Friday, April 30, 2010

“Mijn Vriend SUKARNO” – W. Oltmans < 2>

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Jum'at, 30 April 2010
---------------------------------------

“Mijn Vriend SUKARNO” – Willem Oltmans

Tulisan ini -- Juga hendak memberikan gambaran yang ' l a i n ' kepada 'kita-kita' orang-orang Indonesia, -- mengenai orang-orang Belanda. Khususnya bersangkutan dengan pertanyaan: Bagaimana sebenarnya sikap Belanda sekarang ini, terhadap Indonesia? Apakah memperlakukan Indonesia, masih seperti dulu? Ataukah sudah berubah? Menganggap Indonesia sebagai suatu bangsa merdeka. Yang setara dan sederajat dengan Belanda?

Untuk menghindari sikap 'main-pukul-rata', maka dikemukakan dalam tulisan ini kasus kongkrit. Ia seorang Belanda. Wartawan kawakan. Ia meninggal dunia enam tahun yang lalu. Namanya WILLEM OLTMANS. Berbeda dengan banyak rekan-wartawan Belanda lainnya, ia punya penilaian tersendiri mengenai Sukarno. Baginya, Sukarno adalah seorang pemimpin nasional bangsa Indonesia dan Presiden pertama Republik Indonesia, telah memerdekakan bangsanya. Oltmans hormat dan mengaguminya. Wartawan Belanda itu, paling tidak selama sepuluh tahun, menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa Presiden Sukarno begitu dihormati, dicintai dan punya pengaruh amat besar di kalangan rakyatnya. Teristimewa di kalangan 'wong cilik', di kalangan kaum 'Marhaen'.

Dalam salah satu tulisannya, Willem Oltmans, menjelaskan bahwa di kalangan penguasa dan lapisan tertentu masyarakat Belanda, ketika itu, i.e dalam periode sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sampai periode setelah 1949, --- Sukarno adalah “Musuh-negara kita nomor satu”. Hij is “ Onze Staatsvijand nummer een”.

Tokh -- 'musuh negara nomor satu” itu, kepala negara dan kepala pemerintah Indonesia tsb, bagi Willem Oltmans, adalah “Mijn Vriend Sukarno”. Adalah “Sahabatku Sukarno”.

Kata Oltmans: Sikap dan pelbagai cerita tentang Sukarno yang begitu sering dan paling suka dimamah-biak di Belanda dan di Barat, bahkan di kalangan Indonesia tertentu , -- didasarkan pada 'reka-rekaan' saja. Muncul dari emosi yang disebabkan, akhirnya oleh kenyataan yang sulit mereka cernakan. Yaitu: “Dia itu, Sukarno, adalah pemenang yang tak diragukan lagi, dan bahwa kita orang-orang Belanda, telah bertindak sebagai orang-orang kalah yang menyedihkan (miserabel).

* * *

Bagaimana bisa begitu?
Bukankah tidak sulit mencari di Belanda, (ketika itu dan sampai sekarangpun) -- tokoh-tokoh politik, pemimpin-pemimpin masyarakat, termasuk dari kalangan gereja, apalagi di kalangan penulis, pakar dan media, di kalangan para mantan 'KNIL' dan 'KL', --- yang 'tidak suka' dan 'membenci' Sukarno. Pandangan mereka-mereka itu sama dengan pandangan penguasa Belanda zaman kolonial. Menilai bahwa Sukarno adalah “musuh negara kita nomor satu”. Menemukan orang-orang sinis yang 'anti-Sukarno' di Belanda samasekali TIDAK SULIT!!!

Dewasa ini, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung, masih terdapat orang-orang Belanda yang 'benci setengah mati' kepada Sukarno.

Begitu mendengar nama Sukarno, maka cepat saja berkomentar: 'Oh itu, si kolaborator Jepang itu! 'Oh itu, yang beristri lebih dari empat itu'. 'Oh itu, promotor konsep 'Demokrasi Terpimpin' yang 'telah gagal total' dan telah 'menjerumuskan' Indonesia'. 'Oh, itu, si 'diktator otoritér' yang berhubungan erat dengan Peking dan Moskow! Yang kerjasama dan Pro-PKI itu!'

Membantah fitnahan bahwa 'Sukarno kolaborator Jepang', Willem Oltmans mengingatkan pada buku-studi Prof. George McTurnan Kahin berjudul Nationalism and Revolution (1952). Di situ, (halaman 104 – 106) G.T Kahin menulis a.l.
“. . . . bahwa Sukarno menganggap Jepang sepenuhnya adalah fasis. Sukarno beranggapan bahwa ia dan kawan-kawan seperjuangannya harus menempuh cara perjuangan yang paling halu (subtiel), untuk menghindar dari berbentrokan dengan kekuatan (pendudukan militer) Jepang. Maka mereka bertindak sedemikian rupa sehingga Jepang menganggap mereka berkolaborasi”.

Seperti apa yang saya lakukan, kata Oltmans, Prof G.T. Kahin mengambil kesimpulan demikian itu, melalui proses penelitian terhadap Bung Karno, Hatta, Sjahrir dan banyak orang Indonesia lainnya.

* * *

Tidak sekali-dua kutulis, bahwa, masih ada, --- bahkan tidak sedikit jumlahnya orang-orang Belanda yang berpandangan w a j a r mengenai Sukarno dan Indonesia. Mereka mampu melihat realita dan menilai bahwa Sukarno, pertama-tama, adalah seorang pemimpin terkemuka perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Seorang pahlawan bangsa yang dicintai rakyatnya. Bahwa Sukarno adalah salah seorang terpenting pembangun NASION INDONESIA. Bahwa Sukarno adalah pejuang nasional yang telah memberikan segala-galanya yang terbaik dari hidupnya demi kepentingan bangsa dan tanah air Indonesia. Bahwa, --- adalah Sukarno yang menggali dari bumi Indonesia, dasar falsafah kenegaraan bangsa Indonesia. Serta dengan populer dan sistimatis merumuskannya, dalam pidatonya ( 1 Juni 1945) “LAHIRMYA PANCASILA”. Bahwa Sukarno adalah penggali falsafah PANCASILA yang kemudian menjadi dasar falsafah NEGARA REPUBLIK INDONESIA.

Orang-orang Belanda yang demikian itu, --- mampu melihat kenyataan sejarah, bahwa Sukarno termasuk salah seorang tokoh Asia-Afrika terpenting. Bersama tokoh-tokoh Asia-Afrika lainnya, seperti Nehru dan Gamal Abdul Nasser, yang telah mencetuskan Konferensi Asia-Afrika pertama. Bahwa visi pokok Sukarno mengenai kedudukan di dunia internsional dari bangsa-bangsa yang baru melepaskan diri dari kolonialisme dan imperialisme, adalah berdiri sendiri sebagai kekuatan politik yang BERDIKARI. Yang tidak berfihak ke blok-Barat maupun ke blok-Timur. Visi Sukarno: – Hanya dengan demikian negeri-negeri yang baru merdeka, bisa mempertahankan kemerdekaannya. Serta berkembang secara independen. Memainkan peranan sebagai kekuatan 'penyeimbang' antara blok-blok raksasa yang bertentangan di dunia. Dengan demikian bisa memainkan peranan positif dalam usaha perdamaian dunia di tengah-tengah berkecamuknya “Perang Dingin”.

Orang-orang Belanda tsb bisa menghargai kenyataan sejarah bahwa Sukarno adalah pembela dan pendukung kuat gerakan kemerdekaan nasional di Asia dan Afrika melawan kolonialisme dan imperialisme. Bahwa Sukarno adalah promotor persatuan Asia-Afrika, demi kemerdekaan nasional dan perdamaian dunia.

Selain tokoh-tokoh cendekiawan seperti, Prof. Bob Hering, Prof W.F. Wertheim dan banyak lainnya, WILLEM OTLMANS adalah salah satu dari oran-orang Belanda yang bisa melihat dengan obyektif peranan, pengaruh dan arti penting Sukarno bagi bangsa Indonesia. Bagi Asia-Afrika dan bagi Dunia Ketiga serta bagi dunia internasional.

Demikianlah, tulisan ini hendak mensosialisasikan pandangan yang realis, yang wajar, mengenai orang-orang Belanda. Agar 'kita-kita' ini, jangan memandang Belanda dengan 'kaca-mata' “HITAM-PUTIH” belaka.

* * *

Willem Oltmans bisa memahami dan mengagumi konsep politik kenegaraan yang dirumuskan Bung Karao dalam konsep “DEMOKRASI TERPIMPIN”. Hakikat Demokrasi Terpimpinnya Bung Karno, menurut Oltmans, seperti yang disampaikan oleh Bung Karno kepadanya, adalah – SEMANGAT GOTONGROYONG. Adalah konsep politik kenegaraan MUSYAWARAH DAN MUFAKAT!

Dalam pecakapannya dengan Sukmawati Sukarnoputri (1995), Oltmans menyatakan: “Selangkah-demi-selangkah Pesiden Sukarno menjelaskan:

Betapa sejak kemerdekaan tahun 1945 Presiden harus bermanuver di suatu sistim politik yang diimpor dari Barat. Suatu sistim politik yang mengakibatkan suatu 'situasi-Italia', dengan munculnya tiap tahun kabinet koalisi yang baru. Yang punya rencana lain dan tuntutan lain. Warisan kolonial antara lain terdiri dari suatu pemerintahan (birokrasi) model politik Westminster – yang terdiri dari 40 parpol yang dikepalai oleh wanita-wanita dan priya-priya yang saling-sirik dan selalu cekcok. “Sampai tahun 1955 Negara tak bisa dipimpin disebabkan oleh percekcokan politik”.

Willem Oltmans menjelaskan kepada Sukmawati, bahwa dalam tahun 1957 Sukarno menerangkan kepadanya, bagaimana beliau masih saja tidak bisa memberikan pimpinan politik, yang amat diperlukan Indonesia sebagai sebuah negeri berkembang yang prominen. Itulah sebabnya mengapa Bung Karno, melakukan segala sesuatu yang mungkin, untuk membalikkan suatu 'demokrasi-dimana mayoritas- selalu benar' – ke suatu cara pengambilan keputusan yang sesuai cara otentik-Jawa, yaitu suatu demokrasi dimana keputusan diambil melalui cara 'musyawarah-mufakat'.

Sukarno menjelaskan, seperti yang didengar sendiri oleh Oltmans, bagaimana selama ratusan tahun bangsa Indonesia mengatur kehidupan bermasyarakat, dengan mentrapkan cara 'musyawarh dan mufakat' – – – sampai tercapainya kesimpulan bersama.

Beribu-ribu tahun lamanya, seperti yang dijelaskan oleh Bung Karno kepada Cindy Adams, para kepala desa kami, memimpin pemerintahan setempat, dengan cara duduk berunding bersama, masing-masing memberikan pendapatnya dan masing-masing mendengarkan pendapat yang lain.

Willem Oltmans: Presiden Sukarno telah mengakhiri sistim demokrasi Barat, dimana sering terjadi SATU SUARA SAJA bisa menentukan. Kata Presiden Sukarno, 'pada kami tidak seorangpun sepenuhnya benar, dan bersamaan dengan itu, juga tidak seorangpun yang samasekali salah.

“Kami memilih suatu sistim dimana masing-masing merasa lega”.



* * *

Thursday, April 29, 2010

ERASMUS HUIS JAKARTA MEMPERINGATI MULTATULI

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
----------------------------
Kemis, 29 April 2010*


Pagi ini kuterima e-mail dari Paul Peters, Direktur ERASMUS HUIS Jakarta, sekitar:


-------------------------------------------------------------------------------------------
PERTUNJUKAN TEATER Dengan Judul
"MAX HAVELAAR SPEECH", di ERASMUS HUIS JAKARTA

Untuk MEMPERINGATI KELAHIRAN EDUARD DOUWES DEKKER,
alias MULTATULI dan ”PERAYAAN 150 TH BUKU MAX HAVELAAR”
--------------------------------------------------------------------------------------------


Bung Paul Peters y.b.,


Terima kasih atas informasi dan undangan untuk menghadiri PERTUNJUKAN TEATER DENGAN JUDUL
"MAX HAVELAAR SPEECH", untuk MEMPERINGATI KELAHIRAN EDUARD DOUWES DEKKER, alias

MULTATULI, penulis karya sastra roman kenamaan Belanda  "MAX HAVELAAR";

dan ”PERAYAAN 150 TH BUKU MAX HAVELAAR” pada tanggal 03 Mei jam 20.00 yad, di ERASMUS HUIS, JAKARTA.

Sayang sekali, kebetulan saya masih ada di Amsterdam.


Mengharapkan Sukses!


Salam takzim,
I. Isa
*) Ibrahim Isa adalah
Sekretaris Stichting Wertheim, Amsterdam
Publisis
-----------------------------------------------------------------------------

TERLAMPIR INFORMASI DAN UNDANGAN DARI PAUL PETERS:

Peters, Paul schreef:


message from Paul Peters
Director Erasmus Huis



 Theatre play “Max Havelaar Speech"

    Right-click here to download pictures. To help protect your privacy, Outlook prevented automatic download of this picture from the Internet.

*Please click attached PDF documentRight-click here to download pictures. To help protect your privacy, Outlook prevented automatic download of this picture from the Internet. Adobe Acrobat PDF pdfmaxhavelaar.pdf (312 Kb) *

*Senin, 3 Mei 2010 / Monday, 3 May 2010, 20.00, Erasmus Huis, Jl, H.R. Rasuna Said Kav. S-3, 12950 Jakarta, 021 - 5241069*

*Teater/Theater
Max Havelaar
Sutradara/Director: Rachman Sabur
Dalam bahasa Indonesia/ Language Indonesian*

Dalam rangka memperingati kelahiran Eduard Douwes, Dekker, nama pena Multatuli (1820-1887) dan perayaan 150 tahun tahun buku Max Havelaar. Yayasan Payung Hitam akan mempersembahkan pertunjukan teater dengan judul Max Havelaar Speech.
Pertunjukan ini adalah hasil kerjasama antara Payung Hitam, Erasmus Huis, Kedutaan Besar Kerajaan Belanda dan HIVOS.
Informasi: Rachman Sabur, 0813 - 9529 9157, Ade Ii Syarifuddin, 0813 - 2143 3943
Right-click here to download pictures. To help protect your privacy, Outlook prevented automatic download of this picture from the Internet. Emailadres payung_hitam82@yahoo.com

+++

To commemorate the birth of Eduard Douwes Dekker - pen name: Multatuli (1820-1887) and the 150th anniversary of his book Max Havelaar. Payung Hitam
Foundation will perform a theatre play called Max Havelaar Speech.
This play is a collaboration between Payung Hitam, Erasmus Huis, The Royal Netherlands Embassy and HIVOS.
Information: Rachman Sabur, 0813 - 9529 9157, Ade Ii Syarifuddin, 0813 - 2143 3943
Right-click here to download pictures. To help protect your privacy, Outlook prevented automatic download of this picture from the Internet. Emailadres payung_hitam82@yahoo.com

Tuesday, April 27, 2010

BONNIE TRIYANA Memperingati 150 Th “MAX HAVELAAR”

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Selasa, 27 April 2010
-------------------------------------------

Sejarawan Muda -- BONNIE TRIYANA
Memperingati 150 Th “MAX HAVELAAR”
* * *
Notisi:
Buku Mutatuli alias Eduard Douwes Dekker, -- “Max Havelaar, of de Koffiveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappy “,(Edisi Indonesia: “Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia Belanda” ) adalah novel pertama dalam sejarah literatur Belanda, yang begitu jelas MENGGUGAT FEODALISME (mengungkap sistim tanam-paksa) dan KOLONIALISME di Hindia Belanda.
Bicara tentang 'jembatan- awal' yang menghubungkan rakyat Indonesia dengan rakyat Belanda, adalah sikap dan pendirian Eduard Douwes Dekkter yang tercatat hitam diatas putih dalam sejarah hubungan kedua bangsa – – , itulah JEMBATAN-AWAL yang sesungguhnya yang menghubungkan rakyat Belanda dengan rakyat Indonesia.

Karya Eduard Douwes Dekker tsb, yang ditulisnya di sebuah kamar di Brussel (1859) dalam jangka waktu sebulan saja (!!), terbit pertama tahun 1860. Di Belanda novel pendobrak ini dinilai sebagai karya sastra Belanda terbesar. Sebagai mula langkah- pembaruan dalam sejarah sastra Belanda. Khususnya gaya penulisannya yang memelopori suatu pendobrakan terhadap penulisan novel tradisionil. Dunia pendidikan Belanda menjadikan karya Mutatuli itu sebagai bacaan wajib di sekolah-sekolah.

Edisi Indonesia pertama, terjemahan H.B. Jasin, terbit pada tahun 1972 dan dicetak ulang 1973.

* * *
Dalam rangka memperingati 150-th terbitnya buku Douwes Dekker alias Multatuli, “Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia Belanda”, yang diselenggarakan dengan pelbagai kegiatan di Amsterdam, punya gema yangnyata di Indonesia.
Sejarawan generasi baru Bonnie Triyana, mempersembahkan tulisannya sbb:

* * *

"MADU Dan RACUN di Rangkasbitung"
Bonnie Triyana, Sejarawan –
INI bukan roman tapi gugatan," demikian tema peringatan 190 tahun kelahiran Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Acara itu berbarengan dengan perayaan 150 tahun penerbitan Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia Belanda karya Multatuli, yang diselenggarakan di Belanda tahun ini. Dirayakan di tanah kelahirannya, Dekker dan Max Havelaar nyaris dilupakan di negeri yang pernah dibelanya: Indonesia.
Max Havelaar diajukan Universitas van Amsterdam sebagai salah satu warisan dunia. Karya itu pernah dianggap sebagai roman picisan berdasarkan khayalan belaka. Tak sedikit orang yang menganggap Multatuli manusia frustrasi yang menumpahkan kekecewaannya pada sosok Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanagara yang ia benci. Sempat pula muncul pernyataan bahwa Multatuli tak berbeda dengan orang Belanda kulit putih lainnya yang datang ke Indonesia dengan satu tujuan: menjajah.
Dekker alias Multatuli datang ke Rangkasbitung, Lebak, Banten pada pengujung Januari 1856. Posisi sebagai asisten residen ia dapatkan berkat lobi khusus E. de Waal kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist. De Waal-kelak menjadi menteri urusan daerah kolonial-adalah kerabat dekat Everdine Huberte Baronesse van Wijnbergen, istri Dekker.
Sebelum ke Rangkasbitung, Lebak, Dekker telah malang-melintang dalam berbagai penugasan sebagai amtenar-di Sumatera Barat, Karawang, Bagelen, Manado, dan Ambon. Penugasan ke Rangkasbitung adalah pengalaman baru bagi Dekker. Lebak, seperti beberapa daerah di Banten lainnya, adalah daerah minus yang menjadi ladang subur bagi tumbuhnya pemberontakan. Paling tidak ada dua pemberontakan besar yang terjadi pada abad ke-19: pemberontakan Haji Wakhia (1850) dan pemberontakan petani Banten (1888).
Beberapa pekan setelah tiba di Rangkasbitung, Dekker tidak menunjukkan tanda-tanda bermusuhan dengan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanagara. Ia malah pernah menawarkan uang kepada Bupati karena pejabat itu menanggung hidup banyak orang di luar keluarga inti. Hubungan baik yang dijalin oleh Dekker tampak dalam surat yang tak sempat ia kirimkan ke Gubernur Jenderal Van Twist. Kata Dekker, "Bupati adalah orang yang sangat menyenangkan."
Kalaupun Dekker mencium gelagat tak beres dari cara Karta Natanagara memerintah, ia tak langsung menegur. Dekker malah mengajak Bupati bicara dari hati ke hati layaknya sahabat. Patih Lebak yang menyaksikan pertemuan itu mengatakan baru pertama kali melihat pejabat Belanda bicara halus dan ramah. Pada waktu yang bersamaan, Natanagara sedang menyiapkan jamuan besar menyambut kunjungan Bupati Cianjur yang masih kerabatnya. Dekker mengulurkan tangan membantu perhelatan itu.
Tapi hubungan baik itu berubah ketika Dekker mendengar laporan janda C.E.P. Carolus tentang kematian suaminya yang tak wajar. Beredar kabar bahwa C.E.P. Carolus, asisten residen yang digantikan Dekker, tewas diracun oleh menantu Natanagara, Raden Wirakusuma. Sebelum meninggal, Carolus tengah menyusun laporan pelanggaran Bupati Lebak. Dekker menemukan dan membaca laporan itu.
Moechtar dalam bukunya Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Kebenaran dan Keadilan menyebutkan, setelah mendengar laporan janda Carolus dan menemukan laporan asisten residen nahas itu, Dekker menulis surat pengaduan kepada Residen Banten Brest van Kempen di Serang. Inilah awal dari semua konfrontasi.
Dalam surat tersebut Dekker mengusulkan agar Natanagara diberangkatkan secepatnya ke Serang untuk diadili. Raden Wirakusuma, Demang Distrik Parungkujang sekaligus menantu Bupati Lebak, diusulkan untuk ditahan. Dekker juga meminta pemerintah menahan semua orang, termasuk keluarga Natanagara, jika mereka diketahui menghalangi jalannya penyelidikan. Dekker meminta kasus Carolus diselidiki dan laporan atasnya disusun selengkap-lengkapnya.
Siapakah C.E.P. Carolus yang dalam roman Max Havelaar diwakili oleh karakter Slotering itu? Moechtar dalam buku yang sama mengemukakan bahwa Carolus digambarkan sebagai orang yang unik. Ia dapat berbicara dalam bahasa Sunda dialek Banten laiknya penutur asli. Istrinya pribumi yang tak bisa berbahasa Belanda. Kemampuannya berbahasa lokal membuatnya dekat dengan warga Lebak dan warga pun merasa nyaman melaporkan tindakan Bupati yang merugikan rakyat.
Ada versi lain mengenai kematian Carolus. E. du Perron dalam bukunya De Man van Lebak menulis bahwa sebenarnya Carolus telah lama mengidap sakit lever kronis dan pernah dirawat oleh dr Benzen dari Serang. Beberapa bulan sebelum Dekker datang menggantikannya, sakit Carolus bertambah parah. Benzen lantas menganjurkan agar Carolus dirawat di rumah sakit militer di Serang. Pada hari terakhir sebelum ajal datang menjemput, ia dibawa ke Serang dengan menggunakan kereta kuda yang dipacu kencang. Tubuh lemah Carolus semakin parah karena terguncang-guncang dalam perjalanan. Ia wafat tiga jam setelah tiba di rumah sakit.
Cerita orang diracun bukan pertama kali terjadi di Rangkasbitung. Syahdan tersebutlah Muller de Montigny, Asisten Residen Lebak yang bertugas di Rangkasbitung pada 1906-1908. Montigny dipecat karena dianggap tak bisa menjaga relasi baik dengan rekan sekerjanya. Berdasarkan laporan rahasia Residen Banten Overduyn tanggal 7 November 1907 Nomor 234/g kepada Direktur Departemen van Bineland Bestuur (Departemen Dalam Negeri) yang ditembuskan ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, disebutkan Muller de Montigny melakukan tindakan tak terpuji karena setiap hari memerintahkan bawahannya membawa perempuan untuk ditiduri.
Selain dituduh memelihara gundik dan terlibat dalam skandal seksual, Montigny dituduh terlibat dalam peristiwa peracunan seorang pejabat pribumi. Montigny menyangkal tuduhan itu dan balik menuduh ada konspirasi yang dirancang oleh Bupati Serang untuk meracun dirinya. Belakangan hari terbukti bahwa racun yang disebut-sebut oleh Montigny hanyalah obat penyubur jenggot.
Seperti Montigny, Residen Banten Brest van Kempen terlibat skandal perempuan. Berdasarkan cerita dari S. Hasselman-mantan Asisten Residen Pandeglang sebelum Dekker bertugas di Lebak-diketahui bahwa Bupati Lebak selalu mencarikan perempuan cantik untuk Kempen. Agaknya itulah yang membuatnya tak tertarik pada laporan Dekker tentang pelanggaran sang Bupati. Kempen punya kepentingan menjaga kasus itu agar tak melebar karena Bupati memegang kartu truf dirinya.
Dekker akhirnya dimutasi ke Ngawi, Jawa Timur, dengan pangkat lebih rendah. Ia menolak pemindahan itu dan mengajukan berhenti pada 29 Maret 1856 atau dua pekan setelah ia merayakan ulang tahunnya ke-36. Permohonan pensiun dini baru dikabulkan pada 4 April 1856. Setahun kemudian, Dekker kembali ke Eropa mencari pekerjaan yang tak pernah ia temukan. Dekker kemudian menyewa sebuah kamar hotel di Brussel, Belgia, tempat ia menulis roman Max Havelaar selama tiga minggu saja (17 September-3 November 1859).
Semua kejengkelannya di Lebak ia tumpahkan dalam roman tersebut. Besar kemungkinan kabar mengenai penderitaan rakyat Lebak secara lengkap ia ketahui dari laporan Carolus. Sementara itu, konfrontasi yang terjadi antara dirinya dan Bupati menurut hemat saya pertama-tama bukan karena cara Bupati mengeksploitasi rakyat Lebak, melainkan lebih karena perasaan esprit de corps yang muncul saat mendengar kabar peracunan terhadap Carolus. Dari laporan yang disusun Carolus pula Dekker bisa tahu lebih lengkap tentang kekurangcakapan Bupati Lebak menjalankan pemerintahan sehingga rakyatnya sengsara.
Ketika menulis Max Havelaar, Dekker sudah lebih berjarak dengan peristiwa Lebak, yang terjadi tiga tahun sebelumnya. Tampaknya jarak itulah yang membuat ia lebih mampu melihat peristiwa Lebak sebagai bagian kecil dari dampak kolonialisme yang lebih luas lagi. Dalam Max Havelaar ia pun tak hanya menggugat Bupati Karta Natanagara, tapi lebih jauh lagi ia menggugat kolonialisme yang dijalankan oleh bangsa terhadap rakyat di Hindia Belanda.
Penting juga digarisbawahi peran C.E.P. Carolus dalam mengungkap pelanggaran yang dilakukan Bupati Karta Natanagara. Carolus adalah orang yang pertama kali menyelidiki pelanggaran itu untuk kemudian dilanjutkan Dekker ketika Carolus meninggal. Max Havelaar yang ditulis Dekker bak bola salju yang menggelinding-membawa perubahan di Hindia Belanda dan memberi inspirasi banyak tokoh nasionalis dalam perjuangan membangun nation-state Indonesia.

* * *

Monday, April 26, 2010

“Mijn Vriend SUKARNO” – Willem Oltmans

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Senin, 26 April 2010
----------------------------------
“Mijn Vriend SUKARNO” - Willem Oltmans


* * *
“MIJN VRIEND SUKARNO”, dalam bahasa Indonesia “SAHABATKU SUKARNO”, adalah buku yang ditulis oleh wartawan kawakan Belanda, Willem Oltmans (10 Juni 1925 – 30 September 2004). Willem Oltmans telah menulis banyak buku. Yang terpenting antaranya adalah “MJJN VRIEND SUKARNO” (1995, Penerbit Het Spectrum BV, Utrecht). Supaya jangan salah faham, tulisan ini bukan sebuah 'pembicaraan i s i buku'. Tujuan utama penulisan ialah sebagai tambahan untuk 'mengenal' Bung Karno, melalui 'cerita' yang dituturkan oleh Willem Otlmans.

Suatu hal yang mutlak bila hendak 'mengenal Bung Karno', jalan terbaik adalah dengan teliti membaca buku beliau “DI BAWAH BENDERA REVOLUSI”, Jilid I dan II; Kemudian dua jilid buku penting adalah: 'REVOLUSI BELUM SELESAI, Jilid I dan II. Sebuah Kumpulan 100 Pidato Presiden Soekarno ( 30 September 1965 – 13 Februari 1966). Penyunting: -- Budi Setiyono dan sejarawan muda Bonnie Triyana. Buku-buku tsb teramat penting! Karena di situ bisa dibaca tentang politik dan visi Bung Karno, mengenai Indonesia dan dunia. Juga tentang perkembangan politik sesudah 'G30S'; penjelasan berulang kali Presiden Sukarno bahwa 'Superemar' bukanlah 'penyerahan kekuasaan' kepada Jendral Suharto; dan bahwa Presiden Sukarno sampai akhir menentang dibubarkannya PKI.

Selain itu masih ada buku penting lainnya mengenai manusia langka, pemimpin besar bangsa Indonesia Sukarno, mengenai politik serta visinya. Buku itu berjudul SUKARNO AN AUTOBIOGRAPHY, As Told to Cindy Adams, 1965. Buku ini barangkali adalah yang terpenting untuk mengenal Bung Karno. Karena di situ Bung Karno bicara s e n d i r i mengenai dirinya; tentang Indonesia dan dunia internasional. Mengenai pengalaman dan apa yang dianggapnya sudah ia capai selama hidupnya berjuang untuk bangsa Indonesia.

Sebuah buku lagi ialah : “SOEKARNO, FOUNDING FATHER OF INDONESIA”, 2002, karya riset dan studi Prof. Dr Bob Hering. Penerbit KITLV, Leiden. Diluncurkan di KBRI Den Haag, wilayah Republik Indonesia, atas permintaan penulisnya sendiri.

* * *

Menyatakan 'mengenal', apalagi 'tau' tentang politik dan visi Bung Karno, tanpa membaca dan mempelajari dengan seksama buku-buku tsb, --- sama saja dengan 'cakap-cakap angin'. 'Cakap angin' seperti itu tak usah diperlakukan serius.

Di luar buku-buku tsb, masih ada banyak sekali buku dan tulisan mengenai Bung Karno.

Antara lain oleh pakar/penulis Belanda, Lambert Giebels, berjudul: SOEKARNO Nederlandsch Onderdaan – Een biografie 1901 – 1950. Buku Giebels yang kedua ialah “SOEKARNO PRESIDENT, Een biografie 1950-1970.

Satu buku lagi yang ditulis oleh pakar Australia J.D Legge, berjudul SOEKARNO A Political Biography”.

Barangkali masih perlu disebut satu buku lagi tentang Bung Karno.Yaitu yang ditulis oleh seorang pakar Jerman, Bernhard Dahm, berjudul “SUKARNO'S KAMPF UM INDONESIENS UNABHANGIGKEIT”, Kiel, 1964.

* * *

Dari sekian banyak pakar, penulis atau wartawan yang pernah menulis tentang Bung Karno, --- bisa dikatakan, wartawan asing, yang terdekat dengan pribadi Bung Karno, a.l. adalah wartawan Amerika CINDY ADAMS dan wartawan kawakan Belanda WILLEM OLTMANTS. Cindy Adams adalah wartawan yang menuliskan otobiografi Bung Karno, menurut apa yang diucap oleh Bung Karno dengan kata-katanya sendiri. Sedangkan Willem Oltmans adalah wartawan Belanda yang karena kedekatannya dan dukungannya kepada Presiden Sukarno, pemimpin bangsa dan perjuangan rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat, -- telah di -'persona-non-gratakan' dan diisolasi sedemikain rupa, praktis membikin Oltmans tidak bisa lagi melakukan profesinya sebagai wartawan Belanda. Sehingga Oltmans harus hidup bertahun-tahun lamanya dari tunjangan.

Perlakuan yang demikian kejamnya oleh pemerintah Belanda ketika itu berlangsung selama 47 tahun. Hanyalah di periode pemerintah PM Lubbers, Willem Otlmans bisa mengadjukan tuntutan terhadap pemerintah Belanda periode Luns, di muka pengadilan Belanda. Setelah 47 tahun diisolasi dan menjadi 'pariah', melalui proses hukum di pengadilan akhirnya Oltmans menang. Pemerintah Belanda disalahkan. Oltmans 'direhabilitasi' dan negara harus membayar ganti rugi kepada Willem Oltmans sebanyak 8 juta gulden.

Bisa dipastikan bahwa memang Willem Oltmans adalah orang Belanda yang paling akrab dengan Presiden Sukarno. Hanya Willem Oltmans yang oleh Presiden Sukarno pernah diberi sebuah foto-pribadi beliau. Lagipula dengan tulisan tangan dan ditandatangi dibawahnya oleh Presiden Sukarno sendiri. Berikut ini tertulis dalam tulisan Bung Karno sendiri di bawah fotonya itu:

“VOOR WIM OLTMANS MET MIJN BESTE DANK. SOEKARNO', 4/9 – 1957.

'Persahabatan' antara Bung Karno dengan Willem Oltmans, memang punya sejarah jauh ke belakang. Jelas pula BERLATAR BELAKANG POLITIK. Yaitu politik sikap peduli dan simpati serta menyokong perjuangan rakyat Indonesia di bawah Presiden Sukarno membebaskan Irian Barat dari kekuasaan kolonialisme Belanda.
Oltmans juga amat mengagumi Bung Kano sebagai pemimpin bangsa Indonesia, yang telah memperuntukkan seluruh hidup dan jiwa raganya, demi kepentingan nasion Indonesia.

Berbeda dengan Cindy Adam, wartawan Amerika yang menuliskan otobiografi Bung Karno dari ucapan kata-kata Bung Kanro sendiri --- Willem Oltmans berhasil menjalin hubungan pribadi yang sedemikian eratnya itu. Memang, Willem Oltmans mengenal Bung Karno sejak tahun 1956. Cindy Adams baru belakangan.

* * *

Perkenalan Willem Oltmans dengan Presiden Sukarno, sebenarnya, termasuk 'kebetulan'. Ketika itu, 1956, Presiden Sukarno sedang berkunjung ke Roma, Itali. Willem Oltmans, pas sedang bertugas di Roma. Sebagai wartawan s.k. Belanda De Telegraaf.

Suasana hubungan politik Indonesia-Belanda sedang tegang.  Bahkan berkembang menjadi 'panas'. Karena Belanda ngotot berkeras-kepala hendak mempertahankan Irian Barat di bawah kekuasaan Den Haag. Sedangkan bangsa kita di bawah pimpinan Presiden Sukarno sedang dengan gencar-gencarnya meningkatkan perjuangan pembebasan Irian Barat. Baik dibidang politik maupun di bidang militer. Karena Belanda sudah mulai memperbesar kekuatan marine dan angkatan lautnya di Irian Barat (Nieuw Guinea, ketika itu).

Mengantisipasi bahwa Willem Oltmans akan berusaha menemui Presiden Sukarno, pemimpian redaksi s.k. 'De Telegraaf', yaitu bosnya Willem Oltmans – J.J. Stokvis – tegas melarang Willem Oltmans menemui Presiden Sukarno. Oltmans tidak peduli larangan majikannya itu dan tokh berusaha dan berhasil menemui Presiden Sukarno di Roma. Serta-merta Willem Oltmans dipecat dari s.k. 'De Telegraaf'.

Willem Oltmans punya pendirian yang samasekali bertentangan dengan politik Den Haag sehubungan dengan Indonesia. Oltmans terang-terangan melawan politik Menlu Belanda ketika itu, J. Luns. “Keberanian” Willem Oltmans yang terang-terangan menentang politik pemerintah Belanda bersangkutan dengan Indonesia, menyebabkan Willem Oltmans seumur hidup diperlakukan  sebagai 'persona non grata' oleh pemerintah Belanda.

Tahun 1956 itu Willem Oltmans berkunjung ke Indonesia, dan menjadi sahabat pribadi Presiden Sukarno. Dari Indonesia Oltmans berseru kepada pemerintah Belanda agar segera menghentikan politik kolonialnya terhadap Indonesia menyangkut kasus Irian Barat.

Akibat kontan dari sikap Oltmans ini, tulisan-tulisannya yang memberikan gambaran lebih obyektif tentang rakyat Indonesia dan perjuangannya, ditolak s.k. 'de Nieuwe Rotterdamse  Courant'. Sebelumnya tulisan Oltmans biasa dimuat oleh  s.k. 'de Nieuwe Rotterdamse Courant'. Tetapi setelah ia dipersona nongratakan oleh pemerintah Belanda, praktis tak ada media Belanda yang bersedia memuat tulisan Oltmans. Wartawan Willem Oltmans diboikot total oleh media Belanda. Kementerian Luarnegeri Belanda mengirimkan instruksi ke segenap perwakilannya untuk melaksanakan pemboikotan dan pengkucilan terhadap Willem Oltmans.

Sepuluh tahun lamanya, wartawan Belanda,  mengikuti Presiden Sukarno dari dekat. Oltmans menyertai Presiden dalam kunjungan beliau ke daerah-daerah maupun ke luar negeri. Antara lain ke Washington dan New York.

Saturday, April 24, 2010

SEJAUH MANA “DEMOKRASI”

Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 24 April 2010
-----------------------------

SEJAUH MANA “DEMOKRASI”
Yang Bung YUSRIL PERJUANGKAN?

Sungguh menarik! Juga signifikan pernyataan mantan Menteri Menkumdang Yusril Izha Mahendra di Medan kemarin, 23 April 2010. Begini beliau nyatakan: “Dari seluruh pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, hanya terdapat dua Pemilu yang berlangsung dengan baik. Yakni Pemilu tahun 1955 dan tahun 1999”. Pemilu terakhir tahun 2009 lalu dinilai sebagai Pemilu terburuk dari sisi pelaksanaannya.

“Pemilu Terbaik di Indonesia Tahun 1955 dan 1999”. Begitu disimpulkan Yusriln Ihza Mahendra..

Kepedulian dengan perkembangan 'demokrasi' di negeri kita, adalah sesuatu yang patut dihargai. Apalagi bila sikap tsb datang dari seorang tokoh parpol Muslim seperti Yusril Ihza Mahendra, Ketua Majlis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB).

Kita masih ingat suara sumbang bersangkutan dengan hak-hak demokrasi yang datang dari tokoh partai Islam lainnya, Hamzah Haz. Ketika itu dr Ciptaning, salah seorang kader muda PDI-P, dewasa ini anggota DPR dan salah seorang Ketua PDI-P, meluncurkan bukunya berjudul “AKU BANGGA JADI ANAK PKI”. Wapres periode itu, Hamzah Haz, ketua PPP, menuntut agar buku dr Ciptaning itu dilarang. Tidak boleh terbit. Hamzah Haz mengingatkan pada ketetapan MPRS yang sudah dibongkar-pasang oleh Suharto. Yaitu Tap MPRS No XXV, 1966, yang melarang Marxisme/Leninisme dan PKI. Kita juga ingat pernyataan tokoh besar dan kiayi Islam Abdurrahman Wahid, bahwa Tap MPRS No XXV, Th 1966 itu bertentangan dengan UUD RI, bertentangan dengan hak-hak demokrasi.

Suatu ketika, Menteri Menkumdang dalam kebinet Gus Dur, Yusril dikirim Presiden Abdurrahman Wahid ke Den Haag, Holland, a.l untuk melaksanakan Instruksi Presiden No.1 Tahun 2001. Instruksi Presiden tsb adalah dalam rangka pelaksanaan 'politik rekonsialiasi' Presiden Wahid. Dalam hal ini menyangkut ratusan warganegara RI yang oleh Presiden Wahid disebut 'orang-orang yang terhalang pulang”. Mereka-mereka itu paspornya telah dicabut penguasa dengan sewenang-wenang. Padahal mereka adalah warganegara yang setia kepada Presiden Sukarno. Perlakuan sesewenang-wenang tsb dilakukan atas tuduhan 'terlibat dengan G30S'. Alasan sesungguhnya ialah karena mereka-mereka itu menolak mengutuk Presiden Sukarno yang dituduh terlibat, bahkan dituduh sebagai 'dalang' G30S. Parahnya ialah, pada saat penguasa Jendral Suharto bertindak demikian itu, Ir Sukarno formalnya masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Sungguh ironis: Presiden Sukarno dituduh dalang G30S, yang dikatakan melakukan kudeta terhadap Presiden Republik Indonesia. Apa hendak dikata. Seluruh pendukung Orba, termasuk yang sekarang ini berkuasa, menerima absurditas dan kebohongan penguasa ketika itu.

* * *

Tahun 2001 itu Menteri Menkumdang Yusril Izha Mahendra mengadakan pertemuan dengan ratusan 'orang-orang yang terhalang pulang' tsb. Kebetulan penulis ini juga hadir di situ. Diggunakan kesempatan itu untuk mengajukan tuntutan agar Tap MPRS No. XXV/1966 segera dicabut. Reaksi Yusril: Itu ketetapan MPRS, maka hal itu adalah urusan MPRS. Yusril menyatakan bahwa ia tak berwewenang.

Namun, Yusril merasa gembira dan bangga bisa melaksanakan Instruksi Presiden No. 1 Th 2001. Ia akan mengurus para warganegara yang paspornya dicabut dengan sewenang-wenang oleh Orba, agar bisa segera pulang kembali ke tanah air. Tanpa melalui macam-macam prosedur. Pokokny akan dipermudah. Yusril menyatakan bahwa Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, punya 'political will' untuk mengurus masalah tsb. Tentu pernyataan tsb disambut dengan gembira.

Catat ini: Jiwa kebijaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Th 2001, ialah 'REKONSILIASI'. Hakikatnya 'merehabilitasi' para warganegara yang telah diperlakukan tak adil, difitnah dan dituduh menyangkut Peristiwa 1965. Mereka-mereka itu diburukkan nama baiknya dan dijadikan orang 'kelayaban' sepanjang lebih dari 32 tahun Orba. Dalam periode itu Presiden Wahid secara khusus mengunjungi Pramudya Ananta Tur di rumahnya, seorang eks-tapol Pulau Buru. Wahid hendak mendemonstrasikan dan mensosialisasikan 'kebiajakan rekonsiliasi' dan 'kebijakan rehabilitasi'nya pada seluruh bangsa dan kepada dunia luar. Realita menunjukkan bahwa, meskipun REFORMASI sedang bergelora, kekuatan anti-demokrasi di negeri kita masih unggul terbanding kekuatan pro-demokrasi.

* * *

Celakanya Yusril mundur teratur, lupa pada janjinya akan melaksanakan Instruksi Presiden Wahid. Penyebabnya: Ramai-ramai yang ditimbulkan oleh parpol Islam – termasuk parpolnya sendiri PKB – dan golongan anti-demokratis lainnya. Mreka menuding Yusril akan membawa pulang 'orang-orang PKI'. Sampai jatuhnya pemerintah Wahid Instruksi Presiden No. 1 itu t i d a k dikutik-kutik lagi. Di 'peti-eskan'. Termasuk dipeti-eskan oleh pemerintah Presiden Megawati yang menggantikan Presiden Wahid.

Episode dalam sejarah ini jangan sampai dilupakan. Bicra soal demokrasi, soal rehabilitasi dan rekonsiliasi tidaklah sukar. Tetapi melaksanakannya: ITU SOAL BESAR. Indonesia masih dikuasai oleh politisi-politisi, militer dan polisi, serta birokrasi yang samasekali tidak menghendaki demokrasi dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.

Pemberlakuan Demokrasi berarti setiap warga Republik Indonesia, punya hak kebebasan berekspresi. Punya hak berorganisasi, berdemonstrasi, melakukan pemogokan. Punya hak mendirikan parpolnya sendiri menurut keyakinan masing-masing. Apakah itu keyakinan demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin ataupun demokrasi religius menurut kepercayaan masing-masing. Apakah itu faham nasionalisme, faham Islamisme, ataupun faham Komunisme. Semuanya berhak untuk berfaham menurut keyakinan masing-masing.

* * *

Yusril menyatakan bahwa pemilu 1955 adalah pemilu yang demokratis. Setuju dengan peranyataan ini. Satu catatan: Ketika itu semua parpol: yang menganut Nasionalisme, ya penganut Islamisme, penganut Kristianisme, ya penganut Komunisme, --- bisa melaksanakan hak azasi berparpol dan ambil bagian dalam pemilu. Demokrasi diperlakukan menurut undang-undang pemilu yang disahkan oleh DPR.

Maka boleh dinyatakan bahwa Pemilu 1955 adalah pemilu yang paling demokratis di sepanjang sejarah Republik Indonesia. Dan ini berlaku di bawah Presiden Sukarno, di bawah suatu pemerintahan yang sering dicibirkan sebagai pemerintah ORLA, Orde Lama.

Di periode Orba, demokrasi sepenuhnya dipasung! Yusril juga tidak mau menyebut satupun dari pemilu yang diadakan di zaman Orba sebagai pemilu yang demokratis.

* * *

Menyatakan PEMILU 1999 sebagai salah satu pemilu yang demokratis di Indonesia adalah keliru. Samasekali keliru!

Karena pemilu tsb diadakan ketika TAP MPRS No XXV/1966, masih berlaku. Ketika salah satu parpol penting di Indonesia, Partai Komunis Indonesia, dengan sewenang-wenang, diluar kebijaksanaan Presiden Republik Indonesia Ir Sukarno ketika itu, dicabut hak eksistensinya dan hak ambil bagian dalam pemilu. Presiden Sukarno menentang dibubarkannya PKI oleh penguasa militer Jendral Suharto.

Pemilu 1999 berlangsung, juga ketika Partai Sosialis Indonesia (PSI), Masyumi dan Partai Murba telah dibubarkan oleh pemerintah. Tindakan pemerintah tsb dilakukan di luar prosedur dan proses hukum. Oleh karena itu bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Hanyalah bila larangan atas partai-partai tsb dicabut oleh pemerintah, dan mereka dibolehkan ambil bagian dalam pemilu, barulah bisa dikatakan bahwa pemilu yang demikian itu demokratis.

Maka diajukan pertanyaan tsb diatas:

SEJAUH MANA “DEMOKRASI”
Yang Bung YUSRIL PERJUANGKAN?

Kepedulian dan keterlibatan tokoh parpol Islam, Yusril Izha Mahendra pada pemberlakuan demokrasi, pasti disambut dengan lega oleh para penggiat demokrasi. Orang belum lupa bahwa Meneteri Menkumdang ketika itu Yusril Ihza Mahendra, sutau ketika menyancam akan keluar pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ketika Prsiden berniat untuk membatalkan, mencabut kembali Tap MPRS Th XXV/1966, yang jelas bertentangan dengan UUD RI dan HAM.

* * *

Apakah Yusril masih mempertahankan Tap MPRS No. XXV/1966 yang anti-demokratis itu? Beliau sendiri yang bisa menjawabnya.

Membela dan memperjuangkan prinsip dan hak-hak demokrasi tidak mungkin dilakukan secara 'selektif'.

Itu namanya MUNAFIK!!

* * *

Wednesday, April 21, 2010

IBRAHIM ISA'S FOCUS: On “KARTINI DAY”

IBRAHIM ISA'S FOCUS:
On “KARTINI DAY”, 21 APRIL 2010
----------------------------------------------------------------------------------
WOMEN'S RIGHTS IN INDONESIA
April 21, 2010 – Nurfika Osman & Ismira Lutfia
As Indonesia Celebrates Kartini Day, Observers Say Women’s Rights Lacking
If Indonesia were to be graded on its efforts to empower women and uphold their rights, it would score poorly, according to activists and academics.
The country today marks Kartini Day, which celebrates the Indonesian heroine who led the struggle for women’s equality. Indonesia’s efforts to empower women, however, have been hampered by the weak implementation of laws designed to accomplish that goal, and other pieces of legislation that are seen to infringe upon the rights of women.

Ida Rowaida, head of the gender studies department at the University of Indonesia, told the Jakarta Globe that Indonesia had made progress with the passage of the 2007 Law on Trafficking, the 2004 Law on Domestic Violence and a new law on gender equality, which is currently being drafted. She said the laws should serve as a legal reference to ensure that all government policies are gender sensitive.
“However, we have not seen the translation of these laws in the field,” she said.

Mariana Amiruddin, executive director of Jurnal Perempuan, a women’s rights magazine, said no significant achievements had resulted from these laws, as “many people do not even understand the definition of gender and women’s empowerment.”
There is a severe lack of awareness, Mariana said. In the case of trafficking, for example, “how can people implement the law when they do not understand what trafficking is? Government programs have not reached targets,” she said. “Ask people in villages that have many cases of trafficking. They do not know anything about it.”
The 2008 Anti-Pornography Law, recently upheld by the Constitutional Court, the existence of more than 150 discriminative bylaws that still have not been annulled despite repeated calls and the proposed law on marriage were cited as huge setbacks to women’s rights.

The wife of late former President Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah, said legislation such as the Anti-Pornography Law “put barriers on women.”

Mariana criticized the government for its failure to annul 154 bylaws nationwide that are considered discriminatory, 64 of which discriminate against a woman’s right to freely express herself and women’s right to gainful employment.

“This is a reality in our society and this shows backwardness,” she said.

Ida said these discriminatory laws “are showing us how the state views women. The concept of gender and equality remains a big question mark. How can we implement a gender-sensitive budget and so on?” she said, referring to the State Ministry for Women’s Empowerment and Child Protection’s push for seven ministries to implement a gender-responsive budget system.

Kasmawati, the deputy for public institution empowerment at the ministry, acknowledged that women’s development in Indonesia was still far from satisfactory, based on the United Nations Development Program’s Gender Development Index. In a report released in March, Indonesia ranked 90th out of 156 countries in the index for 2009, down from the 80th position it held in 2007.

“We are still lagging behind and we still have to work hard to catch up because women are still marginalized even though there are laws [on women’s rights],” she said.
To address the issue of discriminatory laws, she said female lawmakers should be empowered by the political parties they represent. “The parties have to fully support them so women’s rights are upheld,” Kasmawati said.

She also applauded the House for having some male lawmakers who had good gender perspectives, but said that “we need more of them.”

Sinta and Ida said the prevailing culture was to blame for many of the problems. “Structural intervention such as in law is important, but cultural intervention such as education is more important,” Ida said. “There are people who see gender as a threat.”
Sinta said that barriers to proper implementation of the gender laws sometimes came from women themselves. “They relish their subordinance [to men].”
Maria Farida Indrati says women must lead the fight for their rights.
-----------------
Judging by Her Record, Maria Farida is Not Afraid to Stand Out
The no-nonsense, matter-of-fact qualities that impress most who met Maria Farida Indrati belie the warmth and friendliness underneath. Maria, 60, is not your stereotypical Javanese woman.

Not only is she the country’s first woman to sit on the Constitutional Court, she has also distinguished herself with dissenting opinions on three major verdicts ­— setting aside a number of seats in the legislature for women, the Anti-Pornography Law and on Monday the Blasphemy Law. To mark Kartini Day, Maria shares her views on how far the country’s women have made it with Jakarta Globe reporter Ulma Haryanto.

On gender equality and women empowerment:
I am still optimistic that Indonesian women can achieve progress, but this is largely dependent on the women themselves. I don’t like it if we, as women, want to progress but we always keep asking for things.

We have to show that we can succeed. The problem in Indonesia is education. Boys are still given preference over girls in getting education.

On the prevailing patriarchal culture:
Turning a rule or regulation upside down is easy, but that’s not so with cultural ideas such as not pursuing higher education because it would make it difficult to get a husband.
We have to bring an understanding to women that they have to have something to hold on to, not just their husband. Women should be empowered through education.

On whether there are enough legal means to protect women:

It is not about being sufficient or not, because the Constitution already offers protection to everyone, so there is no discrimination. But in its application it is something different, such as an employment regulation that does not allow someone to marry or have children.
On whether women need to get special rights?
Special rights can be requested but we should not be constantly nagging for it. For example, special health rights for pregnancy is okay, but don’t overdo it.

On the Marriage Law :

We should be careful on things that involve family, such as inheritance and marriage, because a law has to be applicable nationally. If we look at the Marriage Law, we have to look at religion, morality and custom, and these conditions can be very different in each case.

On her seat at the court:

I have personal conflicts in my job because I used to be a consultant for lawmakers and now I have the power to review the law. Now I am still giving advice, not directly but through my writings. I do not want to have any conflict of interest when a law involving by input has to undergo a judicial review at the Constitutional Court.

On her dissenting opinions:

We agree to disagree. At the Constitutional Court I can dissent or disagree with the others, and they will accept it. Nobody will try to persuade me.
On being the sole woman on the Constitutional Court:
Being a woman does not mean I am treated differently by the other judges. We have a great mix in the team, different cultural backgrounds and different experience and expertise.

On the reason for keeping her teaching job at the law faculty at University of Indonesia:
It’s a way to challenge myself .... If I don’t teach it would be tempting for me not read or not learn anything new.

On how she came to become a Constitutional Court judge:
Eight female rights organizations urged me to become a judge but I rejected their request because I like teaching. But then the president himself asked me. I thought it would be arrogant to deny his request.
--------------
Indonesian Women’s Efforts to Protect Planet Overlooked
Saving the environment, as they say, starts in the home, and for some women even a small contribution can make a difference.
Ima, a 41-year-old working mother, for instance, has always taught her young children not to leave the faucet running or lights on around the house.
“Most of the time, I am very, very strict with my kids about saving water and saving electricity — not only to control expenses, but I want them to be grateful and appreciate what they have and others don’t,” she said.

“This is also my way of introducing lessons about nature and the environment to my kids, because you can’t really expect them to grasp the idea of saving the environment through sophisticated scientific jargon.”
Simple things, Ima said, not only contributed to present conservation efforts but also to ensuring the planet’s preservation for future generations.
“I believe that what we’re trying to do in our homes will eventually have an effect on saving the earth, no matter how little our actions are,” she said.

This week, as the country marks Earth Day today and Kartini Day on Wednesday, in honor of Indonesia’s first women’s rights advocate, environmental activists have been highlighting the crucial role women play in protecting Mother Earth.
Rotua Valentina Sagala, a campaigner for both women’s rights and the environment, said women were often undervalued when it came to environmental issues.

“Women’s role in protecting the environment is very significant, for the fact that, in Indonesia, lots of women are still living in rural areas where they are more in touch with nature. They usually also have more enthusiasm for environment-related issues, such as reforestation,” she said.
Women in rural areas, said Valentina, who is the founder of the Women’s Institute Foundation, were rich in local wisdom that placed women in the nurturing role of keeping the balance between human beings and nature.

“One of women’s special abilities is to detect early problems. Women have more sense for prevention rather than cure,” she said. “ But this has never been noticed by the government, even on an international level.”
Puspa Dewi, from the Women’s Solidarity organization, said women’s environmental roles had been marginalized in society, particularly in rural areas.

“Women-specific roles have been disappearing with advances in technology, especially for rural women, where one of their specific tasks was to sort and choose seeds,” she said.
“Their job was replaced by tools that are mostly operated by men, such as tractors.”
Puspa said the government’s preoccupation with quantified data meant that it had failed to address the growing gender inequality in society.

“For instance, the government only looks at how much land or agriculture has been changed into sites for mining, causing women to lose their jobs or, additionally, maybe leaving them to face abuse from their husbands because they are stressed from losing their jobs as farmers,” she said.

“This is not to mention health issues because of these changes. These are the indicators and results of environmental destruction, but this is never taken into account,” she added, saying that many women still faced difficulties speaking up on these issues.
Puspa said gender sensitivity was needed at the policy-making level. “It means that all of our policies should also need to measure how it impacts on women’s roles and their livelihood sources,” she said.
“We are not talking about having a 50-50 share on places in government anymore.”

Meanwhile, Valentina criticized the State Ministry for Women’s Empowerment and Child Protection for failing to promote women’s interests in environmental issues.
“There was a movement by Ani Yudhoyono to plant one million trees, but unfortunately it just turned out to be a ceremonial activity,” she said, referring to the first lady. “Women’s issues, instead, should have been integrated into strategic environmental planning, starting from the planning stage to implementation, until evaluation. Women should even be involved in discussions at the international level.

“Through gender mainstreaming in this process, we will only then know where women stand in these areas.”
Valentina said the government should be more proactive in recruiting women to help solve lingering development problems, including environmental issues.
“On the domestic front, there was a presidential instruction in 2000 to promote gender mainstreaming in national development, which should be used to reinforce women’s involvement in environmental issues,” she said.
But she added that women’s roles should not be differentiated between domestic and global interests. “What those women do in their homes, starting with saving electricity or water, is actually to save this planet. There’s a strong connection between so-called domestic chores and global interests,” she said.

“But again, leaders and politicians fail to acknowledge these simple actions on climate change that are mostly done by women, while they continue to pronounce loudly that saving the earth should start in the home.”
------------------
Saskia Eleonora Wieringa:
Debunking myths on Indonesian women’s movements
The Jakarta Post   |  Wed, 04/21/2010 3:59 PM  |  People
Dian Kuswandini
Little Saskia Eleonora Wieringa felt tortured every time her parents asked her to dress up like a girl.
“I’ve always been a bit of a tomboy,” recalled the 60-year-old professor from the University of Amsterdam. “My parents were angry at me. They wanted me to dress up like a girl.”
So, Wieringa’s rejection of gender stereotypes started at an early age.
“The culture in the Netherlands was so patriarchal back then. It was torturing me,” she confessed. “Women were taught to be housewives. I couldn’t agree with that. I didn’t want to be a housewife.
“I wanted equality; I wanted freedom,” she added.
Wieringa then found her freedom during her university years in the mid 1970s, when she occupied herself with women issues. At that time, she founded several women’s organizations and published journals highlighting women issues.
Her interest in women issues led her to visit Indonesia in 1977. At the time, her goal was only to complete her academic research on women batik workers in Surakarta, Central Java. The supposedly short-visit, however, became a lifetime attachment for her, as Wieringa spent years doing research on the outlawed Gerwani (the Indonesian Women’s Movement).
“At first, when I started my research on the women batik workers, I found out these workers lived in very poor conditions,” Wieringa said during her recent visit to Jakarta for the Festival April event. “At that time, I thought I should share this problem with local women groups.
“I met with women groups like Dharma Wanita, Dharma Pertiwi and PKK [Family Empowerment and Welfare Movement], but I was very surprised to learn that these groups only carried out activities like cooking and costume shows – things that looked silly to me.”
Wieringa had her own reason to feel surprised. Back in the Netherlands, she said, she had heard about a very influential wo-men’s movement from Indonesia, called Gerwani. Gerwani members, she said, were known to be smart and prominent in defending women’s and workers’ rights at many international forums.
“So, at that time, I was wondering, what has happened to Gerwani? Where are its members?” she said. “I asked many locals about Gerwani, and their responses were: ‘Ooow, yes we know Gerwani – they were all prostitutes.’”
The responses surprised Wieringa, because she had heard that Gerwani was a socialist movement, and that socialism was against prostitution. In addition to that, she understood that Gerwani was totally against polygamy, making her believe that the rumor that Gerwani’s members were involved in sex parties must be nothing but slander.
“I sensed something wrong was going on and that was how I started to find more information on Gerwani for my research,” said Wieringa of the movement banned by former president Soeharto following the alleged 1965 coup attempt by the subsequently outlawed Indonesian Communist Party (PKI). In the tragic events that followed, six military generals and an officer was killed, and Gerwani – said to be an affiliate of the PKI – was deemed responsible for torturing them to death.
But the more Wieringa studied Gerwani and the accusations made against it, the more she had questions dancing in her mind.
“There’s no way girls aged 13 to15 would mutilate the private parts of those 60-year-old something generals,” she said. “It’s illogical. Where would those very young girls get such an idea from?”
Such thoughts led her to dig deeper into countless documents to satisfy her curiosity. Luckily for Wieringa, she found a very important document, containing autopsy reports on the generals. The reports, part of scholar Benedict Anderson’s papers, clearly stated that there was no trace of razors and penknives on the generals’ bodies, and that their genitals were intact.
“So, those stories about Gerwani were all fabricated by Soeharto. Those women never tortured the generals and didn’t cut off their genitals,” Wieringa lamented.
Forensic evidence also confirmed Wieringa’s previous interviews with some Gerwani members she met in the early 1980s. Under the highly traumatic conditions following their arrest by Soeharto’s people, these women maintained that they were not involved in the massacre.
“At that time, I found many of them were in a traumatic state after surviving Soeharto’s cruelty,” said Wieringa, who co-founded the Kartini Asia Network. Following Soeharto’s banning of Gerwani, she went on, thousands of its members were murdered, while many others were held in prison – tortured and sexually abused.
“It was difficult to talk to Gerwani members at that time,” said Wieringa, who was once banned by Soeharto from entering Indonesia. “There were military officers who were always keeping their eyes on them.
“I secretly and carefully carried out my research because we [my sources and I] were in danger,” she added.
Being trapped in such a dangerous situation also forced her to halt her research. It took years before she could return to Indonesia to continue and crosscheck her research in 1995.At that time, although she managed to complete the research for her dissertation under the title The Aborted Women’s Movement in Indonesia, she needed to hide many identities of her sources for safety reasons.
However, the research, which was later published in the form of a book, has been regarded as the most influential work on the Indonesian women’s movement and inspired many Indonesian feminists and right activists.
Now, 30 years after she first deconstructed the myths about Gerwani, Wieringa took the chance to launch the revised version of her book, entitled Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI (The Destruction of the Women’s Movement: Sexual Politics in Indonesia after the Downfall of the Indonesian Communist Party).
“It took me a long time to publish this [revised version of my] book because my research was considered dangerous and I was blacklisted [by Soeharto],” she said. “I had to hide many facts in the previous version, but here [in the revised one], I revealed everything.”
Although she finally had the chance to share her research with the Indonesian public, who has lived with Soeharto’s lies about Gerwani for years, Wieringa said she wouldn’t stop working on women issues in the country.
“I’ve become so attached to Indonesia and these Gerwani women,” Wieringa said, referring to a number of older women, who attended her book launching that day. “I just couldn’t come taking facts from them and [then simply] say good bye. I don’t want to leave them.”
That was why, Wieringa went on, she was planning to spend the rest of her life in Indonesia.
“My plan is to move to Indonesia after retiring from teaching at the University of Amsterdam,” she smiled. “I’m also a mualaf [a convert to Islam] now. So I feel that Indonesia would be a perfect place for me to spend the rest of my life.”

* * *

Tuesday, April 20, 2010

Besok 21 April HARI KARTINI

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Selasa, 20 April 2010
----------------------------------------
Besok Rabu DUAPULUH SATU APRIL Adalah “HARI KARTINI”

--- Memperingatinya a.l.. dengan menyiarkan tulisan LAKSMI PAMUNTJAK, yang disampaikannya dalam diskusi tentang Kartini dan Eropa untuk memperingati Hari Kartini di Teater Utan Kayu, Jakarta, 21 April 2008.

* * *

Besok 21 April 2010, adalah “HARI KARTINI” (Jepara, 21 April 1879 – Rembang, September 1904'. Setiap tahun diperingati oleh bangsa kita. Itu berlangsung sejak 'zaman kolonial'. Semakin lama isi peringatan HARI KARTINI, semakin luas arti yang diberikan terhadapnya. Entah sudah berapa banyak tulisan, seminar dan buku yang ditulis tentang KARTINI. KARTINI sendiri bicara melalui surat-suratnya. Kemudian dibukukan berjudul “HABIS GELAP TERBITLAH TERANG”. Lalu dipublikasikan secara luas, di Indonesia, maupun di Belanda.

Juga telah diterjemahkan dalam pelbagai bahasa asing.

Tak diragukan Kartini adalah tokoh wanita Indonesia yang lahir pada zaman kolonial Hindia Belanda, dalam lingkungan feodal Jawa, TAPI SIKAP DAN VISINYA mendobrak lingkungan feodal dan jauh memandang ke haridepan dimana perempuan Indonesia harus merebut kebebasannya.

* * *

Laksmi Pamuntjak, penulis dan budayawan Indonesia generasi muda, yang banyak menulis dan memberikan ceramah sekitar sastradan budaya Indonesia, menyambut HARI KARTINI 21 April besok, dengan menyiarkan kembali tulisan yang dibuatnya pada tnggal 20 Arpil 2008. Tulisan Laksmi itu UNIK. Lain dari yang lain. Namun berisi dan bermutu, mengundang pembaca untuk lebih lanjut 'mengenal Kartini'. Menelusuri Visi dan peranannya dalam proses wanita Indonesia berjuang untuk kebebasannya sebagai manusia yang sama-hak dengan kaum lelaki.

Aku membaca tulisan Laksmi Pamuntjak di Facebook sore hari ini. Setelah membacanya tergerak untuk ikut mempublikasikannya dalam 'network-ku'. Agar pembacaku juga bisa mengkhayati tulisan Laksmi Pamuntjak itu.

Tulis Laksmi Pamuntjak a.l.:

Tulisnya pada Stella: “Apa peduliku soal peraturan-peraturan adat? Aku gembira sekali akhirnya dapat mengoyak peraturan adat Jawa yang konyol itu saat berbincang dalam tulisanku ini. Adat peraturan ini dibuat oleh manusia, bagiku itu menjijikkan.”

Sebelumnya kita baca dalam tulisan Laksmi:

“Apa yang kita lihat dalam diri Kartini adalah sebuah upaya yang konsisten untuk memaknai dirinya sebagai aspek perlawanan dari mimikri. “


Kartini dan Eropa: Sebuah Mimikri*
 oleh Laksmi Pamuntjak


*Tulisan ini disampaikan dalam diskusi tentang Kartini dan Eropa untuk memperingati Hari Kartini di Teater Utan Kayu, Jakarta, 21 April 2008.


Selama ini bila Kartini dibicarakan, ia selalu dilihat sebagai sosok yang utuh dan transparan. Atau ia sebagai feminis, sebagai pendekar emansipasi perempuan, atau sebagai pembela rakyat, pejuang anti-kolonial.

Tapi kita perlu ingat, dalam membaca Kartini, kita sebenarnya membaca sejumlah besar surat. Ia bukan saja berbicara mengenai “Aku” dan “Engkau” tapi juga kepada seorang “Engkau”, yang senantiasa harus ditafsirkan dan dinegosiasi. Kartini adalah contoh bagaimana “Aku” selalu merupakan subyek dalam proses.

Ini tampak jelas dalam surat pembuka Kartini kepada Stella Zeehandelar, seorang feminis dan sosialis Belanda berdarah Yahudi, jurnalis majalah mingguan Belanda untuk perempuan-perempuan muda progresif, De Hollandsche Lelie, yang mempunyai hubungan kuat dengan gerakan sosialis ternama di Belanda: “Panggil saja aku Kartini—itu namaku.”

Kalimat ini terkenal karena menjadi judul buku Pramoedya Ananta Toer tentang perempuan muda dari Jepara ini. Tetapi sebenarnya di sini Kartini menandaskan ke-”aku”-annya dengan memakai tatapan dan bahasa pihak Yang Lain, yang “bukan Aku”.

“Ketika aku memberikan alamatku kepada Mev. Van Wermeskerken tentu aku tidak bisa hanya menulis Kartini bukan, hal ini pasti akan mereka anggap aneh di Belanda dan untuk menulis “mejuffrouw” (nona) atau sejenisnya di depan namaku, wah, aku tidak berhak untuk itu—aku hanyalah orang Jawa.” tulis Kartini.

Ini bisa jadi semacam sarkasme, tapi juga bisa murni sebuah kesantunan terhadap seorang asing yang baru saja ia kenal. Ia juga dapat dilihat sebagai usaha menyesuaikan diri, agar lebih mudah dipahami orang di Belanda.

Surat memang berbeda dari jurnal karena ia harus selalu menempatkan diri dalam dialog dengan orang lain. Kadang ia berpuisi dengan liris, beretorika dengan mengumpat, atau berbisik dengan lirih. Kadang ia mesra layaknya terhadap seorang kekasih: “Nanti, nanti, Stella, pujaanku, saat aku sudah menggenggamnya di tanganku, erat, amat erat, sehingga tak akan lepas, saat itulah kau akan tahu.” Tetapi tak jarang pula ia berjarak, seperti pada ketakmampuan Kartini mengakui, dalam surat pertama, bahwa ia anak selir.

Surat berbeda dengan esai. Esai menghadirkan semacam sesuatu yang konstan (terutama dalam struktur, metode, kronologi dan fakta sejarah yang jelas), sementara surat sangat tergantung kepada pihak yang disurati, siapa dia, usia, ras, status sosial, ideologi dan aliran politiknya. Surat juga tergantung suasana hati si penulis surat pada saat ia menulis.



Selalu “Lain”

Bagi saya, Kartini adalah selalu “ia yang lain”. Ia selalu bukan ini atau itu.

Ia sosok yang selalu berada di tepi. Ia berada di tepi hierarki sosial Jawa, sebagai bagian dari kaum priyayi rendah. Ia berada di tepi dalam hubungan kolonial, sebagai kaum priyayi yang mendapatkan sejumlah privilese tapi juga tak bisa merealisasikannya secara penuh. Ia berada di tepi dalam hubungan keluarga, sebagai anak kesayangan bapaknya tapi sekaligus anak selir dan bukan anak permaisuri – yang menyebabkan ia mencintai bapaknya sekaligus membenci hubungan poligami.

Berada di tepi mengandung kepedihan tertentu. Ia menulis: “Di satu pihak aku tidak bisa kembali ke lingkunganku yang sebelumnya – namun di pihak lain aku juga tidak mungkin masuk ke dalam dunia baru itu, masih ada beribu tali yang mengikatku erat kepada dunia lamaku.”

Kepedihan itu lebih tersirat dalam hubungan keluarganya. Ia bercerita kepada Stella tentang ibunya yang “masih sangat terhubung dengan Kerajaan Madura”. Yang dimaksud di sini tentunya adalah ibu tirinya, bukan ibu kandungnya yang datang dari kalangan pesantren—sesuatu yang bisa kita tafsirkan sebagai gabungan rasa malunya karena bapaknya berpoligami, rasa cemasnya bahwa fakta itu akan mengusik sensibilitas seorang feminis seperti Stella atau rasa malunya bahwa ia hanyalah anak selir.


Kartini juga berada di tepi karena kebebasan dan pendidikan yang ia dapatkan sebenarnya tidak luar biasa bagi ukuran Barat tapi tetap tak lazim buat negerinya. Kita melihat Kartini tetap terbelenggu – ia tak bisa mewujudkan cita-cita tertingginya, yaitu “pergi ke Eropa.”

Ia mendidik dirinya dengan pikiran-pikiran Barat, tapi, ketika pada usia 16 tahun mendapatkan “kebebasan” dari bapaknya untuk keluar rumah, ia mendengar celetukan Mevrouw Ovink-Soer, salah satu teman keluarganya: “Nak, nak, apakah kami sudah melakukan hal yang benar dengan mengeluarkanmu dari tembok kabupaten yang tinggi itu? Apakah justru mungkin akan lebih baik kalau kalian bertiga tetap tinggal di sana?”



Ambivalensi Wacana Kolonial

Di sini kita lihat bahwa Kartini adalah sebuah contoh ambivalensi dalam wacana kolonial. Kita tahu, kolonialisme (atau imperialisme) adalah puncak kapitalisme pada zaman itu. Kapitalisme sendiri merupakan buah dari Pencerahan, yaitu ide manusia sebagai subyek yang mandiri, yang mengalahkan alam dan yang di luar diri, yang membawa kemajuan, seperti yang digambarkan dalam Manifesto Komunis, akan tetapi juga penjajahan. Ketika Si Kolonialis berada di negeri jajahan, dia bertemu dengan “Yang Lain”, pihak yang dijajah yang di luar dirinya.

Harus diapakankah orang-orang ini? Karena semangat Pencerahan adalah membawa kemajuan maka salah satu proyek kolonialisme adalah pendidikan. Di Hindia Belanda itu dicerminkan dalam “Politik Etis,” untuk menularkan semangat kemajuan dan pencerahan pada Yang Lain.

Tetapi agenda Pencerahan seperti yang tampak dalam “Politik Etis” mengandung risiko: apabila proyek ini diteruskan, ia akan mengaburkan Yang Menjajah dan Yang Terjajah, dan berbahaya bagi identitas si Penjajah. Apabila proyek itu dilakukan sepenuhnya, Yang Terjajah bisa menuntut kesetaraan dan kemerdekaan, yang akan mengancam raison d’être penjajahan. Maka proyek itu dihambat sendiri “dari dalam”, oleh Yang Menjajah. Si Terjajah harus tetap jadi “Yang Lain”, yang berbeda. Di sini yang dipertahankan pada dasarnya adalah pengukuhan dan pelembagaan esensialisme. Esensialisme adalah sebuah sikap yang membuat setiap perbedaan dan identitas hakiki, tak berubah-ubah dan tak tergantung pada sejarah dan lokalitas.

Tapi pada saat yang sama Yang Terjajah tak jarang memakai kesempatan ini sebagai perlawanan. Misalnya melalui pendidikan ia mengubah dirinya, dan dengan mengubah dirinya ia menghancurkan esensialisme. Pengertian “mimikri” yang diperkenalkan oleh Homi Bhabha, tidak sekadar meniru-niru, tetapi mengandung perlawanan. Homi Bhabha sendiri meminjam ide mimikri ini dari Jacques Derrida, yang mengatakan bahwa mimikri atau laku meniru tak sekadar menjiplak sebuah fenomena, ide atau sosok yang sudah ada sebelumnya, tapi membentuk, dengan membayangkan (membawa “fantasme”) tentang suatu yang “asli”, dan merupakan asal usul.

Kartini fasih berbahasa Belanda, mahir memasak masakan Belanda, menulis resep-resep dengan cara Barat seperti yang dikemukakan oleh Suryatini N. Ganie dalam bukunya, Resep-Resep Putri Jepara, dan rajin membaca buku dan jurnal yang diterbitkan di Barat. Terkadang dilihat, sikap ini seperti meniru Si Penjajah – tetapi sebenarnya tidak hanya itu. Inilah yang menyebabkan setiap transplantasi budaya bisa mengandung sesuatu yang paradoksal. Tak ada lagi daya kendali yang otentik, orisinil ataupun murni; segala sesuatu dikontaminasi atau diberdayakan oleh daya subversif imitasi. Yang “Lain” telah menjadi “sesama” yang telah dilarutkan. Dengan demikian terjadilah hibriditas.

Bagi banyak wacana nasionalisme, hibriditas cenderung dianggap dengan negatif, karena tidak murni, hingga mimikri sering nampak seakan hanya jiplakan belaka. Padahal, seperti yang ditunjukkan Homi Bhabha, mimikri mengukuhkan dan mendistorsi otoritas kolonial sekaligus.

Seperti yang ditunjukkan Kartini, mimikri mewakili sebuah kompromi yang ironis: hampir sama, tapi tidak benar-benar sama. Simak ini: “Stella yang baik, aku sungguh bahagia karena kau menganggapku sama dengan teman-teman Belandamu dan memperlakukanku sama dengan mereka, dan juga menganggapku sebagai teman sepahammu. Aku tidak menginginkan hal lain selain kau tetap memanggilku dengan ‘namaku’ juga dengan ‘je’ dan ‘jij’. Kau bisa lihat bagaimana lancarnya aku meniru contohmu.”

Apa yang kita lihat dalam diri Kartini adalah sebuah upaya yang konsisten untuk memaknai dirinya sebagai aspek perlawanan dari mimikri. Tak jarang Kartini memposisikan Stella, sang “pasangan jiwa”, sebagai yang lain, yang tak mengerti, yang angkuh, yang hanya tahu sedikit-sedikit, dan yang berdiri di luar realitanya, hingga Kartini acap merasa perlu mengangkat ke-Jawa-an sebagai sesuatu yang luhur dan berbudaya. Ini agaknya semacam upaya mengkonstruksi sebuah identitas kolektif sebagai subyek. “Budaya Jawa,” tulis Kartini pada Stella, “tidak rendah dalam pendalaman rohaninya.”

Tapi kita tahu dalam kehendak menandaskan diri, Kartini – dan tak jarang kaum yang dijajah umumya -- mencoba menggali tradisi, bahasa, sejarah dan agama dan membangun ulang “sifat otentik”. Mereka melakukan ini karena tak sudi mengukur diri terhadap norma-norma yang dalam jargon Lacan dikenal (dalam bahasa Inggris) sebagai the Big Other, atau “Mereka” -- yaitu negara, lembaga, orang tua, yang menguasai wacana atau membentuk identitas “aku”. Tapi dengan menandaskan “keotentikan” yang nota bene artifisial, pada dasarnya kaum yang dijajah tetap berpikir dalam cengkeraman “Mereka”.

Dari kasus ini kita melihat bahwa Homi Bhabha hanya menyinggung satu bentuk mimikri, yaitu meniru untuk mengguncang esensialisme. Sementara itu, menurut hemat saya, bentuk mimikri yang lain, yang justru dalam niat melawan dengan berbeda ternyata malah mengukuhkan esensialisme.

Itulah yang terjadi ketika Kartini bebicara kepada Stella tentang “Jawa”, seakan-akan “Jawa” itu tidak berubah. Dalam kasus ini Kartini melakukan perlawanan dengan mengukuhkan identitas tapi justru dengan itu ia mereproduksi wacana yang berkuasa, yaitu esensialisme.

Tapi di sini juga kita melihat posisi Kartini sebagai orang tepian. Ia tak sepenuhnya konsisten memuja-muja kebudayaan Jawa—apalagi dalam memuji kebudayaan Jawa itu ia mungkin hanya melakukannya sebagai strategi identitas. Tulisnya pada Stella: “Apa peduliku soal peraturan-peraturan adat? Aku gembira sekali akhirnya dapat mengoyak peraturan adat Jawa yang konyol itu saat berbincang dalam tulisanku ini. Adat peraturan ini dibuat oleh manusia, bagiku itu menjijikkan.”

Tetapi mengapa ia butuh strategi identitas itu?



“Eropa” dalam kehidupan Kartini

Di sini kita sampai pada pertanyaan: Eropa macam apakah yang masuk dalam hidup Kartini, dan bagaimanakah ia masuk?

Pertama, melalui pendidikan. Ini dimulai dengan seorang almarhum kakek yang “progresif” untuk zamannya: bupati pertama di Jawa yang mengundang “seorang tamu” dari seberang lautan dan yang memberikan semua anaknya pendidikan ala Eropa. Kemudian, seorang bapak yang melanjutkan hal ini dengan memberikan pendidikan yang kurang lebih sama bagi anak-anaknya.

Kedua, melalui bacaannya atas literatur Eropa.

Ketiga, gaya hidup Eropa yang masuk ke rumahnya, termasuk dalam hal makanan.

Keempat, interaksi sosial, yang mencakup pergaulannya dengan orang-orang Eropa, baik secara langsung maupun melalui korespondensi, maupun amatannya terhadap interaksi orang Eropa dan kaum pribumi di negerinya.

Saya ingin sedikit membahas ketiga aspek terakhir.

Salah satu hal yang menakjubkan tentang Kartini bukan saja minat dan telaahnya terhadap literatur Eropa tapi juga kegigihannya menulis. Meski dalam surat-suratnya respons terhadap bahan bacaan tersebut tak pernah terlalu mendalam, ada kesan kuat bahwa ia memikirkan apa yang ia baca dan membiarkan mereka memicu sejumlah sikap dan keputusannya.

Kekaguman Kartini terhadap Mevrouw Geekoop De Jong van Beeken En Donk, penulis feminis yang sangat berpengaruh dengan bukunya, Hilda van Suylenburg, yang terbit tahun 1897, misalnya, adalah salah satu alasan mengapa ia menolak pernikahan.

Kartini juga mengagumi Multatuli, dan mampu membandingkan kondisi masyarakat kolonial pada zamannya dengan kondisi masyarakat kolonial dalam Max Havelaar.

Sementara itu, Kartini rajin menulis. Selain menyumbangkan sebuah tulisan tentang batik kepada Pameran Karya Perempuan di Belanda tahun 1898, yang beberapa kali dicetak ulang, ia pun menulis sebuah buku resep – sesuatu yang tidak lazim pada zamannya.

Dengan demikian Eropa juga masuk ke diri Kartini melalui makanan. Buku yang ditulis Kartini, kumpulan resep keluarganya, adalah semacam testimoni atas bagaimana cita rasa dan cara hidup kaum elite kolonial meniru budaya si penguasa yang sebenarnya juga tidak asli.

Ritual uurtje, misalnya, atau ritual minum teh di sore hari, sama sekali bukan merupakan tradisi Belanda, tapi tradisi Inggris. Ritual ini hanya dilakukan oleh orang Belanda di Hindia Belanda, yang nampaknya kurang kerjaan dan hanya bisa duduk-duduk ongkang-ongkang kaki sambil minum teh dan makan pisang goreng di sore hari, sembari menikmati semilir angin di sebuah petang tropis. Sementara, kebanyakan orang Belanda di negerinya, yang kerja keras dan hidup tanpa pembantu, tak akan punya waktu untuk ritual-ritual semacam itu.

Hal semacam ini juga tak hanya melibatkan etiket dan kebiasaan makan, tapi juga apa yang dimakan. Apa yang dikenal di Indonesia sebagai sop sayur, misalnya, sebenarnya adalah apa yang di Belanda dikenal sebagai groenten soep; sementara itu Saus Madeira yang acap ditemukan di dalam bistik yang sering dihidangkan di meja makan Kartini sesungguhnya adalah adaptasi dari adaptasi: orang Indonesia mengadaptasi orang Belanda yang mengadaptasi orang Prancis.

Selat Solo—potongan sandung lamur dan pelbagai sayur rebus yang diiris tipis-tipis, dan disajikan dengan saus semur dan saus mayonnaise sarat telur—adalah contoh makanan dalam repertoar keluarga Kartini yang tak akan pernah ditemukan di meja makan khalayak ramai.

Dalam hal ini, kita bisa berspekulasi bahwa keputusan Kartini membuat buku resep adalah upaya mengkonstruksikan adat atau kebiasaan bersantap orang Jawa dengan paradigma Eropa sebagai semacam penyamaan martabat dengan budaya Si Penjajah.

Jika kita melihat adanya sikap yang bermata dua dalam kasus resep, dalam hal interaksi sosial juga ada ambivalensi. Terhadap Stella, yang ia hormati dan sayangi, dia ingin berlaku sama. Dengan Rosa Abendanon-Mandri, istri Direktur Pendidikan Hindia Belanda baru yang beraliran reformis sikapnya berbeda. Perempuan ini jadi panutan dan pujaan bagi Kartini dan adik-adiknya.

Begitu rupa kekaguman dan rasa takjub Kartini terhadap Rosa Abendanon-Mandri hingga surat-suratnya seringkali “histeris” dan terbuai dalam romantismenya sendiri, terutama atas kondisinya dan adik-adiknya sebagai makhluk jajahan yang “telah terluka berat dan hancur oleh kejamnya Hidup.” Ia lukiskan kebahagiaannya yang meluap-luap ketika pertama kali bertemu dengan Rosa dan suaminya sebagai “cinta yang menderu merasuki dirinya dan mengambil alih seluruh jiwa dan raganya tanpa ia sadari”.

Juvenilia semacam ini tak jarang ditemukan dalam orang sebaya Kartini, yang berbakat, menonjol dan ingin diperhatikan, dan juga yang pada usia itu punya kehendak untuk merasakan dan menuliskan keadaan jatuh cinta. Tetapi sikap ini mungkin juga mengandung sedikit pragmatisme. Rosa dan suaminya kuat secara politis, dan berkuasa atas nasib pendidikannya.

Amat mungkin juga karena Rosa berbeda. Latar belakang Rosa sebagai orang Spanyol yang lahir di Puerto Rico adalah sesuatu yang Kartini asosiasikan sebagai kedekatan intrinsik dengan Jawa. Ini praktis membuat Rosa juga sesama orang asing di tengah komunitas orang Eropa yang diwakili Belanda. Seperti yang Kartini kemukakan dalam suratnya: “Dia, Rosa, adalah orang asing, seorang dari Spanyol yang penuh kehangatan, yang memukau, indah, romantis.”

Pada akhirnya, Rosa tampil sebagai pribadi, bukan wakil sebuah ras yang superior, seperti paradigma yang ditekankan orang Belanda di zaman kolonial itu.

Pada titik ini, yang bisa disimpulkan adalah bahwa Eropa atau Belanda bagi Kartini tidak tunggal, tidak mempunyai hakikat atau esensi yang kekal. Kita bisa mencatat kebencian Kartini terhadap wajah Belanda yang zalim, yang sombong, congkak, rakus dan semena-mena, hal yang sering ia temukan dalam perjalanannya menemani bapaknya sang bupati Jepara yang peduli pada nasib rakyat kecil. Tak ada lagi Kartini si anak kecil haus perhatian, Kartini yang sentimental. Surat-suratnya yang menjelaskan hubungan kolonial yang eksploitatif itu, sungguh luas dan dalam mengupas anatomi penjajahan yang berujung pada kemiskinan, keterpurukan dan keterbelakangan.

“ … dan masih juga, sejumlah orang Belanda mengumpati Hindia sebagai ‘ladang kera yang mengerikan.’ Aku naik pitam jika mendengar orang mengatakan “Hindia yang miskin.” Orang mudah sekali lupa kalau “negeri kera yang miskin ini” telah mengisi penuh kantong kosong mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja tinggal di sini.”



Nasionalisme yang universalis

Sebagai penutup, tidak berlebihan rasanya untuk mengatakan bahwa Kartini telah mempelopori sebuah kesadaran identitas diri yang merupakan dasar nasionalisme Indonesia kelak, yang tidak berdasarkan identitas etnik atau budaya yang permanen. Bisa jadi Kartini mendahului pemikiran kaum nasionalis di Indonesia yang kemudian datang: nasionalisme yang berdasarkan kepada sifat universal yang ada pada sesama.

Ia mengatakan pada Stella bahwa ia ingin “bekerja tidak hanya untuk kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas, bekerja untuk kebaikan sesamanya” dan “aku tak ingin apapun kecuali mengabdikan diriku secara utuh untuk melakukan hal-hal seperti yang telah dilakukan kaum perempuan di Eropa”.

Sekaligus ia menjelaskan bahwa “Bisikan itu tak hanya datang dari luar, dari mereka yang sudah beradab, dari Benua Eropa …”, tapi bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang membisikkan keinginan itu jauh sebelum ia bisa mendapat akses kepada buku dan artikel Eropa tentang modernitas.

Artinya, ia melihat bahwa tuntutan untuk merdeka juga bisa datang dari seorang perempuan Jawa, ketika perempuan itu tertindas. Tuntutan itu universal, bisa datang dari semua bangsa di muka bumi.

Dan ini semua hanya bisa dikemukakan oleh orang di tepian, yang identitasnya tidak dikurung dalam sesuatu yang partikular.


20 April 2008

Monday, April 19, 2010

Film 'PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN'

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Minggu, 18 April 2010

----------------------------------------


'Perhimpunan Persaudaraan' (Holland), Menampilkan Film

'PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN'


Pada pagi-siang-sampai sore Minggu yang cerah ini, musim semi benar-benar menampakkan dirinya. Di taman-taman kecil sepanjang jalan sepeda tanam-tanaman

bunga-bungaan sudah memamerkan keindahannya dalam pelbagai warna dan bentuk. Sedangkan Sang Surya dengan leluasa berkiprah. Tanpa gangguan angin kencang. Angin sepoi-sepoi basa nan sejuk tentu selalu ada. Kalau tidak bukan musim semi namanya.


Pada hari Minggu tanggal 18 April inilah “Perhimpunan Persaudaraan”, sebuah perkumpulan orang-orang Indonesia di Belanda, mengadakan Bazar di Diemen, dan pemutaran film: “PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN” .


Tentang film inilah cerita kali ini nanti agak dipusatkan.


* * *


Dalam undangan yang dikirimkan Sekretaris “Perhipunan Pesaudaraan”, Aminah Idris, lewat e-mail di internet dan melalu hubungan tilpun, ditegaskan maksud pertemuan adalah agar para hadirin, handai taulan, saling bertemu, bertukar fikiran, bercakap-cakap dalam suasana santai dan menikmati makanan yang dihidangkan di situ dengan harga yang pantas. Boleh kutulis di sini bahwa makanan yang dihidangkan itu jauh lebih murah dari harga-harga di restoran. Rasanyapun lebih 'miroso'. Ada martabak, risoles, lemper, gado-gado dan lontong. Kebetulan aku milih lontong, karyanya istri Chalik Hamid. Memang sedap. Begitupun martabak dan risolesnya. Yang lain-lain kebetulan belum sempat kucicipi. Kiranya juga lezat-lezat.

Juga dijual buku-buku terbitan Indonesia. Ada yang buku politik, ada yang drama, cerpen maupun memoar.


Hadirin yang berjumlah kurang-lebih 70 orang itu, berdatangan dari Amsterdam, Diemen, Zeist, Purmerend, Almere, Utrecht, Woerden, dl tempat--- Juga ada yang datang dari Paris dan Jerman. Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan tsb untuk bercengkerama, cakap-cakap dan saling bergurau. Maklumlah, kawan-kawan lama tsb bisa bertemu begini sesekali saja. Kegiatan “Perhimpunan Persaudaraan” yang diorganisir dari waktu ke waktu memang bermanfaat dan sangat dihargai prakarsa tsb di kalangan orang-orang Indonesia maupun orang Belanda, yang tampak sesekali berminat hadir dalam kegiatan itu.


Aku beruntung bertemu dengan sahabat lamaku, Tan Sie Tik. Tan memberikan sebuah makalah yang ditulis oleh seorang pakar dan penulis, Leo Suryadinata. Tulisan itu dimuat dalam Majalah Prisma No 3 Maret 1983. Jadi cukup tua bahan ini. Namun, penting artinya bagiku. Judulnya: -- LIEM KOEN HIAN PERANAKAN yang MENCARI IDENTITAS. Kalau tak salah Bung Karno menyebut nama Liem Koen Hian, dalam pidato beliau LAHIRNYA PANCASILA, 1 Juni 1945. Begitu kukatakan kepada Tan Sie Tik.


Bukan hanya itu yang kuperoleh dari Tan. Ada lagi. Yaitu, dua dvd. Satu berjudul “TJIDURIAN 19” dan satu lagi “40 YEARS OF SILENCE”. Menurut Tan, isi dvd yang kedua itu, adalah wawancara dengan para korban “Peristiwa 1965”. Diantaranya ada wawancara yang diambil oleh Dr John Roosa, penulis karya riset dan studi penting “G30S – Dalih Untuk Pembunuhan Masal dan Kudeta Suharto”. Berkali-kali kuucapkan terima kasih kepada Tan Sie Tik atas 'oleh-oleh' yang dibawanya untukku.


* * *


Salah seorang Ketua Perhimpunan Persaudaraan, Taufik Tahrawi membuka Bazar dan silaturahmi. Mulailah suasana penuh kehangatan dan persahabatan di kalangan masayrakat INDONESIA yang hadir disitu.


* * *


FILM -- “PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN”. Memang menarik film itu, tetapi juga dikatakan “kontroversial”. Ya, biasalah. Ada yang suka, ada yang tak suka. Ada yang menilainya film baik dan berani. Ada yang mengatakan film tsb secara salah menginterpretasikan pemberlakuan agama Islam khususnya bersangkutan dengan perempuan. Tadinya kukira film itu biasa-biasa saja. Model cerita sinetron di tayangan pelbagai TV Indonesia. Nyatanya perkiraanku itu meleset. Baru sekali melihatnya, berani kukatakan film tsb BERMUTU. Memancing komentar, mengundang kritik, dan pujian. Jadi cukup menghimbau untuk melihatnya sendiri. Suranto, salah seorang Sekretaris “Perhimpunan Persaudaraan' memerlukan mengusakan agar hadirin yang berminat bisa membeli dvd film tsb.


Komentar dari orang asing luar Indonesia, ada yang menilai film tsb sebagai pengemukaan tokoh pahlawan hak wanita, R.A. KARTINI, dalam sorotan dewasa ini.

Ada juga pendapat positif mengatakan film tsb telah mengangkat masalah KEBEBASAN WANITA dan hak-hak azasinya sebagai perempuan dan manusia secara baik dan populer.


* * *


Di bawah ini disampaikan sebuah SINOPSIS tentang film “PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN”. Sinopsis ini dikirimkan bersama undangan yang dikeluarkan oleh”Perhimpunan Persaudaraan”.


SINPOSIS tsb cukup memberikan cerita singkat film. Juga dikemkakan pendapat yang pro dan kontra. Juga dsampaikan pendapat dan pandangan sutradranya sendiri: Hanung Bramantyo


* * *


Sinopsis Film “PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN”.

Kisah berawal dari sebuah pesantren Al-Huda di Jawa Timur milik Kyai Hanan (Joshua Pandelaky) pada tahun 80-an. Seorang gadis berumur sepuluh tahun Annisa (Nasya Abigail) yang menjadi anak ke tiga dari sang Kyai berbeda dengan gadis kecil lainnya di daerah tempat pesantren itu. Ketika kedua saudara laki-lakinya belajar menunggangi kuda, Annisa kecil ingin juga belajar. Namun, dia dilarang oleh kedua orang tuanya, karena dia seorang perempuan.



Annisa merasa tak nyaman dengan lingkungan pesantren dan keluarganya karena selalu ‘menyampingkan’ statusnya sebagai perempuan dengan alasan syariat Islam.



Untungnya ada salah satu orang yang mengerti kegelisahan Annisa yang keras kepala dan mengajari Annisa naik kuda, dia adalah Khudori (Oka Antara) seorang lelaki cerdas dengan pikiran terbuka. Namun, perlindungan Khudori tak berlangsung lama karena dia harus pergi ke Al-Azhar di Kairo untuk melanjutkan kuliahnya dan meninggalkan Annisa sendirian.

Annisa (Revalina S Temat) telah remaja dan memutuskan untuk melamar beasiswa di sebuah Universitas Islam di Yogjakarta. Namun, Annisa mendapat garis lain dalam hidupnya yaitu masuk ke dunia pernikahan. Annisa dijodohkan dengan Samsudin (Reza Rahadian) anak seorang Kyai yang membantu pesantren Al-Huda. Dunia pernikahan dirasa Annisa buruk karena perbuatan kasar dan tekanan yang dilakukan sang suami. Tak hanya perlakuan kasar yang didapatkan, Annisa juga dipoligami. Annisa tak bisa berbuat apa-apa karena syariat Islam yang selalu ada dalam dirinya bahwa perempuan harus mengikuti apa yang dilakukan suami dan menurut apa kata suami.

Annisa selalu merasa kalau perempuan menjadi warga negara kelas dua, ditindas hak-haknya dan dilupakan suaranya. Namun, semuanya berubah ketika Khudori datang kembali ke Al-Huda dan bertemu dengan Annisa. Benih-benih cinta yang dirasakan sejak kecil masih ada dalam diri Annisa dan Khudori. Mereka pun disangka telah melakukan hal yang tak diperbolehkan sebagai seorang lelaki dan istri orang. Annisa akhirnya diceraikan sang suami dan dia memutuskan untuk pergi ke Yogjakarta.

Di Yogjakarta Annisa mulai memperlihatkan bakatnya dengan menulis. Dia bekerja di sebuah kantor konsultan dan menjadi konsultan handal. Annisa pun menikah dengan Khudori dan kembali ke Al-Huda dengan membawa buku-buku karyanya. Annisa ingin santri-santri yang ada di sana belajar memperjuangkan haknya sebagai perempuan dengan banyak membaca dan menulis. Namun, di pesantren itu terdapat larangan membaca buku yang berbau dunia luar. Annisa memperjuangkannya dengan membuat perpustakaan di Al-Huda.

Di film ini Akting Revalina S. Temat cukup memukau. Meskipun baru berusia 23 tahun dia cukup ciamik berakting menjadi seorang ibu hamil. Film yang diadaptasi dari novel karya Abidah Al Khalieqy berkisar tentang perempuan dan perjuangannya meraih eksistensi.



Sang sutradara, Hanung pun siap mendapatkan kontroversi dengan film ini dengan membuat film yang berisi tentang Islam dan syariatnya.

Saya merasa sedih Islam menjadi kiblat untuk laki-laki dan keperluannya, bukan berarti saya membela perempuan tapi mari kita bicara secara proporsional karena tuhan mencintai perbedaan tapi jangan dibeda-bedakan. Saya siap film ini menuai kontroversi dan kalau nggak ada yang suka saya siap berdiskusi,” ujar sutradara yang telah merilis tiga film yang diangkat dari novel.

Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini dianggap sebagian kalangan memberikan citra yang buruk terhadap Islam.

Film itu memberikan citra yang buruk tentang Islam, yang kedua citra yang buruk tentang pesantren. Maka untuk tidak lebih banyak protes dari masyarakat, agar tidak banyak keresahan yang ditimbulkan, saya menyarankan stop dulu,” kata pengurus Majelis Ulama Indonesia Ali Mustafa Yaqub.

Ali menambahkan, adegan-adegan yang meresahkan masyarakat sebaiknya diperbaiki sebelum film itu dirilis kembali.



* * *

Akan tetapi sutradara film Film Perempuan Berkalung Surban Hanung Bramantyo membantah filmnya memberi citra buruk terhadap Islam.

Tema film ini adalah film keluarga, yaitu bagaimana seorang bapak memaksakan pemikiran-pemikiran yang sifatnya patriarkal kepada anaknya yang perempuan,” ujar Hanung.

Hanung menyatakan film itu bukan mengenai pesantren salaf, pesantren modern maupun tentang Al-Qur’an namun “tentang orang yang memakai Al-Qur’an untuk melegalkan kepentingan- kepentingan yang sifatnya patriarki kepada anaknya yang perempuan”.



* * *