Saturday, July 18, 2009

Kolom IBRAHIM ISA - SELANGKAH LAGI DALAM PROSES DEMOKRATISASI

Kolom IBRAHIM ISA

Rabu, 08 Juli 2009

----------------------------


SELANGKAH LAGI DALAM PROSES DEMOKRATISASI Republik Indonesia.



Kolom Ibrahim Isa kali ini memuat tulisan SOE TJENG MARCHING seperti terlampir. Tulisan tsb adalah sebuah tanggapan terhadap perkembangan demokrasi di negeri kita, termasuk pemilu serta pilres 2009.


Soe Tjeng Marhing adalah salah seorang dari generasi muda Indonesia yang teratur menulis dalam bahasa Inggris. Ada kalanya dimuat di harian berbahasa Inggris di Jakarta, 'The Jakarta Globe'. Tulisannya yang dipublikasi di bawah ini, aslinya juga ditulis dalam bahasa Inggris. Untuk sebuah majalah Jerman. Begitu membaca tulisan yang berbahasa Inggris, segera kuminta kepada Soe Tjeng untuk menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia agar bisa dibaca oleh sebanyak mungkin pembaca berbahasa Indonesia.


* * *


Mengikuti liputan pers mancanegara, tampaknya pemilihan presiden RI hari ini, Rabu 08 Juli 2009, berlangsung tanpa insiden. NOS Journal, sebuah stasiun TV publik Belanda, sore ini mewartakan bahwa dari penghitungan sementara suara yang masuk, capres SBY tampak unggul. Namun, hasil penghitungan suara menyeluruh diharapkan bisa diketahui dua minggu lagi.


Pemilihan langsung presiden RI kali ini adalah pilpres ke dua kalinya pasca rezim Orba Presiden Suharto. Dari hasil pemilu dan pilpres yang berlangsung sejak Reformasi, sementara pers Barat menganggap bangsa Indonesia punya kemampuan menyelenggarakan praktek demokrasi (parlementer) untuk pemilih yang dewasa ini berjumlah sekitar 170 juta jiwa. Yang tinggal bertebaran letaknya di ribuan kepulauan Nusantara. Halmana menunjukkan kemampuan mengorganisasi kegiatan politik terpenting dari negeri.


Pemilu dan pilres 2009 berbeda seperti bumi dan langit, -- bila dibandingkan dengan 'pemilu-pemilu' yang berlangsung di bawah rezim Orba. Semua pemilu dibawah penguasa otoriter anti-demokratis ketika itu, adalah rekayasa belaka. Semata-mata diadakan untuk 'melegitimasi' kekuasaan militer dan birokrasi yang ditegakkan melalui pembantaian, penjara, pembuangan dan represii terhadap hak-hak demokrasi dan HAM.


Pemilu dan pilpres periode Reformasi dilangsungkan di bawah proses usaha penegakkan sementara hak-hak demokrasi, seperti hak mendirikan organisasi, parpol, hak dengan bebas menyatakan pendapat, kebebasan pers dsb.


Apakah benar-benar sudah dilaksanakan syarat-sayarat demokratis di bawah pemerintahan pasca Seharto selama dasawarsa ini?


Nyatanya, a.l. sementara parpol penting yang punya peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan, seperti Partindo, PKI, Masyumi, PSI dan Partai Murba sejak Orba tak punya hak ambil bagian dalam pemilu. Sebabnya, karena parpol-parpol tsb telah dilarang oleh penguasa ketika itu. Masyumi dan PSI dilarang karena dituduh terlibat dengan pemberontakan separatis PRRI/Permesta. Sedangkan Partai Murba dilarang karena alasan lain. PKI dibubarkan dan dilarang karena dituduh menjadi dalang atau terlibat dengan G30S. Namun pelarangan-pelarangan tsb dilangsungkan tanpa prosedur hukum normal yang adil.


Lebih parah lagi apa yang terjadi dengan PKI! Anggota-anggota dan simpatisan PKI ditangkap, dibunuh, dipenjarakan dan atau dibuang. Pokoknya dimusnahkan secara fisik dan ekstra judisial. Halmana merupakan pelanggaran HAM terberat oleh sesuatu rezim selama berdirinya Republik Indonesia.


Dengan demikian, pemilu dan pilpres yang berlangsung pada periode pasca Suharto, tidak bisa dikatakan benar-benar demokratis. Masih terdapat serentetan pelanggaran terhadap hak-hak demokrasi dan UUD-RI.



* * *


Ada perkembangan positif dalam proses kampanye pemilu dan pilpres 2009. Secara menyolok dan tegas diangkat masalah bahaya NEO-LIBERALISME yang megglobal dan menjerat Indonesia. Neo-liberalisme yang sudah bercokol di negeri kita, ditegaskan diintroduksir oleh IMF dan World Bank, melalui penguasa Orba. Sistim ekonomi neo-liberalisme inilah yang merupakan sumber pengkurasan kekayaan bumi dan laut Indonesia. Indonesia telah menjadi sumber tanaga kerja teramat murah, yang diperas di dalam dan di luarnegeri. Bank-bank dan modal asing telah menguasai perekonomian Indonesia sejak berdirinya Orba.


Pelbagai pemerintah hasil pemilu dan pilpres selama ini sedikitpun tidak mengubah kekuasaan asing di bidang ekonomi terhadap negeri kita.


Apakah presiden dan pemerintah hasil pilpres 08 Juli 2009, punya 'political will' dan mampu mengubah situasi ketergantungan Indonesia pada luar, hanyalah praktek selanjutnya yang bisa membuktikannya. Janji-janji telah dinyatakan, tetapi tentu, tindakan kongkrit adalah yang menentukan.


* * *


Berikut ini adalah tulisan TANGGAPAN PENULIS SOE TJENG MARCHING:


Ketika Demokrasi Berganti Makna

05 Juli 2009

Karena partisipasi rakyat amatlah penting dalam demokrasi, menurut Amartya Sen, busung lapar tidak akan terjadi di Negara merdeka dengan sistem demokrasi karena pemimpinnya mau tidak mau harus memperhatikan kebutuhan rakyatnya untuk dapat terpilih.

Memang, demokrasi seringkali dipandang sebagai sistem pemerintahan yang paling ideal saat ini. Namun, di Indonesia, kata “demokrasi” telah dimanipulasi sebegitu jauhnya sehingga ia hanyalah menjadi alat bagi sang penguasa. Bukankah di bawah tameng demokrasi, Soeharto membunuh jutaan nyawa, membungkam kebebasan berpendapat dan menempatkan kroni-kroninya di tempat strategis di pemerintahan?

Sejarah awal Soeharto tidak lepas dari pemerintah Amerika yang mulai gentar akan ke-kirian Presiden Soekarno saat itu. Pemerintah Amerika di bawah Lyndon Johnson mulai melakukan investigasi ketat pada gerak-gerik Soekarno dan akhirnya memutuskan untuk mengubah Indonesia untuk mengikuti sistem Demokrasi mereka. Ditunjang oleh CIA, Soeharto akhirnya berhasil merebut tahta Soekarno.

Demokrasi Pancasila yang dipromosikan Soeharto adalah demokrasi yang menunjang toleransi beragama, kemanusiaan dan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, di dalam semua gembar-gembor ini, ternyata hanya ke-Ika-an yang ditekankan. Yaitu ke-Ika-an untuk tunduk pada perintah. Toleransi dan kemanusiaan hanyalah menjadi propaganda untuk melakukan hal-hal sebaliknya. Sedangkan dalam waktu yang bersamaan, pemerintah membredel media masa yang dianggap terlalu kritis pada pemerintah. Pada tahun 1994,Tempo, Detik dan Editor ditutup oleh pemerintah.

Moral keberagamaan juga ditekankan untuk mengontrol perilaku rakyat. Namun kata, digunakan sedemikian rupa sehingga ia dapat memberi kesan tertentu namun justru berfungsi sebaliknya. Bahkan kata “demokrasi” dijadikan tameng untuk melindungi diktator yang berkuasa, dan bersamaan itu menjebak rakyat dan menuduh mereka tidak mematuhi sistem yang "manusiawi" tersebut. Kata “demokrasi” pada masa Soeharto justru dapat melindungi dan menutupi kejahatan penguasa, dan memanipulasi bahkan membingungkan rakyatnya.

Bertahun-tahun setelah Soeharto lengser, dua Jendral yang telah dicurigai terlibat dalam berbagai kekerasan dan pembunuhan masal naik daun. Wiranto dan Prabowo dapat maju sebagai Cawapres. Yang mengejutkan adalah bergabungnya beberapa aktifis yang dulu sempat diculik di masa Orde Baru. Pius Lustrilanang, yang diculik pada tahun 1994 oleh tentara Prabowo, sekarang justru mendukung parta sang bekas penculik, Gerindra (tentunya bukan karena Pius menderita Stockholm Syndrome dengan jatuh cinta pada penculiknya).

Sebelum pemilu, beberapa partai juga mencoba menyogok para pemilih. Pada pertengahan April, ketika saya di Yogya, seorang pria mengatakan bahwa ia diberi Rp 50.000 oleh PKS. Saya bertanya apa dia memang memilih PKS saat itu, dan dijawab: “Iya, walau saya tidak begitu suka”. Lalu saya bertanya lagi: “Kan, bapak bisa menyimpan uangnya, lalu memilih partai lain?”. Lalu jawabnya: “Ah, sungkan”.


Dan semua ini terjadi di dalam nama demokrasi. Apa yang lebih dapat memanipulasi sistem demokrasi daripada kata “demokrasi” itu sendiri? Seperti juga beberapa pemerintah Amerika dan Eropa menggunakan kata “demokrasi barat” untuk menunjukkan superioritas mereka dan bahkan untuk meng-eksploitasi sumber alam negara-negara ketiga.

Bertahun-tahun setelah reformasi, kroni Soeharto masih tetap bercokol pada tempat-tempat strategis. Mereka masih akan berada di sana bertahun-tahun lamanya, walau Presiden yang telah digodok oleh CIA telah mati pada tanggal 27 Januari 2008. Campur tangan pemerintah Amerika pada bangsa ini sungguh-sungguh tidak bisa diremehkan!

(Terjemahan dari "When Democracy Changes its Meaning", dimuat di Majalah Polar – Germany).


* * *

No comments: