Wednesday, April 14, 2010

55 - Tahun KAA-Bandung – Retrospeksi -Irian Barat

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 14 April 2010
-----------------------------

55 - Tahun KAA-Bandung – Retrospeksi Sekitar Perjuangan Pembebasan Irian Barat

(II)

Memperingati 55 th. Konferensi Asia-Afrika Bandung, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang kutempuh kali ini, pertama-tama merelease pelbagai dokumen dan tulisan mengenai Konferensi Asia-Afrika Pertama tsb. Itu dalam bahasa aslinya. Bahasa Inggris. Tak salah beranggapan bahwa pembaca internet Indonesia mampu memahami isi tulisan dalam bahasa Inggris. Releaase tsb telah dimulai kemarin. Akan menyusul disiarkan pidato-pidato Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Jaharlal Nehru. Kemudian tanggapan pelbagai fihak.

Memang maksud menyiarkan kembali dalam bahasa Inggris dokumen-dokumen sekitar Konferensi Bandung tsb, ialah dalam rangka menyegarkan kembali ingatan sahabat dan relasi orang-orang asing, pembaca asing umumnya, mengenai arti penting bersejarah Konferensi Asia-Afrika Bandung. Terutama mengigatkan, bahwa hal-hal yang diputuskan dalam KAA Bandung 55 tahun y.l., pada pokoknya masih relevan dalam situasi dunia dewasa ini. Memperingati KAA Bandung, bukanlah suatu kegiatan n o s t a l g i , seperti yang sering diuar-uarkan dan disiarkan oleh penulis-penulis sinis mengenai peristiwa sejarah penting bangsa kita.

Kali ini memperingati 55 th KAA Bandung, diteruskan dengan cara menyiarkan kembali tulisanku lima tahun yang lalu – 24 Maret 2005. Tema pokok: Kegiatanku di Cairo (Sekretariat Tetap Solidarias Rakyat-Rakyat Asia-Afrika) sekitar kampanye pembebasan Irian Barat.

* * *


IBRAHIM ISA
24 Maret 2005.

SETENGAH ABAD K.A.A – BANDUNG <1955 – 2005)


* * *



Pada suatu malam musim panas tahun 1961, bersama Murti (istriku) kami menghadiri pertemuan silaturakhmi di Kedutaan Besar Indonesia, Cairo. Pertemuan silaturakhmi seperti itu sudah berkali-kali diadakan yang maksudnya untuk mempererat tali persaudaraan dan keakraban di kalangan masyarakat Indonesia-Mesir, termasuk para mahasiswa yang sedang belajar di Al Azhar University, dengan KBRI khususnya. Tentunya malam itu acaranya termasuk cakap-cakap tentang perkembangan terakhir situasi tanah-air.

Pertemuan seperti itu inisiatornya adalah Dubes Sanusi Hardjadinata (mantan Gubernur Jawa Barat dan mantan Menteri Dalam Negeri, seorang tokoh parpol PNI). Sesuatu yang bermanfaat, oleh karena itu  dijadikan semacam tradisi. Dubes Isman (Ketua Kosgoro, mantan  pimpinan  TRIP Jawa Timur) yang menggantikan Dubes Sanusi ternyata juga meneruskan kebiasaan baik ini. Tidak tahu sekarang ini (2005), apalagi ketika di zaman Orba, apakah masih begitu.

Intermezo: Berkomunikasi dan berkordinasi dengan dua tokoh dubes “kita” itu, terus terang, rasanya lebih santai dan nyambung berkomunikasi dengan Dubes Isman. Dubes Sanusi Hardjadinata, terasa menonjol sikapnya yang karena sudah lama hidup dan bergiat sebagai abdi negara, mirip-mirip langgam pamong-praja. Jadi menteri-pun, sebenarnya ya, jadi birokrat juga. Diplomat kurang lebih idem dito. Akhirnya lama-lama pada jadi birokrat yang membosankan. Dalam otakku tersirat fikiran: Untung juga aku tak pernah menjadi pegawai negeri.

OK! . . . Dalam pertemuan silaturakhmi tsb, seperti biasa, kami  jumpai muka-muka “lama” yang  sudah cukup dikenal. Satu dua, ada yang baru. Di antara “muka-lama” di Cairo, bagiku, adalah Saleh Bawazir. Ia sudah lama di Cairo sebagai wartawan Kantor Berita Nasional Antara untuk Timur Tengah. Aku sebut nama Saleh Bawazir dalam kenanganku ini, karena benar dia ada sangkut pautnya dengan suatu kejadian dalam rangka kampanye kita untuk  pembebasan Irian Barat. Nanti bisa dilihat dalam kaitan yang bagaimana.

Saleh Bawazir seperti ‘kita-kita’ ini, adalah orang Indonesia yang tak pernah disebut “pri” atau “non-pri”, meskipun ia keturunan Arab. Mengapa? Wallahualam, bissawaab!

Wartawan Indonesia keturunan Arab, tentunya yang fasih berbahasa Arab seperti Saleh Bawazir temanku itu, punya syarat berharga sekali untuk bisa dengan efektif melakukan pekerjaannya di Cairo. Kalau hanya bisa berbahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, bisa juga jadi wartawan di dunia Arab. Tetapi seolah-olah “cacad”. Karena tidak bisa berbahasa setempat, maka tidak bisa secara luas dan luwes berkomunikasi langsung dengan masyarakat setempat. Pertama-tama dengan wartawan-wartawan setempat dan wartawan negeri Arab lainnya, yang banyak sekali di Cairo. Maklumlah ketika itu Mesir, dianggap dan dipandang sebagai “mercu-suarnya” dunia Arab yang progresif, yang anti-kolonialisme, anti-imperialisme, pro-kemerdekaan, yang berani berhadapan muka dan berbusung-dada terhadap dunia Barat. Seperti Bung Karno berani bilang terhadap Barat: “Ini dadaku, mana dadamu!” Mesir tidak takut “digebuk” oleh Barat, hatinya bukan hati pengecut seorang “antek”. Lebih dari itu, Mesir  berani “menggebuk” Barat. Mesirnya Gamal Abdel Nasser “bukan-antek Barat”, seperti sementara negeri Arab lainnya.

* *

Akhir tahun limapuluhan, permulaan tahun 60-an --- , sebenarnya sudah dimulai sebelumnya, yaitu dengan pembatalan Persetujuan Konferensi Meja Bundar(KMB) dengan Belanda, yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah RI, dan dengan kembalinya Indonesia ke Undang-Undang Dasar RI 1945, --- kampanye pembebasan Irian Barat semakin gencar. Setiap Pidato 17 Agustus untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia, Bung Karno sudah biasa menutup pidatonya yang berapi-api dan menyemangati hati rakyat kita itu, dengan kata-kata sbb: SEBELUM AYAM JANTAN BERKOKOK PADA TAHUN . . . . (maksudnya tahun sesudah pidato 17 Agustus itu) Irian Barat sudah berada dipangkuan Ibu Pertiwi. Sudah bebas dari penjajahan Belanda.
<
Yang diceriterakan kepadaku oleh Saleh Bawazir pada malam pertemuan di KBRI ketika itu, begini:

S. Bawazir: --- Nyatanya orang-orang Mesir yang saya kenal, khususnya para wartawannya, ada yang sikapnya sinis terhadap pidato Bung Karno tsb. Mereka bilang sudah berapa kali ayam jantan berkokok, . . . . tetapi Irian Barat masih saja ada di bawah kekuasaan Belanda. Masih harus berapa kali lagi ayam jantan itu harus berkokok! Saleh Bawazir sungguh jengkel mendengar (yang katanya sih) gurau kenalannya, wartawan Mesir itu. 

Catatanku: Secara umum, orang Mesir mengagumi Bung Karno, sebagai pemimpin besar dan kampiun perjuangan kemerdekaan bangsa, dan penegak nasion Indonesia. Bung Karno diakui sebagai tokoh penting Gerakan Kemerdekaan dan Solidaritas Asia-Afrika, teristimewa setelah KAA-Bandung. Belakangan, bersama Presiden Gamal Abdel Nasser, Nehru dan Tito, Bung Karno diakui sebagai tokoh dan pencetus Gerakan Non Blok, atau Non-Aligned. Namun, disela-sela pendapat umum yang positif itu, bisa dirasakan dan terdengar pendapat orang-orang Mesir yang mencerminkan cemburu mereka terhadap popularitas Presiden Sukarno di kalangan bangsa-bangsa dan negeri-negeri Asia-Afrika. Adalah suatu kenyataan bahwa  Mesir menonjol sebagai pelopor kemerdekaan Arab dan Palestina, yang mengusahakan persatuan Arab melawan dominasi asing – Barat - , Mesir diakui kepeloporan dan potensi intelektualnya sebagai bangsa Arab, serta kedudukannya yang strategis secara politik dan militer. Hal ini menyebabkan munculnya sikap “saudara tuaisme” terhadap bangsa-bangsa Arab lainnya, juga terhadap bangsa Afrika. Suatu sikap yang cenderung hendak mendominasi dan berhegemoni di kalangan bangsa-bangsa Arab dan Afrika. Dengan sendirinya “hegemonisme” Mesir seperti itu dilawan.

Ceritera S. Bawazir selanjutnya: Jelas isinya mengéjék. Saleh Bawazir tidak tahan lagi dan melakukan “serangan balas” sbb – Saya jamin di depan kalian semua, bahwa Irian Barat akan bebas, s e b e l u m  rakyat Palestina bebas dari kekuasaan dan pendudukan Israel. . . . . Di lihat pada saat sekarang ini, “jaminan”  Saleh Bawazir itu, ternyata benar juga. Irian Barat sudah lama kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, sebelum  rakyat Palestina bebas. Mereka masih harus meneruskan perjuangan kemerdekaannya.

* * *

Sebelum berangkat menuju Cairo (1960), dalam otakku sudah terfikir bagaimana bisa dengan baik melakukan pekerjaan dalam rangka kampanye pembebasan Irian Barat. Ambil bagian dalam kampanye untuk pembebasan Irian Barat di dunia internasional, berarti aku harus memadukan suatu tugas internasional dengan tugas nasional kita sendiri. Tentu, seyogianya kita tidak mendahulukan kepentingan nasional sendiri, dan mengebawahkannya pada perjuangan bersama melawan kolonialisme dan imperialisme. Fikirku lagi, melakukan sesuatu dalam kampanye untuk menghimpun solidaritas internasional demi pembebasan Irian Barat, adalah serasi dengan “Semangat Bandung”. Juga sejalan dengan kepentingan bersama perjuangan rakyat-rakyat AA untuk kemerdekaan.

Jadi, apa yang bisa kulakukan sehubungan dengan itu?

Pertama, aku harus memahami bagaimana situasi Mesir dan Afrika dalam hubungannya dengan masalah Irian Barat? Apakah mereka memahami duduk perkaranya mengenai sengketa kita dengan Belanda, mengenai Irian Barat. Untuk itu aku harus membangun jaringan kontak-kontak dengan organisasi perjuangan kemerdekaan Arab dan Afrika, guna menjelaskan masalah IRIAN BARAT. Ini harus menjadi agenda pertama dalam kegiatanku. Kemudian bagaimana memanfaatkan Sekretariat Tetap Setiakawan AA di Cairo, agar mereka stabil menyokong kampanye pembebasan Irian Barat.

Kedua, meneliti sampai seberapa jauh pengaruh kampanye politik fihak Belanda di daerah ini, mengenai masalah Irian Barat. Bisa diketahui bahwa seperti dilakukan mereka sejak lama, fihak Belanda selalu  mengedepankan  yang mereka bilang “suatu kenyataan” bahwa “bangsaPapua” (Irian Barat), bukanlah bagian dari Republik Indonesia. Bahwa rakyat Irian Barat, bukanlah bangsa Indonesia, adalah suatu bangsa yang lain dan berdiri sendiri, dsb. Dari situ timbul konsep mereka bahwa “bangsa Papua” (Irian Barat) berhak menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa tersendiri. Dan Belanda akan membawa Papua (Irian Barat)  ke tujuan tersebut.

Faktoryang menguntungkan bagi kita dalam menggalang solidaritas Asia-Afrika ialah:  Baik Konferensi Lima Perdana Menteri (yang ketika itu dikenal sebagai negeri-negeri Konferensi Kolombo) ketika mempersiapkan Konferensi AA di Bandung, maupun Konferensi Asia-Afrika (1955) di Bandung itu sendiri, sudah mengambil sikap politik yang tegas menyokong Indonesia dalam sengketa dengan Belanda mengenai masalah Irian Barat.

Hal ini tampak jelas dalam Komuniké Akhir Konferensi Asia-Afrika di Bandung ( April 1955), Bab E. Mengenai MASALAH-MASALAH LAINNYA, yang berkenaan dengan Irian Barat dinyatakan sbb:

“Konperensi Asia-Afrika, dalam hubungan dengan sikap yang dinyatakannya tentang penghapusan penjajahan, m e n d u k u n g Indonesia  dalam masalah Irian Barat berdasarkan persetujuan-persetujuan yang bertalian dengan masalah tersebut antara Indonesia dan Belanda.

“Konperensi Asia-Afrika mendesak Pemerintah Belanda segera membuka kembali perundingan-perundingan, untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka yang ditetapkan dalam perjanjian-perjanjian tersebut, dan dengan sepenuhnya berharap agar PBB membantu pihak-pihak yang berkepentingan di dalam menemukan penyelesaian pertikaian itu dengan cara-cara damai.”

Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika, 30 Mei–7 Juni 1956 di Bandung, dalam Final Communiquenya, menyatakan sehubungan dengan masalah Irian Barat, pada  Bagian E. Masalah-masalah Umum, “Fasal 3 Kolonialisme dan Nation Building”, sbb:
Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika, setelah mempertimbangkan peranan mahasiswa dalam perjuangannya melawan kolonialisme, berketetapan:

Mengutuk dan menentang kolonialisme dalam segala manifestasinya dan mengakui hak rakyat-rakyat dan bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, dan menyampaikan simpati dan sokongan moral kepada negeri-negeri AA yang sedang berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan nasional.
Merekomendasikan agar Deklarasi Hak-Hak Manusia PBB diberlakukan di semua daerah Asia-Afrika.
Setiap tahun pada tanggal 24 April, mengadakan Hari Mahasiswa Asia-Afrika.
Konferensi selanjutnya mendukung perjuangan dewasa ini yang sedang dilaksanakan oleh rakyat-rakyat Aljazair, I n d o n e s i a (u n t u k  I r i a n   B a r a t ), Palestina (untuk dipulihkannya hak-hak Arab dan untuk kembalinya para pengungsi ke tanahair mereka. Dan Kenya (Lihat Appendix II dan III).

Kemudian, Konferensi Setiakawan Rakyat-rakyat Asia-Afrika yang Pertama, yang dilangsungkan di Cairo, Mesir, pada bulan Januari 1958, dalam Resolusi tentang Imperialisme, yang menyangkut Indonesia, menyatakan sbb:

“Konferensi menyetujui tunutan rakyat Indonesia untuk kembalinya Irian Barat, yang merupakan bagian integral dari Republik Indonesia.

“Konferensi mengakui bahwa semua daerah perairan di sekitar dan di antara pulau-pulau Kepulauan Indonesia (The Indonesian Archipellago) adalah sepenuhnya dalam batas jurisdiksi nasional Indonesia.
“Konferensi membenarkan langkah-langkah yang diambil oleh Indonesia demi kembalinya secara sah Irian Barat.

Selanjutnya,
“Konferensi merekomendasikan agar negeri-negeri yang bertetangga dengan Indonesia, tidak mengizinkan Nederland menggunakan pelabhuan-pelabuhan dan lapangan-lapangan terbang mereka untuk pengangkutan pasukan atau senjata  atau untuk tujuan lain yang bermusuhan dengan Indonesia.

Sikap tegas Gerakan Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika, yang dimulai dengan pernyataan politik Konferensi Negeri-Negeri Asia-Afrika di Bandung, 11 - 15 April 1955, seperti kita baca di atas a.l. dalam dokumen Konferensi Mahasiswa AA di Bandung (1956) dan Konferensi Setiakawan Rakyat AA di Cairo, 1 Januari 1958, merupakan modal dan landasan politik yang kokoh sekali bagi kita untuk melakukan perjuangan menghimpun setiakawan AA demi perjuangan pembebasan Irian Barat.

Bisa disaksikan selanjutnya, bahwa, sikap  Komunike Akhir KAA Bandung mengenai Irian Barat, sudah terlampaui oleh perkembangan situasi dalam hubungan Indonesia-Belanda. Disebabkan oleh keputusan fihak Belanda untuk mengirimkan kapal induk “Karel Doorman” ke Irian Barat. Menjawab tindakan Belanda ini, dalam pidatonya pada tanggal  17 Agustus 1960, Presiden Sukarno menyatakan, bahwa:

Hubungan diplomatik antara Nederland dan Indonesia akan diputuskan sebagai reaksi atas sikap keras-kepala fihak Nederland dan keputusan untuk mengirimkan kapal induk “Karel Doorman” ke Indonesia.  Bung Karno mengatakan, bahwa, Indonesia sekarang akan mengambil “cara lain” terbanding permintaan untuk mengadakan perundingan(dengan Belanda). Presiden Sukarno selanjutnya menyatakan bahwa Irian Barat akan dibebaskan dengan “cara revolusioner”. Dalam suatu suatu nota resmi Menlu Subandrio menyatakan bahwa Irian Barat, adalah “suatu wilayah integral yang sah” dari Republik Indonesia.

Dalam kegiatan selanjutnya, dapatlah diusahakan dengan sukses suatu rapat umum yang diselenggarakan oleh Sekretariat Tetap AAPSO bersama dengan African Association, serta masyarakat Mesir dan Afrika di  Cairo. Rapat umum tsb khusus diadakan untuk menyokong perjuangan pembebasan Irian Barat. Selain dari fihak Mesir, Afrika dan masyarakat, diminta pula Wakil Indonesia bicara, yang ku-gunakan sebaik-baiknya untuk menjelaskan perjuangan kita untuk pembebasan Irian Barat, dan meng-’counter’ propaganda fihak Belanda yang menyesatkan itu.

Juga telah dengan sukses diselenggarakan rapat besar di Universitas Al Azhar, dalam rangka memerperingati HARI AFRIKA. Kesempatan itu ku-gunakan untuk bicara atas nama Indonesia. Semampuku membela perjuangan bangsa kita untuk pembebasan Irian Barat, dan mengharapkan dukungan Asia-Afrika yang lebih mantap lagi.

Sebelumnya, Sekretariat Tetap AAPSO, atas inisiatif wakil Indonesia dan Jepang, telah mengeluarkan sebuah deklarasi yang mengungkap intrik Belanda mengirimkan kapal perang “Karel Doorman” ke Irian Barat. Disitu deklarasi mengharapkan solidaritas Mesir, untuk menutup Terusan Suez bagi kapal-kapal perang Belanda yang bertujuan ke Indonesia, khususnya kapal induk ‘KAREL DOORMAN’.

Kampanye-kampanye tsb, dengan didukung secara mantap dan tegas oleh dokumen-dokumen, resolusi-resolusi dan sikap politik terdahulu yang tegas dari Gerakan Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika yang mendukung perjuangan rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat, telah membawa hasil yang memuaskan.

Kegiatan tsb juga  telah membuktikan bahwa Gerakan Setiakawan Rakyat-Rakyat AA, di dalamnya merupakan suatu proses yang timbal balik. Di satu fihak memberikan sokongan dan solidaritas, di fihak lain, menerima sokongan dan solidaritas. Semua itu dalam rangka kesatuan dalam perjuangan bersama melawan kolonialisme dan imperialisme.

Dibuktikan pula bahwa perjuangan kita untuk membebaskan Irian Barat dari penguasaan Belanda, adalah bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan nasion Indonesia untuk kemerdekaan nasional yang penuh, tak terpisahkan dari perjuangan demi keutuhan wilayah dan kedaulatan nasional Republik Indonesia.  * * *

* * *

1 comment:

cara-blog said...

thanks for this information, visit back to Download Ebook Gratis :)