Saturday, July 18, 2009

Kolom IBRAHIM ISA - MENGENANGKAN OEI HAY DJOEN

Kolom IBRAHIM ISA

Jum'at, 08 Mei 2009

--------------------------------


MENGENANGKAN OEI HAY DJOEN – - Penerjemah Tekun Karya-Karya Marx


Serasa baru kemarin masih bertemu-muka dengan OEI HAY DJOEN. Begitu masih jelasnya gambaran wajah Oei Hay Djoen dalam memoriku. Kukira kenangan ini tak akan pernah hilang. Selalu akan terkenang Hay Djoen, bagai kawan lama, sebagai pejuang ulet dan pada akhir hidupnya sebagai penerjemah tekun karya-karya klasik Marx dan Engels, serta karya-karya revolusioner lainnya.


Sumbangan Oei Hay Djoen, sebagai penerjemah karya-karya teori Marxis dan karya-karya revolusioner lainnya, tak terhingga besarnya. Dengan kerja tekunnya menerjemahkan itu, ia telah memberikan sumbangan besar pada khazanah literatur Marxis dan revolusioner lainnya dalam bahasa Indonesia.


Pada halaman ketiga buku 'KAPITAL, Buku I, edisi Indonesia, dijelaskan sbb:

Edisi Indonesia 'KAPITAL', Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Buku Pertama. Proses Produksi Kapital. Rancangan terjemahan pertama: Teman-teman di Eropah.


Penerjemah Ulang dan final: Oei Hay Djoen.


Editor Hilmar Farid.


* * *


Dengan tak ragu sedikitpun patut ditekankan di sini bahwa karya klasik Karl Marx, yang utama yaitu 'DAS KAPITAL', pertama-kali bisa terbit edisi bahasa Indonesianya, terutama adalah berkat kerja tekun tahunan Oei Hay Djoen menerjemahkannya. Sungguh suatu dobrakan dalam sejarah penerjemahan karya-karya teori Maris ke dalam bahasa Indonesia.


Ketika pada tahun 2004 Penerbit 'HASTA MITRA' menerbitkan edisi bahasa Indonesia 'KAPITAL', maka saat itu adalah untuk pertama kalinya dalam sejarah kepustakaan Indonesia, terbit resmi 'KAPITAL' dalam bahasa Indonesia. Di sinilah letak arti bersejarah hasil jerih payah Oei Hay Djoen.


Sepenuhnya pada tempatnya 'JARINGAN KERJA BUDAYA'/'ISSI' berinisiatif mengadakan PERINGATAN SETAHUN MENINGGALNYA OEI HAY DJOEN. Suatu inisiatif yang harus disambut dan dihadiri. Mudah-mudahan peringatan dan diskusi pada tanggal 17 Mei nanti itu, akan mendorong lebih lanjut generasi muda, khususnya para kader-kader aktivis dan kaum cendekiawan umumnya, untuk dengan tekun membaca dan memperlajari karya-karya klasik Marx


* * *


Berikut ini undangan yang dikirimkan oleh JKB/ISSI untuk memperingati Oei Hay Djoen yang diisi dengan suatu diskusi menarik berjudul BELAJAR DARI KEHIDUPAN OEI HAY DJOEN, sbb.:


Peringatan dilangsungkan pada tanggal 17 Mei 2009, jam 11.00 – 14.30


di:


Rumah Dolorosa Sinaga
Jl. Pinang Ranti No. 40 RT 015/RW 01

Pondok Gede, Jakarta Timur

(perempatan Garuda, seberang Tamini Square).

Acara Inti

  1. Diskusi “Belajar dari Kehidupan Oey Hay Djoen”, dengan pembicara Hilmar Farid (JKB/ISSI) dan Amarzan Loebis (Sastrawan, eks-anggota Lekra) dan moderator Agung Ayu Ratih

  2. Pembacaan puisi karya Oey Hay Djoen oleh Martin Aleida dan lainnya.

  3. Pameran sejumlah foto lama koleksi Ibu Oey Hay Djoen




    Telah berselang satu tahun Oey Hay Djoen meninggalkan kita. Satu dekade terakhir masa hidupnya dibaktikannya untuk kerja-kerja kemanusiaan, diantaranya melalui Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) saat terjadi Tragedi Mei 1998. Sebagian waktunya yang lain dimanfaatkan untuk menerjemahkan karya terbesar Karl Marx, Kapital, serta berbagai buku kiri lainnya. Melalui karya-karya terjemahan itu, ia menyumbangkan landasan keilmuan bagi gerakan prodemokrasi masa kini.


    Sebelum Peristiwa 1965 terjadi, Oey Hay Djoen merupakan kader PKI. Melalui F-PKI ia terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante. Di samping aktivitas politiknya, Oey Hay Djoen juga merupakan salah satu pimpinan pusat Lekra, sebuah lembaga yang turut menjadi sasaran pembubaran dan pelarangan oleh Mayjen. Soeharto karena gagasannya tentang kebudayaan rakyat yang anti-kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme. Oey Hay Djoen dan istrinya membuka rumah mereka di Jl. Cidurian 19, Cikini, sebagai sekretariat pusat Lekra. Di rumah itulah Nyoto, Joebaar Ajoeb, Rivai Apin, Pramoedya Ananta Toer, Basuki Effendi, dan seniman-seniman Lekra lain berkumpul, mempresentasikan karya, dan memperdebatkan strategi kebudayaan mereka.

    Akan tetapi, seluruh aktivitas Oey Hay Djoen terhenti karena pecahnya Peristiwa 1965. Selama 14 tahun, militer di bawah pimpinan Soeharto menahan dan membuangnya ke Pulau Buru. Seperti juga para eks-tapol Peristiwa 1965 lain, ia baru dapat kembali bisa berkarya bagi publik setelah jatuhnya Soeharto. Karena itu, Oey Hay Djoen kerap mengatakan: Gerakan Reformasi telah berhasil merebut tiga kebebasan dasar: kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengutarakan pendapat.

    Dalam rangka memperingati satu tahun meninggalnya Oey Hay Djoen, Jaringan Kerja Budaya (JKB), bersama-sama dengan Dolorosa Sinaga dan keluarga Oey Hay Djoen, mengundang anda untuk hadir dalam acara yang diharapkan dapat menjadi ruang untuk mulai mempelajari secara kritis sejarah perjalanan bangsa, khususnya sejarah gerakan kebudayaannya, melalui peran dan sumbangan Oey Hay Djoen sepanjang hidupnya. * * *



No comments: