Saturday, July 18, 2009

Kolom IBRAHIM ISA - BANGGA JADI ORANG INDONESIA

Kolom IBRAHIM ISA

Sabtu, 30 Mei 2009

----------------------------

BANGGA JADI ORANG INDONESIA



* * *

Sepuluh hari sudah berlalu, 20 Mei 2009. Ketika itu, LAKSMI PAMUNTJAK, penulis muda, budayawan Indonesia dari generasi kini, diminta bicara dalam pertemuan di Gedung Stovia lama di Jakarta. Kumpulan itu diadakan untuk memperingati 'HARI KEBANGKITAN NASIONAL'. Aku katakan Laksmi Pamuntjak dari generasi muda. Tercatat ia kelahiran tahun 1971.



Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2009. Seyogianyalah, peristiwa itu tak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Apalagi di kala bangsa ini sedang bergolak, bergejolak melintasi jalan lika-liku, menuju masa dewasa.



Di media Indonesia, yang dalam batas tertentu tercermin pada puluhan mailis, maupun di berbagai 'online', luput aku membacanya. Tak kuketahui ada orasi budaya Laksmi Pamuntjak dalam kesempatan memperingati HARI KEBANGKITAN NASIONAL. Baru beberapa hari belakangan ini kujumpainya di sebuah situs.



Begitu selesai baca, aku fikir: Paling tidak, yang biasa membaca tulisanku di media internet harus juga membacanya. Maka harus disiarkan. Ditulis oleh seorang sastrawan muda Indonesia. Muda, benar masih muda. Namun, apa yang diuraikannya mencerminkan keseriusan penulisnya. Memikirkan nasib bangsa. Kepedulian serta keterlibatan yang mantap terhadap negeri. Bangsa di masa kini, lampau, lebih-lebih masa depamnya.



* * *



Salah satu yang tegas diajukannya, ialah bahwa: Ia, . . . Laksmi Pamuntjak, adalah SALAH SATU YANG BANGGA JADI ORANG INDONESIA. Jiwa dan semangat demikian dari seorang generasi muda, – – – – inilah, yang antara lain AMAT DIPERLUKAN bangsa ini.



Karena, bukankah pernyataan ini diucapkan dalam situasi dimana tidak sedikit orang mulai bosan. Selanjutnya mengambil sikap masa bodoh. Seakan-akan bersikap persetan dengan situasi yang dialami negeri dan bangsa. Berpeluk tangan terhadap kepiluan penderitaan. Merasa tak berdaya, pasif ditengah-tengah semakin ramainya kampanye pilpres 2009. Halmana dirasakan sebagai timbunan carut-marut yang semakin bertumpuk. Dari hari ke sehari semakin gawat layaknya. Bukankah tidak sekali dua, kita menjumpai cetusan perasaan seperti pernah diucapkan, ataupun tidak diucapkan: . . . AKU MALU JADI ORANG INDONESIA.



Tetapi, tidak demikian halnya dengan budayawan, penulis muda Laksmi Pamuntjak.



Orasi Laksmi Pamuncak, adalah suatu reaksi dan tanggapan positif yan berani. Tidak tunduk-runduk tetapi kepala diangkat tegak. BERTAHAN -- Bagaimanapun melelahkan dan menjengkelkannya mengikuti perkembangan situasi nasib rakyat yang semakin terbengkalai. Teguh dan mantap berpijak pada pandangan OPTIMISME REALIS. Terhadap yang sekarang, apalagi yang jauh ke depan!



* * *



Siapa Laksmi Pamuntjak?

Nama itu cukup terkenal di Indonesia. Di luar negeri, di kalangan dunia sastra mancanegara, juga begitu. Sejak April yang lalu ia diminta duduk dalam sebuah Juri Internasional dari Prince Clause Funds. Ia seorang wanita Indonesia, yang sering mewakili Indonesia di banyak negeri. Seorang penulis dari generasi baru, salah seorang yang namanya mencuat. Bukan saja karena tulisan-tulisannya, tetapi juga karena banyak tulisannya itu ditulis dalam bahasa Inggris. Tapi sebab terutama menjadi dikenal luas di luarnegeri ialah disebabkan oleh novel-novelnya, artikel, komentar dan kritiknya selama ini.



Kali ini bukan dimaksudkan untuk menulis siapa penulis LAKSMI PAMUNTJAK. Itu, kiranya pada kali dan kesempatan lain. Kali ini dimaksudkan terutama agar pemb aca dengan seksama mengikuti ORASI BUDAYA LAKSMI PAMUNTJAK, sehubungan dengan HARI KEBANGKITAN NASIONAL.



Selakan membacanya:



HARI KEBANGKITAN NASIIONAL –

SAYA SALAH SATU DARI JUTAAN YANG BANGGA MENJADI ORANG INDONESIA



* * *


Hari ini kita berkumpul di gedung bersejarah ini antara lain untuk mengenang para korban

tragedi Mei 98. Marilah kita luangkan satu menit hening untuk mengingat perjuangan mereka

demi sebuah Indonesia yang bebas, adil, terbuka dan lepas dari segala bentuk kekerasan

dan penindasan.


Saudara-saudara yang saya hormati:


Saya salah satu dari jutaan orang yang bangga menjadi orang Indonesia. Telah dicatat dengan baik

oleh sejarah bahwa Indonesia adalah sebuah republik dengan 13 ribu pulau yang tahan dalam

persatuan bukan karena kekuatan militernya. Adanya satu bahasa yang berbeda – sebuah bahasa

yang tidak dipaksakan oleh mayoritas, bahkan sebuah bahasa yang dikembangkan oleh kalangan

yang dulu disebut sebagai keturunan "asing" merupakan prestasi yang tak dapat dipungkiri.


Tapi akhir-akhir ini kata nasionalisme sering membuat saya terpekur. Setiap kali saya mendengar

kata itu, saya ingat setidaknya tiga pengalaman.


Yang pertama terjadi suatu petang di bulan Juli 2006. Saya dan sejumlah kawan sedang duduk di

sebuah restoran di puncak bukit di Ambon. Esoknya kami berniat berlayar ke Pulau Buru. Bersama

kami seorang ibu separuh baya -- ia mantan kepala Badan Urusan Logistik daerah --- dan adik laki-lakinya. Keduanya

bermata sipit, dengan tutur kata lembut. Mereka bicara tentang kekerasan antar

agama di Maluku: tentang hamparan mayat, tentang tetangga yang saling membantai, tentang kota

yang terbelah menjadi merah dan putih.


Mereka menyesali pertumpahan darah di bumi Maluku. "Nama keluarga kami Chua.” Kata

perempuan itu. "Kami berdua Muslim keturunan Cina. Keluarga besar kami menamakan diri

Marga Ambon, dan kami adalah generasi kelima. Berabad-abad kami hidup dengan perbedaan. Bhineka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan."


Pengalaman kedua: Hari Kartini, tiga bulan sebelumnya, di Jakarta. 6000 manusia, mayoritas

perempuan, berpawai dari Lapangan Monas ke Bunderan Hotel Indonesia. Meski mereka turun

ke jalan untuk menentang rancangan undang-undang pornografi yang mengancam

kebhinekaan Indonesia, ini sebuah aksi damai. Suasana karnaval sangat kental. Pakaian mereka

dari Sabang sampai Merauke. Ada tari singa Cina, ada kelompok waria, ada penari

sing-sing berbalut celana pendek. Hidup Pancasila! Hidup Bhineka Tunggal Ika! Marilah kita

kemajemukan Indonesia! Demikian mereka bersorak.


* * *


Hadirin yang saya hormati,


Tak banyak yang ingat bahwa pada suatu hari di tahun 1962, dari Hotel Indonesia

berkumandang hingar-bingar nasionalisme. Dalam acara peresmian hotel itu, Presiden Sukarno

menggelar sebuah pentas akbar berjudul Bhineka Tunggal Ika. Pagelaran 80 menit itu terdiri dari

12 tari tradisional yang masing-masing diperpendek menjadi tujuh menit dengan harapan ia akan

lebih mudah dicerna oleh penonton asing dan ibukota.


Kita tahu, Bung Karno di tahun-tahun itu mulai menjadi seorang penguasa yang otokratik.

Tapi ia tetap seorang pemersatu. Bagi Sukarno, dengan segala cacat dan musykilnya, persatuan

di atas segala-galanya.


Bagi saya, yang lebih menarik tentang retorika nasionalisme Hotel Indonesia saat itu adalah

eklektismenya. Sebuah bangsa memang lahir melalui proses (dalam tanda kutip) “melupakan”.

Di satu sisi ia mengatasi rasa ketidak-berdayaan yang ditinggalkan penjajahan Belanda.

Di sisi lain ia hasil dari "imagining" -- untuk mengikuti Benedict Anderson -- membentuk

citra, tentang sebuah identitas baru dengan melepaskan apa yang dihayati sebagai identitas

lama: Indonesia yang tidak sama dengan Jawa atau Sunda atau Minang.


Paradoks ini mengingatkan kita akan seorang tokoh lagi: Kartini. Kartini telah

mempelopori sebuah kesadaran identitas diri yang merupakan dasar nasionalisme Indonesia

kelak, yang tidak berdasarkan identitas etnik atau budaya yang permanen. Bisa jadi

Kartini mendahului pemikiran kaum nasionalis di Indonesia yang kemudian datang:

nasionalisme yang berdasarkan sifat universal manusia.



Kartini menunjukkan bahwa tuntutan untuk merdeka juga bisa datang dari seorang

perempuan Jawa, ketika perempuan itu tertindas. Tuntutan itu universal, bisa datang dari

semua bangsa di muka bumi. Dan ini semua hanya bisa dikemukakan oleh seorang seperti dia,

yang selamanya berdiri sebagai "Yang Lain", yang bukan ini dan bukan itu. Kartini yang

menghayati nilai-nilai emansipasi itu bukan sepenuhnya "Timur" tapi bukan pula "Barat".

Dengan kata lain, identitasnya tidak dikurung dalam sesuatu yang partikular.


* * *


Kartini, demikian juga semangat nasionalisme, adalah tanda bahwa identitas mengalir, berubah

dan menyerap dari sana sini. Ia tak pernah baku, atau tunggal, melainkan selalu mengelak

dari upaya-upaya untuk mendirikan batas atau menutup diri, entah lewat formalisasi,

penyeragaman, apalagi pemaksaan nilai-nilai sebuah golongan (apalagi yang belum

tentu merupakan mayoritas) ke golongan lainnya.


Beberapa tahun yang lalu ada Parade Penari Tayub di Solo untuk menentang rancangan

undang-undang pornografi. Sebagai perempuan, saya menganggap Tayub menyiratkan

eksploitasi perempuan. Namun, lewat aksi itu, para penari Tayub itu seakan hendak

mengingatkan kita tentang budaya abangan, yang kini mulai pudar. Mereka menunjukkan

bahwa ada 'Jawa' yang lain yang dicoba direpresi. Sikap orang Indonesia dari Bali dan Papua yang

menolak aturan yang anti-pluralisme itu juga menandaskan hal yang sama: bahwa menjadi

orang Indonesia adalah menjadi orang yang terbiasa hidup dengan perbedaan.


Pengalaman ketiga: Pada perayaan Hari Pancasila tanggal 1 Juni 2006, koor Universitas

Indonesia menyanyikan sejumlah lagu nasional. Mengikuti acara yang disiarkan di radio itu

banyak penonton menangis. Pada saat-saat seperti itu, kita memaknai ulang kata-kata tersebut

justru karena kita merasa kebhinekaan kita terancam, persatuan kita terlumpuhkan. Justru

karena kita tak ingin Tragedi Mei 98---sebuah horor anti-pluralisme---berulang, justru karena

kita tak ingin Kekerasan Monas.


2008 terjadi lagi, kita merasa butuh akan apa yang dibawakan Pancasila itu -- Pancasila

yang selama bertahun-tahun diculik oleh Orde Baru untuk dikuasai sendiri.


* * *


Kita layak bersyukur, kita masih merindukan persatuan dalam perbedaanitu. Semenjak

Boedi Oetomo mendirikan Jong Sumatranen Bond pada tahun1917, dan yang lalu disusul oleh

Jong Jong lainnya hingga Sumpah Pemuda, semangat inklusif itu telah terpancang bagai

batu peradaban. Saat itu, nasionalisme Indonesia, sebagaimana yang akhirnya diresmikan

setelah Reformasi -- ketika perbedaan antara "pribumi" dan "non-pribumi" ditiadakan

dalam konstitusi yang disahkan di tahun 1999 – telah mengatasi dasar-dasar etnis ini.


Sejalan dengan ini, Indonesia tak menyebut dirinya negeri sekuler, tapi negeri dengan

jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia ini juga tak pernah memproklamirkan dirinya

Negara Islam. Semakin tak lakunya partai-partai yang mengusung ke-Islaman adalah

testimoni bahwa Indonesia begitu besar.


* * *


Saudara-saudara yang saya hormati,


Batas senantiasa berubah, dan dengan demikian acuan-acuan kita tentang diri kita sendiri

pun berubah pula.


Dalam konteks tersebut, generasi saya acap mendengar dua pertanyaan: Benarkah,

seperti dikeluhkan orang tua, patriotisme anak muda meluntur? Dan dalam persaingan-

persaingan internasional, bisakah kita percaya ada takdir yang menentukan bahwa Indonesia

akan terpuruk selama-lamanya?


Kita tahu bahwa media massa hidup dari berita-berita tentang kejadian yang tidak lazim, tidak

rutin, dan seringkali dramatis. Tapi kita tahu bahwa dalam kenyataannya, Indonesia tidak hanya itu. Indonesia lebih dari

sekedar berita buruk.


Semenjak tahun 1999, republik ini bahkan telah merupakan negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan sekaligus sebuah

demokrasi yang hidup, di mana media massa tidak disensor, di mana perdebatan pikiran berlangsung leluasa dan kehidupan kesenian praktis

tumbuh tanpa kekangan. Pemuda-pemudi republik mencapai prestasi unggul di bidang

kegiatan ilmiah dalam perlombaan internasional; pelbagai bentuk teknologi baru diciptakan.


Dari semua itu, saya merasakan ada dua macam patriotisme: patriotisme yang menjunjung

tradisi dan nilai-nilai luhur sebuah bangsa, dan patriotisme yang senantiasa memperbaharui

dirinya. Keduanya membutuhkan kerja keras, keterbukaan, rendah hati, dialog, harap.


Dengan memperingati hari kebangkitan nasional hari ini, kita merayakan warisan sejarah

bahwa bangsa kita adalah bangsa yang bangkit dan bangga dalam pluralisme.



Laksmi Pamuntjak


Jakarta, 20 Mei 2009


* * * * *



  No virus found in this incoming message. 
Checked by AVG - www.avg.com
Version: 8.5.339 / Virus Database: 270.12.46/2143 - Release Date: 05/30/09 05:53:00


No comments: