Saturday, July 18, 2009

Kolom IBRAHIM ISA - GOENAWAN MOHAMMAD - - SUPAYA BERANI

Kolom IBRAHIM ISA

Rabu, 22 APRIL 2009

----------------------------------------------


'CAPING' . . . GOENAWAN YANG MENGGUGAH SUPAYA BERANI!


Menggugah! Itu kesan dan reaksi pertama sesudah membaca 'Caping' – Catatan Pinggir – Goenawan Mohammad di Tempo. Kesan berikutnya: Tulisan Goenawan berjudul 'ESTABA LA MADRE' , mengetuk hati nurani. Begitu ceriteranya, demikian pula messagenya. Tak diragukan, message Goenawan ialah, supaya jadi orang PEMB E R A N I ! Berani MENGGUGAT! Supaya jadi manusia-manusia berani seperti Ibu-Ibu Argentina yang muncul setiap Kemis di Playa de Mayo, Buenos Aires. Mereka berunjuk-rasa di depan Istana Presiden setiap Kemis itu begitu 'berani'. Sampai-sampai dibilang 'gila'. 'Gila' karena BERANI MENGGUGAT di negeri yang selama berkuasanya rezim militer diliputi penuh ketakutan. Dan . . . demo itu bukan satu dua kali, atau satu dua minggu! Tetapi s e t i a p Kemis, selama lebih dari 20 tahun. SUNGGUH ULET. Sungguh mengharukan dan memberikan inspirasi!


Yang mereka tuntut, tanya dan dengungkan tidak lain: Kemana anak-anak, suami, sanak saudara kami yang 'DIHILANGKAN' oleh rezim militer Fadela, pada masa-masa THE DIRTY WAR di Argentina. Ketika itu kaum Kanan melakukan pengejaran, pembersihan serta pembasmian terhadap golongan Kiri. Memang, di sini harus dijelaskan: -- Sasaran dan korban rezim militer Fadela adalah kaum Kiri, banyak diantaranya orang-orang Komunis dan simpatisannya. Fadela sendiri adalah dari golongan militer Kanan Konservatif yang anti-Komunis.


Seperti halnya di negeri kita selama tigapuluh dua tahun rezim Orba sampai sekarang, juga di Argentina korban-korban itu, dalam waktu panjang tak dapat perhatian! Mereka tak digubris samasekali. Tak didengar keluhan dan tangis keluarganya.


Dari keadaan itu, orang hanya bisa ambil satu kesimpulan tunggal: Sikap demikian itu, satu saja sebabnya, ialah -- Karena korbannya adalah orang-orang Kiri dan Komunis. Dan karena pelakunya adalah diktator militer yang didukung Barat. Juga sama halnya seperti di Indonesia. Pelakunya adalah klik militer Kanan yang mendapat dukungan dari tokoh dan parpol nasionalis dan religius yang konservatif. Sehingga ditanamkanlah suatu pola fikiran, bahwa kaum Kiri, kaum Komunis, mereka-merka itu bukan manusia, bukan makhluk Tuhan. Maka bisa disingkirkan, bisa dipenjarakan, bisa dihilangkan dan bisa dibunuh secara ekstra judisial.


* * *


Membaca 'Caping' Goenawan (lihat lampiran) , orang sewajarnya akan tergerak hati dan fikirannya. Akan timbul pertanyaan: MENGAP? Mengapa? --- Bukankah Hak-hak Azasi Manusia itu Universal sifatnya? Tak peduli apakah korban itu, orang Kanan atau orang Kiri, Komunis atau konservatif! Mereka tetap korban! Bukankah rakyat Palestina yang jadi korban serangan Israel di Gaza belum lama ini, sama manusianya dengan korban 'holocaus' yang yang terdiri terutama dari orang-orang Yahudi? Begitu juga halnya dengan korban-korban pembunuhan masal di Ruwanda, Dafur atau Srilangka, bukankah korbgan-korban itu semua adalah manusia? Apakah mereka-mereka itu kurang manusia terbanding dengan manusia-manusia yang terbunuh di Twin Manhattan Tower di New York, dalam peristiwa yang kemudian terkenal dengan Seragan Teror '9/11'? Bukankah orang-orang Jahudi yang dipaksa 'eksodus' oleh Fir'aun ribuan tahun yang lalu dari Mesir dulu itu sama hakikat manusianya, dengan orang-orang Arab Palestina sekarang ini, yang 'dieksoduskan' dari negerinya karena kekerasan senjata pasukan bersenjata Israel?


Orang pasti akan berfikir dan mengajukan pertanyaan seperti diajukan diatas! Itu kalaulah orang masih sedikit punya rasa kemanusiaan yang nyelip di hati nuraninya! Sehubungan dengan apa yang terjadi di Indonesia, tetap masih belum terjawab pertanyaan sbb: MASIHKAH MEREKA-MEREKA itu, yang selama puluhan tahun belakangan ini mutlak ngeloni kekuasaan dengan kekayaan berlimpah-ruah, tetap membisu-tuli mengenai pelanggaran HAM terbesar di Indonesia? – PEMBUNUHAN MASAL 1965-66-67?


Sambil merenungkan 'Caping' Goenawan Mohammad, kita tunggu tanggal mainnya film dokumenter berjudul: '40 YEARS OF SILENCE – THE INDONESIAN STORY', sebuah film dokumenter buatan Amerika yang akan diedarkan di Indonesia oleh IKOHI Jakarta dalam beberapa bulan ini. Tujuan film dokumenter Amerika itu, ialah untuk menimbulkan, meningkatkan 'awareness', 'kesadaran' mengenai kekejaman, kebiadaban, kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Indonesia kurang lebih 40 tahun yang lalu.


* * *


Sekarang ini mari kita baca bersama tulisan 'CAPING' GOENAWAN MOHAMMAD, berjudul:



Estaba la Madre

Senin, 20 April 2009

Ibu itu di sana, berdiri, berkabung…”

Kesedihan terbesar mungkin bukan kesedih­an manusia karena Tuhan mati, tapi kesedihan seorang ibu yang anaknya menemui ajal dalam penyaliban.

Pada zaman ini kesedihan besar itu tetap tak terban­dingkan. Tapi pada saat yang sama juga menyebar. Kini tak hanya satu ibu yang sedih, dan tak hanya satu anak yang disalibkan.

Kita ingat Argentina, 1976-1983. Negeri ini hidup di bawah titah pemerintahan militer yang menculik dan melenyapkan ribuan orang, termasuk anak-anak muda. Diperkirakan 30 ribu orang hilang.

Renee Epelbaum , misalnya, seorang ibu, menemukan bahwa anak sulungnya, Luis, mahasiswa fakultas kedokteran, diculik. Tanpa sebab yang jelas. Itu 10 Agustus 1976. Takut nasib yang sama akan jatuh ke kedua anaknya yang lain, Lila dan Claudio, Renee pun mengirim mereka ke Uruguay. Tapi di sana mereka justru dikuntit sebuah mobil dengan nomor polisi Argentina—dan akhirnya, 4 November 1976, Lila dan Claudio juga lenyap.

Bertahun-tahun kemudian, seorang perwira angkat­an laut menceritakan apa yang dilakukannya terhadap anak-anak muda yang diculik itu. Pada suatu saat mere­ka akan dibius dan ditelanjangi. Para serdadu akan mengangkut mereka ke sebuah pesawat. Dari ketinggian 4.000 meter, tubuh mereka akan dilontarkan hidup-hidup ke laut Atlantik, satu demi satu….

Komponis Argentina, Luis Bacalov , pernah hendak mengingatkan orang lagi akan zaman yang buas itu. Ia menciptakan sebuah opera satu babak, Estaba la Madre. Saya tengok di YouTube: di adegan pertama, ketika perkusi dan piano mengisi kesunyian dan pentas gelap, tampak laut. Makam yang tak bertanda itu muncul seje­nak di layar. Kemudian: wajah, puluhan wajah. Di antara itu, sebuah paduan suara yang semakin menggemuruh.

Tapi bukan sang korban yang jadi fokus opera ini, melainkan sejumlah perempuan yang tak lazim. ”Inilah orang-orang gila itu,” begitu kita dengar di pembukaan.

Para ”orang gila”, umumnya separuh baya, berbaris di jalan, dengan kain menutupi rambut, dan duka menutup mulut. Tapi sebenarnya mereka tak diam. Estaba la Madre mengutip kisahnya dari sejarah: perempuan-perempuan itu ibu yang berdiri, yang berkabung, bertanya, menuntut, karena anak-anak mereka telah dihilangkan. Me­reka ”gila” karena di negeri yang ketakutan itu, mereka berani menggugat. Tiap Kamis mereka akan muncul di Plaza de Mayo, di seberang istana Presiden. Tiap Kamis, selama 20 tahun.

” Saya tak bisa melupakan,” kata Renee Epelbaum. ”Saya tak bisa memaafkan.” Ia pun jadi salah satu pemula himpunan ibu orang-orang yang hilang itu, yang kemudian dikenal sebagai ” Para Ibu di Plaza de Mayo” —sebuah bentuk perlawanan yang tak disangka-sangka. Mula-mula, akhir April 1977, hanya 14 perempuan yang berani melawan larangan berkumpul. Berangsur-angsur, jumlah itu jadi 400.

Tak mengherankan bila kemudian para ibu pun jadi sebuah lambang yang lebih luas cakupannya ketimbang Plaza de Mayo. Ia menandai yang universal. Opera Estaba la Madre, misalnya, mengambil asal-usul pada Stabat Mater dalam C minor yang digubah Pergolesi, menjelang komponis ini meninggal dalam umur 26 tahun pada abad ke-18. Kata-katanya berasal dari lagu puja seorang rahib Fransiskan pada abad ke-13 tentang penderitaan di Golgotha: ”Stabat Mater dolorosa iuxta crucem lacrimosa dum pendebat Filius…”—”Ibu itu di sana, berdiri, berkabung, di sisi salib tempat sang anak tergantung.”

Dan ketika dua orang dari para ibu Argentina itu pekan lalu datang ke Indonesia, mereka pun menghubungkan kisah mereka dengan apa yang terjadi di sini, di antara keluarga Indonesia yang ”hilang”.

Tentu ada beda antara Sang Ibu dalam Stabat Mater dan para ibu di Plaza de Mayo: tak ada tubuh sang anak yang mati di Argentina. Dalam pentas Estaba la Madre, kita akan menemukan Sara, ibu Si Samuel. Ia dan suaminya menanti anaknya. ”Kamis, mereka menunggunya untuk makan malam di rumah,” demikianlah paduan ­suara meningkah. Tapi Samuel tak kembali.

” Ini pukul sembilan.
Ini pukul 10.
Tengah malam
Fajar datang,
dan ia tak pernah pulang.”

Sampai hari ini orang masih bertanya, kenapa itu mesti terjadi. Mungkinkah sebuah kekuasaan yang dijaga ribuan tentara bisa begitu ketakutan?

Saya tak tahu jawabnya—meskipun saya menyaksikannya juga di Indonesia, di tahun di pertengahan 1990-an, ketika ”Tim Mawar” dibentuk untuk menculik dan menyiksa, mungkin sekali membunuh, sejumlah anak muda yang sebenarnya tak cukup kuat untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Barangkali paranoia adalah bagian utama dari kekuasaan yang bertolak dari kebrutalan dan pembasmian—kekuasaan yang selamanya merasa tak yakin akan legitimasinya sendiri.

Mungkin sekali para petinggi tentara itu tak bisa lagi membedakan khayalan dengan keinginan. Dalam Estaba la Madre ada adegan yang tak mudah dilupakan, baik di Argentina maupun di Indonesia: tiga jenderal muncul di pentas atas, suara mereka mengancam si lemah dan meng­ajukan dalih kebersamaan—hingga terdengar menggelikan:

Hidup kemerdekaan!
Kemerdekaan bicara dan membuat orang bicara.
Hidup kemerdekaan mengaku dan membuat orang
mengaku.

Hidup kemerdekaan menjerit dan membuat mereka
menjerit.

Yang tak mereka sangka: yang menjerit tak akan bisu. Kekuasaan militer Argentina akhirnya runtuh. Dan di tembok jalan layang, di dinding kios koran, di pel­bagai sudut di Buenos Aires, kata-kata ini tertulis, bukan hanya dari Renee, tapi dari mana-mana yang dianiaya: ”Kami tak memaafkan. Kami tak melupakan.”

Goenawan Mohamad



No comments: