Monday, July 20, 2009

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita - ISENG-ISENG ÉH, KEBENERAN!

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Senin, 20 Juli 2009
------------------------------------------

ISENG-ISENG ÉH, KEBENERAN!


Sabtu siang kemarin dulu, seperti biasanya, bersama Murti, kami jalan-jalan keluar. Ini adalah acara harian kami. Tiap hari harus keluar jalan kaki. Paling tidak satu jam. Sambil belanja untuk keperluan dapur. Bila jatuh pada hari Senin atau Kemis, kami mampir di pasar. Dua kali seminggu di Winkelcentrum Amsterdamse Poort, ada hari 'pasaran'. Di situ sering bisa didapat komoditi yang 'twee halen, een betalen'. Artinya ambil dua bayarnya satu saja. Lumayan! Jadinya, setiap jalan-jalan keluar, selalu 'napsack' atau rugzak itu dibawa.

Begitulah! Hari Sabtu itu kami keluar jalan-jalan. Kali ini, kataku kepada Murti, mari kita ke Reigersbos. Jarak tiga stasiun Metro dari tempat kami, Amsterdam Bijlmer Arena. Sambil bertanya untuk apa, Murti sudah bilang OK. Aku ingin mengunjungi Openbare Biliotheek Amsterdam (OBA), cabangya di Reigersbos, kataku. Siapa tau ada buku yang interesan mengenai Indonesia.

Pergilah kami jalan-jalan ke Reigersbos. Pas turun dari Metro bertemu dengan sahabat lama kami, Chalik Hamid. Ia kebetulan ada keperluan ke rumah teman yang sedang libur. Untuk nyirami tanamannya. Begitulah antara sahabat, biasa. Manifestasi saling perhatikan dan saling bantu.

* * *

'Iseng-iseng, éh, kebeneran'. Memang sungguh terjadi. Tujuan ke Bibliotheek Reigersbos itu, maksudnya 'iseng-iseng' saja. Jalan-jalan, sambil liat-liat. Barangkali saja ada sesuatu yang interesan. Tiba di Biliobtheek, dari luar tampak di dalam ada orang-orang yang sedang duduk-duduk baca buku. Kami cari-cari dimana pintu masuk. Tak ketemu. Kami ketok-ketok kaca jendela. Orang di dalam agak tersentak. Heran melihat kami ketok-ketok. Lewat gerak-gerak tanganku orang yang di dalam mengerti bahwa kami cari pintu 'íngang' mau masuk. Melalui gerak tangannya, ia tunjukkan bahwa pintu masuk ada di bagian sisi gedung. Bukan di depan gedung.

Kami masuk. Tampak ruangan Bibliotheek cukup bagus. Ada kursi meja untuk baca. Selain itu juga ada sofa. Cukup mewah! Terlintas di fikiran perpustakaan di negeri kita. Umumnya amat sederhana Kecuali Perpustakaan Nasional di Jakarta. Karena Bibliothek Reigersbos itu baru sekali ini kami kunjungi, langsung kutanyakan pada karyawan yang bertugas, dimana letak buku-buku tentang Indonesia.
Ia mengantarkan ke tempat dimana terdapat buku-buku Indonesia. Pada rak buku dengan abjad huruf ' I '. Memang di situ ada buku-buku tentang India, Irak, Israel, dll dan . . . . Indonesia. Tapi aku sedikit kecewa karena kok sedikit sekali buku-buku tentang Indonesia yang ada di situ. Juga di Openbare Bibliotheek Amsterdam (OBA) Pusat, di dekat Centraal Station Amsterdam, gedung baru bertingkat 9, toh buku-buku mengenai Indonesia masih sedikit sekali. Tapi di situ memang lebih banyak buku tentang Indonesia. Belakangan ini rupanya ditambah.

* * *

Nah, di situlah, pada rak buku di bawah abjad huruf 'I ', aku menemukan buku yang memang interesan bagiku: 'GESCHIEDENIS Van INDONESIË'.' Sejarah Indonesia'. Terbitan Walburg Pers, Zutphen, 2006. Disusun oleh redaksi terdiri dari pakar-pakar Belanda: Leo Dakhuizen , sejarawan dan penulis; Dr Mariëtte van Selm (sejarawan), dan Frans Steeg. Dari luar buku ini menarik. Tampaknya edisi lux, tebal 192 halaman. Menggunakan kertas kwalitas mahal berukuran 30 x 24 cm. Begitu dicomot dan diangkat, wah cukup berat. Aku fikir kurang praktis membaca buku lux seperti itu. Sudah besar ukurannya, berat pula. Aku lebih suka baca buku berukuran pocketbook. Seperti , umpamanya buku Barack Obama (edisi asli bahasa Inggris) yang belum lama kubeli. Yang pertama 'Dreams From My Father' . . . . setebal 442 halaman. Buku kedua 'The Audicity Of Hope . . . . ' setebal 375 halaman. Ukurannya kecil dan menggunakan kertas biasa-biasa saja. Ringan dan gampang dibawa-bawa untuk dibaca dalam perjalanan. Dua buku Obama itu jauh lebih ringan terbanding satu buku 'Geschiedenis van Indonesië'.

Aku, tulis 'ISENG-ISENG, 'EH, KEBENERAN'. Tadinya hanya iseng-iseng saja jalan-jalan ke Bibliotheek Reigersbos. Tau-tau kudapati di situ buku tentang SEJARAH INDOENSIA. Kebeneran, karena selama ini aku selalu mencari buku-buku tentang sejarah Indonesia. Atau yang mengandung hal-hal mengenai Indonesia. Seperti soal Indonesia, ternyata ada terdapat di buku Barack Obama: The Audicity of Hope . . .
Tentu, buku sejarah Indonesia yang ditulis oleh sejarawan TNI-AD Prof Dr Nugroho Notosusanto, bukan buku sejarah. Karena sejarawan tentara ini, adalah salah seorang 'pakar sejarah' yang memelintir sejarah kita. Baginya yang pokok mengabdi rezim Orba. Itulah sebabnya di Indonesia banyak ditulis dan dibicarakan, diseminarkan tentang perlunya PELURUSAN SEJARAH. Karena selama rezim Orba, telah terjadi pemelintiran, pemalsuan terhadap fakta-fakta sejarah Indonesia. Apalagi bila hal itu menyangkut fakta tentang pelanggran HAM terbesar dalam sejarah kita. Terjadi pada periode ketika Pembantaian Masal 1965, di bawah rezim Orde Baru Jendral Suharto.

Aku segera pinjam buku 'Geschiedenis Van Indonesië'. Bukan karena kulit luarnya menampilkan antara lain foto PRESIDEN SUKARNO. Yang bagus. Kita tau beberapa buku tentang sejarah Indonesia, atau tentang Bung Karno, yang ditulis oleh pakar Barat juga oleh pakar pendukung Orba, sengaja memuat gambar Bung Karno, yang menampilkan wajah seorang yang tampak bengis dan buruk rupanya.

Aku tertarik ingin baca buku itu. Pertama-tama karena aku anggap penulisannya 'boleh lah'. Banyak yang sesuai dengan apa yang terjadi. Sejenak kubaca beberapa halaman depan, tengah dan akhir. Misalnya, tentang Bung Karno yang baru tamat perguruan tinggi teknik THS Bandung, ditulis begini:
'Soekarno menjadi sekretaris dan redaktur majalah bulanan INDONESIA MUDA. Di situ ia menyatakan bahwa ia menginginkan lebih dari sekadar meningkatkan (bangsa ini) di bidang sosial-kulturil. Dan bahwa tujuannya ialah aksi politik. Ia (Sukarno) menginginkan suatu gerakan rakyat yang didasarkan atas sintese ideologi nasionalisme, Islam dan marxisme. Ia menjadi ketua dari gerakan baru ini, Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), didirikan pada tanggal 04 Juli 1929, yaitu hari Kemerdekaan Amerika. Jelas, bahwa PNI dibawah pimpinannya, harus melakukan usaha dan kegiatan untuk merealisasi kemerdekaan Indonesia (terjemahan bebas dari bahasa Belanda, I.I.).

Membaca bagian yang ini saja mengenai Bung Karno, aku sudah berfikir buku sejarah bikinan orang-orang Belanda ini akan kubaca.

Tak kututup-tutupi, bahwa, bagiku, ukuran penting untuk menilai obyektif-tidaknya buku sejarah mengenai gerakan kemerdekaan Indonesia, antara lain ialah, dari kenyataan bagaimana ditulis tentang kegiatan Bung Karno sejak dulu. Buku yang ini tidak menfitnah bahwa Sukarno itu 'kolaborator Jepang' atau menyatakan bahwa pembunuhan masal hampir tiga juta orang Indonesia tak bersalah, itu disebabkan oleh politik Presiden Sukarno. Buku ini juga tidak memfitnah bahwa begitu banyak korban orang tak bersalah itu adalah tanggungajwab Sukarno. Memang, nyatanya juga begitu banyak analisis dan pengungkapan-pengungkapan, seperti pernyataan Mayor-Jendral Sarwo Edhi, yang menegaskan bahwa tanggungjawab pembunuhan masal, dimana ia turut aktif ambil bagian, adalah pada – ATASANNYA.

Bukankah justru pemelintiran sejarah mengenai peranan Bung Karno dalam sejarah, itulah yang antara lain hendak DILEMPANGKAN sekarang ini?

Pemelintiran sejarah telah berlangsung, dengan penulisan yang menyatakan, bahwa naiknya Presiden Suharto ke panggung kekuasaan adalah melalui 'pemilihan' oleh MPRS. Bahwa itu kemudian dikokohkan oleh berkali-kali 'pemilu' periode Orba. Bukankah itu pemelintiran fakta sejarah yang hendak dilempangkan sejak gerakan Reformasi? Tokh, dalam situasi seperti ini , masih muncul suara-suara sumbang yang malah, menuduh usaha untuk meluruskan sejarah, difitnah hendak 'memelintir' fakta sejarah.

* * *

Bagiku, masih ada lagi yang bisa dipakai untuk melihat betapa penulisan sejarah itu obyektif atau tidak. Dilihat, bagaiman ditulis tentang PKI dan peranannya dalam sejarah Indonesia. Apakah isinya fitnahan semata-mata, rekayasa. Yang samasekali menegasi peranan PKI dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ataukah menulis apa adanya.

Buku 'GESCHIEDENIS VAN INDONESIË' mengenai PKI a.l.menulis, bahwa pada mulanya antara Islam dan marxisme berlangsung kerjasama. Dalam bentuk kerjasama antara SI dan kaum komunis. Yang menarik ialah ditulis bahwa, pada suatu periode -- adalah barang biasa bahwa orang-orang Indonesia pada waktu yang sama menjadi anggogta lebih dari satu organisasi nasional. Terutama di Semarang. Di situ banyak anggota SI (Sarekat Islam) menjadi anggota dari pelbagai organisasi sosialis. Sesudah berdirinya PKI, bukan sesuatu yang luarbiasa bahwa anggota SI juga anggota PKI. Namun sesudah Kongres Sarekat Islam th. 1919, Agus Salim dan Hasan Djajadininggrat, mencoba untuk membangun suatu koalisi anti-PKI dalam SI. Demikian ditulis dalam 'Geschiedenis van Indonesië'.Tentu, apa yang tertulis itu masih harus dicek dan di-ricek dengan sumber lainnya.

Ukuran lainnya untuk melihat apakah pencatatan sejarah itu, rekayasa atau tidak, ialah bagaimana ditulis mengenai digulingkannya Presiden Sukarno. Bagaimana tentang naiknya Jendral Suharto jadi Presiden. Bagaimana ditulis sekitar G30S dan masa pembunuhan masal terhadap PKI dan orang-orang Kiri yang terjadi sesudah itu. Serta bagaimana ditulis mengenai periode Orba, dan bagaimana pula mengenai gerakan Reformasi dan jatuhnya Presiden Suharto.

Bila penulisan didasarkan atas hasil penelitian mengenai fakta-fakta yang ada, maka bisa dikatakan penulisan itu berusaha obyektif. Bila didasarkan pada bahan-bahan yang pada pokoknya dikeluarkan oleh Orba dan pendukungnya, maka biasanya penulisan akan berlaku menurut versi Orba. Jadi termasuk yang harus dilempangkan!

* * *

Menarik apa yang ditulis dalam buku yang sedang dibicarakan, dalam INLEIDINGnya sbb:
'Indonesia, lebih dari negeri lainnya di Asia, memperoleh perhatian di Nederland. Alasannya bisa dimengerti. Dalam banyak hal ia merupakan negeri yang mempesonakan dengan penduduk, yang meskipun masa kolonialnya, terhadap orang Belanda ramah. Juga merupakan negeri yang bagi sejumlah besar orang Belanda masih ada hubungan pribadi. Di kalangan generasi tertua terdapat banyak yang pernah tinggal lama atau dalam waktu yang lebih pendek di Indonesia. Banyak yang lahir di Indonesia dan baru setelah dekolonisasi kembali ke Nederland. Semua mereka itu meneruskan cinta mereka pada Indoensia pada keluarga mereka dan orang-orang lain. Kiasan ataupun harafiah Indonesia tetap hidup di kalangan banyak keluarga Nederland.'

Teks tsb diatas adalah terjemahan bebas dari teks bahasa Belandanya. Bisa juga ada kekelireuan. Tetapi intinya kira-kira begitulah. Sebisabisa aku menterjemahkannya dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Demikian inilah hasilnya.

Pernyatan demikian di dalam Pengantar buku 'Sejarah Indonesia' karya orang-orang Belanda yang ditulis untuk orang-orang Belanda, mencerminkan semangat persahabatan dengan rakyat Indonesia.
Ini salah satu sebab aku akan baca habis buku ini.

Tanggapan, belakanagan!


* * *

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita - ISENG-ISENG ÉH, KEBENERAN!

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Senin, 20 Juli 2009
------------------------------------------

ISENG-ISENG ÉH, KEBENERAN!


Sabtu siang kemarin dulu, seperti biasanya, bersama Murti, kami jalan-jalan keluar. Ini adalah acara harian kami. Tiap hari harus keluar jalan kaki. Paling tidak satu jam. Sambil belanja untuk keperluan dapur. Bila jatuh pada hari Senin atau Kemis, kami mampir di pasar. Dua kali seminggu di Winkelcentrum Amsterdamse Poort, ada hari 'pasaran'. Di situ sering bisa didapat komoditi yang 'twee halen, een betalen'. Artinya ambil dua bayarnya satu saja. Lumayan! Jadinya, setiap jalan-jalan keluar, selalu 'napsack' atau rugzak itu dibawa.

Begitulah! Hari Sabtu itu kami keluar jalan-jalan. Kali ini, kataku kepada Murti, mari kita ke Reigersbos. Jarak tiga stasiun Metro dari tempat kami, Amsterdam Bijlmer Arena. Sambil bertanya untuk apa, Murti sudah bilang OK. Aku ingin mengunjungi Openbare Biliotheek Amsterdam (OBA), cabangya di Reigersbos, kataku. Siapa tau ada buku yang interesan mengenai Indonesia.

Pergilah kami jalan-jalan ke Reigersbos. Pas turun dari Metro bertemu dengan sahabat lama kami, Chalik Hamid. Ia kebetulan ada keperluan ke rumah teman yang sedang libur. Untuk nyirami tanamannya. Begitulah antara sahabat, biasa. Manifestasi saling perhatikan dan saling bantu.

* * *

'Iseng-iseng, éh, kebeneran'. Memang sungguh terjadi. Tujuan ke Bibliotheek Reigersbos itu, maksudnya 'iseng-iseng' saja. Jalan-jalan, sambil liat-liat. Barangkali saja ada sesuatu yang interesan. Tiba di Biliobtheek, dari luar tampak di dalam ada orang-orang yang sedang duduk-duduk baca buku. Kami cari-cari dimana pintu masuk. Tak ketemu. Kami ketok-ketok kaca jendela. Orang di dalam agak tersentak. Heran melihat kami ketok-ketok. Lewat gerak-gerak tanganku orang yang di dalam mengerti bahwa kami cari pintu 'íngang' mau masuk. Melalui gerak tangannya, ia tunjukkan bahwa pintu masuk ada di bagian sisi gedung. Bukan di depan gedung.

Kami masuk. Tampak ruangan Bibliotheek cukup bagus. Ada kursi meja untuk baca. Selain itu juga ada sofa. Cukup mewah! Terlintas di fikiran perpustakaan di negeri kita. Umumnya amat sederhana Kecuali Perpustakaan Nasional di Jakarta. Karena Bibliothek Reigersbos itu baru sekali ini kami kunjungi, langsung kutanyakan pada karyawan yang bertugas, dimana letak buku-buku tentang Indonesia.
Ia mengantarkan ke tempat dimana terdapat buku-buku Indonesia. Pada rak buku dengan abjad huruf ' I '. Memang di situ ada buku-buku tentang India, Irak, Israel, dll dan . . . . Indonesia. Tapi aku sedikit kecewa karena kok sedikit sekali buku-buku tentang Indonesia yang ada di situ. Juga di Openbare Bibliotheek Amsterdam (OBA) Pusat, di dekat Centraal Station Amsterdam, gedung baru bertingkat 9, toh buku-buku mengenai Indonesia masih sedikit sekali. Tapi di situ memang lebih banyak buku tentang Indonesia. Belakangan ini rupanya ditambah.

* * *

Nah, di situlah, pada rak buku di bawah abjad huruf 'I ', aku menemukan buku yang memang interesan bagiku: 'GESCHIEDENIS Van INDONESIË'.' Sejarah Indonesia'. Terbitan Walburg Pers, Zutphen, 2006. Disusun oleh redaksi terdiri dari pakar-pakar Belanda: Leo Dakhuizen , sejarawan dan penulis; Dr Mariëtte van Selm (sejarawan), dan Frans Steeg. Dari luar buku ini menarik. Tampaknya edisi lux, tebal 192 halaman. Menggunakan kertas kwalitas mahal berukuran 30 x 24 cm. Begitu dicomot dan diangkat, wah cukup berat. Aku fikir kurang praktis membaca buku lux seperti itu. Sudah besar ukurannya, berat pula. Aku lebih suka baca buku berukuran pocketbook. Seperti , umpamanya buku Barack Obama (edisi asli bahasa Inggris) yang belum lama kubeli. Yang pertama 'Dreams From My Father' . . . . setebal 442 halaman. Buku kedua 'The Audicity Of Hope . . . . ' setebal 375 halaman. Ukurannya kecil dan menggunakan kertas biasa-biasa saja. Ringan dan gampang dibawa-bawa untuk dibaca dalam perjalanan. Dua buku Obama itu jauh lebih ringan terbanding satu buku 'Geschiedenis van Indonesië'.

Aku, tulis 'ISENG-ISENG, 'EH, KEBENERAN'. Tadinya hanya iseng-iseng saja jalan-jalan ke Bibliotheek Reigersbos. Tau-tau kudapati di situ buku tentang SEJARAH INDOENSIA. Kebeneran, karena selama ini aku selalu mencari buku-buku tentang sejarah Indonesia. Atau yang mengandung hal-hal mengenai Indonesia. Seperti soal Indonesia, ternyata ada terdapat di buku Barack Obama: The Audicity of Hope . . .
Tentu, buku sejarah Indonesia yang ditulis oleh sejarawan TNI-AD Prof Dr Nugroho Notosusanto, bukan buku sejarah. Karena sejarawan tentara ini, adalah salah seorang 'pakar sejarah' yang memelintir sejarah kita. Baginya yang pokok mengabdi rezim Orba. Itulah sebabnya di Indonesia banyak ditulis dan dibicarakan, diseminarkan tentang perlunya PELURUSAN SEJARAH. Karena selama rezim Orba, telah terjadi pemelintiran, pemalsuan terhadap fakta-fakta sejarah Indonesia. Apalagi bila hal itu menyangkut fakta tentang pelanggran HAM terbesar dalam sejarah kita. Terjadi pada periode ketika Pembantaian Masal 1965, di bawah rezim Orde Baru Jendral Suharto.

Aku segera pinjam buku 'Geschiedenis Van Indonesië'. Bukan karena kulit luarnya menampilkan antara lain foto PRESIDEN SUKARNO. Yang bagus. Kita tau beberapa buku tentang sejarah Indonesia, atau tentang Bung Karno, yang ditulis oleh pakar Barat juga oleh pakar pendukung Orba, sengaja memuat gambar Bung Karno, yang menampilkan wajah seorang yang tampak bengis dan buruk rupanya.

Aku tertarik ingin baca buku itu. Pertama-tama karena aku anggap penulisannya 'boleh lah'. Banyak yang sesuai dengan apa yang terjadi. Sejenak kubaca beberapa halaman depan, tengah dan akhir. Misalnya, tentang Bung Karno yang baru tamat perguruan tinggi teknik THS Bandung, ditulis begini:
'Soekarno menjadi sekretaris dan redaktur majalah bulanan INDONESIA MUDA. Di situ ia menyatakan bahwa ia menginginkan lebih dari sekadar meningkatkan (bangsa ini) di bidang sosial-kulturil. Dan bahwa tujuannya ialah aksi politik. Ia (Sukarno) menginginkan suatu gerakan rakyat yang didasarkan atas sintese ideologi nasionalisme, Islam dan marxisme. Ia menjadi ketua dari gerakan baru ini, Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), didirikan pada tanggal 04 Juli 1929, yaitu hari Kemerdekaan Amerika. Jelas, bahwa PNI dibawah pimpinannya, harus melakukan usaha dan kegiatan untuk merealisasi kemerdekaan Indonesia (terjemahan bebas dari bahasa Belanda, I.I.).

Membaca bagian yang ini saja mengenai Bung Karno, aku sudah berfikir buku sejarah bikinan orang-orang Belanda ini akan kubaca.

Tak kututup-tutupi, bahwa, bagiku, ukuran penting untuk menilai obyektif-tidaknya buku sejarah mengenai gerakan kemerdekaan Indonesia, antara lain ialah, dari kenyataan bagaimana ditulis tentang kegiatan Bung Karno sejak dulu. Buku yang ini tidak menfitnah bahwa Sukarno itu 'kolaborator Jepang' atau menyatakan bahwa pembunuhan masal hampir tiga juta orang Indonesia tak bersalah, itu disebabkan oleh politik Presiden Sukarno. Buku ini juga tidak memfitnah bahwa begitu banyak korban orang tak bersalah itu adalah tanggungajwab Sukarno. Memang, nyatanya juga begitu banyak analisis dan pengungkapan-pengungkapan, seperti pernyataan Mayor-Jendral Sarwo Edhi, yang menegaskan bahwa tanggungjawab pembunuhan masal, dimana ia turut aktif ambil bagian, adalah pada – ATASANNYA.

Bukankah justru pemelintiran sejarah mengenai peranan Bung Karno dalam sejarah, itulah yang antara lain hendak DILEMPANGKAN sekarang ini?

Pemelintiran sejarah telah berlangsung, dengan penulisan yang menyatakan, bahwa naiknya Presiden Suharto ke panggung kekuasaan adalah melalui 'pemilihan' oleh MPRS. Bahwa itu kemudian dikokohkan oleh berkali-kali 'pemilu' periode Orba. Bukankah itu pemelintiran fakta sejarah yang hendak dilempangkan sejak gerakan Reformasi? Tokh, dalam situasi seperti ini , masih muncul suara-suara sumbang yang malah, menuduh usaha untuk meluruskan sejarah, difitnah hendak 'memelintir' fakta sejarah.

* * *

Bagiku, masih ada lagi yang bisa dipakai untuk melihat betapa penulisan sejarah itu obyektif atau tidak. Dilihat, bagaiman ditulis tentang PKI dan peranannya dalam sejarah Indonesia. Apakah isinya fitnahan semata-mata, rekayasa. Yang samasekali menegasi peranan PKI dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ataukah menulis apa adanya.

Buku 'GESCHIEDENIS VAN INDONESIË' mengenai PKI a.l.menulis, bahwa pada mulanya antara Islam dan marxisme berlangsung kerjasama. Dalam bentuk kerjasama antara SI dan kaum komunis. Yang menarik ialah ditulis bahwa, pada suatu periode -- adalah barang biasa bahwa orang-orang Indonesia pada waktu yang sama menjadi anggogta lebih dari satu organisasi nasional. Terutama di Semarang. Di situ banyak anggota SI (Sarekat Islam) menjadi anggota dari pelbagai organisasi sosialis. Sesudah berdirinya PKI, bukan sesuatu yang luarbiasa bahwa anggota SI juga anggota PKI. Namun sesudah Kongres Sarekat Islam th. 1919, Agus Salim dan Hasan Djajadininggrat, mencoba untuk membangun suatu koalisi anti-PKI dalam SI. Demikian ditulis dalam 'Geschiedenis van Indonesië'.Tentu, apa yang tertulis itu masih harus dicek dan di-ricek dengan sumber lainnya.

Ukuran lainnya untuk melihat apakah pencatatan sejarah itu, rekayasa atau tidak, ialah bagaimana ditulis mengenai digulingkannya Presiden Sukarno. Bagaimana tentang naiknya Jendral Suharto jadi Presiden. Bagaimana ditulis sekitar G30S dan masa pembunuhan masal terhadap PKI dan orang-orang Kiri yang terjadi sesudah itu. Serta bagaimana ditulis mengenai periode Orba, dan bagaimana pula mengenai gerakan Reformasi dan jatuhnya Presiden Suharto.

Bila penulisan didasarkan atas hasil penelitian mengenai fakta-fakta yang ada, maka bisa dikatakan penulisan itu berusaha obyektif. Bila didasarkan pada bahan-bahan yang pada pokoknya dikeluarkan oleh Orba dan pendukungnya, maka biasanya penulisan akan berlaku menurut versi Orba. Jadi termasuk yang harus dilempangkan!

* * *

Menarik apa yang ditulis dalam buku yang sedang dibicarakan, dalam INLEIDINGnya sbb:
'Indonesia, lebih dari negeri lainnya di Asia, memperoleh perhatian di Nederland. Alasannya bisa dimengerti. Dalam banyak hal ia merupakan negeri yang mempesonakan dengan penduduk, yang meskipun masa kolonialnya, terhadap orang Belanda ramah. Juga merupakan negeri yang bagi sejumlah besar orang Belanda masih ada hubungan pribadi. Di kalangan generasi tertua terdapat banyak yang pernah tinggal lama atau dalam waktu yang lebih pendek di Indonesia. Banyak yang lahir di Indonesia dan baru setelah dekolonisasi kembali ke Nederland. Semua mereka itu meneruskan cinta mereka pada Indoensia pada keluarga mereka dan orang-orang lain. Kiasan ataupun harafiah Indonesia tetap hidup di kalangan banyak keluarga Nederland.'

Teks tsb diatas adalah terjemahan bebas dari teks bahasa Belandanya. Bisa juga ada kekelireuan. Tetapi intinya kira-kira begitulah. Sebisabisa aku menterjemahkannya dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Demikian inilah hasilnya.

Pernyatan demikian di dalam Pengantar buku 'Sejarah Indonesia' karya orang-orang Belanda yang ditulis untuk orang-orang Belanda, mencerminkan semangat persahabatan dengan rakyat Indonesia.
Ini salah satu sebab aku akan baca habis buku ini.

Tanggapan, belakanagan!


* * *

Saturday, July 18, 2009

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita - PUISI INSPIRATIF DINI S. SETYOWATI

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Juma'at, 17 Juli 2009

------------------------------------------



PUISI INSPIRATIF DINI S. SETYOWATI


Melalui Jaringan Kerja Indonesia (JKI) baru-baru ini aku menerima enam rangkum sajak hasil karya Dini S. Setyowati. Banyak yang sudah mengenal Dini. Ia anggota JKI yang aktif dan bersemangat. Enam rangkum sajak Dini tsb ditulis antara 06 Juni s/d 14 Juli 2009.


Di luar dugaanku: Sajak pertama adalah dalam bahasa B e l a n d a. Berjudul JORDAAN OP DE BARRICADEN. Aku tau bahwa Dini fasih berbahasa Belanda. Juga sering menulis atau membacakan sajak-sajaknya di pelbagai pertemuan masyarakat Indonesia. Tetapi bersajak dalam bahasa Belanda, baru kali ini kubaca sendiri.


Aku bukan penyair! Tetapi suka membaca sajak-sajak, puisi yang indah dan mencengkam. Yang inspiratif. Maka, tulisanku ini bukanlah suatu penilaian atau bagaimanalah, mengenai puisi Dini S. Setyawati. Jauh dari pretensi itu! Lalu apa? Tak lain tak bukan, sekadar menuliskan kesan-kesan dan apresiasi terhadap hasil-hasil karya seni Dini S. Setyowati.


Membaca puisi Dini S. Setyowati tergerak hatiku menulis menyatakan apresiasiku itu. Dan ingin mengatakan: Teruskan Dini berkarya seni yang indah dan mencengkam. Yang bicara mengenai rakyat kita dan perjuangannya!


* * *


Sangat kuhargai puisi Dini yang ditulisnya dalam bahasa Belandaitu.


Lalu aku teringat pada seorang penulis Iran, KADER ABDOLLAH namanya. Ia seorang pejuang. Ikut ambil bagian dalam gerakan raksasa rakyat Iran menumbangkan kekuasaan Syah Reza Pahlevi, dalam tahun 70-an abad lalu. Ketika Iran dikuasai kaum mullah di bawah pimpinan Khomeini, sebagai penulis progresif demokratis tak ada tempat lagi di Iran bagi penulis Kader Abdollah. Ia meninggalkan negerinya tercinta, minta suaka di Belanda. Kemudian jadi w.n Belanda.


Nah, penulis Kader Abdollah, yang ingin terus jadi penulis, mengerti benar bahwa ia harus menulis dalam bahasa Belanda, bila tulisannya itu ingin supaya dibaca masyarakat Belanda. Sesudah 8 tahuntekun belajar bahasa Belanda, Kader Abdollah berhasil menulis novel-novelnya dalam

b a h a s a B e l a n d a ! Salah satu dari novelnya, 'Het Huis van de Moskee', jadi buku bestseller di Belanda. Luar biasa!


Itulah sebabnya, ketika membaca sajak Dini dalam bahasa Belanda, aku jadi teringat pada penulis Iran, Kader Abdollah. Maka kuceriterakanlah sedikit tentang Kader Abdollah, yang dewasa ini teratur menulis di 'de Volkskrant' sebagai kolumnis menggunakan nama MIRZA. Kader Abdollah adalah penulis Iran, menulis dalam bahasa Belanda. Tapi hasil karya sastra Kader Abdollah, adalah bersangkutan erat sangat peduli dengan Iran. Dengan rakyat dan kebudayaannya dan perjuangannya. Kader Abdolah w.n Belanda, tinggal di Belanda, tapi hatinya, jiwanya, semangatnya --- tetaplah IRAN.


* * *


Enam rangkum sajak-sajak Dini S. Setyowati, judul-judulnya adalah sbb:

1.

Jordaan Op de Barricaden!,dalam bahasa Belanda.
2.

Kapal Layar.
3.

Wajah Bumi,
4.

Matahari Sudah Lelah,
5.

Inspirasi dan
6.

Kucing-kucing Yang Manusiawi.

Semua sajak Dini itu telah dimuat di mailist JKI. Silakan diklik dan membaca serta menikmatinya. Aku kira pembaca akan terinspirasi oleh sajak-sajak Dini itu.


Dalam tulisan kali ini dikutip salah satu dari sajak-sajak Dini S Setyowati yang berjudul:

MATAHARI SUDAH LELAH, sbb:


MATAHARI SUDAH LELAH
Oleh: Dini S.Setyowati

Matahari telah penat hampir sekarat
Untuk selalu bersinar
Dan terus memancarkan energie
Cinta kasih yang tak henti-henti
Matahari telah resah menyaksikan dengan gelisah
Begitu banyak manusia sengsara
Diatas bumi yang 'ada' untuk semua...
Tetapi mengapa rejeki tidak terbagi rata...?
Matahari sudah redup..
Menyaksikan manusia semakin hanyut
Dalam berlomba mengejar benda-benda
Lapisan polusi yang bagaikan tabir ilusi
Membuatnya terengah-engah memancar cahaya
Diatas Indonesia bahkan diseluruh dunia...
Matahari sudah terlalu lelah
Sinar hangatnya sudah tak sampai di hati manusia
Tidak bisa menjadi daya - tenaga
Untuk bangkit dari sengsara
Dan mengkibaskan rantai belenggu jiwanya
Matahari sudah kesal penat
Menyaksikan dengan rasa tak percaya
Ulah segelintir manusia kaya yang semakin jaya
Dan mengabaikan tugas utama
Untuk membagi rejeki dengan sesama:
Mereka, yang hidup berjejal dalam hina dina
Karena bumi adalah milik kita bersama
Seperti halnya sinar sang Surya
Tetapi niscaya mendung akan menjelma
Menyampaikan suatu karma murka
Berkumpul di ufuk cakrawala
Berkomunikasi dengan bintang semesta
Dalam menggalang semua daya
Di alam raya untuk meledak
Dalam Bam!! Raksasa...
Demi mengembalikan keseimbangan semula.
Amsterdam, 8 juli 2009.


* * *


Membaca judul sajak Dini tsb orang bisa saja berfikir: Wah ini pertanda penulisnya 'kecapéan'. Karena judulnya saja 'Matahari Sudah Lelah'. Padahal matahari itu adalah sumber cahaya, sumber energi, membawa suasana ceria dan hidup. Tapi, ternyata sajak tsb samasekali tidak mencerminkan orang yang 'kecapean'. Sebaliknya mencerminkan kemarahan dan kebencian karena:


Menyaksikan dengan rasa tak percaya
Ulah segelintir manusia kaya yang semakin jaya
Dan mengabaikan tugas utama
Untuk membagi rejeki dengan sesama:
Mereka, yang hidup berjejal dalam hina dina
Karena bumi adalah milik kita bersama


– – – Sebaliknya dari perkiraan semula, sajak Dini itu mencerminkan keyakinan bahwa Ulah segelintir manusia kaya yang semakin jaya
Dan mengabaikan tugas utama


– – – pada suatu ketika akan berakhir. Seperti yang ditulisnya pada akhir sajaknya sbb:


Seperti halnya sinar sang Surya
Tetapi niscaya mendung akan menjelma
Menyampaikan suatu karma murka
Berkumpul di ufuk cakrawala
Berkomunikasi dengan bintang semesta
Dalam menggalang semua daya
Di alam raya untuk meledak
Dalam Bam!! Raksasa...
Demi mengembalikan keseimbangan semula


* * *


Dini S. Setyowti yakin bahwa 'Keseimbangan semula akan kembali'. Artinya, melalui perjuangan rakyat itu sendiri, kebenaran dan keadilan itu akan unggul.

Unggul:

DALAM BAM!! RAKSASA. DEMI MENGEMBALIKAN KESEIMBANGAN SEMULA!


* * *

Kolom IBRAHIM ISA - Tulisanku SEKITAR FILM '40 YEARS OF SILENCE'

Kolom IBRAHIM ISA

Rabu, 15 Juli 2009

------------------------------

Tulisanku SEKITAR FILM '40 YEARS OF SILENCE'




* Mayor-Jendral SARWO EDHI bukan BESAN, tapi MERTUA PRESIDEN SBY *


Begitu tulisan berjudul Presiden SBY HARUS NONTON film dokumenter '40 YEARS OF SILENCE', dipublikasikan kemarin, --- aku menerima tilpun dari sahabatku Chalik Hamid. Bung, kata Chalik Hamid, ingin saya sampaikan: Ada kekeliruan dalam tulisan Bung itu. Lalu Chalik Hamid membacakan teks bagian yang mengandung kekeliruan itu, sbb:


"Bila diungkapkan dalam bahasa sehari-hari, begini bunyinya: 'Ini lho Pak Presiden, apa yang diungkapkan oleh b e s a n Anda sendiri, almarhum Mayor Jendral Sarwo Edhi, adalah suatu pengakuan yang nuraniah'."

Saya kira, Mayor-Jendral Sarwo Edhi, adalah MERTUA Presiden SBY. Bukan besannya, kata Chalik Hamid. Segera aku jawab: Bung betul. Aku salah. Mayor-Jendral Sarwo Edhi adalah MERTUA Presiden SBY.

Terima kasih banyak Bung Chalik, kataku. Akan segera aku ralat.


Pagi ini ketika kubuka e-mail yang masuk, kubaca e-mail mengemomentari tulisanku itu, dari Bung Iwamardi yang dialamatkan kepada HKSIS, sbb:


"Bila diungkapkan dalam bahasa sehari-hari, begini bunyinya: 'Ini lho Pak Presiden, apa yang diungkapkan oleh besan Anda sendiri, almarhum Mayor Jendral Sarwo Edhi, adalah suatu pengakuan yang nuraniah'."
Jenderal Sarwo Edie bukan besan, melainkan mertua SBY !


Bung Iwamardi, Bung Betul. Terimakasih banyak atas koreksi tsb.


* * *


Lalu ada e-mail dari pemuda Saurlin Siagian. Ia akitf di PPI Nederland ketika masih studi di Holand. Ia menyarankan agar teman-teman mencari kesempatan untuk melihat film '40 Years of Silence, An Indonesian Tragedy'. Ia nilai film dokumenter itu adalah terbaik selama ini, dalam katagori yang serupa. E-mail Saurlin Siagian dari Sumatra Utara itu, sbb:


Dear teman teman,

Film ini termasuk film terbagus dari film film yang menceritakan

seputar korban 65, Very much recommended untuk ditonton. Salam, Saurlin.

Terima kasih atas informasi tsb Bung Saurlin!


* * *


Masih ada satu lagi yang perlu dijelaskan. Hal itu menyangkut kutipan dari buku Barack Obama, AUDICITY OF HOPE . . . yang terdapat di dalam tulisanku itu. Sesungguhnya di dalam film dokumenter '40 Years of Silence' yang dikutip dari buku Barack Obama tsb hanya sebagian kecil saja. Yaitu sbb:


“In 1965, under the leadership of General Suharto, the military moved against Sukarno, and

under emergency powers began a massive purge of communist and their synpathizers. According to estimates, between 500.000 and one million peole were slaughtered during the purge, with 70.000 others imprisoned or forced into exile.


Dalam tulisanku kutipan dari buku Barack Obama lebih panjang, yaitu sbb:

.. . . The principal leader of the independence movement, a charismatic, flamboyant figure Sukarno, became Indonesia's first president.


Sukarno proved to be a major disappointment to Washington. Along with Nehru of India and Nasser of Egypt, he helped found the non-aligned movement, an effort by nations newly liberated from colonial rule to navigate an independent path between the West and the Soviet bloc.

Indonesia's Communist Party, although never formally in power, grew in size and influence.


Sukarno himself ramped up the anti-Western rhetoric, nationalizing key industries, rejecting U.S. Aid, and strengthening ties with the Soviets and China. With U.S. Forces knee-deep in Vietnam and

the domino theory still a central tenet of U.S. Foreign policy, the CIA began providing covert support to various isnurgencies inside Indonesia, and cultivated close links with Indonesia's military officers, many of whom had been trained in the Unites States. In 1965, under the

leadership of General Suharto, the military moved against Sukarno, and under emergency powers began a massive purge of communist and their synpathizers. According to estimates, between 500.000 and one million peole were slaughtered during the purge, with 70.000 others imprisoned

or forced into exile.
American Dream. Canongate.Edinburgh.London.New York.Melbourne, -- pages

272-273. First published in the US in 2006 by Crown Publishers, New York>


* * *


Lebih banyak yang dikutip dari buku Barack Obama tsb dengan maksud agar menjadi lebih jelas, mengapa Amerika Serikat saat itu mensubversi Republik Indonesia. Yaitu karena Amerika, bertolak dari strategi 'Perang Dingin', tidak mentolerir Indonesia di bawah Presiden Sukarno menempuh politik luanegeri bebas aktif. Kemudian Indonesia semakin dekat dengan Sovyet dan RRT. Saat itu Amerika itu sedang 'sibuk' dengan perang agresinya di Vietam. Politik luar negeri AS berlatar-belakang ideologi 'teori domino'. Teori domino' menganggap, bila satu negeri berubah jadi Komunis, maka, negeri berikutnya akan jadi Komunis pula. Seperti berjatuhannya kartu-kartu domino.


Buku Barack Obama yang ia tulis dalam tahun 2006, sungguh patut dibaca. Mengingat penulisnya, Barack Obama, sekarang ini adalah Presiden Amerika Serikat. Maka, kebijakan dan politiknya kiranya tak akan jauh dari pemikiran yang diuraikannya di dalam bukunya sebelum ia jadi Presdien. Buku Obama, mengandung banyak informasi dan pelajaran. Ia menuliskan bagaimana, ia sebagai aktivis masyarakat, kemudian jadi anggota Congres, selanjutnya anggota Senat AS. Dari bukunya bisa ditelusuri fikiranya mengenai AS, Afrika, khususnya Kenya (negeri asal bapaknya), soal dunia dan INDONESIA. Mengenai Indonesia di dalam bukunya itu terdapat paling sedikit 11 halaman. Kemungkinan besar karena Obama pernah tinggal di Indonesia. Peminat politik, pekerja media, politisi dan aktivis demokrasi dan HAM Indonesia kusarankan untuk membacanya.


Lain kali akan kutanggapi buku Barack Obama tsb. * * *

Kolom IBRAHIM ISA - Presiden SBY Harus Nonton Film '40 YEARS OF SILENCE

Kolom IBRAHIM ISA

Selasa, 14 Juli 2009

---------------------------



Presiden SBY Harus Nonton Film

'40 YEARS OF SILENCE, An INDONESIAN TRAGEDY'



Menurut hasil sementara pilpres 08 Juli 2009, SBY ada pada tempat unggul. Diperkirakan Presiden ke-7 Republik Indonesia, adalah Bambang Susilo Yudhoyono. Janji-janji pemilu SBY/Budiono dan Partai Demokrat sudah tercatat. Semua tau. Masyarakat menantikan bagaimana prakteknya nanti. Apa janji-janji itu tinggal janji saja? Ataukah benar-benar mau dilaksanakna. Lebih-lebih yang menyangkut masalah NEO-LIBERALISME yang masih berjaya sebagai sistim ekonomi Indonesia sejak Orba sampai kini. Satu lagi janji SBY/Budiono/Partai Demokrat yang gawat ialah yang berkenaan dengan pemberlakuan HAM.



* * *



Namun, yang mendesak kali ini, ingin disampaikan disini kepada Presiden SBY ialah sebuah SARAN. Yaitu agar Presiden SBY MENYEMPATKAN DIRI: NONTON FILM DOKUMENTER '40 YEARS OF SILENCE, An Indonesian Tragedy'. Saran ini mendesak sekali! Soalnya hari Kemis yad, 23 Juli 2009, mulai jam 20.30, akan diputar untuk pertama kalinya di Indonesia, film dokumenter '40 YEARS OF SILENCE'. Lokasinya di Goethe Instituut, Jakarta. Penyelenggara adalah Offstream Films & Images. Antara lain ada Lexi Rambadetta di situ. Pada kesempatan itu akan diadakan acara bincang-bincang dengan Rob Lemelson – sutradaranya; Romo Baskara T Wardaya - sejarawan Univ Sanata Dharma Jogjakarta; Asfinawati - Direktur LBH Jakarta; dan Stanley Adi Prasetyo - Komisioner Komnas HAM.



Maka, tidakkah akan bagus sekali bila pada malam pertunjukan film dokumenter '40 Years of Silence', -- Presiden SBY berkenan ikut nonton, dan ambil bagian dalam cakap-cakap dengan para cineas, sejarawan, aktivis HAM, dll. Adalah kesempatan yang bagus sekali bagi SBY untuk mendengar langsung bagaimana tanggapan mereka terhadap 'Peristiwa Pembunuhan Masal 1965.



Begitu banyak warganegara Indonesia yang tak bersalah yang hak-hak azasi manusianya telah dilanggar dengan sewenang-wenang. Tidak kurang dari mertua SBY sendiri, almarhunm mantan panglima RPKAD, Mayor Jendral Sarwo Edhi, dengan tegas membenarkan bahwa dalam peristiwa 1965 itu telah dibunuh sekitar 3 juta orang tak bersalah. Menjelang dipanggil Illahi, Mayor Jendral Sarwo Edhi mengungkapkan masalah tsb. Di saat itu pula Mayor Jendral Sarwo Edhi menyatakan penyesalannya. Bahwa keterlibatannya dalam pembantaian tsb semata-amta adalah karena perintah atasan. Demikian menurut berita yang tersiar. Perhatikan yang a.l disiarkan di 'ILHAMAIDIT'S WEBLOG' . antara lain sbb:

'Sarwo Edhie meminta Ilham memahami posisinya waktu pemberantasan PKI. “Waktu itu saya menjalankan tugas, bisa jadi salah,” ujar Ilham menirukan Sarwo Edhie Wibowo. Kekaguman Ilham kepada Sarwo Edhie Wibowo terbangun di hatinya. Secara tidak langsung, sebuah rekonsiliasi telah tercipta. Ini adalah sebuah testimoni dari Ilham Aidit dalam sebuah film dokumenter tentang para mantan tahanan politik.' Demikian 'Ilhamaidit's Weblog', 12 Februari 2009. Bagaimana Ilham Aidit putra DN Aidit, bisa berkenalan dengan Jendral Sarwo Edi, itu ada ceritanya sendiri. Bisa dibaca di 'Ilhamaidit's Weblog'.

Bila diungkapkan dalam bahasa sehari-hari, begini bunyinya: 'Ini lho Pak Presiden, apa yang diungkapkan oleh besan Anda sendiri, almarhum Mayor Jendral Sarwo Edhi, adalah suatu pengakuan yang nuraniah'. Suatu penyesalan. Sang jendral yang mendengarkan kata hati nuraninya, menyatakan penyesalannya, minta maaf, dan mengharapkan adanya penyelesaian. Oleh karena itu, wajar diharapkan, bahwa Anda sebagai Presiden ke-7 RI, 'menyelesaikan' masalah sejarah yang menggantung itu. Dalam berita lain bisa dibaca bahwa 'menyelesaikan' masalah sekitar ''Peristiwa 1965” adalah harapan tulus dari Mayor Jendral Sarwho Edhi sebelum ia meninggal dunia.



Apakah saran kepada Presiden SBY itu biasa sebagai suatu 'ilusi'. Malah bisa juga dikatakan sebagai 'mempersolek' wajah SBY. Atau bahkan sebagai usaha berbau 'legalisme'? Kiranya tidak! Pemerintah SBY sebagai pewaris Orba, bagaimanapun ikut betanggungjawab atas pelanggaran HAM terbesar di Indonesia sekitar periode penggulingan Presiden Sukarno. Sebagaimana halnya pemerintah Jepang, Jerman dan Itali yang terbentuk sesudah Perang Dunia II, harus ikut bertanggungjawab atas korban-korban yang jatuh semasa pemerintah-pemerintah fasis yang berkuasa ketika itu. Ingat, Indonesia menerima ganti rugi, berupa 'pampasan perang' adalah dari pemerinah Jepang sesudah Perang Dunia II. Begitulah toto-kromo dalam kehidupan masyrakat negeri-begeri mancanegara.



Makanya kepada pemerintah-pemerintah pasca Orba, wajar diajukan tuntutan, seperti kata Mayor Jendral Sarwo Edhi almarhum, agar menyelesaikan masalah masa lalu yang mengaibkan nama bangsa itu.



* * *



Film yang disutradarai Rob Lemelson itu mengisahkan apa yang 'dibungkam' sekitar '40 tahun' lamanya. Sebenarya bukan 'hanya' empatpuluh tahun. Tetapi hampir 44 tahun sampai detik ini. Periode itu adalah masa TAHUN-TAHUN YANG BISU di Indonesia. Penguasa, pendukungnya yang terlibat dan mereka-mereka yang terkicuh , --- semua pada m e m b i s u. Terjangkit wabah 'selected memory'. Sebabnya? Mungkin saja karena 'takut' dan 'khawatir akan 'membuka luka lama'. Atau satu dan lain hal karena sendiri ikut terlibat dengan kejahatan kemanusiaan itu



Mereka membisu mengenai kejahatan kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi di negeri kita. Suatu kejahatan terhadap kemanusian yang paling dahsyat dalam skala dan kekejamannya. Tanggung jawabnya: – – – – Seratus persen ada pada pengguasa. Yang riil dan praktis berotoritas ketika itu. Hal itu terjadi sekitar periode penghujung tahun 1965, berlanjut ke tahun 1966 dan 1967.



Formal adalah Presiden Sukarno yang berfungsi sebagai kepala pemerintah dan kepala negara. Saat itu beliau masih bersemayam di Istana Negara. Tapi itu formal saja. Kenyataannya, adalah senjata yang berkuasa. Adalah tentara Jendral Suharto yang punya wewenang. Kup merangkak baru saja dimulai oleh Jendral Suharto. Selanjutnya menggelinding ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatra, Sulawesi dan kemudian ke seluruh negeri. Jendral Suharto, panglima KOSTRAD, sudah mengambil oper tanggungjawab atas keamanan negeri, berdasarkan keputusan dia sendiri. Ia bisa berbuat demikian, karena dengan pasukan Kostrad di bawah komandonya, dialah yang praktis bekuasa di seluruh Nusantara.



Dimulailah penangkapan, penjarahan, penyiksaan, pemenjaraan, pembunuhan masal dan pembuangan! Aib yang merundung negeri ini, empat puluh tahun lebih di-peti-eskan oleh rezim otoriter Orde Baru.



Orde Baru yang sepenuhnya didukung secara politik, militer dan ekonomi bisa berkuasa selama 32 tahun di Indonesi dan berhasil membungkam pers, hak bicara dan semua elemen demokrasi yang elementer. Tetapi tangan-tangan Orba tak mampu merintangi munculnya pelbagai berita, analisa dan penerbitan di luarnegeri yang mulai mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia sekitar dan sesudah G30S. Khususnya mengenai GENOSIDA yang terjadi terhadap warganegara tak bersalah pendukung pemerintahan Sukarno. Teristimewa terhadap anggota-anggota PKI dan yang dianggap Komunis atau pendukng politik Kiri.



* * *



Sungguh menarik bahwa film dokumenter '40 Year of Silence, An Indonesian Tragedy', diawali dengan sebuah kutipan dari buku Barack Obama THE AUDICITY OF HOPE . . ., mengenai Indonesia. Antara lain sbb:



.. . . The principal leader of the independence movement, a charismatic, flamboyant figure Sukarno, became Indonesia's first president.

Sukarno proved to be a major disappointment to Washington. Along with Nehru of India and Nasser of Egypt, he helped found the non-aligned movement, an effort by nations newly liberated from colonial rule to navigate an independent path between the West and the Soviet bloc. Indonesia's Communist Party, although never formally in power, grew in size and influence. Sukarno himself ramped up the anti-Western rhetoric, nationalizing key industries, rejecting U.S. Aid, and strengthening ties with the Soviets and China. With U.S. Forces knee-deep in Vietnam and the domino theory still a central tenet of U.S. Foreign policy, the CIA began providing covert support to various isnurgencies inside Indonesia, and cultivated close links with Indonesia's military officers, many of whom had been trained in the Unites States. In 1965, under the leadership of General Suharto, the military moved against Sukarno, and under emergency powers began a massive purge of communist and their synpathizers. According to estimates, between 500.000 and one million peole were slaughtered during the purge, with 70.000 others imprisoned or forced into exile.



Kutipan dari buku Barack Obama tsb sungguh menarik. Karena dari situ bisa disimpulkan paling tidak tiga hal. Pertama, bahwa melalui CIA, AS terlibat dalam penggulingan Presiden Sukarno. Kedua, bahwa Jendral Suharto menggantikan Presiden Sukarno, melalui kekerasan militer, yang disokong AS. Ketiga, bahwa korban yang jatuh berkisar antara 500.000 sampai 1.000.000 orang.



Sambil lalu tersirat dalam fikiran betapa absurdnya pendapat kalangan berkuasa, elite dan parpol, media dan cendekiawwan yang masih ingin meneruskan '40 Years of Silence'. Masiih terus mau membisu mengenai pelanggaran HAM terbesar di negeri kita.



Bertambah janggallah fikiran sementara kalangan yang masih ingin berkampanye mengangkat Suharto menjadi 'pahlawan'. Betapa keterlaluannya orang-orang yang masih ingin membela Jendral Suharto membebaskannya dari tanggung jawab represi semasa rezim Orba, serta mencari biang keladi, dalang pembunuhan masal 1965 dst pada fihak lain.



* * *

IBRAHIM ISA – BERBAGI CERITA - LIMA HARI DI PARIS – (2)

IBRAHIM ISA – BERBAGI CERITA

Kemis, 09 Juli 2009

------------------------------------------------



LIMA HARI DI PARIS – (2)

– – – <> – – -

Berkunjug ke Paris selalu menarik. Selalu!

Sungguh. Tak percaya? Coba saja sendiri!



Semuanya menarik untuk dikunjungi. Bagi pencinta musium, ingin melihat budaya Perancis/Eropah, sejarah dan ceritanya, itu tidak sulit. Yang paling praktis ialah membeli kartu-pas ' De Paris Museum Pass.' Yaitu kartu-pas untuk semua musium dan monumen di Paris dan regio Paris, yang berjumlah kira-kira 60 buah itu. Bisa beli yang untuk dua hari atau seminggu. Mana suka. Harga ticket tidak murah. Tapi bolehlah. Sekali berkunjung ke Paris tidak rugi berkunjung lagi ke salah satu musiumnya. Untuk seminggu berkunjung ke berbagai musium dan monumen di Paris dan regio Paris, harus mengeluarkan ongkos Euro 64 per ticket. Supaya diketahui bahwa harga ticket tidak sama untuk pelbagai musim.


Baik dan sungguh menarik berkunjung ke tempat-tempat budaya seperti 'Musée de Louvre' atau 'Centre Pompidou Musée Nationale d'Art Moderne', yang lain dari pada yang lain itu. Bagiku yang paling menarik, ialah suasana kota Paris dan orang-orangya. Orang Paris. Meskipun orang-orang yang kita jumpai di jalan dan di mana saja di kota Paris, sebagian besar adalah turis-turis. Banyak orang-orang non-bulé. Seperti orang-orang Jepang, yang luar biasa banyaknya. Mereka mudah dikenal. Orangnya memang lain. Kecil-kecil, kuning kulitnya, sipit-sipit matanya. Tidak kalah gagah dan cantik terbanding bangsa lainnya di Eropah. Hitam-hitam rambutnya. Terpenting yang membedakan mereka, bagiku, ialah bahasa mereka. Begitu ngomong antara mereka, dan ini seringsekali, aku pasti tau mereka itu orang-orang Jepang. Pengetahuan itu peninggalan sejarah pendudukan Jepang atas Indonesia. Ketika itu belajar bahasa Jepang adalah mutlak wajib untuk semua murid sekolah.



* * *



WEBSITE UMAR SAID –

WEBSITE UMAR SAID -- Mengenai tema ini yang kuingin difokuskan agar pembaca mengetahuinya! Website Umar Said adalah sebuah f e n o m e n a ! Termasuk LUAR BIASA. Maka pada setiap kesempatan, di luar acara berkunjung ke tempat-tempat interesan di kota Paris, pada waktu kami istirahat di rumah kuperlukan benar untuk cakap-cakap dengan Ayik. Tema pokok, situasi tanah air dan kaitannya dengan WEBSITE UMAR SAID.



Dari percakapn itu bisa disimpulkan bahwa dorongan sesungguhnya mengelola Website Umar Said ialah kepeduliannya dengan tanah air tercinta. Semangatnya yang tak kunjung padam, untuk berbuat sesautu demi Indonesia,selama hayat di kandung badan. Website Umar Said mulai dikelolanya di media internet enam tahun yang lalu (2003).

Dimana letak keistimewaan Website Umar Said. Pada awalnya mulai dikerjakan justru sesudah Umar Said masuk masa pensiun. Jadi sudah MANULA, sudah menjadi manusia lanjut usia. Bagi Umar Said tambah umur tak menjadi rintangan untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak. Baginya selama 'lilin itu masih menyala, selama itu ia harus bisa melakukan fungsinya, memberikan sedikit cahaya pada sekitarnya'. Semangatnya untuk melakukan sesuatu lebih baik, dan lebih baik lagi, bisa dilihat dari usahanya memperluas horizon Websitenya, JUSTRU setelah ia pulih dari serangan stroke. Sungguh mengharukan, begitu ia pulih dari stroke yang ketika itu telah mengakibatkan ia sulit bicara, --- ia mulai menoto kembali Websitenya dan hasilnya bisa kita liat sendiri pada

<http://umarsaid.free.fr>.

Sedikit kembali ke cerita awal LIMA HARI DI PARIS. Aku teringat kembali hal-hal berikut ini: Kegiatan utama Umar Said dan kawan-kawan lainnya yang senasib sepenanggungan, ketika mulai bermukim di tanah asing Perancis, adalah kegiatan untuk bisa survive di Paris. Umar Said dan kawan-kawannya tidak mau bergantung pada jaminan sosial negara welfare-state. Dalam kedudukan sebagai orang-orang yang dipersekusi di tanah air sendiri, mereka dapat suaka di Perancis.Dalam posisi itu mereka banting tulang menyingsingkan lengan baju – berusaha keras mendirikan RESTORAN INDONESIA. Berhasilnya Restoran berdiri, itu tak terlepas dari bantuan dan solidaritas tema-teman orang Perancis progresif. Tentang Restoran Indonesia Paris yang sejak berdirinya telah menjadi MONUMEN INDONESIA di Paris, bisa distulis cerita ratusan halaman. Yang mengharukan, yang menarik, yang penuh pelajaran dan pengalaman amat berharga dalam kehiduan manusia.



* * *



Sekarang aku kembali ke cerita tentang WEBSITE UMAR SAID. Menurut Umar Said sendiri ia mulai membuat Websitenya itu, dengan maskud dijadikan sebagai dokumen 'pribadi'. Sekaligus jadi semacam arsip keluarga. Isinya berkaitan dengan berbagai soal. Maka juga bisa berfungsi sebagai kenang-kenangan bagi sanak-saudara keluarganya (baik dekat maupun jauh). Juga bagi anak-cucu di kemudian hari. Itulah sebabnya ada bagian-bagian yang berkaitan dengan sejarah hidup dan kegiatan-kegiatannya.

Di dalamnya, selain, ada tulisan-tulisan, baik yang pernah disiarkan lewat berbagai saluran, maupun yang belum, websitenya itu merupakan semacam 'buku'. Berisi berbagai soal politik,ekonomi, sosial, moral dan kebudayaan di Indonesia. Di samping itu, websitenya juga merupakan wahana untuk komunikasi dengan berbagai sahabat dan kenalan (atau bahkan juga yang belum kenal) serta masyarakat luas, setiap waktu. Karena “buku” atau arsip ini berbentuk website, maka bisa merupakan bahan bacaan yang hidup, yang selalu berobah terus dengan adanya bahan-bahan baru.

Lanjut Umar Said. Websitenya itu melalui Internet, bisa untuk mengikuti situasi Indonesia atau mencari bahan-bahan informasi tentang berbagai soal tentang Indonesia. Untuk itu, disediakan daftar media massa Indonesia (koran, majalah dll), dan berbagai sarana untuk mengadakan hubungan-hubungan (links).

Umar Said meluncurkan Websitenya, menjelang usia 74 tahun. Bolehlah dikatakan bahwa peluncuran website personal itu adalah sebagai tanda untuk memperingati hari ulang tahunnya yang jatuh pada tanggal 26 Oktober. Silakan pembaca mengikuti sendiri CV Singkat-nya di Website Umar Said.



RENUNGAN UMAR SAID – BAGAIMANA MEMANFAATKAN SISA HIDUPNYA

Umar Said menulis di dalam Websitenya: Ketika umur makin lanjut, dan hari-hari yang tersisa makin berkurang juga, maka muncullah berbagai pertanyaan dan bahan renungan. Hidup ini untuk apa? Dalam alam semesta yang begitu besar dan rumit ini siapakah kita-kita ini, atau, sebenarnya kita ini apa? Alam semesta sudah berumur ribuan juta tahun, lalu apa artinya kehidupan kita yang kebanyakan hanya berlangsung tidak lebih dari seratus tahun saja? Terlalu banyak persoalan yang bisa direnungkan tentang masalah manusia, masalah di negeri kita, masalah dunia, dan berbagai masalah di semesta alam ini. Sebagian dari berbagai renungan ini dicoba untuk dipertanyakan dalam website ini.

Website ini juga dimaksudkan untuk menambah adanya sarana bagi banyak orang, untuk menyalurkan pendapat, perasaan dan renungan, tentang berbagai persoalan penting yang dihadapi oleh rakyat kita. Tulisan-tulisan yang bertujuan untuk mendorong pelaksanaan demokrasi, membela Hak Asasi Manusia, menganjurkan toleransi, memperkuat persatuan bangsa, mengutamakan kepentingan rakyat banyak, akan dimuat. Segala tulisan atau ungkapan yang dengan jelas menganjurkan kebencian dan permusuhan suku, ras dan agama tidak akan disalurkan lewat Website ini. Sebaliknya, tulisan-tulisan yang bersifat kritis terhadap kejahatan moral, KKN, penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh, pelanggaran hukum dan lain-lain, akan diutamakan.

Sesuai dengan kebutuhan dan juga perkembangan situasi di kemudian hari, website ini selanjutnya masih akan mengalami perubahan-perubahan, baik di bidang penampilannya maupun isinya.



WEBSITE UMAR SAID SESUDAH MENGALAMI PERBAIKAN

Mengigat arti luar biasa dari peranan dan karya Bung Karno dalam perjuangan dan kehidupan Republik Indonesia, Umar Said, menyimpulkan antara lain, menambahkan rubrik TENTANG BUNG KARNO dan Marxisme. Juga ada rubrik yang istimewa, lain dari pada yang lain yang dimasukkan Umar Said dalam Websitenya, yaitu rubrik EXTRA PARLEMENTER. Mengingat arti penting perjuangan aksi-aksi extra parlementer, melengkapi perjuangan di bidang pers, hukum, parlementer dan lainnya.



Ikuti penjelasan Umar Said, berikut ini:

WEBSITE TENTANG BUNG KARNO, ISLAM DAN MARXISME.

Sejak beberapa waktu yang lalu, WEBSITE UMAR SAID, yang bisa diakses lewat http://umarsaid.free.fr/ sudah mengalami sekadar perbaikan atau perobahan, untuk membantu memudahkan para pengunjung website meng-akses berbagai website. Untuk itu telah ditambah menu-menu yang menampilkan banyak suratkabar nasional dan daerah, dan sejumlah website berbagai media-online. Juga ada rubrik partai politik, dengan website partai-partai politik yang penting-penting, di samping sejumlah LSM.



Ada rubrik yang cukup besar yang berisi berbagai bahan bacaan tentang Bung Karno, dengan tujuan untuk turut berpartisipasi dalam mengenang bersama-sama kebesaran tokohnya dan keagungan ajaran-ajaran revolusionernya serta jasa-jasanya sebagai bapak dan pemersatu bangsa.



Mengikuti jejak Bung Karno yang sejak muda sudah berusaha mempelajari Marxisme, maka disediakan juga rubrik Marxisme yang menghidangkan berbagai sejarah dan pandangan tentang Marxisme di Indonesia dan di dunia. Di situ terdapat juga bahan tentang Tan Malaka dan sebagian dari sejarah PKI.



Sebagai tanda turut-serta dalam mendukung berkembangnya gerakan extra-parlementer di Indonesia, disediakan juga rubrik “Extra-parlementer”, dengan menampilkan website dari sejumlah gerakan atau kegiatan extra-parlementer.

Untuk memudahkan mereka yang tertarik untuk mengikuti perkembangan atau persoalan gerakan progresif (atau gerakan kiri) di dunia, disediakan rubrik “Internasional”. Dengan menyimak rubrik ini, maka akan didapat gambaran tentang berbagai soal yang berkaitan dengan gerakan kiri atau gerakan progresif berbagai negeri di dunia.

Karena masalah Islam adalah soal yang penting di Indonesia, maka disediakan rubrik Islam yang cukup besar, sebagai sarana untuk mendapat pandangan tentang Islam ini dari berbagai sudut pandang. Demikian penjelasan Umar Said, yang bisa dibaca lebih lengkap pada Website Umar Said.



* * *



Diukur dari suatu usaha di bidang penerangan dan komunikasi, umur Website Umar Said, masih sangat muda. Tapi, jangan heran, pembacanya kini sudah mencapai 552,000 lebih pembaca yang tersebar di lima benua di dunia ini.

Bukankah ini suatu prestasi? Sungguh menggembirakan!



Bravo UMAR SAID!



* * *

IBRAHIM ISA – BERBAGI CERITA - LIMA HARI DI PARIS: (1)

IBRAHIM ISA – BERBAGI CERITA

Minggu, 28 Juni 2009

-------------------------------------------------



LIMA HARI DI PARIS: (1)

  • Fete de la Musique di Restoran Indonesia

  • Website UMAR SAID yang Diperbarui



Minggu pagi pekan lalu, jalan dan lorong-lorong Amsterdam Zuidoost masih sepi sekali. Kami berdua sudah ke bawah, menggérét troley menuju stasiun k.a./metro Amsterdam Bijlmer Arena. Dari rumah tak jauh letaknya. Hanya 20 menit jalan santai-santai. Hari cerah, mentari sudah hadir. Dan angin sejuk bertiup pelan-pelan memandu ketenangan akhir weekend ini. Dari situ dengan Metro menuju stasiun keretapi Amsterdam Centraal. Tepat jam 08.25 dengan keretapi 'Thaleys', meluncur ke Paris.



Aduh, nyamannya berpergian jauh dengan keretapi-cepat mutakhir ini. Empat jam kemudian gaék-gaék dari Amsterdam ini sudah sampai di Gare du Nord, Paris. Kawan lama kami, Umar Said dan Ninon -- sepasang kakék-nénék Indonesia di Paris – kelihatan dari jauh tersenyum menantikan kami. Dengan pengangkutan keretapi RER dan metro Paris yang canggih dan efisien kami meninggalkan Gare du Nord. Diajak makan siang di restoran 'Flunch Paris Les Halle'. 'Flunch' artinya 'French Lunch'. Sejenak tersirat dalam fikiranku ketika suatu ketika ada ramé-ramé di kalangan linguist Perancis. Mereka marah tak bisa menerima arus kata-kata dan ungkapan dari bahasa Inggris yang semakin merasuk ke bahasa Perancis. Tapi, ternyata mereka tidak berdaya menangkal arus 'globalisasi bahasa'. Di Paris dan seluruh Perancis barangkali sudah ada seratus jumlah restoran 'FLUNCH' yang tersebar di seluruh negeri.



* * *



Lima hari jalan-jalan di Paris untuk dua orang, memerlukan ongkos yang lumayan. Terutama untuk hotel. Tapi bila ada keluarga atau kawan-lama yang dituju untuk suatu kunjungan-cengkerama, seminggu atau dua minggupun di Paris tak jadi soal. Kami, Murti dan aku, seperti itulah. Memang sudah lama bermaksud untuk mengunjungi keluarga Umar Said – Ninon. Sekarang inilah baru bisa direalisasi.

Beberapa bulan sebelumnya telah kutanyakan pada Ayik (nama sapaan Umar Said), apakah pada minggu akhir Juni 2009 ini, kami bisa berkunjung ke rumahnya. Kebeneran, kata Ayik. Pada tanggal 21 Juni, di Paris akan berlangsung Fete de la Musique. Pas pada hari Minggu, 21 Juni 2009 di Restoran Indonesia Paris, akan diadakan pertunjukan Musik Angklung dan Gamelan Bali. Bisa sekaligus hadir di situ, kata Ayik. Wah, senangnya kami mendengar berita itu.



FETE DE LA MUSIQUE PARIS

Fete de la Musique, adalah festival musik yang diselenggarakan setiap bulan Juni di Paris. Peristiwa itu sudah merupakan tradis sejak 1982. Prakarsa itu dicetuskan oleh Menteri Kebudayaan Perancis Jack Lang, pada periode pemerintahan Presiden Mitterand dari Partai Sosialis Perancis. Maksudnya agar kegiatan seni musik dan tarian bisa bersama dilakukan dan dinikmati oleh masyarakat yang luas. Pada malam itu, sampai jauh malam, pelbagai macam orkes musik mengadakan pertunjukan dimana-mana di kota Paris. Terutma di pusat kota. Orang bisa hadir mendengarkan tanpa ongkos apapun. Bisa juga ikut menari, kalau mau. Pada festival musik tsb orang menyaksikan dan mendengar jazz, rock, klasik dan musik populer rakyat. Ambil bagian di situ banyak pemusik-pemusik amatir di pelbagai tempat maupun restoran dan di jalan-jalan. Konser rock paling ramai biasanya berlangsung di sekitar Place de la Republique. Sedangkan musik klasik di sekitar Palais Royal. Kotapradja Paris memberikan sumbangan khusus: transpor umum gratis seluruh Paris pada malam itu.



Kegiatan seperti ini membawa ingatanku pada masa 'tempo dulu' di negeri kita. Dikenal dengan nama pesta 'Tjap Go Meh'. Kira-kira dua minggu sesudah tahun baru Tionghoa. Ramai sekali orang menyambut kedatangan musim semi. Terutama dilakukan oleh orang-orang Indonesia peranakan Tionghoa. Suatu tradisi yang diabawa dari negeri asal mereka. Tetapi kemudian lebih banyak penduduk 'pribumi' yang ikut di situ. Ada tarian, ada musik, gambang keromong, tanji dor, dsb. Sambil mendengarkan juga menari menurut alunan musik. Terus berjalan menjusuri jalan-jalan ramai kota. Bisa juga dikatakan semacam p e s t a – r a k y a t Lekra. Bedanya dengan pesta 'Tjap Go Meh', -- Pesta Rakyat yang diorganisir oleh Lekra, selalu dilakukan di bawah semboyan Lekra – SENI untuk RAKYAT.



* * *



Tidak kebetulan bahwa INDONESIA ambil bagian dalam Fete de la Musiqe Paris. Kali ini adalah pertama kalinya Indonesia hadir dalam Fete de la Musique Paris. Bisanya INDONESIA menghadirkan MUSIK ANGKLUNG dan GAMELAN BALI, dalam Fete de la Musique tahun 2009, adalah berkat prakarsa RESTORAN INDONESIA, bahu membahu dengan KBRI Paris dan mahasiswa-mahasiswa PPI. Orang-orang Perancis di Paris, sudah pada tau, bahwa Restoran Indonesia, bukan sekadar sebuah rumah makan. Restoran Indonesia sangat aktif dalam kegiatan kebudayaan yang ditujukan untuk mempromosi Indonesia dan kebudayaannya pada masyarakat Perancis di Paris. Melalui kerjasama dengan Perkumpulan Perancis- Indonesia yang diketuai Johanna Lederer, sering sekali diadakan kegiatan malam Indonesia di Restoran Indonesia.



Sudah kudengar sebelumnya dari Suyoso, penanggung-jawab Restoran Indonesia, bahwa Restoran Indonesia Paris berrencana akan ambil bagian dalam Fete de la Musique 2009. Mereka akan mengajak mahasiswa-mahasiswa Indonesia dari PPI. Juga akan diajak fihak Kedutaan Indonesia Paris. Demikianlah hari Minggu malam 21 Juni 2009 telah berlangsung dengan sukses besar MALAM KESENIAN INDONESIA di Restoran Indonesia. Suatu malam Indonesia yang dihiasi dengan GAMELAN BALI dan MUSIK ANGLUKNG.



Penuh sesak di dalam Restoran Indonesia yang terletak di nomor 12, Rue de Vaugirard, tak jauh dari kawasan Jardin du Luxembourg, dekat Universitas Sorbonne. Banyaknya perhatian khalayak ramai yang bersesak-sesak hadir ingin menyaksikan dan menikmati acara kesenian Indonesia, betul-betul bikin hati kita jadi bangga. Malam itu merupakan suatu malam kebudayaan Indonesia yang penuh arti budaya dan politik. Aku tekankan di sini arti politik dari malam kesenian di Restoran Indonesia Paris. Sekali lagi bisa kita lihat bahwa Restoran Indnesia Paris, yang dikelola menurut prinsip koperasi Perancis, memang pertama-tama bertujuan memberikan kesempatan kerja pada kawan-kawan Indonesia yang 'terhalang pulang'. Sekaligus menjadikannya lokasi kegiatan budaya yang mempromosi TANAH AIR NUSANTARA. Begitu konsisten kegiatan budaya di Restoran Indonesia Paris, sampai pernah ada komentar pengunjung Indonesia di suatu surat kabar Jakarta, sbb: Restoran Indonesia Paris lebih aktif dan efektif dalam kegiatan promosi Indonesia terbanding apa yang dilakukan KBRI Paris ketika itu.



Bayangkan, -- selama puluhan tahun periode Orba, KBRI Perancis dengan pelbagai cara berusaha mencegah bahkan melarang orang-orang Indonesia mengunjungi Restoran Indonesia Paris. Alasannya klasik: Itu kegiatan orang-orang 'yang terlibat'. Ya, tuduhan apa lagi, selain 'terlibat dengan 'G30S'. Sungguh suatu fitnahan yang teramat rendah dan keji! Fihak KBRI samasekali tak menyadari bahwa usaha kawan-kawan Indonesia itu, justru mencerminkan semangat berdikari bangsa kita. Meskipun paspor dan kewarganegaraan mereka dengan sewenang-wenang dicabut penguasa Indonesia, namun, dalam keadaan yang begitu sulit, mereka tak menyerah pada 'nasib' buruk. Tidak meminta-minta kesana-kemari. Mereka menyingsingkan lengan baju, ber-cancut taliwondo' berkolektif dan bersetiakawan menghadapi situasi sulit.



Dengan bantuan setiakawan sahabat-sahabat Perancis mereka akhirnya berhasil mendirikan Restoran Indonesia Paris. Sebuah restoran Indonesia ditengah kota Paris, yang bukan saja merupakan rumah makan, tetapi suatu pusat kegiatan budaya Indonesia. Memang benar, ketika dikatakan bahwa Restoran Indonesia Paris itu merupakan juga suatu MONUMEN INDONESIA DI PARIS, ungkapan itu tidaklah berkelebihan adanya.



Situasi sekarang sudah jauh berubah! Pemerintah Indonesia sudah bukan Orba lagi. Meskipun banyak sekali kebijakannya yang SAMA SAJA DENGAN ORBA. Salah satu pertanda adanya perubahan itu, tampak pada sikap KBRI Paris. Mereka menyambut uluran tangan kerjasama dari fihak Restoran Indonesia Paris untuk bersama PPI ambil bagian dalam 'Fete de la Musique 2009'. Sikap KBRI tsb patut disambut. Semoga menjadi pendorong bagi KBRI-KBRI di negeri-negeri lainnya.



* * *



Berkunjung ke kota budaya Paris, bagi kami selalu mengesankan. Apalagi kali ini dengan dipandu oleh Ninon yang tak kenal lelah itu. Bertiga kami puas menikmati suasana libur di La Butte, perbukitan Monmartre di 18e Arrondissement Paris, dengan banyak café-café serta puluhan pelukisnya yang gairah manawarkan kebolehan masing-masing. Lalu Arc de Triomph, Champs Elysee, Eiffel Tower yang megah dan dengan kapal pesiar berlayar di sepanjang sungai Paris-Seine.



Namun, yang amat mengensankan ialah MALAM BUDAYA INDONESIA di Restoran Indonesia Paris, dalam rangka FETE DE LA MUSIQUE 2009.



Cerita berikutnya akan membicarakan WEBSITE UMAR SAID yang (dibikin) baru.

(Bersambung)



* * *





Kolom IBRAHIM ISA - SELANGKAH LAGI DALAM PROSES DEMOKRATISASI

Kolom IBRAHIM ISA

Rabu, 08 Juli 2009

----------------------------


SELANGKAH LAGI DALAM PROSES DEMOKRATISASI Republik Indonesia.



Kolom Ibrahim Isa kali ini memuat tulisan SOE TJENG MARCHING seperti terlampir. Tulisan tsb adalah sebuah tanggapan terhadap perkembangan demokrasi di negeri kita, termasuk pemilu serta pilres 2009.


Soe Tjeng Marhing adalah salah seorang dari generasi muda Indonesia yang teratur menulis dalam bahasa Inggris. Ada kalanya dimuat di harian berbahasa Inggris di Jakarta, 'The Jakarta Globe'. Tulisannya yang dipublikasi di bawah ini, aslinya juga ditulis dalam bahasa Inggris. Untuk sebuah majalah Jerman. Begitu membaca tulisan yang berbahasa Inggris, segera kuminta kepada Soe Tjeng untuk menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia agar bisa dibaca oleh sebanyak mungkin pembaca berbahasa Indonesia.


* * *


Mengikuti liputan pers mancanegara, tampaknya pemilihan presiden RI hari ini, Rabu 08 Juli 2009, berlangsung tanpa insiden. NOS Journal, sebuah stasiun TV publik Belanda, sore ini mewartakan bahwa dari penghitungan sementara suara yang masuk, capres SBY tampak unggul. Namun, hasil penghitungan suara menyeluruh diharapkan bisa diketahui dua minggu lagi.


Pemilihan langsung presiden RI kali ini adalah pilpres ke dua kalinya pasca rezim Orba Presiden Suharto. Dari hasil pemilu dan pilpres yang berlangsung sejak Reformasi, sementara pers Barat menganggap bangsa Indonesia punya kemampuan menyelenggarakan praktek demokrasi (parlementer) untuk pemilih yang dewasa ini berjumlah sekitar 170 juta jiwa. Yang tinggal bertebaran letaknya di ribuan kepulauan Nusantara. Halmana menunjukkan kemampuan mengorganisasi kegiatan politik terpenting dari negeri.


Pemilu dan pilres 2009 berbeda seperti bumi dan langit, -- bila dibandingkan dengan 'pemilu-pemilu' yang berlangsung di bawah rezim Orba. Semua pemilu dibawah penguasa otoriter anti-demokratis ketika itu, adalah rekayasa belaka. Semata-mata diadakan untuk 'melegitimasi' kekuasaan militer dan birokrasi yang ditegakkan melalui pembantaian, penjara, pembuangan dan represii terhadap hak-hak demokrasi dan HAM.


Pemilu dan pilpres periode Reformasi dilangsungkan di bawah proses usaha penegakkan sementara hak-hak demokrasi, seperti hak mendirikan organisasi, parpol, hak dengan bebas menyatakan pendapat, kebebasan pers dsb.


Apakah benar-benar sudah dilaksanakan syarat-sayarat demokratis di bawah pemerintahan pasca Seharto selama dasawarsa ini?


Nyatanya, a.l. sementara parpol penting yang punya peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan, seperti Partindo, PKI, Masyumi, PSI dan Partai Murba sejak Orba tak punya hak ambil bagian dalam pemilu. Sebabnya, karena parpol-parpol tsb telah dilarang oleh penguasa ketika itu. Masyumi dan PSI dilarang karena dituduh terlibat dengan pemberontakan separatis PRRI/Permesta. Sedangkan Partai Murba dilarang karena alasan lain. PKI dibubarkan dan dilarang karena dituduh menjadi dalang atau terlibat dengan G30S. Namun pelarangan-pelarangan tsb dilangsungkan tanpa prosedur hukum normal yang adil.


Lebih parah lagi apa yang terjadi dengan PKI! Anggota-anggota dan simpatisan PKI ditangkap, dibunuh, dipenjarakan dan atau dibuang. Pokoknya dimusnahkan secara fisik dan ekstra judisial. Halmana merupakan pelanggaran HAM terberat oleh sesuatu rezim selama berdirinya Republik Indonesia.


Dengan demikian, pemilu dan pilpres yang berlangsung pada periode pasca Suharto, tidak bisa dikatakan benar-benar demokratis. Masih terdapat serentetan pelanggaran terhadap hak-hak demokrasi dan UUD-RI.



* * *


Ada perkembangan positif dalam proses kampanye pemilu dan pilpres 2009. Secara menyolok dan tegas diangkat masalah bahaya NEO-LIBERALISME yang megglobal dan menjerat Indonesia. Neo-liberalisme yang sudah bercokol di negeri kita, ditegaskan diintroduksir oleh IMF dan World Bank, melalui penguasa Orba. Sistim ekonomi neo-liberalisme inilah yang merupakan sumber pengkurasan kekayaan bumi dan laut Indonesia. Indonesia telah menjadi sumber tanaga kerja teramat murah, yang diperas di dalam dan di luarnegeri. Bank-bank dan modal asing telah menguasai perekonomian Indonesia sejak berdirinya Orba.


Pelbagai pemerintah hasil pemilu dan pilpres selama ini sedikitpun tidak mengubah kekuasaan asing di bidang ekonomi terhadap negeri kita.


Apakah presiden dan pemerintah hasil pilpres 08 Juli 2009, punya 'political will' dan mampu mengubah situasi ketergantungan Indonesia pada luar, hanyalah praktek selanjutnya yang bisa membuktikannya. Janji-janji telah dinyatakan, tetapi tentu, tindakan kongkrit adalah yang menentukan.


* * *


Berikut ini adalah tulisan TANGGAPAN PENULIS SOE TJENG MARCHING:


Ketika Demokrasi Berganti Makna

05 Juli 2009

Karena partisipasi rakyat amatlah penting dalam demokrasi, menurut Amartya Sen, busung lapar tidak akan terjadi di Negara merdeka dengan sistem demokrasi karena pemimpinnya mau tidak mau harus memperhatikan kebutuhan rakyatnya untuk dapat terpilih.

Memang, demokrasi seringkali dipandang sebagai sistem pemerintahan yang paling ideal saat ini. Namun, di Indonesia, kata “demokrasi” telah dimanipulasi sebegitu jauhnya sehingga ia hanyalah menjadi alat bagi sang penguasa. Bukankah di bawah tameng demokrasi, Soeharto membunuh jutaan nyawa, membungkam kebebasan berpendapat dan menempatkan kroni-kroninya di tempat strategis di pemerintahan?

Sejarah awal Soeharto tidak lepas dari pemerintah Amerika yang mulai gentar akan ke-kirian Presiden Soekarno saat itu. Pemerintah Amerika di bawah Lyndon Johnson mulai melakukan investigasi ketat pada gerak-gerik Soekarno dan akhirnya memutuskan untuk mengubah Indonesia untuk mengikuti sistem Demokrasi mereka. Ditunjang oleh CIA, Soeharto akhirnya berhasil merebut tahta Soekarno.

Demokrasi Pancasila yang dipromosikan Soeharto adalah demokrasi yang menunjang toleransi beragama, kemanusiaan dan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, di dalam semua gembar-gembor ini, ternyata hanya ke-Ika-an yang ditekankan. Yaitu ke-Ika-an untuk tunduk pada perintah. Toleransi dan kemanusiaan hanyalah menjadi propaganda untuk melakukan hal-hal sebaliknya. Sedangkan dalam waktu yang bersamaan, pemerintah membredel media masa yang dianggap terlalu kritis pada pemerintah. Pada tahun 1994,Tempo, Detik dan Editor ditutup oleh pemerintah.

Moral keberagamaan juga ditekankan untuk mengontrol perilaku rakyat. Namun kata, digunakan sedemikian rupa sehingga ia dapat memberi kesan tertentu namun justru berfungsi sebaliknya. Bahkan kata “demokrasi” dijadikan tameng untuk melindungi diktator yang berkuasa, dan bersamaan itu menjebak rakyat dan menuduh mereka tidak mematuhi sistem yang "manusiawi" tersebut. Kata “demokrasi” pada masa Soeharto justru dapat melindungi dan menutupi kejahatan penguasa, dan memanipulasi bahkan membingungkan rakyatnya.

Bertahun-tahun setelah Soeharto lengser, dua Jendral yang telah dicurigai terlibat dalam berbagai kekerasan dan pembunuhan masal naik daun. Wiranto dan Prabowo dapat maju sebagai Cawapres. Yang mengejutkan adalah bergabungnya beberapa aktifis yang dulu sempat diculik di masa Orde Baru. Pius Lustrilanang, yang diculik pada tahun 1994 oleh tentara Prabowo, sekarang justru mendukung parta sang bekas penculik, Gerindra (tentunya bukan karena Pius menderita Stockholm Syndrome dengan jatuh cinta pada penculiknya).

Sebelum pemilu, beberapa partai juga mencoba menyogok para pemilih. Pada pertengahan April, ketika saya di Yogya, seorang pria mengatakan bahwa ia diberi Rp 50.000 oleh PKS. Saya bertanya apa dia memang memilih PKS saat itu, dan dijawab: “Iya, walau saya tidak begitu suka”. Lalu saya bertanya lagi: “Kan, bapak bisa menyimpan uangnya, lalu memilih partai lain?”. Lalu jawabnya: “Ah, sungkan”.


Dan semua ini terjadi di dalam nama demokrasi. Apa yang lebih dapat memanipulasi sistem demokrasi daripada kata “demokrasi” itu sendiri? Seperti juga beberapa pemerintah Amerika dan Eropa menggunakan kata “demokrasi barat” untuk menunjukkan superioritas mereka dan bahkan untuk meng-eksploitasi sumber alam negara-negara ketiga.

Bertahun-tahun setelah reformasi, kroni Soeharto masih tetap bercokol pada tempat-tempat strategis. Mereka masih akan berada di sana bertahun-tahun lamanya, walau Presiden yang telah digodok oleh CIA telah mati pada tanggal 27 Januari 2008. Campur tangan pemerintah Amerika pada bangsa ini sungguh-sungguh tidak bisa diremehkan!

(Terjemahan dari "When Democracy Changes its Meaning", dimuat di Majalah Polar – Germany).


* * *

IBRAHIM ISA - OUR HIDDEN HISTORY -

IBRAHIM ISA – SOMETHING TO TELL YOU

ABOUT OUR 'HIDDEN' HISTORY <1>

---------------------------------------------------------------

June 17, 2009

Armando Siahaan (The Jakarta Globe)


HISTORIAN CLAIMS WEST BACK POST-COUP MASS KILLINGS IN '65


Singapore.

Western governments supported the mass murder of more than half a million alleged communist supporters in the wake of the 1965 coup, a noted historian said on Wednesday.

Speaking on the opening day of an international conference in Singapore to discuss arguably the darkest chapter in Indonesia’s history, Bradley R. Simpson, an assistant professor at Princeton University and an expert on Indonesia, said that the US and British governments did everything in their power to ensure that the Indonesian army would carry out the mass killings.

Simpson, the author of “Economists with Guns: Authoritarian Development and US-Indonesian Relations, 1960-1968,” said the administration of US President Lyndon Johnson initially provided expressions of political support to the Suharto regime after the coup on Sept. 30, 1965.

He said the US government then provided covert monetary assistance to the Indonesian Army, while the CIA provided the small arms from Thailand.

The US government also decided to provide limited amounts of communications equipment, medicine and a range of other items, including shoes and uniforms, he said.

“The United States was directly involved to the extent that they provided the Indonesian Armed Forces with assistance that they introduced to help facilitate the mass killings,” Simpson said.

Simpson said the British government extended an emergency loan of 1 million pounds ($2 million) to Indonesia in late 1965 and promised not to attack Borneo if Indonesia withdrew soldiers engaged in a conflict with British-backed Malaysia.

But Simpson said that he found “zero evidence” that the US government masterminded the coup, in which communist-leaning founding President Sukarno was effectively replaced by Western-leaning future dictator Suharto.

“There is a lot of evidence that the US was engaged in covert operations . . . to provoke a clash between the Army and the PKI . . . to wipe them out,” Simpson said, referring to the Indonesian Communist Party.

David Jenkins, former foreign editor of the Sydney Morning Herald, said that the Australian, British and US embassies were aware of the mass killings, but did not raise a single protest to the systemic slaughter launched by the Army against the PKI.

None of the embassies believed the PKI had initiated the coup. The Australians believed the coup was an internal army affair with the last-minute backing of the Communist Party, said Jenkins, basing his arguments on statements by officials. “Australia was pinning its hopes on Suharto,” he said.

Jenkins said the US assessment also suggested that the coup was not run by the PKI, but that they came on board as the coup began.

Despite the embassies acknowledging that the PKI was not involved, they did nothing to protect them from the military.

“The 1965-1966 Indonesian Killings Revisited” is the largest conference on the subject, which remains taboo in Indonesia.

The three-day event, held by the National University of Singapore and the Australian Research Council, involved more than 30 scholars from around the world, including Indonesia.



* * *

June 19, 2009

Armando Siahaan (The Jakarta Globe)

1965 Mass Killings Erased From History, Scholars Say

Singapore. Scholars attending a conference discussing the 1965 mass killings agreed on Friday that the Indonesian government had done very little to address the devastating historical event.

University of Sydney’s Adrian Vickers said that Indonesians in general were still entrenched with the New Order frame of mind when it came to public discussion on the event, where the killings of the six generals by Indonesian Communist Party members is given more preeminence than the killings of the some 500,000 victims of alleged communist affiliation.

He said that the government must change the national education curriculum to alter the prevailing mindset on the event.

Asvi Warman Adam, a senior researcher at the Indonesian Institute of Sciences, said that the government had yet to include the events of 1965 slaughter in the national curriculum, particularly in history textbooks.

Asvi said that current official Indonesian history textbooks only mentioned the alleged 1965 communist coup, but not the mass killings that followed it.

In the latest version of “Sejarah Nasional Indonesia” (Indonesian National History), a history publication by state-owned Balai Pustaka used as a reference for Indonesian history textbooks, Asvi said that the mass killings were not even mentioned, let alone the notion of human rights violation by the Indonesian armed forces.

Historians said that a countercoup led by then Lt. Gen. Suharto, led to a nationwide purge of communist party members and their supporters that saw more than 1.5 million people summarily detained for years and some 500,000 killed.

“The book only mentions that following the [alleged] September 30 coup, the government established a fact-finding commission that reported directly to the president,” Asvi said. “But it didn’t mention what was being reported.”

Winarso, an activist who has been working with a victims group named Sekber, said that advocacy groups wanted the government to officially recognize and apologize for the killings that occurred in 1965.

Flinders University scholar Priyambudi Sulitiyanto and activist researcher Sentot Setyasiswanto said that many nongovernmental organizations had worked with the victims and their families, but the government had failed to respond appropriately to their pleas.

They said that one way to address the issue would be by creating a truth and reconciliation commission as an official mechanism to address past human rights abuses in Indonesia, offering some form of reconciliatory closure for the victims.

Under pressure from human rights and victim advocacy groups, the House of Representatives worked on a Truth and Reconciliation Commission draft bill in 2004, but it was annulled by the Constitutional Court in 2006 under President Susilo Bambang Yudhoyono’s administration.

The National Commission on Human Rights then established an ad hoc team in 2008 to address allegations of human rights violations linked to the 1965 slaughter.

Nurkholis, who heads the ad hoc team, said that they have proceeded with a formal inquiry by interviewing witnesses of the event, both from the perpetrators’ and the victims’ side. He said that the team had gathered 311 interviews from areas in Java, Sulawesi, Kalimantan, and Bali.

Nurkholis said that there the inquiry has faced difficulties, such as the far-flung locations of the witnesses and the credibility of the victims’s testimonial because of their old age.

He also said that the inquiry not only received weak government support but there were also attempts to influence matters by the military and Islamic groups.



* * *

IBRAHIM ISA – SOMETHING TO TELL YOU , JULY 4, 2009

IBRAHIM ISA – SOMETHING TO TELL YOU
Saturday, 04 July 2009

------------------------------------------------------------------------------

The night PUTU OKA will never forget

<>

The Jakarta Globe – July 02, 2009

By – Armando Siahaan

Putu Oka Sukanta. (Photo: Armando Siahaan, JG)

Putu Oka Sukanta. (Photo: Armando Siahaan, JG)

Living Memory of The Torture Years

The night of Oct. 21, 1965, was one that Putu Oka Sukanta will never forget. After returning from a movie theater in Pasar Minggu, South Jakarta, a group of men in military uniforms stormed into his residence and arrested him.

“There was no letter of arrest shown and no explanation whatsoever,” said Putu Oka, sitting in the living room of his house.

He spent the next 10 years behind bars with no idea of how long he would be there.

“I wasn’t sure when I could go home,” he said. “I wasn’t sure what would happen to me.”

The years 1965 and ’66 were tumultuous ones in Indonesian history. Three weeks prior to Putu Oka’s arrest, a failed coup had been launched, allegedly by the Indonesian Communist Party, in which six high-ranking military officers were killed on a night known as the September 30 Movement. The Indonesian Armed Forces subsequently retaliated with a massive purge of suspected communists.

Putu Oka, a high school teacher and freelance journalist, was a member of the People’s Art Guild, also known as Lekra, a cultural organization affiliated with the Communist Party.

Putu Oka had been dismissed from the school where he was teaching about a week earlier due to his involvement in Lekra, so he suspected he might soon be targeted for arrest.

“It was like being defeated before the war started,” he said, his voice still reflecting his indignation so many years later.

Wearing a cotton polo shirt and brown pants, Putu Oka sat comfortably in his living room during our interview, checking incoming text messages and sipping a cup of tea. Such simple privileges were nonexistent during his long days in prison.

“The prison was overloaded,” he said. “A cell intended for one inmate was occupied by three. We had to sleep so tightly we were just like packed sardines.”

He said the cell he shared was approximately one and a half meters wide and two meters long.

Starvation was also an issue as there were seldom sufficient rations.

“The typical meals included horse food, rice mixed with sand and pieces of tempeh as small as your toe.

“Unless you had family members or relatives that brought you food,” he said, “you could die in six months.”

Putu Oka’s family lived in Bali, where he was born on July 21, 1939. Concerned for their safety, he didn’t even inform them that he had been arrested.

“[The Army] could’ve harmed my family,” he said.

The only person close to Putu Oka at the time was the woman he was engaged to marry. After she had visited him in prison a number of times, he told her to flee the country for her own safety. “It was only because I loved her,” he said.

She eventually met and married someone else in Germany.

Although he was beaten repeatedly in prison, Putu Oka said he never experienced any of the more extreme torture he witnessed or was told about by others.

“Some were beaten, some had their toes crushed with the feet of tables and some were electrocuted.

“The women prisoners had bottles shoved up their vaginas, and some were forced to have sex with fellow women prisoners [while guards watched].”

Equally as painful as the physical abuse was the intellectual restraint placed upon him.

“Prisoners were not allowed to write and read anything,” he said. “I had to keep my creativity orally. I still wrote fiction and poetry in my mind.”

After a decade of imprisonment, Putu Oka was released in 1976 because of illness. “I had respiratory problems,” he explained.

On the day of his release, he was forced to sign a document stating that he would not take any legal action against the government for what had happened to him in prison.

He was, of course, happy to be released, but new challenges awaited him.

“Immediately I had to find a place to live and food to eat,” he said, ”which meant I had to find a job.”

Looking for a job while bearing the stigma of a communist past was extremely difficult, as newspapers of the time were constantly reminding their readers of the dangers of communism.

“[Employers] would ask about your background. I never lied. If they wanted me, good. If not, that was fine.”

A Ministry of Domestic Affairs regulation in 1981 further legitimized the stigma against communists, and ex-political prisoners had their identification cards marked with the letters “ET” for eks tahanan politik (former political prisoner) , and had to report to authorities monthly.

“If you had the ET mark, your civil rights practically died,” Putu Oka said. “You couldn’t be a teacher, a civil servant or a military officer. You couldn’t vote during elections.”

Fortunately for him, when he moved from Tangerang to Jakarta in 1977, his identification somehow missed being marked with the “ET” designation.

To earn his living, Putu Oka eventually pursued a career in acupuncture. He learned the traditional form during his time behind bars from Dr. Lie Tjwan Sin, one of his former cellmates.

“[While in prison] I helped people who had skin, mental, nerve, respiratory and digestive problems,” he said, adding that the health care provided by the prison was abysmal.

Putu Oka opened an acupuncture clinic in his house in East Jakarta, which still runs today, and with other traditional doctors established the Foundation for Indonesian Traditional Healing Methods in 1980. The foundation focuses on providing traditional medicine courses and health development programs.

“My social commitment was high,” he said. “I’ve never lived just for myself. There are so many unfortunate people who don’t have access to a better life.”

Putu Oka also revived his passion for the literary world. He submitted some short stories to major publications, “but I was banned from doing it again after the newspapers discovered my background.”

He found the answer to his predicament in foreign cultural organizations, where he became involved in fiction writing and poetry readings, and had a number of works published through alternative publishing companies.

“I refused to label my work as leftist,” he said. “I prefer to call it literature for the people. I write political and social fiction.”

Putu Oka won the prestigious Kalpataru award in 1982, and received much media attention nationally. Following his win, he said, the Ministry of Information issued a regulation saying that any recipient of a government-held award must be able to prove that he or she did not have a communist background.

In 1990, Putu Oka was once again arrested and tortured by the Army, on accusations that his literary and medical activities were “sponsored by an underground communist group.”

Accusing him of trying to revive communism, the government again added the “ET” mark to his identification card and he was put under intensive scrutiny by government intelligence.

Putu Oka said he continued producing his more political writings in secret. But it was his persistence in the health sector that bore the most fruitful results. More than 10 health-related books have been published under his name and the Health Ministry eventually employed him to promote traditional medicine in Indonesia.

“My achievements in the health sector were recognized by the government.”

In May 1998, when Suharto abdicated from his position as president of Indonesia, Putu Oka felt a deep sense of relief.

“I took part in the fight against Suharto,” he said with pride. “It was a result of a struggle.”

But the journey toward independence has not ended yet, he said.

“The struggle will never end because it’s not just for me. It’s for others, too.”

In 1999, Putu Oka published a novel that brought him to national prominence. “Merajut Harkat” (“Knitting Dignity”) was the result of 20 years of writing, and is a fictional account of a man who became dehumanized after being imprisoned without knowing why.

He has written more fiction based on the injustices of 1965 and after.

Wanting to give other victims an opportunity to tell their stories, he also began producing documentaries.

“Through films and writing [the victims] get room to say what they wish to have heard, to have read and to have seen by many people, so that the reality of the past is no longer stigmatized and darkened,” he said.

Through his documentaries and writing, he also seeks a greater goal. “The 1965 mass slaughter is a problem that has not been legally resolved,” he said. “It was a gross violation of human rights.

“The government needs to acknowledge their mistakes in the past. This will be a task for me as long as I am still alive.”

His immediate hope: “I want the current generation to be able to see our history in an honest way.

“It is very important so that we can build a future that is more civilized.”


Other Victims Share Their Experiences

“Menyemai Terang Dalam Kelam” (“Sowing the Light in the Dark”), 2005

Putu Oka Sukanta’s first documentary looks at the tragic events of 1965 and ’66 through the testimony of individuals who endured hardships in those years. One witness tells of the fiction the New Order regime put out that Communist women had seduced the murdered generals, and later gouged their eyes out. Another woman talks about how she spent much of her childhood going from one prison to another looking for her father. There are more heart-rending accounts in the documentary that chronicle the wounds inflicted by the cruelties of the time.

“Perempuan Yang Tertuduh” (“The Accused Women”), 2006

One of the most highlighted aspects of the failed coup in 1965 was the role of female Communists in the killing of the six generals. “Perempuan Yang Tertuduh” offers personal accounts of four women who were imprisoned because they were allegedly involved in Gerakan Wanita Indonesia (the Indonesian Women’s Movement), better known as Gerwani, and accused of playing a role in the attempted coup on Sept. 30, 1965.

“Tumbuh Dalam Badai” (“Growing in the Storm”), 2007

“Tumbuh Dalam Badai” focuses on children whose lives were affected by the events of 1965 and ’66. Its five subjects include Wangi Indria, a puppeteer from Indramayu whose father was a suspected Communist who was arrested as a political prisoner, and Nani Nurahman, whose father was one of the military officers killed on Sept. 30, 1965.

The documentary shows how this next generation still struggles with their lives, unable to separate the dark history from their daily lives.

“Seni Ditating Jaman” (“The Art That Will Not Die”), 2008

Lembaga Kebudayaan Rakyat (People’s Art Guild), better known as Lekra, was linked to the Indonesian Communist Party and banned during the New Order regime. “Seni Ditating Jaman” shows how Lekra continued its activities during the Suharto era. Members either went underground to produce art or did so while in prison. Historians, legal experts, artists and curators are interviewed to add substance and color to the film.

To order DVDs, contact:
Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan
Tel. 021 489 1938
E-mail: poskanta@indosat.net.id






IBRAHIM ISA - BRIEF AAN VOORZITTER AMNESTY INTERNATIONAL NDEDERLAND

IBRAHIM ISA
----------------------
16 juni 2009



Geachte Mw Tettero L,


Mijn brief (d.d. 16 juni 09) aan Mw Sandra Lutchman,
Voorzitter Bestuur Amnesty International, Afd Nederland,
is vandaag 16 juni 2009, per pos vertuurd naar Amnesty International.

Zie kopie van het brief hieronder:


Met vriendelijke groet,

Ibrahim Isa

------------------------



IBRAHIM ISA
------------------
Amsterdam, 16 juni 2009




Aan
Mw Sandra Lutchman
Voorzitter Bestuur van Amnesty International,
Afdeling Nederland



Met vriendelijke groet,

Ik dank U zeer voor Uw antwoord-brief d.d. 28 mei 2009.

In Uw brief worden Indonesische mensenrechten acitivisten herinnerd dat Amnesty International in het verleden, – jaren zeventig en tachtig van de vorige eeuw veel aandacht heeft gehad voor 'de slachtoffers 1965'. Verder dat Amnesty International mijn Open Brief aan de voormalig Secretaris Generaal van de VN, Kofi Annan,tijdens de Algemene Vergadering van dat jaar ter ondertekening aan bezoekers van de AV aangebodenis.


Uw herrinerde mij dat in 2006, ik een uivoerig contact heeft gehad met de Azië coördinator, Yvette Lawson, over de wijze waarop Amnesty International al dan niet aandacht kon besteden aan de positie van 'de 1965 slachtoffers'. Dit contact vond plaats naar aanleding van mijn Open Brief aan het International Secretariat (d.d. 18 februari 2006), waarin ik wees op de kwetsbare positie van onderzoekers en activisten die zich bezig houden met onderzoek naar en voorlichting over de gebeurtenissen in en na 1965. Toen was duidelijk – ondermeer naar gesprekken met het landenteam van het Internatioaal Secretariaat – dat Amnesty International uitsluitend via de weg van aandacht voor de positie van Indonesische 'mensenrechtenactivisten' haar werk effectief kon doen. Dat geldt ook anno 2009.


Uw benadrukte dat – dit wil niet zeggen dat Amnesty International geen oog heeft voor 'de slachtoffers 1965' en de discriminatie ten aanzien van hen en hun familieleden geldt. Het ontbreekt Amnesty aan voldoende capaciteit om een gedegen onafhankelijk onderzoek te doen naar alle aspecten van de gebeurtenissen 1965 en de daders in die tijd.


Geachte Mw Sandra Lutchman,


Ik ben zeer verheugd over uw mededeling dat 'Binnenkort zal Amnesty Nederland – tijdens een kleine interne bijeenkomst van landenmedewerkers Indonesië – proberen ook deze jonge vrijwillegers van Amnesty bekend te maken met de door mij aangestipte schendingen. Dit gebeurt middels een vertoning van de documentaire ' 40 Years of Silence' waarop ik jullie Azië coordinator wees. Deze aangrijpende documentaire zal ook onder aandacht gebracht worden van de directeur van Movies That Matter, waarmee overlegd zal worden of later dit jaar (tijdens het Filmfestival 2010), de documentaire getoond kan worden in één of meerdere publieke filmtheaters. Amnesty International (of tijdens he Filmfestival 2010), de doumentaire getoond kan worden in één of meerdere publieke filmtheaters. Amnesty International promoots deze documentaire dus op bescheiden wijze.

Aldus Uw brief.


Nogmaals, hartelijk dank,





Ibrahim Isa
Amnesty International Nederland
Lid No. 8351805

Publicist
Secretaris Wertheim Stichting, Amsterdam