Saturday, July 18, 2009

Kolom IBRAHIM ISA - < Kesan Terhadap Tulisan SOE TJEN MARCHING>

Kolom IBRAHIM ISA

-----------------------------

Sabtu, 13 Juni 2009


BERANI BERFIKIR, BERANI MENULIS YG BENAR!

<>


Kali ini aku ingin memperkenalkan, – – – – menyebarluaskan sebuah esay-politik. Penulisnya adalah: SOE TJEN MARCHING, seorang penulis muda. Sahabat baru yang belum lama kukenal!. Teks asli di tulisnya dalam bahasa Inggris. Dimuat di 'The Jakarta ', September tahun lalu <25-09-2008).>


Tulisan ini, faktual, berbobot, relevan, lugu dan berani. Juga unik. Judulnya 'Bahaya Laten Komunisme'.


Tetapi, isi esay-politik tsb, tidak seperti dugaan orang semula. Pesan yang ingin disampaikan oleh penulis Soe Tjen Marching, justru sebaliknya. Penulis hendak mengungkap dan menguraikan, membuka mata pembaca, apa sebenarnya yang terkandung didalam 'seruan siap-siaga', 'peringatan' atau 'canang' – Bahaya Laten Komunisme' itu. Bila kita menoleh ke belakang sedikit: Versi aslinya dari 'canang' atau 'peringatan' yang populer selama 30 tahun lebih periode Orba, juga sampai sekarang di Indonesia, sesungguhnya lama dikenal sudah di manca negara. Pada periode itu canang yang diserukan oleh burjuasi-reaksioner Eropah pada permulaan abad ke-18, ketika di Eropah massa rakyat khususnya kaum pekerja yang miskin, mulai bangkit melawan pemerasan dan penindasan kapitalisme, bunyinya sbb : 'AWAS HANTU KOMUNISME'.


* * *


Menggembirakan sekali, begitu esay-politik Soe Tjen di muat di FB terjemahan Indonesianya, bermunculan tanggapan dan reaksi yang gairah dari pemmbaca. Khususnya pembaca dari kalangan muda. Mari kita baca sebagian dari tanggapan dan komentar atas tulisan Soe Tjeng itu:


Salah satu begini tanggapannya:


. . . . Pernah di Yogya ada spanduk kalo ndak salah begini tulisannya: Waspadai bahaya laten Komunisme, HIV/AIDS dan apa lagi ya...hahaha...levelnya jadi aneh...yang satu urusannya kemana, lainnya kemana...


Satu lagi:


. . . . Terima kasih mbak...translatenya...bisa aku Copas dan share ke teman yang lainnya..kebetulan di Madiun khan banyak anak-anak yang bapaknya hilang karena peristiwa 1965...


Lalu satu lagi:
. . . . Bagus tulisannya mbak.
Mbak Soe Tjen, saya minta ijin note anda ini saya taruh di note FB saya ya...
Mitos memang akan jadi keyakinan kalau didengungkan terus-menerus.


Satu lagi:


   . . . . .  "Powerful writing Mbak..   
Tulisan Mbak bisa dilengkapi dengan cerita-cerita dari banyak saksi sejarah yang tersebar di beberapa daerah di Jawa Tengah. Sebutlah Solo, Sragen, Boyolali, Klaten dan lain-lain..Juga ada penelitian tesis beberapa teman saya yang mengungkap fenomena stigmatisasi kiri, khususnya komunis.

. . . . Secara umum saya menangkap, pergesekan-pergesekan aliran ideologi sebelum '65 merupakan peristiwa 'wajar' sehari-hari, bahkan di tingkatan masyarakat akar rumput. Hanya saja efeknya tidak sampai berujung pada pembantaian massal seperti terjadi pada tahun '65-'66, paling banter terjadi bentrok fisik yang relatif seimbang.

Bentrokan ini menjadi malapetaka mengerikan, ketika militer, terutama Angkatan Darat, terlibat langsung di lapangan, membantu kaum anti-left untuk membasmi kaum the left


. . . . Di Sragen,saya mendengar cerita bahwa tudingan jari telunjuk pun bisa mencabut nyawa manusia. Banyak orang tdk berdosa, dieksekusi karena dituding sbg komunis oleh tetangganya yang membencinya"

. . . . "Persis, komunitas yang ku riset di Jakarta utara juga begitu. Padahal jelas-jelas lahan mereka akan dijadikan pabrik multi nasional. Tapi karena beberapa warga di situ tidak mau, maka digulirkan isu mereka yang menolak menjual lahannya dinyatakan Barisan Tani Indonesia (BTI), stigmatisasi PKI. Lantas ini apa hubungannya ??? Lahan untuk pabrik = BTI = PKI. Suatu rumusan yang menyesatkan. Anarkisme"

  . . . .  "Thanks mbakyu...aku masih ingat:  Temanku dulu ada yang namanya Marxis Tri Handono..  Begitu masuk SD langsung di ganti jadi  Agus Tri Handono. Itulah yang terjadi di sini. Sebuah cara Orba untuk mempunyai alat "menggebuk" mereka yang tidak setuju dengan program-program  dan ke-otoriterannya. Masih ingat Kedung Ombo khan?  Begitu penduduknya tidak mau di gusur karena mau dibuat waduk.. . . . Presiden Suharto langsung bilang..Memang Kedung Ombo dulu basis PKI... Ya, sudah,  masyarakat Kedung Ombo sudah langsung menjadi warga negara yang menjadi musuh negara....... T hanks for tag..
Salam dari Madiun.


Dan banyak lagi komentar positif yang bisa memahami dan menerima kebenaran yang diungkapkan penulis Soe Tjen Marching.


* * *


Menulis sesuatu untuk dibaca oleh masyarakat, adala seperti menebar jala layaknya. Menantikan tanggapan dari pembaca. Ada yang positif. Seperti banyak tanggapan dan komentar dari kalangan generasi baru yang dikutip diatas. Namun, ada tanggapan yang marah, merasa tersinggung, tidak bisa menerima. Lalu menuduh penulis macam-macam sampai-sampai ada yang memfitnah. Terhadap tanggapan dan komentar yang negatif seperti itu, juga tidak salah membacanya. Mungkin saja ada hal-hal yang perlu diperhatikan.


Namun, bagi penulis muda dari generasi baru, seperti Soe Tjen Marching, hal-hal itu sedikitpun tidak mengecillkan hatinya, atau mengendurkan semangat dan kegairahannya untuk menulis sesuatu yang dianggapnya benar dan adil.


Maju terus Mbak Soe Tjen Marching – – – Pantang Mundur!


Silakan pembaca menelusiri tulisan berjudul BAHAYA LATEN KOMUNISME karya penulis muda dari kalangan generasi baru kita.


Bahaya Laten Komunisme

----------------------------------

Penulis: Soe Tjen Marching

Kalau Komunis tidak diberantas di Indonesia, ia akan menyebar, menindas dan meranggas siapa saja yang tak sepaham dengan ideologi mereka, seperti yang terjadi di Tiongkok dan Vietnam. Apakah kita rela Negara kita menjadi demikian? Ini adalah pernyataan yang dilontarkan oleh sejumlah pelajar Indonesia yang saya temui di London beberapa bulan yang lalu.

Jangan salah sangka terlebih dulu. Para pelajar ini kebanyakan telah sadar akan manipulasi Orde Baru, dan bahkan mengritik kekejaman Pemerintah ini. Tapi, mereka hanya ingin membayangkan apa yang mungkin terjadi: bila PKI dibiarkan tumbuh dan berkembang, kata para pelajar ini, merekalah yang akan menyembelih dan menyiksa orang-orang tak berhalauan kiri. Bila Pramoedya tidak dijebloskan ke bui, dia akan melanjutkan antipatinya pada karya-karya yang dipandangnya kurang mencerminkan ideologi sosialis, dan para penulis Manikebu lah yang dibungkam atau dikirim ke pulau Buru.

Tetapi, gambaran yang disodorkan oleh mereka hanyalah satu kemungkinan yang berlawanan. Ada ribuan bahkan jutaan kemungkinan lainnya bila Kudeta Suharto tidak terjadi. Dan kemungkinan-kemungkinan ini jarang sekali disebutkan. Namun yang pasti adalah: jutaan rakyat Indonesia telah disembelih dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Bahkan banyak dari para korban ini bukanlah komunis atau orang kiri.

Bahaya laten komunism yang telah ditanamkan oleh indoktrinasi Suharto telah mengakar dalam, sehingga komunis pada masa Orde Baru disamakan dengan iblis yang siap menyerang siapa saja. Mereka yang tak beragama dan tak ber-Tuhan, adalah mahluk yang siap menerkam. Bahkan mereka seringkali tidak lagi dipandang sebagai manusia. Karena kecurigaan dan ketakutan itulah, banyak orang memaklumi segala kekejaman yang terjadi pada para komunis dan orang-orang kiri. Politik ketakutan yang dipraktikkan oleh Suharto begitu dahsyat dalam hal ini.

Rasa takut memang dapat menjadi efektif untuk mengontrol masa. Dalam ketakutan, kita biasanya akan lari untuk mendapat perlindungan. Dalam ketakutan, kita biasanya tidak lagi bisa rasional: satu-satunya yang kita kuatirkan adalah keselamatan kita. Dalam ketakutan, kita akan lebih mudah tunduk pada yang berkuasa, karena kita mempercayai bahwa mereka dapat melindungi kita. Dan terkadang, kita tidak lagi perduli apapun yang mereka lakukan, asalkan kita selamat. Karena ketakutan yang teramat sangat, dapat membuat seseorang bersandar pada dua pilihan: “Membunuh atau dibunuh”. Sebuah logika yang tumpul – namun masih meresap dalam para pelajar yang saya sebut di atas: bila tidak kita, maka haruslah para komunis yang musnah.

Ketakutan seringkali bermetamorfosa menjadi kekejaman. Binatang yang terancam bahaya dapat menjadi sangat agresif. Anjing yang baru saja mempunyai bayi biasanya jauh lebih garang, karena mereka juga merasa riskan pada periode ini: mereka bahkan dapat menyerang pemiliknya bila didekati secara tiba-tiba. Dan bila Anda diserang oleh anjing Anda sendiri, mungkin inilah pertanyaan yang mencuat: “Aku nggak berbuat apa-apa kok digigit? Padahal aku sayang sekali dengan anjing ini!”. Bila Anda masih bisa bertanya demikian, paling tidak Anda belum wafat. Kalau Anda sudah dibunuh dan dibuang mayatnya di kali, seperti jutaan manusia-manusia di tahun 1965, Anda tidak akan mempunyai kesempatan untuk bersuara sama sekali.

Sungguh, kita tidak perlu membawa-bawa nama “komunis” untuk menjadi kejam. Begitu juga, kita tidak perlu membawa-bawa nama “agama” untuk menjadi bermoral. Kekejaman dan kriminalitas dapat dilakukan dalam nama keduanya – penyerangan 11 September, pengeboman di Bali dan kereta bawah tanah London dilakukan dalam nama Islam. Di Amerika Serikat dan Britania, Islam seringkali mendapat stigma negatif, sehingga banyak umat yang tak bersalah terkena getah. Berapa banyaknya manusia-manusia yang telah ditahan dan disiksa di Guantanamo Bay tanpa proses pengadilan, dan ini jugalah yang telah terjadi pada jutaan manusia tak berdosa di tahun 1965. Karena George Bush juga menerapkan politik ketakutan. Sehingga banyak rakyat-pun percaya: Bila tidak kita, pastilah mereka.

Dalam kepercayaan seperti itu, memberi label tanpa pandang bulu menjadi lumrah. Komunis mempunyai satu wujud saja: kejam, anti Tuhan dan tak berperi kemanusiaan. Menghantam rata seperti ini, adalah cara untuk mengelabui masyarakat. Semakin menyeleweng and menipu label itu, semakin leluasa para penguasa untuk bergerak. Di Afrika Selatan, misalnya, pada tahun 1950-an sampai 1980-an, para aktifis yang menentang Apartheids akan dituduh sebagai komunis oleh pemerintah – sebuah cara yang mudah untuk memojokkan mereka.

Dan bila suatu saat Anda menjadi sasaran dari label ini, Anda mungkin akan terheran-heran dengan penggambaran tersebut. Di Australia, gambaran Indonesia yang agresif dan mengancam sempat berdengung sejak tahun 1950 sampai 1990-an. Dalam novel trilogi oleh John Marsden, penjajah berkulit coklat yang licik meraja-lela dan menguasai benua kangguru ini. Walau Marsden tidak menamai penjajah berkulit coklat ini, namun ciri-ciri mereka begitu mirip dengan orang Indonesia. Bayangan Indonesia yang demikian sempat menjadi alat propaganda pemerintah Australia di bawah John Howard. Sekarang, saudara sebangsa dan setanah air, inilah pertanyaan yang saya ajukan pada Anda: Apakah Anda pernah mempunyai rencana untuk menjajah Australia?

Memang, hidup itu membingungkan. Hal yang pasti dalam hidup adalah ketidak-pastian, yang terkadang meresahkan. Memberi label pada pihak lain dapat memberi kita rasa nyaman dari dunia yang perubahannya tak berhingga, dan membantu kita untuk melimpahkan apapun yang terjadi pada hidup kita, pada orang lain. Karena itulah, pihak penguasa seringkali menciptakan “Iblis”, sehingga mereka bisa lolos dari kesalahan mereka sendiri. Stigmatasi seperti ini masih tercermin dalam perayaan Kesaktian Pancasila. Ada masalah dalam Negara? Salahkan saja Komunis!

(Versi Bahasa Inggris artikel ini telah dimuat di The Jakarta Post tanggal 25 September 2008).


* * *


No comments: