Friday, December 7, 2012

“*BAGAIMANA GENERASI MUDA MEMAHAMI “PERISTIWA 1965” *

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Rabu, 28 November 2012*
*----------------------
 

“*BAGAIMANA GENERASI MUDA MEMAHAMI “PERISTIWA 1965” *


Di suatu seminar di *Universitas Sanata Dharma*, 07 September 2012, di Yogyakarta, pesertanya terdiri dari sejarawan-sejarawan muda di bawah bimbingan Prof Dr Baskara T.Wardaya.


Seorang dosen sejarah menyatakan, bahwa hanyalah setelah jatuhnya Presiden Suharto dan merebaknya tulisan, majalah dan buku mengenai apa yang terjadi sekitar Peristiwa 1965 –-- Baru ketika itulah ia memperoleh penjelasan dan bahan-bahan yang lebih lengkap mengenai pelanggaran besar HAM yang terjadi sekitar Peristiwa 1965/66 itu.


Yang merupakan pelanggaran HAM terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah Republik Indonesia yang dilakukan oleh aparat negara terhadap warga yang tidak bersalah.


Peserta seminar lainnya menanyakan bagaimana kedudukan *TAP MPRS No XXV/1966 *dewasa ini? Karena di dalamnya tercantum larangan terhadap Marxisme. Dalam jawaban atas pertanyaan ini (karena pertanyaan itu ditujukan kepadaku), kuberkan jawaban sbb:


Pertama MPRS ketika itu sudah “dibongkar pasng” oleh penguasa militer. Ketuanya, Chairul Saleh dijebloskan ke penjara bersama beberapa anggota MPRS lainnya yang dianggap PKI, pro-PKI atau pro Presiden Sukarno. Anggota-anggota MPRS yang tinggal banyak yang dipecat.


Rezim militer kemudian melakukan 'perombakan' terhadap MPRS.


Sehingga MPRS yang baru tsb sepenuhnya hanya meng-iakan saja, apa yang dikehendaki pengugasa militer. MPRS seperti itu samasekali tidak punya legitim. Marxisme adalah suatu ilmu, yang harus diperlakukan sebagai ilmu, bukan dilarang.**


*Maka mantan Presiden Abdurrahman Wahid pernah menyatakan bahwa TAP MPRS No XXV/1966, BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR R.I.*


* * *


*Ayu Diasti Rahmawati (25th)*, seorang mahasiswi dari generasi muda Indonesia, yang sedang studi di *The New School, New York* menuliskan kesan-kesan dan pamahamannya mengenai Peristiwa 1965. Tulisannya itu (disiarkan oleh Indoprogres.com).,berjudul:


*Bicara tentang Kebenaran, HAM, dan Tragedi 1965.***


*Kesimpulan yang ditarik oleh putri generasi muda Indonesia ini, tajam dan mengenai sasaran masalah, sbb: *


“*Pengakuan HAM butuh lebih dari sekedar keinginan untuk mengetahui kebenaran, pengakuan HAM butuh keadilan, dan keadilan perlu diperjuangkan! *


** * **


Ayu Diasti Rahmawati menanggapi propaganda Orba mengenai G30S, lewat film “Pembantaian G30S/PKI”. Yang disaksikannya ketika ia baru berusia 11 tahun). Setelah melihat film produk Orba itu, Ayu menganggap apa yang diceriterakan film Orba itu sebagai suatu ”kebenaran heroik”.


Situasi Indonesia berubah drastis. Suharto jatuh, Orba digantikan dengan pemerintahan Presiden Gus Dur, kemudian Megawati dan SBY. Dalam bulan Oktober 2011, Ayu menyaksikan film produksi *Joshua Oppenheimer, berjudul “The Act of Killing”. *Ia membandingkannya dengan film tentang Peristiwa 1965 yang di zaman Orba.


Reaksi Ayu: “Banyak ulasan berpendapat betapa kontroversialnya film ini dan betapa pentingnya bagi anak bangsa untuk mengintip masa lalunya melalui pengakuan-pengakuan para jagal 1965, setelah bertahun-tahun kita hidup dalam bayang-bayang diam dan penolakan”.


Lanjut Ayu:


“Rasa empati bisa jadi hanya mendorong manusia untuk sekedar mengetahui dan memahami penderitaan orang lain. Berempati tidak serta merta berujung pada pengakuan bahwa seorang korban kekerasan sejatinya adalah seseorang yang haknya terlanggar. Dengan demikian, apapun yang dilakukan untuk mengembalikan hak si korban merupakan hasil dari kedermawanan, bukan sebagai bentuk pemenuhan rasa keadilan.


“Karena itulah, komentar *Pramoedya Ananta Toer* terhadap permintaan maaf dari Gus Dur bisa diterima. *Apa artinya kata maaf kalau tidak disertai dengan keadilan?* Apa artinya mengetahui dan mengakui kesalahan di masa lalu, kalau tidak disertai dengan pengakuan bahwa ada orang-orang yang haknya terlanggar dan dengan demikian harus diperbaiki dengan mekanisme yang mungkin lebih kompleks dari sekedar kata maaf?


* * *


Ayu Diasti Rahmawati lalu membuat kesimpulan yang amat menarik:


“Mendengar cerita tentang Tragedi 1965 dari sudut pandang jagal, juga menyimpan resiko yang tak kalah besarnya. Betul, cerita-cerita mereka membawa bangsa Indonesia selangkah menjauhi diam dan penolakan. Akan tetapi, sejauh apa cerita-cerita ini membuat kita mengakui bahwa ada korban yang haknya terlanggar? Jangan-jangan, cerita para penjagal hanya mampu mengajak kita sebatas mengetahui seberkas kebenaran. Jangan-jangan, cerita para penjagal hanya membuat hati kita tersayat-sayat tanpa serta merta mendorong kita untuk memperjuangkan hak-hak para korban yang terlanggar.


“Tantangannya kemudian adalah bagaimana membuat semakin banyak orang sadar bahwa proses pengungkapan kebenaran mengenai Tragedi 1965, sama sekali bukan soal tuduh menuduh siapa yang mengangkat senjata terlebih dahulu, tetapi soal pengakuan bahwa ada jutaan orang yang terlanggar haknya. Ini memang bukan pekerjaan mudah. Mendengar satu narasi kebenaran saja tidaklah cukup. Maaf pun takkan pernah bisa menggantikan keadilan. Terlebih lagi, tidak semua orang memiliki akses sama terhadap sumber daya yang diperlukan untuk mengklaim haknya.*Pengakuan HAM butuh lebih dari sekedar keinginan untuk mengetahui kebenaran, pengakuan HAM butuh keadilan, dan keadilan perlu diperjuangkan! *



* * *


Sehubungan dengan ini penting artinya kegiatan sekitar HAM yang diselenggarakan oleh kaum muda. Kongkritnya rencana *PERINGATAN 10 DESEMBER 2012, HARI HAK-HAK AZASI MANUSIA (PBB), yang akan diselenggarkan di Diemen, Holland pada tanggal 10 Desember 2012 yad.*


   * * *

   Acaranya a.l. pameran foto, oleh photographer muda*Elisabeth Ida dan
   Adrian Mulya,* -- serta pertunjukan film*THE WOMEN AND THE GENERALS. *

   Kemudian diadakan diskusi di bawah pimpinan Prof Dr Saskia Wierenga,
   sekitar PERISTIWA PELANGGARAN HAM TERBESAR 1965/1966 . Panel diskusi
   teridiri dari Agrar Sudrajat (survivor), Muhammad Hariyadi (UvA &
   Airlangga University researcher), Nursyahbani Katjasungkana (human
   rights lawyer), Elisabeth Ida (photographer).

   Demikian *undangan* yang dipublikasikan oleh:


*-- Evi Lina Sutrisno*, Graduate Student Anthropology Department Univ. of Washington Box 3531000 Seattle - WA 98195


* * *

No comments: