Sunday, April 18, 2010

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
------------------------------------
Sabtu, 17 April 2010


“HASTA MITRA” – – - PENYULUH Dikala

KEBEBASAN BEREKSPRESI DIPASUNG 'ORBA'




Kemarin malam kuterima sebuah e-mail dari sahabat baikku Gung Ayu. Kubuka e-mail tsb. Ternyata isinya adalah sepucuk surat undangan penting oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI). Kukatakan penting karena 'kita-kita' ini diundang oleh ISSI untuk menghadiri pertemuan pada tanggal 20 April yad, di Rumah Dolorasa Sinaga, Jl Pinang Ranti No. 40 RT 015/RW 01, Pinang Ranti, Pondok Gede, Jakarta Timur (perempatan Garuda, seberang Tamini Square).


Kutekankan di sini pertemuan yang akan diadakan itu memang benar PENTING. Pertemuan tsb diselenggarakan ISSI: Untuk Mengenang 30 Tahun HASTA MITRA-- Mengenang sebuah perlawanan, merayakan perjuangan “Hasta Mitra”: MENCERDASKAN BANGSA LEWAT BUKU.


Selain pemutaran film dokumenter tentang Hasta Mitra oleh JAVIN – Akan ada perbincangan dengan tema: Jejak langkah Hasta Mitra dalam mencerdaskan bangsa bersama Wilson, Hilmar Farid, dan keluarga pendiri Hasta Mitra. Juga akan dipamerkan sejarah pelarangan buku dan buku-buku produksi Hasta Mitra.


* * *


Pembantaian lebih sejuta warganegara tak bersalah yang cinta dan membela Republik Indonesia dan Presiden Sukarno, 45 th yang lalu, adalah pelanggaran hak-hak azasi manusia yang terbesar dan terbiadab yang pernah dilakukan oleh penguasa sepanjang sejarah Indonesia. Sejajar dengan kesewenang-wenangan ini rezim Orba melakukan pelanggaran terbesar lainnya terhadap hak-hak demokrasi: MEMASUNG KEBEBASAN BEREKSPRESI. Ini adalah fakta-fakta sejarah. Di Indonesia dan mancanegara dewasa ini, tak ada satupun sejarawan maupun penulis yang waras yang, yang masih mencoba untuk membantahnya.


Namun, ada satu fakta sejarah penting lainnya yang pada pokoknya ditutupi atau bahkan dibantah oleh sementara sejarawan atau penulis. Yaitu sekitar munculnya tiga manusia pemberani Indonesia:

Jususf Isak, Hasyim Rachman dan Pramudya Ananta Tur. Di bawah ancaman kembali dimasukkan penjara (sebab ketiga manusia Indonesia itu adalah 'eks-tapol' yang belum lama keluar penjara dan Pulau Buru), berhadap-hadapan dengan 'senapan bersangkur' Jendral Suharto, mereka bertiga tampil tegak MENDOBRAK PASUNGAN KEBEBASAN BEREKSPRESI rezim Orba.


Seolah-olah suara melantang Bung Karno di zaman perjuangan kermerdekaan melawan kolonialisme dan imperialisme, ---- Jususf, Hasyim dan Pram meneriakkan suara lantang: INI DADAKU, MANA DADAMU!


Ketiga tokoh pejuang kebebasan berekspresi tsb bangkit, tidak 'jera' atas persekusi rezim orba, meringkuk lebih sepuluh tahun di penjara, dan di Pulau Buru. Mereka BERLAWAN. Tekad juang dan semangat perlawanan mereka, berjuang demi hak-hak demokrasi, khususnya kebebasan berekspresi: MENGINSPIRASI MEREKA MENDIRIKAN PENERBIT HASTA MITRA, Penerbit buku bermutu.


Sepenuhnya 'pas' untuk menyAtakan bahwa ketiga tokoh kebebasan berekspresi tsb telah membuat SEJARAH. Mencatat perlawanan mereka dengan perbuatan kongkrit dan nyata. Tak peduli dengan larangan dan ancaman penguasa – mereka tampil terbuka mendirikan penerbit Hasta Mitra. Menerbitkan buku tetralogi pertama Pram “BUMI MANUSIA”.

Berdirinya HASTA MITRA 30 th yang lalu, adalah suatu 'gebrakan', suatu 'tinju perlawanan' yang ampuh terhadap pengekangan hak kebebasan berekspresi. Diterbitkannya buku Pram “Bumi Manusia” sebagai produk pertama Hasta Mitra, adalah suatu 'BREAKING NEWS'.

Tidak saja bagi Indonesia yang masih merana di bawah pelarangan kebebasan berekspresi, tetapi juga merupakan 'breaking news' bagi dunia internasional. Secepat kilat Pramudya Anantar Tur dan 'Bumi Manusia' menjadi di kenal oleh masyrakat Indonesia dan khazanah sastra Indonesia dan dunia.


* * *


Tiga puluh tahun sudah berlalu sejak didirikannya Hasta Mitra. Dengan sedih dan menyesal kita dihadapkqn pada kenyataan, bahwa ketiga pahlawan pendobrak pemasungan kebebasan berekspresi: JUSUF ISAK, HASYIM RACHMAN, DAN PRAMUDYA ANANTA TUR telah tiada. Mereka adalah pahlawan-pahlawan pejuang demi kebebasan berekspresi melawan pemasungan sewenang-wenang rezim |Orba.


* * *


Wikipedia, sebuah ensiklopedia bebas di internet yang berpusat di Amerika, mencatat berikut ini mengenai Hasta Mitra:


Hasta Mitra adalah nama sebuah penerbit buku di Indonesia yang didirikan oleh Hasjim Rashman, Jusuf Isak dan Pramudya AnantaTur, tiga orang tahanan politik Indonesia yang diasingkan di Pulau Buru.

Setelah ketiganya dibebaskan dari Buru pada tahun 1979, mereka membentuk Hasta Mitra pada April 1980. Jalan ini ditempuh ketiga orang tersebut agar masih bisa bekerja dalam bidang yang dekat dengan profesi lama mereka: jurnalistik dan sastra. Hasjim, Joesoef, dan Pramoedya sebelumnya telah dilarang oleh pemerintah untuk kembali ke profesi lama tersebut, dan dengan mendirikan Hasta Mitra mereka juga dapat menampung sekitar 20 bekas tahanan politik lain.

Buku pertama yang diterbitkan Hasta Mitra adalah Bumi Manusia(1980) jilid pertama dari Trilogi Buru, karya Pramoedya. Buku ini kemudian dilanjutkan Anak Semua Bangsa(1981). Keduanya laris di pasaran—Bumi berhasil terjual sebanyak 60.000 eksemplar hanya dalam waktu enam bulan dan Anak dicetak ulang tiga kali dalam waktu enam bulan. Keduanya kemudian dibredelpemerintah secara resmi pada 29 Mei 1981, karena "membahayakan stabilitas nasional". Pembredelan ini dilakukan hanya setelah jaksa agung yang lama diganti dan wakil presiden Adam Malik, yang sebelumnya telah memuji kedua novel tersebut, berada di luar negeri.

Sejak awal para pendiri tidak terlalu peduli masalah administrasi. Dunia penerbitan bagi mereka adalah bagian dari perjuangan. Di tahun pertama-tama pernah juga seorang pejabat BNI menawarkan kredit ringan karena melihat prospek usaha yang cerah. Toyota Foundationpun berjanji akan membantu copyright untuk menerbitkan karya Pramoedya di Jepang. Tapi semuanya mundur teratur setelah larangan pertama dijatuhkan oleh Jaksa Agung.



* * *



Itu tadi adalah a.l suara dari kalangan mancanegara, dunia internasional.


Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri: Bagaimana sikap para penulis dan khususnya wartawan yang telah mendapat 'award penghargaan' dari PWI ketika dilangsungkannya HARI PERS NASIONAL y.l. Termasuk pertanyaan bagaimana sikap wartawan senior Rosihan Anwar terhadap fakta sejarah tsb diatas.


* * *


Lampiran, diambil dari surat undangan ISSI:

Sekilas Hasta Mitra

April tiga puluh tahun silam, tepat ketika rezim Orde Baru tengah mencapai puncak kejayaannya, tiga orang eks tapol (tahanan politik): Joesoef Isak, Hasjim Rachman dan Pramoedya Ananta Toer, sepakat mendirikan perusahaan penerbitan Hasta Mitra (Tangan Sahabat). Menolak menjadi hantu berkeliaran, mereka maju secara terang-terangan, mengabaikan teror dan pembatasan terhadap gerak eks tapol untuk menyebarkan buah pikiran mereka secara meluas. Sebagai langkah awal, lewat karya-karya Pramoedya Ananta Toer, yang kemudian dikenal dengan 'Tetralogi Buru', Hasta Mitra menyampaikan kisah yang berbeda dari versi sejarah resmi tentang perjalanan bangsa ini kepada generasi muda yang sedang resah akan nasib negerinya.



Gebrakan Hasta Mitra ternyata bukan saja menggegerkan dunia sastra Indonesia dan dunia, tetapi juga mengusik kenyamanan penguasa Orde Baru. Selang setahun setelah Bumi Manusia terbit dan memecahkan rekor penjualan buku terlaris -- 5.000 eksemplar dalam 12 hari -- pemerintah melalui Kejaksaan Agung melarang peredaran novel ini karena dianggap menyebarkan ajaran Komunisme. Pelarangan diikuti dengan pemanggilan dan interogasi terhadap para pengelola Hasta Mitra, serta penyitaan buku. Tindakan represif pemerintah tidak membuat trio Joesoef, Hasjim dan Pramoedya jera. Mereka melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing: Pramoedya menulis, Joesoef menyunting, dan Hasjim mencari modal usaha. Buku demi buku diterbitkan dan dilarang, namun buku-buku Hasta Mitra tetap beredar secara gerilya, terutama di kalangan aktivis pro-demokrasi, intelektual, dan pekerja kebudayaan. Penyitaan dan kesulitan memperoleh hasil penjualan gerilya membuat Hasta Mitra menanggung rugi, tapi keberanian dan keuletan Hasjim Rahman dan Joesoef Isak dalam mengelola sedikit modal dan mengolah lusinan naskah sudah membuat Hasta Mitra bertahan sebagai 'penerbit buku bermutu' sampai akhir hayat para pendirinya.



Sepanjang 1980-1998 Hasta Mitra adalah badan penerbitan yang bukunya paling banyak dilarang Kejaksaan Agung. Pemerintah seakan melihat bagaimana terbitan Hasta Mitra sudah menjadi inspirasi dan sumber pengetahuan baru bagi para aktivis gerakan pro demokrasi. Di masa itu membaca buku-buku Hasta Mitra adalah wajib bagi mereka yang peduli pada nasib bangsa dan negeri ini. Penangkapan, pengadilan dan penghukuman para pemuda yang mendiskusikan dan mengedarkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer terbitan Hasta Mitra semakin menegaskan betapa kerdilnya rezim Orde Baru di hadapan gagasan pembebasan pikiran.



Joesoef Isak, Hasjim Rachman dan Pramoedya Ananta Toer telah tiada. Tapi, jerih payah mereka tetap hidup, dalam buku-buku yang masih beredar, sebagai simbol perlawanan terhadap rezim anti-kebebasan berpikir dan berpendapat.

* * *

"SURABAJA"


njalanya
tak terpadamkan
hingga kini
nanti
dan kapanpun
njalanya panas menempa
badja kemerdekaan
badja kehidupan
ketika kita tidak lagi bertanja
pilih njala atau pilih badjanya?
dan kita merebut kedua-duanja"



Agam Wispi, “Surabaja” (1965)



* * *

No comments: