Mafia itu bisa
mengatur siapa penyidik, apa pasal yang akan dikenakan, serta siapa
jaksa dan hakim yang akan menangani suatu masalah hukum.*


Bukankah ini suatu *CANANG YANG MENGENAI SASARAN*. Canang yang benar!
Yang bukan "asbun" (asal bunyi) seperti yang diutarakan oleh Sang
Jendral dari Jawa Tengah dan kalangan elite NU?


Patut ditegaskan bahwa di satu fihak telah beroperasi mafia hukum yang
dengan leluasa mengatur kegiatannya menggerowoti dasar-dasar hukum
negeri ini. Namun di lain fihak juga terdapat fikiran-fikiran absurd
seperti yang diutarakan oleh tokoh tentara dan tokoh agama tsb diatas.
*Karena hakikat dari pernyataan mereka itu, adalah MENGHENDAKI
KEMBALINYA KETIADAAN HUKUM di negeri ini.



* * *


*SELAMA KASUS PERISTIWA 1965 TIDAK DITANGANI, . . . SELAMA ITU SOAL
TERBESAR HUKUM DI INDONEISA BELUM DIJAMAH*


Kiranya perlu dikemukakan, bahwa KASUS HUKUM BESAR yang baru hendak
ditangani oleh KomnasHAM, adalah yang menyangkut pelanggaran HAM berat
di sekitar tahun 1965/66/67/68, justru adalah KASUS PERISTIWA 1965 itu.
Justru kasus 1965 ini yang oleh sementara kalangan konservatif, dari
fihak milier dan agama, yang hendak dimasukkan kembali ke peti és. Agar
tidak dijamah untuk selama-lamanya.


Bicara soal pelanggaran hukum terbesar di negara ini, itu adalah yang
terjadi sekitar Peristiwa 1965. Ketika itu telah berlangsung pembantaian
masal ekstra judisial. Bersamaan waktunya dengan proses *kudeta
merangkak* Jendral Suharto terhadap Presiden Sukarno.


Di negara ini peristiwa pembangkangan seorang jendral AD terhadap
atasannya, yang paling besar dan paling heibat, adalah ketika Jendral
Suharto membangkang terhadap keputusan Panglima Tertinggi Presiden
Sukarno, yang mengangkat Jendral Pranoto Reksosamudro, pengganti Jendral
Ahmad Yani, sebagai Panglima Angkatan Darat.



Mari baca bunyi berita selengkapnyayang disairkan oleh Radio Republik
Indonesia, 03 Oktober 1965.


*Pidato Pertama Bung Karno Pasca G30S*


DISIARKAN RRI pada tanggal 3 Oktober 1965 pukul 1.33 dinihari dan dimuat
di harian Berita Yudha tanggal 4 October.


Dalam pidato pertama kepada publik ini, Bung Karno menyatakan bahwa
dirinya dalam keadaan selamat dan tetap memegang pucuk pimpinan negara.


Tanggal 2 Oktober Bung Karno mengumpulkan semua pemimpin Angkatan
Bersenjata dan Waperdam II Dr. Leimena. *Bung Karno telah menetapkan
Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai pengganti Panglima Angkatan
Darat Jenderal Ahmad Yani. Sementara Mayor Jendera Suharto diberi tugas
memulihkan keamanan dan ketertiban pasca G30S.



** * *


*Pidato pertama Bung Karno pasca G30S, seperti dibawah ini diperoleh
dari Cornell University. *


"Brothers, repeating my order as Supreme Commander of the Armed
Forces/Great Leader of the Revolution which was announced on October 1,
1965, and to eliminate all uncertainty among the people, herewith I once
again declare that I am safe and well and continue to hold the top
leadership of the state and the top [leadership] of the government and
the Indonesian Revolution.


Today, October 2, 1965, I summoned all Commanders of the Armed Forces,
together with Second Deputy Prime Minister, Dr. Leimena, and other
important official quickly settling the problem of the so September 30
Affair. To be able to settle this problem I have ordered the prompt
creation of a calm and orderly atmosphere and for this purpose it is
necessary to prevent any possibility of armed conflict.


In the present stage of the determined struggle of the Indonesian
people, I command the entire population continuously to increase
vigilance and preparedness in the framework of intensifying the
implementation of Dwikora.


I appeal to all the Indonesian people to continue to remain calm and to
all ministers and other officials continuously to carry out their
respective duties as before.


At present the leadership of the Army is directly in my hands, and to
discharge the day-to-day tasks within the Army, I have appointed
temporarily Major General Pranoto Reksosamudro, Third Assistant to the
Minister/Commander of the Army.


To carry out the restoration of security and order in connection with
the September 30th Affair, *I have appointed Major General Suharto,
Commander of KOSTRAD, in accordance with the* *policy I have already
outlined. Brothers, let us persist in nurturing the spirit of national
unity and harmony. Let us steadfastly kindle the anti-Nekolim spirit.
God be with us all. *


* * *


Dari kutipan berita RRI yang ketika itu juga disiarkan oleh s.k, Berita
Yuda (4 Oktober 1965), yang menyuarakan golongan militer ketika itu, --
jelas bahwa Panglima Tertinggi ABRI Presiden Sukarno telah mengambil dua
keputusan penting. Yaitu pertama, Mayjen Pranoto Reksosamudro,
ditetapkan sebagai pengganti Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad
Yani. Kedua, Mayor Jendera Suharto diberi tugas memulihkan keamanan dan
ketertiban pasca G30S. *



** * **


Tindakan-tindakan Jendral Suharto --- justru adalah pembangkangan
terhadap dua putusan maha penting Panglima Tertinggi Presiden Sukarno,
Kepala Negara, Kepala Pemerintah dan Kepala Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia. Suharto membangkang dengan tindakannya menolak Mayjen Pranoto
sebgai Panglima Angkatan Darat, sekaligus mengambil alih pimpinan
tentara di bawah kekuasaannya sendiri.


Insubordnasi Suharto selanjutnya ialah menggunakan wewenagnya sebagai
panglima Kostrad untuk memulai kampanye pembohongan di sekitar
pembunuhan 6 jendral oleh G30S. Ia memfitnah anggota-anggota Gerwani
sebagai "kambing hitam", dan menuduh PKI sebagai dalang G30S yang
dinyatakannya sebagai suatu pemberontakan. Bersamaan dengan kampnye
fitnah terhadap Gerwani dan PK, --I Jendral Suharsto memulai kampanye
pembantaian masal, penangkapan, pemenjaraan dan pembuangan tahanan
politik ke P. Buru. Suatu tindakan yang sepenuhnya bertentangan dengan
perintah Presiden Sukarno untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.


Adakah insubodinasi militer dan pengkhianatan negara, yang lebih besar
dari yang pernah terjadi di negara ini, seperti apa yang dilakukan
Jendral Suharto terhadap Panglima Tetinggi Presiden Sukarno? Belum lagi
dibicarakan disini bagaimana Jendral Suharto menyalahgunakan
"SUPERSEMAR", Perintah Presiden Sukarno kepada Jendral Suharto,
menyulapnya menjadi senjata pribadinya, - untuk merebut kekuasaan negara
dan pemerintah dari Presiden Sukarno!




Bicara mengenai masalah hukum di negara ini, adakah pelanggaran dan
pengkhiantan hukum yang lebih besar seperti apa yang dilakukan oleh
Jendreal Suharto terhadap Presiden dan Negara RI?


Maka, tanpa mengurus masalah tsb diatas tidak mungkin direalisasi
penegakkan hukum di negara ini.


* * *

Wednesday, December 19, 2012

AMIR SYARIFUDDIN ADALAH BAPAK BANGSA,

           IBRAHIM ISA
           Rabu, 19 Desember 2012
 
Wilson Obrigados:


                     AMIR SYARIFUDDIN ADALAH BAPAK BANGSA,


                     PATUT DIHORMATI DAN DIHARGAI OLEH BANGSANYA SENDIRI


           *    *    *


           Kawanku historikus Wilson Obrigados, hari ini mengingatkan
           pembaca bahwa, 64 tahun yang lalu, 19 Desember 1948, mantan
           Perdana
           Menteri Repulblik Indonesa, mantan Menteri Pertahanan RI, yang
           pada waktu perundingan RI-Belanda di kapal AS Renvelle (1947),
           adalah Ketua Delegasi Indonesia.

           Mr Amir Syarifudin bersama 11 orang lainnya di ekesekusi di
           desa Ngalihan, tanpa proses hukum yang transparn dan sah.

           Eksekutor adalah Kolonel Gatoto Subroto, atas perintah Abdul
           Haris Nasution, bertentangan dengan sikap Presiden Sukarno,
           yang menentang hukuman mati atas Mr. Amir Syrifuddin.

           Amsterdam, Rabu, 19 Desember 2012

           * *    *


           WILSON OBRIGADOS
           Di Facebook, hari in 19 Desember 2012
           ----------------------------------------------------

           Hari ini, 19 Desember 1948, Amir Sjarifuddin, mantan Perdana
           Mentri dan Mentri Pertahanan Republik Indonesia di jaman
           revolusi, dan penggagas Sumpah Pemuda, dibunuh bersama 11
           orang lainya di Ngalihan, Solo. Usianya 41 tahun. Tentara
           dibawah Nasution, membangkang pada Presiden Soekarno yang
           menolak hukuman mati pada Amir Sjarifuddin dkk. Tengah malam,
           kolonel gatot subroto, mendatangi sel Amir dkk, membawa mereka
           ke pemakaman ngalihan yang sudah disiapkan untuk kuburan
           massal. Amir maju kedepan dan meminta menjadi orang yang
           dieksekusi pertama. Dengan memegang injil dia menyanyinkan
           lagu Indonesia Raya dan Internationale. lalu seorang letnan
           menembakan pistol dikepalanya.

           Sang eksekutor, kolonel gatot subroto mati mendadak tahun 1962
           karena stress. Diduga dia mengalami trauma akibat kejadian
           tersebut. Pada tahun 1950 mayat Amir dkk dimakamkan keluarga.
           Paska Gestok 1965, makam Amir dkk dihancurkan oleh militer dan
           terlarang untuk dikunjungi siapapun, termasuk keluarganya.

           Baru sekitar tahun 2007, anak-anak Amir dapat mengunjungi
           makam ayahnya dan dengan bantuan Komnas Ham dan meminta ijin
           dari militer untuk memugar makam ayahnya. Anak bungsu Amir
           yang perempuan, didalam kandungan ibunya, ketika Amir di
           eksekusi. Hanya makam ayahnya yang menghubungkan dia dengan
           masa lalu.

           Amir Sjarifuddin adalah bapak bangsa, patut dihormati dan
           dihargai oleh bangsanya sendiri.


Tuesday, December 18, 2012

MENGULANGI PELANGGARAN HAM TERBESAR YG TERJADI DI SEKITAR PERISTIWA 65-68 ???

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 19 Desember 2012
--------------------------------

MENGULANGI PELANGGARAN HAM TERBESAR YG TERJADI DI SEKITAR PERISTIWA 65-68 ???

Beberapa hari ini tersiar berita sbb:
Pangdam IV/Divisi Diponegoro, MENGAUM MENGANCAM AKAN MENEMBAK KEPALA yang berani-berani mau menghidupkan kembali PKI. Di Jawa Tengah sang Jendral menyatakan sudah memiliki “info” sekitar usaha orang lama dan orang muda yang hendak “menghidupkan kembali PKI”.

Begini beritanya:
Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Hardiono Saroso mengklaim munculnya indikasi adanya PKI di Jawa Tengah dan DIY. Menurut Pangdam dapat dideteksi dari adanya sejumlah kalangan yang menyatakan ingin meluruskan sejarah pemberontakan G30 S/PKI dalam sejarah Indonesia. Baik di Jogja maupun Jawa Tengah semua ada indikasi itu.

Lalu dengan garangnya sang Jendral mengancam:
Kami sudah mengendus adanya indikasi munculnya PKI. Perlu dicatat, jangan coba-coba PKI bangkit di wilayah Jateng dan Jogja, pasti akan saya tumpas dan hancurkan. Hancurkan itu ngerti? Hancurkan ya tak pateni (saya bunuh),” tegas Pangdam.
Dia mengaku, tidak akan segan menembak mati orang-orang yang berani menghidupkan kembali komunisme di Jawa Tengah. “Kalau ada, saya tidak akan segan-segan menembak kepalanya,” tegasnya lagi. (Semarang, Muslimdailly.net – 17 Desember 2012)

* * *

Setelah bubarnya rezim Orba, tentara tidak lagi mengurus masalah keamanan dalam negeri, -- karena tugas itu sudah menjadi urusan polisi. Demikianlah keadaanya sejalan dengan hapusnya sistim “Dwifungsi Abri”.

Maka orang bertanya-tanya ---- Sejak kapan diputuskan tentara kembali mengurus keamanan dalam negeri dan mencampuri urusan politik praktis. Sejak kapan ada undang-undang baru atau keputusan pemerintah bahwa seroang jendral panglima divisi tentara bisa menembak kepala orang yang dituduhnya hendak membangun kembali PKI. Bukankah ini pembunuhan ekstra-judisial yang memang dilakukan oleh aparat militer dan polisi secara besar-besaran dan nasional, ketika melancarkan pembantaian masalah terhadap rakyat tak bersalah atas tuduhan PKI, simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno?

* * *

Di media bisa dibaca banyak canang yang dinyatakan oleh pembaca, bahwa fihak militer ingin kembali ke periode rezim Orba, ketika aparat secara sewenang-wenang menghakimi siapa saja yang menentangnya. Mereka ingin menghapuskan sementara hak-hak demokrasi yang telah direbut rakyat sejak gerakan massa rakyat untuk Reformasi dan Demokrasi yang telah menggulingkan Presiden Suharto.

Sesungguhnya pernyataan sang jendral yang digongi oleh sementara politikus NU, adalah lagu lama yang sudah usang! Barangkali yang berteriak “Awas PKI”, dia sendiri tidak percaya pada kebohongannya itu. Di zaman rezim militer Orba, teriakan “Awas PKI” sudah tidak digubris lagi. Karena dikeluarkan oleh fihak militer dengan tujuan utama -- untuk menindas oposisi atau siapa saja yang punya fikiran lain dengan penguasa.

AWAS KOMUNIS!!! Teriakan itu dianggap suatu indikasi bahwa yang bersangkutan takut dengan bayangannya sendiri.

Teriakan “Awas PKI” adalah teriakan untuk menakut-nakuti, mengancam siapa saja yang berani berfikir lain dari mereka yang kuasa: Yaitu militer dan birokrasi yang sudah kewalahan menutup-nutupi dosanya terhadap rakyat. Yaitu mereka-mereka yang selama ini tidak kenyang-kenyangnya melakukan korupsi dan manupulasi serta menggadaikan kekeayaan negeri ini pada kaum modal asing.

Siapa yang akan bisa percaya PKI bisa bangkit lagi? Bukankah PKI sudah dibubarkan lebih setengah abad y.l , dan hanpir tiga juta orang tak bersalah yang anggota maupun yang dituduh PKI atau simpatisan PKI, pendukung Presiden Sukarno, telah dibantai habis atau dipenjarakan belasan tahun.

* * *

Berita lain senada dan searah-sehaluan ialah yang tersiar dari kalangan NU, sbb:

Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Dr Ali Masykur Moesa menilai sejarah tentang G-30-S/PKI telah dijungkirbalikkan dengan laporan pelanggaran HAM dari korban G-30-S/PKI ke Komnas HAM.(Antara, Surabaya).
"Ya, ada upaya menjungkirbalikkan sejarah G-30-S/PKI (dengan laporan
ke Komnas HAM)," katanya dalam sambutan pada pelantikan dan
musyawarah kerja PW ISNU Jatim,  pada hari Minggu y.l.

*    *    *

Jelas,  ----  baik dari kalangan militer (Pangdam Kodam IV Divisi Diponegoro) maupun dari kalangan agama,  kongkritnya Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Dr Ali Masykur Moesa, mengarahkan sasaran ujung tombak mereka  pada: 

LAPORAN DAN REKOMENDASI KOMNASHAM, 23 Juli 2012.

Laporan tsb mengungkap pelanggaran HAM berat oleh aparat negara, polisi  dll dalam  peristiwa 1965/68. KomnasHAM mendesak Kedjaksaan Agung untuk melaksanakan rekomendasi KomansHAM dan memulai mengadakan penyidikan kasus tsb.

Mereka-mereka itu menuduh pendapat dan kesimpulan yang diutarakan didalam Laporan/Rekomendasi KomnasHAM, 23 Juli 2012, sebagai usaha untuk menjungkir-balikkan sejarah. Padahal siapa tidak tahu sekarang, bahwa merekalah yang selama rezim Orba, sampai sekarang ini telah merekayasa dan memalsu sejarah bangsa kita, khususnya sekitar Peristiwa 1965-68. 

Makan tidak heran sementara komentar menyatakan bahwa mereka/mereka itu tidak berbeda dengan MALING YANG TERIAK MALING!!

*    *    *


Sebagai sekadar litgeratu untuk melengkapi kolom ini ada baiknya menelusuri sebuh tulisan yang relevan:AWARD OF EXCELLENCE Untuk Film

"40 TAHUN KEHENINGAN", Suatu Tragedi Indonesia.

Suatu penghargaan dan kehormatan diberikan untuk film berbahasa Inggris
produksi luarnegeri dengan tema Indonesia. Berjudul "40 Years of
Silence: An Indonesian Tragedy"-- Directed by Robert Lemelson, USA.


Film itu tidak sebarang cerita. Temanya berkenaan dengan apa yang
terjadi dalam sejarah bangsa kita. Suatu peristiwa berdarah yang begitu
parah, disekitar tahun-tahun 1965-66-67. Yang diangkat di film itu ialah
sekitar peristiwa "Gerakan 30 September" (G30S) dan apa yang terjadi
kemudian. Yaitu kekerasan militer Indonesia dalam kampanye pengejaran,
penahanan, penyiksaan, pemenjaraan, pembuangan dan pembunuhan masal
terhadap warga yang tidak bersalah. Dengan dalih bahwa mereka terlibat
dalam G30S, bahwa mereka itu adalah anggota, diduga anggota atau
simpatisan PKI, serta orang-orang Kiri lainnya yang membela Presiden
Sukarno.

Kejadian itu, suatu pelanggaran HAM terbesar yang pernah terjadi di
Indonesia, yang sering disebut tragedi atau malapetaka nasional, telah
direkayasa dan dipalsukan sedemikian rupa oleh rezim otoriter Orba,
dalam sebuah film berjudul "*Pengkhianatan G 30 S/PKI". *Film pemalsuan
sejarah tergawat tsb dibuat dengan keterlibatan sejumlah pelaku, penulis
dan artis periode rezim Orba.

Film yang disutradarai oleh Robert Lemelson, adalah sebuah film
'antipode' terhadap film sekitar G30S yang diprodusir oleh rezim Orba.
Film *"**40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy" *, bisa dinilai
sebagai pengkoreksian atas pemalsuan sejarah yang dilakukan rezim Orba.

* * *

Sebagai ilustrasi mari kita telusuri sedikit apa yang ditulis a.l oleh
WIKIPEDIA tentang film rekayasa sejarah yang dibuat Orba: *Pengkhianatan
G 30 S/PKI*: Sutradara Arifin C. Noer, Produser G. Dwipayana. Penulis
Arifin C. Noer, Bram Adrianto, Syu'bah Asa, Ade Irawan, dan Amoroso
Katamsi.Pemeran, Omar Kayam dll. Panjang: 220 menit. Dapat penghargaan
Festival Film Indonesia 1984.

"*Pengkhianatan G 30 S/PKI"*adalah judul flm propaganda Indonessia dari
tahun 1984 yang disutradarai oleh Arifin C Noer. Cerita film ini adalah
versi resmi pemerintah Orde Baru tentang peristiwa yang terjadi pada
malam 30 September dan pagi 1 Oktober di Jakarta. Pada malam dan pagi
hari itu terjadi pergolakan politik di Indonesia yang kemudian berujung
pada pergantian rezim dari Sukarno ke Suharto.

Pihak Orba di bawah pimpinan Suharto mengatakan bahwa PKI melakukan
pemberontakan yang kemudian digagalkan oleh Suharto sendiri. Inilah yang
menjadi dasar film tersebut. Sampai hari ini

masih banyak orang yang mempertentangkan kebenaran hal tersebut dan
topik ini masih diselimuti banyak kontroversi dan rahasia.

Pemerintahan Suharto kemudian memerintahkan satu-satunya stasiun TV di
Indonesia ketika itu, TVRI, untuk *menayangkan film ini setiap tahun
pada tanggal 30 September malam*. Pada saat stasiun-stasiun TV swasta
bermunculan, mereka juga dikenai kewajiban yang sama. Peraturan ini
kemudian dihapuskan pada tahun 1998 dan sejak saat itu film ini belum
pernah lagi diputar di stasiun televisi Indonesia. Demikian Wikipedia.

Setelah Suharto tersingkir oleh gelombang kebangkitan Reformasi dan
Demokratisasi, pemerintah yang menggantikannya menghentikan pengedaran
film rekayasa dan kebohongan sejarah "*Pengkhianatan G 30 S/PKI". *Namun
pemerintah Megawati, Gus Dur maupun SBY sampai sekarang tidak pernah
mengkoreksi pemalsuan sejarah dan pembohongan yang disebarkan oleh rezim
Orba.

Patutlah film *"40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy", *disambut
sebagai suatu usaha untuk melempangkan sejarah yang dibengkokkan rezim Orba.

* * *

Kita mengucapkan SELAMAT, dengan diraihnya AWARD OF EXCELLENCE untuk
film "40 TAHUN KEHENINGAN"di Festival Film Internasional untuk
Perdamaian, Inspirasi dan Kesetaraan. Semoga pementasan film bersejarah
tsb di Indonesia bisa berlangsung dengan lancar dan sukses tanpa
gangguan dari fihak-fihak yang khawatir dan takut pada pengungkapan
fakta-fakta sejarah bangsa dengan pementasan film "40 TAHUN KEHENINGAN". Suatu TRAGEDI INDONESIA.

Awards Night Premiere akan berlangsung pada tanggal 30 Agustus 2012 di
Blitzmegaplex bioskop, Grand Indonesia, Jakarta. Penyelenggara
mengundang para penggemar di Indonesia untuk menyaksikannya. Penggemaer film juuga bisa menyaksikannya di http://www.internationalfilmfestivals.org/winners.htm._