Sunday, December 16, 2012

INDONESIA BISA BELAJAR DARI BELANDA

Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 16 Desember 2012
----------------------------------


DUA “INDIË-WEIGERAARS” (Mantan KL Yg Membangkang Dikirim ke Indonesia) GUGAT Vonis Pengadilan Militer Belanda 60 Tahun y.l

* * *

INDONESIA BISA BELAJAR DARI BELANDA!

* * *

Perisiwa ini sangat unik dan relevan dengan situasi kita. Para aktivis HAM dan masyarakat umumnya bisa belajar dari keuletan dan konsistensi perjuangan dua mantan tentara Belanda. Mereka memperjuangkan keadilan bagi mereka sendiri dan kebenaran sikap mereka yang membangkang ketika akan dikirim ke Indonesia untuk berperang melawan Republik Indonesia. Mereka memperjuangkan rehabilitasi nama baik dan integritas sikap mereka ketika itu.

* * *

Peristiwanya: -----
Kasus dua orang mantan tentara Belanda yang sudah “manula”; -- Jan van Luyn (83 th) dan -- Jan van Maassen (86 th). . . . Mereka berdua menggugat vonis yang dijatuhkan terhadap mereka 60 tahun y.l. Mereka dituduh melakukan “desersi”. Ketika itu Belanda melancarkan perang terhadap Republik Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Kedua anggota KL (Koninklijke Leger – Tentara Kerajaan Belanda) tsb menolak dikirim ke Indonesia.

Mereka membangkang, tidak mau, -- atas nama melakukan tugas “memulihkan ketertiban” di Indonesia – hakikatnya berperang melikwidasi Republik Indonesia yang baru merdeka. Mereka merasakan betapa menderita di bawah pendudukan Jerman Hitler (1940-1945); betapa merasa bersyukur negeri Belanda telah dibebaskan oleh tentara Sekutu (Canada).

Maka mereka merasa Belanda yang baru dibebaskan itu, tidak berhak dan tidak benar mengirimkan tentara ekspedisi untuk menindas bangsa Indonesia yang sudah memerdekakan dirinya dari pendudukan Jepang.

Mereka menolak membunuhi rakyat Indonesia yang telah memilih merdeka lepas dari Nederland. Mereka tidak mau disuruh “memberantas pemuda-pemuda ekstremis Indonesia di bawah pimpinan Sukarno, yang (katanya) membunuhi orang-orang Belanda pada periode “Bersiap”.

Anggolta-anggota tentara Belanda yang akhirnya mengambil bersikap demikian itu, tidak hanya mereka berdua saja. Masih ada ratusan lainnya, rekan-rekan mereka yang juga “menolak” dikirim ke Indonesia. Dan oleh karena itu dijatuhi hukuman dengan diberi cap “desertir”. Jelas, mereka menganggap vonis itu sewenang-wenang dan tidak adil.

Padahal mereka yakin benar bahwa penolakan mereka itu didasarkan dan didorong oleh rasa kemanusiaan, keadilan dan kebenaran terhadap rakyat Indonesia. Dan ini mereka perjuangkan terus, lebih 60 tahun lamanya. Dan sekarang ini resmi dan formal diajukan ke lembaga peradilan Belanda untuk ditinjau kembali dan dibatalkan.

Bukankah dari kasus mantan tentara Belanda van Luyn dan van Maassen ini, para aktivis HAM dan demokrasi serta seluruh masyarakat kita bisa menarik pelajaran yang positif. Menarik pelajaran dari perjuangan demi keadilan dan kebenaran yang dilakukan oleh “pembangkang-pembangkang” tentara Belanda yang menolak diperintahkan bertempur melawan Republik Indonesia??

* * *

Jan van Luyn dan Jan van Maasen divonis oleh Pengadilan Tinggi Militer Belanda (Hoog Militair Gerechtshof) dalam tahun 1950 dan 1951 karena “dienstweigering”, menolak dinas militer. Jan van Luyn diganjar 3 tahun penjara. Menteri Kehakiman Belanda juga mencabut hak-pilihnya untuk waktu lima tahun. Sedangkan Van Luyn dipenjarakan selama dua tahun.

* * *

Dalam kasus naik banding ke Pengadilan Tinggi (Hoge Raad) menggugat vonis tsb kedua orang mantan tentara Belanda itu (sungguh menarik sekali) dibela oleh advokat Mr Liesbeth Zegveld.

Mr Liesbeth Zegveld, adalah advokat Belanda yang yang sama, yang telah membela para janda korban pembantaian terhadap penduduk Rawagede oleh tentara Belanda (1947). Kasus tuntutan para janda korban pembantaian Belanda, akhirnya dimenangkan Pengadilan Den Haag dalam gugatannya terhadap pemerintah Belanda (2011).

Kali ini, -- lagi-lagi advokat Zegveld itu, yang mengajukan tuntutan kepada Hoge Raad Belanda, (Jum'at pekan lalu), untuk meninjau kembali vonis terhadap dua mantan tentara Belanda tsb. Advokat Zegveld mendasarkan gugatannya itu atas kenyataan bahwa dua puluh tahun setelah berlangsungnya agresi pertama dan kedua Belanda terhadap Republik Indonesia

Kasus ini seyogianya diikuti terus perkembangannya, khususnya oleh Indonesia. Karena, ia bukan saja merupakan gugatan terhadap kebijakan pemerintah Belanda yang melakukan dua kali agresi terhadap Republik Indonesia, tetapi juga merupakan kasus HAM, menyangkut hak untuk menentang politik kolonial pemerintahnya sendiri.

Dalam peristiwa ini kita juga menyaksikan, -- betapa suatu kasus yang sudah berlalu 60 tahun lamanya, tokh digugat kembali, demi memperoleh keadilan bagi dua mantan tentara Belanda yang divonis “desersi”.

Ini menunjukkan bahwa untuk mencari kebenaran dan memperoleh keadilan, -- lamanya waktu terjadinya kasus tsb -- tidaklah menjadi rintangan samasekali, vonis tsb ditinjau kembali. Agar dengan demikian kebenaran dan keadilan diberlakukan terhadap kedua mantan tentara Belanda itu.

* * *

Diangkatnya oleh media Belanda, -- suatu gugatan terhadap vonis oleh Mahkamah Militer Belanda (60 tahun y.l) terhadap dua mantan tentara Belanda (KL) yang membangkang/menolak dikirim ke Indonesia, -- menunjukkan bahwa masyarakat Belanda cukup peka terhadap masalah hubungan Indonesia-Belanda. Yang menyangkut tindak kekerasan, pembunuhaan ekstra judisial yang dilakukan tentara Belanda terhadap rakyat Indonesia! (Seperti dalam peristiwa pembantaian oleh tentara Belanda di Rawagede dan Sulawesi Selatan)

Sebuah stasiun TV Belanda, Nederland-2, sehubungan dengan kasus tsb tadi malam jam 20.15 (Sabtu 15 Desember) mengangkat lagi kasus tsb.

Dalam suatu acara “DEBAT op 2”, Diskusi NCRV, pengacara/pemandu diskusi mengokonfrontasikan dua pendapat. Yang setuju dan tidak setuju dibukanya kembali masaalah peranan tentara Belanda di Indonesia ketika itu. Termasuk dihadirkan dalam “debat” itu anggota tentara Belanda yang “membangkang” dan anggota tentara Belanda yang ngotot mempertahankan sikap untuk 'tidak membuka kembali' masalah tsb.

Kecenderungan pengacara jelas ke arah dibukanya kembali masalah tsb. Suatu diskusi yang positif.

Beberapa waktu yang lalu tiga lembaga studi sejarah di Belanda bersama-sama menyarankan (kepada pemerintahnya) agar dilakukan studi dan riset BERSAMA DENGAN SEJARAWAN INDONESIA, sekitar sejarah hubungan dua negeri. Khususnya mengenai masalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh fihak Belanda terhadap Indonesia. Seperti yang a.l terjadi selama perang kemredekaan Indonesia melawan Belanda.

Seyogianya para sejarwan dan pemerhati di fihak Indonesia mengambil sikap yang lebih positif dan aktif dalam rangka usaha melakukan penulisan/pencatatan sejarah yang obyektif mengenai hubungan dua negeri dan dua bangsa, Indonesia dan Belanda. Mudah-mudahan bisa merupakan sumbangan demi usaha pencerahan dalam perbaikan hubungan Indonesia-Belanda.

* * *








No comments: