Saturday, July 18, 2009

Kolom IBRAHIM ISA - PEMILU SUDAH DEMOKRATIS?

Kolom IBRAHIM ISA

Kemis, 09 April 2009

-----------------------


APAKAH PEMILU KALI INI SUDAH

BENAR-BENAR DEMOKRATIS?


Hari ini, 09 April 2009, Indonesia menyelenggarakan Pemilu, – pemilihan umum – . Untuk Indonesia pemilu itu bukan barang baru. Sejak berdirinya Republik Indonesia, di bawah Presiden Sukarno sebagai kepala negara, telah berlangsung pemilihan umum pertama di Indonesia pada tanggal 29 September, 1955. Pemilu tsb pada pokoknya berlangsung tertib, aman dan tanpa gangguan maupun pelanggaran. Seluruhnya berlangsung menurut 'aturan permainan' seperti yang ditentukan oleh demokrasi parlementer.


Sebelum pemilu 1955 pemerintah dan DPR(Sementara) mengirimkan misi khusus untuk belajar ke India. Supaya tau bagaimana toto-kromo demokrasi parlementer, dan bagaimana pula dipraktekkan di suatu negara demokrasi terbesar di Asia, seperti India. Mengapa belajar dari India? Sebab utama: Hubungan Indonesia dan India sejak Revolusi Kemerdekaan 1945, baik sekali. Indonesia dan India punya latar belakang sejarah perjuangan bersama melawan kolonialisme. Dua negeri ini saling peduli dan saling bantu. Masing-masing negeri bersolidaritas kuat satu sama lainnya. Hal ini tampak sewaktu kunjungan luarnegeri pertama Presiden Sukarno ke India.


AS tak mau ketinggalan. Pimpinan Komisi Luarnegeri DPR, Ibu Supeni, yang waktu itu dikenal dengan nama Nyonya Supeni Pudjobuntoro, khusus diundang berkunjung ke Amerika untuk melihat praktek demokrasi di negeri yang dianggap sebagai negeri demokrasi terbesar di dunia internasional.


Pemilu pertama di negara Republik Indonesia, 29 September, 1955, adalah untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Dilihat dari segi waktu persiapan yang singkat, serta kondisi RI yang baru saja mencapai situasi aman dan damai sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terbentuknya DPR-RI sebagai hasil pilihan langsung rakyat adalah suatu prestasi yang punya arti sejarah dalam perkembagan demokrasi di Republik Indonesia.


Indonesia telah belajar dengan baik tentang toto-kromo dan aturan serta u.u pemilu. Serta telah pula mempraktekkannya dengan sukses ketika itu.


Siapa berani bilang bangsa kita tak bisa belajar tentang apa itu demokrasi parlementer?


Tentu cerita selanjutnya masih panjang. Panjang dan berliku-liku.Tetapi, siapa bilang bahwa

segala sesuatu bersangkutan dengan DEMOKRASI --- sederhana adanya. TIDAK!


* * *


Pemilu pertama, 29 September 1955, yang diatur menurut u.u yang demokratis dan sejumlah ketentuan, dipuji sebagai suatu pemilu yang benar-benar 'LUBER' (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia). Tiga aliran politik utama di Indonesia, yaitu Nasionalis, Agama dan Komunis dengan leluasa ambil bagian dalam praktek demokrasi itu. Hasilnya 4 partai yang dianggap 'tradisionil' mendapat suara terbanyak -- Partai Nasional Indonesia (PNI), Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Nahdatul Ulama (NU) serta Partai Komunis Indonesia, PKI.


Sesuatu yang 'unik', dalam suasana 'Perang Dingin' ketika itu, terjadi di Indonesia, sbb ini:


PKI adalah sebuah parpol, lahir pada awal gerakan kemerdekaan Indonesia (23 Mei 1920). PKI punya latar belakang sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang gagah-berani. Salah satu antaranya: Pemberonatakan 1926-1927 melawan kekuasaan kolonial Belanda. Tempat pembuangan pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia di Boven Digul, Papua, pokoknya terdiri dari anggota-anggota PKI dan keluarga mereka.


Perkembangan selanjutnya, dalam tahun 1948, PKI dituduh oleh pemerintah melakukan perebutan kekuasaan di Madiun (di pelbagai literatur sejarah peristiwa itu disebut sebagai 'Peristiwa Madiun', 'Madiun Affair' atau 'Pemberotakan PKI'). Sebelas orang tokoh pimpinan PKI, diantaranya mantan Perdana Menteri Mr Amir Syarifuddin, di eksekusi kemudian dikubur di desa Ngalihan. Eksekusi tsb berlangsung tanpa proses pengadilan apapun. Perdana Menteri ketika itu adalah Dr Moh. Hatta. Penanggungjawab langsung atas eksuksi adalah Gubernur Militer RI, Letkol TNI Gatot Subroto.


Pimpinan PKI sejak 1951, membantah tuduhan PKI terlibat dalam pemberonakan di Madiun (1948). Dalam suatu sidang pengadilan Jakarta, ketua PKI, DN Aidit menggugat tuduhan PKI memberontak. PKI juga mengeluarkan 'Buku Putih' Peristiwa Madiun. Di situ dinyatakan, bahwa Peristiwa Madiun adalah suatu provokasi menurut rencana kaum reaksioner dalam negeri dan AS untuk menghancurkan PKI.


Dengan latar belakang 'kontroversi' sekitar Peristiwa Madiun seperti itu, terjadilah 'keunikan' itu.


Setelah 'penyerahan kedaulatan' oleh Den Haag kepada RIS, Desember 1949, DPRS RI bersidang di Jakarta (1950). Di situ, tanpa dipersoalkan, tanpa ribut-ribut, wakil-wakil PKI duduk di DPRS tsb. Tak ada yang menggugat mengapa partai yang memberontak duduk lagi di Dewan Perwakilan Rakyat? Menurut keterangan yang bisa dipercaya, 'keunikaniyu disebabkan a.l. : Karena orang-orang PKI dan pengikutnya yang lolos dari penghancuran oleh TNI, ambil bagian aktif dalam perjuangan gerilya melawan Agresi Ke-II Belanda terhdap Republik Indonesia. Dengan demikian terbukti PKI dan pendukungnya ikut bergerilya membela Republik Indonesia. Juga ada pertimbangan Wakil Presiden Hatta. Beliau berpendapat bahwa adalah lebih sederhana untuk 'mengawasi' PKI bila partai tsb bergerak secara legal. Ada keterangan lain. Penyebabnya mengapa wakil-wakil PKI tetap duduk dalam DPR-RI ketika itu, padahal PKI dituduh memberontak di Madiun, ialah karena sikap politik Presiden Sukarno yang 'toleran' demi persatuan dan perjuangan melawan musuh-musuh dari luar yang masih tetap mengancam Republik Indonesia. Dikatakan juga bahwa sikap politik yang toleran Presiden Sukarno, konsisten seperti ketika beliau menghadapi para pencetus dan pemimpin pemberontakan separatis PRRI-Permesta yang (jelas) mendapat sokongan Amerika Serikat.


* * *


Namun, pembelajaran dan praktek demokrasi yang sungguh-sungguh dan susah payah, dengan dilaksanakannya Pemilu 29 September 1955, – – – sayang seribukali sayang – – – , tak berkelanjutan seperti diharapkan dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Dewan Konstituante dan DPR-RI hasil pemilihan umum yang demokratis itu, dibubarkan dengan Dekrit Presiden Kembali Ke UUD 1945. Ditegakkan DEMOKRASI TERPIMIN.


Sebagai pengganti DPR hasil pemilu yang dibubarkan, dibentuk DPR-Gotong Royong. Badan legeslatif baru itu mencerminkan tiga aliran utama politik Indonesia, yaitu NASAKOM: Nasionalis, Agama dan Komunis. Parpol-parpol yang memperoleh suara terbesar dalam pemilu: PNI, PKI, NU sepenuhnya terwakili dalam DPR-GR.


Alasan pokok dibubarkannya DPR dan Dewan Konstituante, hasil pemilu, dikatakan, karena demokrasi parlementer tidak menghasilkan pemerintahan yang stabil di Indoneisa. Halmana amat dierlukan bagi pembangunan dan kesatuan RepublikIndonesia.


Alasan penting lainnya, ialah karena Dewan Konstituante yang bertugas menjusun UUD Republik Indonesia, tidak bisa mencapai kesepakatan megnenai dasar negara RI. Parpol-parpol Islam tampak bersikeras hendak memasukkan dasar agama pada UUD-RI, dengan demikian mengubah hakikat sekular dari negara Republik Indonesia. Sedangkan parpol PNI , PKI dan sementara anggota Dewan Konstituante lainnya, kokoh mempertahankan negara Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang sekular serta toleran terhadap kepercayaan dan religi yang berbeda-beda.


Baik hasil pemilu 1955 maupun Dekrit Presiden, t i d a k menghasilkan pemerintah yang stabil di Indonesia. Pada akhir 1965, terjadi peristiwa G30S. Suatu usaha untuk melakukan perubahan politik melalui suatu tindakan kekerasan militer. Jendral Suharto tampil sebagai pemenang dalam kasus G30S. Yang selanjutnya memenjarakan Presiden Sukarno. Lalu Jendral Suharto merekayasa MPR memilih dirinya sebagai Presiden RI. Apa yang dilakukan Jendral Suharto terhadap Presiden Sukarno dikenal sebagai 'kudeta merangkak'. Terjadi pembunuhan masal ekstra-judisial terhadap orang-orang tak bersalah anggota PKI atau diduga PKI.


Kemudian didirikan rezim Orba yang ditegakkan atas reruntuhan pemerintahan Presiden Sukarno. Orba SEPENUHNYA, menjungkir balikkan struktur dan kehidupan politik Indonesia, yang sdang dalam proses belajar mentrapkan demokrasi. Presiden Suharto menegakkan suatu pemerintahan yang totaliter dan sepenuhnya atas dasar aparat kekerasan negara. Hak-hak demokrasi termasuk pemilihan umum yang demokratis, masuk lemari es. Pemilu-pemilu yang diadakan semasa rezim Orba adalah sepenuhnya pemilu rekayasa. Parpol yang duduk dalam DPR/MPR sepenuhnya alat untuk melegalisasi semua kebijakan pemerintah Orba.


* * *


Sebagai nasion yang masih amat muda, Indonesia, tokh, punya kearifan dan kesedaran politik tinggi. Bisa belajar dari pengalamannya sendiri. Gerakan Reformasi dan Demokratisasi lahir dan berkembang, sampai akhirnya berhasil menggulingkan Presiden Suharto.


Sebagai hasil gerakan Reformasi dan Demokratisasi hak-hak demokratis sedikit demi sedikit mulai diberlakukan lagi. Antara lain yang terpenting adalah diberlakukannya lagi PEMILIHAN UMUM, untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakyat dan kemudian MPR. Selanjutnya diadakan pemilihan langsung untuk memilih Presiden Republik Indonesia.


Apakah pemilu kali ini sudah benar-benar demokratis?


Jawab atas pertanyaan tsb diatas jelas sekali: Masih jauh dari benar-benar demokratis. PKI tidak boleh ikut! Meskipun PKI adalah parpol yang punya sejarah perjuangan kemerderdekaan yang panjang melawan kolonialisme, dan punya pengaruh cukup besar dalam masyarakat. Tetapi Jendral Suharto, sebagai panglima KOPKAMTIB, tanpa proses hukum telah memvonis PKI menjadi partai terlarang. Meskipun larangan tsb ditentang oleh Presiden Sukarno. Masyumi dan PSI juga tidak ikut pemilu kali ini, karena telah divonis menjadi partai terlarang atas tuduhan terlibat dengan pemberontakan PRRI/Permesta. Namun larangan atas dua parpol tsb juga berlangsung tanpa proses hukum yang wajar.


Sebagai partai-partai politik yang mewakili kekuatan dan pengaruh tertentu di dalam masyrakat, punya pendukung dan pengikut cukup besar, punya andil penting dalam proses perjuangan kemerdekaan, tiga-tiga parpol tsb, PKI, Masyumi dan PSI, seharusnya tidak dijadikan partai terlarang. Seharusnya boleh berdiri dan hidup legal dan ambil bagian dalam setiap pemilu. Negara dan pemerintah harus bersikap demikian, bila benar-benar hendak mentrapkan demokrasi dan melangsungkan pemilu yang benar-benar demokratis.


Dalam situasi demikian itu apakah pemilu kali ni akan berhasil memilih wakil-wakil rakyat yang sesungguhnya, yang mau berfikir dan bekerja demi kepentingan rakyat banyak, demi kepentingan para pemilih yang telah mempercayainya?


Hanyalah praktek selanjutnya akan membuktikannya.


Banyak pemilih yang skeptis. Sikap tsb sepenuhnya dapat difahami. Itu adalah akibat ulah-pulah dan perangai-kelakuan buruk para anggota DPR/MPR itu sendiri, yang selama ini, setelah duduk di DPR/MPR banyak diantaranya terlibat dalam praktek korupsi, nepotisme, penyalahgunaan jabatan, malas dan sibuk memperkaya diri.


Periode belajar dan praktek demokrasi, betapapun sukar, benyak menimbulkan kekecewaan dan makan waktu lama, nampaknya masih harus ditempuh oleh bangsa ini.


* * *




No comments: