Thursday, July 15, 2010

Amsterdam Menyambut 'Oranje' Sebagai PAHLAWAN Mereka.

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Selasa, 13 Juli 2010

-------------------------------------------


BELANDA – KALAH . . . (1-0)

SPANYOL MEREBUT PIALA EMAS . . . . . . . . .

* * *

Tapi Amsterdam Menyambut 'Oranje' Sebagai PAHLAWAN Mereka.


Pagi tadi, bersama Murti, kami pergi ke Nieuwmark. Sebuah pertokoan di pusat kota Amsterdam. Letaknya satu halte Metro sebelum Amsterdam-Central. Maksudnya menjenguk rumah putri sulung kami, Pratiwi. Rumahnya kosong, karena sekeluarga berkunjung ke Mesir. Sebelum berangkat Pratiwi mencatat alamat kantor pusat Sekretariat Tetap Organisasi Setiakawan Rakyat Afro-Asia di Caro. Itu kantor tempat kerjaku selama tahun-tahun 1960-1965. Ia juga mencatat alamat Sekolah Indonesia, Cairo, di daerah Dokki, dekat rumah kami. Maksudnya dalam kunjungannya ke Cairo itu, mungkin karena nostalgi ingin melihat bekas sekolahnya dulu. Ia juga ingin melihat kayak apa kantor bapaknya dulu di Cairo.


Dari rumah Pratiwi kami pergi belanja di supermark Tionghoa, 'Oriental', pas dekat halte Metro Nieuwmark. Di lapangan muka supermark 'Oriental', sudah dipasang layar TV raksasa. Supaya masyarakat di sekitar situ bisa menyaksikan siaran TV hari ini, 'Amsterdam Menyabut Pahlawan-pahlawannya', yaitu kesebelasan 'Oranje'.


Walikota Amsterdam, Erhard van der Laan, menyatakan sebelumnya, jika 'Oranje' menang akan disambut besar-besaran di Museum Plein. Sebelumnya diarak keliling berlayar di 'grachten' Amsterdam yang terkenal itu. Tapi kalau 'Oranje' menempati nomor dua, kalah dari Spanyol, maka 'Oranye' akan disambut masa di Museumplein. Jadi tidak ada pengaturan berkeliling dengan perahu-perahu menelusuri 'Amsterdamse grachten'.


Tapi dalam waktu 24 jam Walikota Van der Laan mengubah keputusnnya: Di pers muncul berita: 'Amsterdam is trots, dus toch de gracht in'. Artinya 'Amsterdam bangga, jadi tokh akan diatur berlayar di 'grachten'. “Amsterdam bangga dengan pemuda-pemuda dari kesebelasan Nederland. Suatu acara berlayar melalui 'grachten', itu akan memberikan kesempatan indah bagi penggemar (fans) untuk bisa melihat pahlawan-pahlawan mereka dan memberikan dukungan terhadapnya”. Demikian Walikota Amsterdam Van der Laan menjelaskan keputusan terakhir dalam rangka menyambut kesebelasan 'Oranje'.


* * *


Tak terhindarkan ada pers yang memberikan komentar sinis. Bukankah dimana saja di dunia ini selalu ada orang-orang yang sinis. Orang-orang semacam ini sok-soknya mau lucu-lucu. Tetapi tidak jarang 'kebablasan'. Jadi kelewat batas, menjadi tidak etis. Satu contoh: Bert Wagendorp dalam kolomnya di “de Volkskrant” hari ini, a.l. menulis: Kalau sih PM (dimisioner) Balkenende menyambut kesebelasan 'Oranje', itu bisa dimengertilah. Disini yang kalah – dalam hal ini Balkenende yang partainya, CDA merosot dalam pemilu Juni yang lalu – menyambut 'Oranje' yang kalah 1-0 dari Spanyol. Dan kalaulah Ratu Beatrix mengundang 'Oranye' bertamu di Istana dan berfoto bersama, itupun bisa dimengerti. Karena bukankah Sang Ratu, bertindak sebagai sang Ibu, yang ngemong anak-anaknya pulang dengan sedih hati krena kalah itu.


Demikian Bert Wagendorp.

Mana yang cocok apakah keputusan Van der Laan, menyambut besar-besaran kesebelasan 'Oranje' , ataukah Wagendorp dengan komentar sinisnya, mencemoohkan keputusan Walikota Amsterdam. Baik kita liat saja bagaimana jalannya sambutan itu.


* * *


Sungguh diluar dugaanku dan kita semua yang menyaksikan di TV bagaimana orang-orang Belanda menyambut “PAHLAWAN-PAHLAWANNYA kesebelasan ORANJE”. Kurang lebih setengah juta orang yang berkumpul di Musieumplen dan memenuhi tepi-tepi 'grachten' mengelu-elukan kesebelasan Óranje'. Banyak slogan-slogan yan berbunyi: WELKOM THUIS HELDEN. Selamat kembali pulang para pahlawan. Salah satu semboyan besar yang dipasang di Museumplein berbunyi 'GIO' (van BRONCKHORST, kapten kesebelasan 'Oranje' yang keturunan Maluku itu), 'MALUKU IS TROTS'. Maluku bangga. Demikian Giovannie Van Bronckhorst dielu-elukan massa.


Di sepanjang 'grachten' yang dilalui iring-iringan kapal 'Oranje' ribuan massa berwarna 'oranje' – mulai dari topi, T-shirt sampai ke sepatu – mengelu-elukan pahlawan mereka. Tidak ada satupun teriakan ataupun tulisan sinis, seperti komentarnya Bert Wagendorp yang mengéjék kesebelasan 'Oranje' yang kalah dalam babak final kejuaraan dunia sepakbola di Afrika Selatan.


De Telegraaf, sebuah surat kabar liberal Belanda, menulis dengan huruf-huruf besar 'Zij hebben als leeuwen gevochten '. Mereka, kesebelasan Belanda, telah berjuang bagaikan singa-singa. De Telegraaf yang sering suka nyindir dan juga sinis dalam komentar-komentarnya, kali ini tampaknya mengerti perasaan dan semangat massa orang-orang Belanda yang mencintai dan menghargai olahragawan mereka.


Maka mengertilah kita mengapa pemimpin kesebelasan nasional Belanda Bert Van Marwijk mengatakan: Kekecewaan belum sepenuhnya hilang, tetapi kami benar-benar boleh berbangga. Coba lihat massa yang mengelu-elukan, entah bagaimana jika kita pulang dengan kemenangan. Sambutan massa yang luar biasa itu telah membikin para olahragawan 'Oranje'' itu bisa tertawa lagi, begitu komentar salah satu s.k. Amsterdam.


Juga bisa difahami keterharuan pemain 'Oranye' Arjen Robben, yang menyatakan: Spanyol menjadi nomor satu --- tetapi publik Belanda adalah yang terbaik di dunia.


Di sini perasaan olahragawan Belanda itu nyambung dengan perasaan massa pencinta dan penggemarnya. Meerka tahu mereka kalah, tetapi mereka juga tahu dan yakin bahwa mereka telah berjuang demi kemulyaan negeri dan bangsanya


Walhasil -- komentar Wagendorp yang sinis itu meleset jadinya. Ia tidak mengerti perasaan dan semangat para penggemar 'Oranje' yang bangga sekali mengenai kesebelasan nasional mereka.


* * *


Boleh dibilang dinegeri mana saja di dunia ini, olahraga sepak bola sudah begitu populernya, --- 'mengglobalisai', dan 'merakyat'. Itu semua dapat dibaca, didengar dan disaksikan di media komunikasi modern sekarang. Pemberitaan dan liputan mengenai sepakbola kejuaraan dunia di Afrika Selatan, selama sebulan ini mendominasi media internasional. Bahkan jauh sebelumnya dan pasti juga tidak berhenti dengan finale Minggu malam.


Setiap malam, cakap-cakap dan diskusi Kejuaraan Sepakbola Dunia Afrika Selatan, yang diadakan di TV, yang ikut serta -- bukan saja komentator olahraga sepakbola kawakan, mantan pemain-bola kawakan seperti Johan Kruif, Ruud Gulit dan penggemar dan orang-orang biasa, tetapi juga ikut ambil bagian -- seniman dan sastrawan serta budayawan yang sesungguhnya mengenai sepak bola, itu taunya hanya dari dengar-dengar sana sini saja, . . . . bahkan politisi termasuk Perdana Menteri Belanda Balkenende-pun ikut mengomentari Kejuaraan Sepakbola Dunia Afrika Selatan.


* * *


Sesungguhnya tidak mengherankan mengapa negeri Belanda yang kecil ini, begitu keranjingan olahraga sepakbola. Sport tsb memang merupakan olahraga nasional. Keistimewaan kesebelasan nasional Belanda yang menonjol adalah bahwa kapten kesebelasan 'Oranje', Giovannie van Bronchorst adalah Belanda keturunan Indonesia-Maluku. Ini mendemonstrasikan bahwa paling tidak di bidang olahraga sepakbola, 'rasisme' anti-asing, seperti yang disuarakan oleh Geert Wilders, tidak punya pasaran samasekali.


Dewasa ini, tampaknya kejuaraan sepakbola dunia bukan semata-mata suatu 'amusemen' bagi penggemar di banyak negeri. Orang bukan saja ingin tau siapa yang menang, siapa yang kalah, kalah berapa, siapa yang main 'jentelmen' menurut aturan-main. Siapa saja yang main 'curang'. Siapa yang dapat kartu kuning, siapa dapat kartu merah dsb.


Soal bertanding sepak bola menurut aturan main atau 'curang', seorang kawan pernah mengatakan: Tau enggak? Pemain-pemain profesional itu dilatih untuk 'main curang' yang tidak mudah diketahui oleh wasit dan 'tukang kebut'. Merela dilatih bagaimana untuk 'mentackle' lawannya tanpa ketahuan. Bagaimana caranya jatuh dan tampak seperti 'diganjel' lawannya. Sehingga fihak lawan diganjar kartu kunnig atau bahkan kartu merah, dan dia sendiri boleh melakukan tendangan bebas.


* * *


Di Belanda sini begitu keranjingannya, begitu berdominasinya “Oranje gekte”, di masyarakat. Sehingga bahan pembicaraan sehar-hari di rumah, di kantor, tempat kerja, di jalan raya, di cafe-cafe tak tak lain tak bukan adalah mengenai Kejuaraan Sepakbola Dunia Afrika Selatan.


Seorang sahabat menanyakan kesana-kemari, sesungguhnya apa yang mengyebabkan mereka begitu keranjingan dengan pertandingan sepak bola dunia di Afrika Selatan. Gejala apa ini?


Banyak yang memberikan jawaban, begini: Pertandingan sepakbola yang berskala internasional, adalah manifestasi, penyaluran, katalisator dan identitas serta kebanggaan nasional. Sebagaimana halnya dengan Pesta Olahraga Sedunia Olimpiade, kesempatan ini merupakan penyaluran semangat dan jiwa patriotisme dan nasional banyak negeri dan bangsa. Kita lihat saja Olimpiade Beijing dua tahun yang lalu. Betapa pesta olahraga sedunia itu, telah menjadi demonstrasi dan pertunjukkan dunia: INILAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK MODERN, yang tidak kalah dengan negeri maju manapun di dunia ini.


Orang juga menyaksikan betapa pentingnya arti pesta olahraga sedunia seperti itu, ketika musuh-musuh Tiongkok mengerahkan segala sesuatu untuk mencermarkan Olimpiade Beijing dengan kegiatan dan dengan ongkos luar biasa ketika mereka meluncurkan kampanye anti-Tiongkok sekitar masalah Tibet.


* * *


Mungkin luput dari perhatian umum, bahwa juga adalah AFRIKA SELATAN yang menggondol kemenangan dari pesta olahraga Kejuaraan Dunia Sepakbola kali ini.


Afrika Selatan yang baru memerdekaan dirinya 16 tahun yang lalu dari rezim apartheid Afrika selatan dan menegakkan 'Negeri Pelangi' di Benua Hitam, menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa mereka MAMPU DAN DENGAN SUKSES menyelenggarakan salah saatu pesta olahraga dunia yang terbesar.


Dulu, begitu bica dibaca di pers mancanegara, apa yang dikenal mengenai Afrika Selatan, ialah kriminalitas yang merajalela, wabah AIDS dan ketokohan NELSON MANDELA. Sambil mengatasi masalah kriminilitas dan Aids, beberapa tahun belakangan ini mereka kerja keras untuk menyiapkan segala sesuatu untuk Kejuaraan Sepakbola Dunia 2010. Telah dibangun kereta-kereta api baru, sistim pengangkutan bis, lapangan-lapangan terbang baru. Dan yang pokok beberapa stadiun baru telah dibangun/direnovasi pula. Ribuan tamu dan jurnalis telah diatur baik pemondokannya.


Semua itu dilakukan dengan semangat dan kerja yang efisien dan tinggi.

Ketika Kejuaraan Sepakbola Sedunia dibuka sebulan lalu, segala sesuatu sudah siap.


Sehingga seorang jurnalis majalah AS 'Time', July 19, menulis dalam esaynya a.l demikian: AFRICA'S FUTURE – How staging soccer's World Cup has allowed a continent to believe in itself”. HARI DEPAN AFRIKA – Betapa penyelenggaraan Kejuaraan Sepabola Dunia, memberikan peluang pada sebuah benua – untuk percaya pada diri sendiri.


SUATU KOMENTAR YANG TIDAK MELESET!! * *

MEMPERINGATI ULTAH JUSUF ISAK

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Amsterdam, Kemis, 15 Juli 2010
-----------------------------------------

MEMPERINGATI ULTAH JUSUF ISAK

Kemarin, kubaca di Facebook, kiriman dari sahabatku sejarawan generasi muda, Wilson Obrigados . Kiriman itu adalah sebuah esay untuk memperingati HARI ULTAH JUSUF ISAK (15 Juli 1928). Jusuf Isak, adalah pemrakarsa, pendiri dan pemimpin Penerbit Buku-Buku Bermutu “HASTA MITRA”. Ia wartawan senior dan pejuang Kebebasan Menyatakan Pendapat. Ia juga mantan Sekretaris Jendral Persatuan Wartawan Asia-Afrka. Jusuf Isak adalah pemenang 'Wertheim Award 2005' bersama Goenawan Mohammad. Ia dihormati dan mendapat penghargaan internasional dengan beberapa international awards, a.l dari Perancis, Australia dan Amerika.
JUSUF ISAK yang tak pernah berhenti berjuang demi cita-cita luhurnya, meninggal dunia tahun yang lalu.
Mengenangkan Jusuf Isak dengan sebuah esay seperti yang dilakukan oleh Wilson Obrigados, adalah cara yang baik sekali untuk belajar dari keteladaan Jusuf Isak. Suatu perjalanan hidup yang hingga akhir umurnya terus berjuang demi KEBEBASAN MENYATAKAN PENDAPAT, DEMOKRASI, dan AJARAN-AJARAN BUNG KARNO..
Di bawah ini dipublikasikan esay Wilson Obrigados tsb dalam dua kali siaran.
* * *

” Selamat Ulang Tahun, Selamat Tidur Panjang” : Joesoef Isak 15 Juli 1928-15 Juli 2010.
Tanggal 14 Agustus 2009, sekitar lima kali saya menelpon rumah Joesoef Isak. Pembantu dirumah yang menerima telepon menjawab bahwa pak Joesoef sedang kontrol ke rumah sakit. Saat itu Joesoef Isak sudah beberapa bulan terakhir terkena penyakit agak berat. Tabung gas pernafasan disediakan dirumah, bersiaga bila beliau susah bernafas.

”Tolong sampaikan ke pak Joesoef bawah Wilson tadi telpon dan besok siang akan mampir kerumah.” pesan saya, setiap kali telpon diangkat.

Jumat siang, 15 Agustus 2009 saya datang menemui Joesoef Isak. Saya tak pernah menduga itulah pertemuan terakhir dengan beliau. Joesoef duduk diruang tengah sambil menonton televisi. Tabung oksigen ada disebelah kursinya. Desantara, anak bungsunya juga duduk diruang tengah. Tubuh Joesoef kelihatan lemah. Wajahnya pucat. Saya duduk dikursi disebelahnya.

”Ada apa bung, kemarin katanya berkali-kali telepon. Saya sedang keluar, kontrol ke dokter, ” ujar Joeosoef dengan suara lirih.

Kedatangan saya memang punya dua tujuan hari itu. Pertama saya menjelaskan rencana untuk membawa Sitor Situmorang bertemu dan berdiskusi dengan beliau. Pertemuan itu adalah bagian dari film dokumenter yang dibuat kawan-kawan JAVIN dalam rangka ulang tahun Sitor Situmorang yang ke-85. Saya sendiri berharap Joesoef Isak dapat memancing berbagai pemikiran dan pengalaman Sitor berkait dengan Soekarnoisme dalam berbagai kurun sejarah.

”Bung dan Sitor sama-sama Soekarnois tulen, jadi diskusi antara bung berdua tentang Soekarno akan menjadi kerangka utama dari film kawan-kawan JAVIN,” ucap saya.

Ternyata Joesoef sudah beberapa tahun tak pernah bertemu fisik secara langsung dengan Sitor. Jadi kedatangan Sitor benar-benar disambut dengan antusias. Bahkan bu Asni akan menyiapkan makan siang bersama untuk merayakan pertemuan tersebut. Pertemuan akan dilakukan hari Sabtu, 16 Austus jam 11 siang.

”Besok siang saya akan bawa Sitor Situmorang kemari bersama Dolo Rosa Sinaga”, ujar saya.

Setelah urusan pertemuan dengan Sitor selesai, saya mengeluarkan sebuah fotocopy naskah dari tas ransel saya.

”Bung saya membawa naskah yang sejak lama bung cari-cari, yaitu tentang Dewan Ekonomi (Dekon) yang menjadi stategi pembangunan yang dirumuskan oleh pemerintahan Bung Karno.” Naskah yang saya bawa adalah skripsi Amirudin anak sejarah UI.” Di belakang ada lampiran konsep Dekon. ”ujar saya sambil menunjukan fotocopy-an yang saya bawa dan saya sorongkan kepadanya.

Menurut Joesoef, selama ini Soekarno dituduh oleh para pendukung Soeharto dan orde baru bahwa ia tak punya konsep pembangunan ekonomi. Soekarno hanya memikirkan mobilisasi politik dan ideologis untuk mempersatukan bangsanya. Bahka kajian-kajian tentang Soekarno sangat jarang membahas soal konsep pembangunan ekonomi yang sedang disiapkan oleh Bung Karno menjelang akhir kekuasaan konstitusionalnya.

Joesoef memegang naskah yang saya berikan. Ia memandang sejenak, membuka-buka halaman dan berhenti di lampiran konsep Dekon di bagian belakang buku.

”Dulu saya pernah punya naskah asli konsep Dekon ini. Buku kecil berwarna biru sampulnya. Namun ketika saya kembali dari penjara, buku itu hilang. Baru sekarang ini saya melihat kembali naskahnya,” ujar Joesoef.

Menurut Joeosoef saat itu Soekarno sedang menyiapkan dua strategi besar untuk menyiapkan bangsanya agar ’berdaulat secara politik’ dan ’berdaulat secara ekonomi’ tanpa mengekor atau menjadi epigon kekuatan ekonomi politik global saat itu.

Menurut Joesoef, dalam kedaulatan politik, Soekarno mengeluarkan konsep ’Demokrasi Terpimpin”, sebagai suatu konsep untuk mempertahankan ’persatuan’ dan kedaulatan bangsanya agar tak dikoyak-koyak oleh kekuatan neokolim. Saudara kembarnya adalah ’Dewan Ekonomi’, sebuah konsep pembangunan ekonomi yang menolak jalan kapitalisme yang pro pasar bebas, tapi juga tidak mengadopsi ekonomi negara ala komunisme yang sentralis. Ini merupakan komitmen bung Karno dalam merealisasikan apa yang ia sebut dengan kemandirian dalam ekonomi.

”Bung tahu siapa yang berada dibelakang konsep penyusunan Dekon ini?, tanya Joeosef.

Saya menduga, karena saat itu bung Karno sedang menyatukan tiga kekuatan ’NASAKOM”, maka ketiga komponen pendukung politik bung Karno itulah yang merumuskannya.

”Bung keliru. Bukan orang PKI, bukan orang PNI yang membuat draft konsep Dekon ini. Tapi justru orang-orang dari PSI yang terlibat dalam perumusan draft konsepnya. Ali Wardana, yang kemudian menjadi konseptor ekonomi dalam pemerintahan orde baru adalah orang yang ditunjuk oleh Soekarno untuk memimpin proyek ini,” ujar Joesoef.

Menurut Joesoef Dekon ini bukanlah sebuah bentuk ekonomi komunis yang sentralis, tapi lebih tampak sebagai sebuah konsep ’ekonomi kerakyatan’ yang menjadi amanat dari UUD 1945 dimana aset strategis bangsa dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Bila begitu, sepertinya Dekon lebih dekat dengan gagasan ’sosio-ekonomi’ (ekonomi sosial) yang menjadi gagasan lama Soekarno. Boleh dikatakan gagasan sosio-ekonomi lebih dekat dengan gagasan-gagasan sosial demokrasi, hanya saja Soekarno menyesuaiakannya dengan kondisi ke Indonesia-an.
Joesoef lalu menyatakan ketertarikannya akan naskah skripsi Dekon tersebut dan berencana akan diterbitkan oleh Hasta Mitra.

Joesoef mengangap naskah Dekon ini sangat penting. Selama ini ada kesalah pahaman dikepala banyak orang bahwa Soekarno itu dianggap tak punya strategi ekonomi untuk pembangunan bangsanya. Dia hanya urus ideologi dan politik saja. Ini memang propaganda kotor yang sengaja dilempar untuk membedakan Soekarno dengan Soeharto. Faktanya, Soekarno juga punya konsep pembangunan ekonomi untuk bangsanya. Tapi sayang konsep pembangunan ekonomi Soekarno tak sempat dijalankan, karena dia keburu digulingkan oleh Orde Baru.

Soeharto sendiri menurut Joesoef tak punya konsep pembangunan ekonomi. Semua konsep ekonomi Orde Baru adalah cetak biru yang disiapkan oleh Bank Dunia dan IMF. ”Jadi tak heran bila kepentingan kapitalisme global menjadi majikan dalam strategi ekonomi orde baru. Sesuatu yang berkebalikan dengan konsep kemandirian ekonomi dalam strategi Dekon Bung Karno”

”Oke bung hubungi penulisnya, saya yang akan cari ongkos cetaknya. Saya sendiri yang akan buat pengantar,” ucap Joesoef bersemangat lupa akan sakitnya.

Rencana penebitan buku itu, ternyata menjadi rencana terakhir Joesoef Isak. Beliau wafat sebelum penerbitan buku ini menjadi kenyataan. Saya sendiri bertekad suatu hari nanti akan menerbitkan naskah ini. Rencana penerbitan ini saya anggap sebagai ’hutang’ yang harus dipenuhi, sebagai penghargaan kepada Joesoef Isak. Dan paling penting lagi ”agar orang tidak keliru dan secara utuh memahami bung Karno,” ujar Joesoef Isak.
* * *
Saya sendiri, tak tahu dengan persis sejak kapan kenal dengan Joesoef Isak. Seingat saya kunjungan pertama kerumah Joesoef Isak di jalan duren tiga, Kalibata Selatan adalah sekitar awal tahun 1990-an. Saat itu saya mengantar Wiji Thukul. Tenyata Wiji sudah pernah berkunjung ke sekretariat Hasta Mitra tersebut. Saya sempat ragu, apa mungkin penyair rakyat dari Solo benar-benar tahu alamat Joesoef Isak. Wiji tampaknya membaca keraguan itu.

”Rumahnya itu gampang dikenali. Ada kotak surat berbentuk rumah minang,” ucap Thukul.

Ciri rumah tersebut, setelah 20 tahun kemudian,sampai sekarang belum berubah. Kotak surat yang sepertinya tak berfungsi itu menjadi penanda untuk mengenali rumah Joesoef Isak. Joesoef memang dari keluarga minangkabau tulen. Jadi maklum bila simbol rumah gadang menghiasi pagar garasi rumahnya.

Inilah untuk pertama kali saya mendatangi kediaman Joesoef Isak. Setelah itu bila Wiji Thukul ke Jakarta, saya hampir selalu mengantarnya menemui Joesoef Isak. Dalam pertemuan biasanya saya tak banyak cakap. Paling-paling hanya memberikan majalah Progress dan beberapa penerbitan gerakan. Biasanya Wiji yang bicara. Lalu selanjutnya kami lebih banyak sebagai pendengar. Joesoef adalah seorang pencerita yang baik dan memukau.

Diakhir pertemuan Joesoef akan masuk kedalam dan mengambil beberapa buku terbitan Hasta Mitra terbaru kepada Wiji Thukul. Tak lupa ia memberi tanda tangan dihalaman muka. Saya sendiri, karena dianggap ’anak bawang’ saat itu belum mendapat jatah. Saya baru mendapat buku setelah pendirian Persatuan Rakyat Demokatik, Mei 1994. Kebetulan panitia mengirim saya untuk mengantar undangan deklarasi Persatuan Rakyat Demokratik ke rumahnya di Kalibata. Setelah menjelaskan sedikit tentang latar belakang pembentukan PRD dan siapa saja yang terlibat didalamnya Joesoef tampak bersemangat sekali dan berjanji akan datang. Ia menepati janjinya. Bahkan Joesoef memberikan pidato sambutan. Setelah itu ia masuk kedalam dan memberikan sebuah buku Hasta Mitra.

Beberapa pekerjaan bersama Joesoef juga sempat saya lakukan beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2002 Joesoef menghubungi saya untuk membantu penerjemahan dokumen pemerintah Amerika Serikat yang didalamnya juga ada banyak fakta tentang peristiwa 30 September 1965 di Indonesia. Dokumen itu adalah keluaran State Departement yang berjudul Foreign Relations of the United States 1964-1968; Volume XXVI. Dokumen ini diterbitkan oleh United States Government Printing Office, Washington 2002.

Dokumen resmi pemerintah AS ini sebetulnya membuat dokumen-dokumen resmi menyangkut perkembangan politik dan sikap pemerintah Amerika Serikat di kawasan Indonesia, Malaysia dan Filipina sepanjang tahun 1964-1968..

Mendadak pada bulan Juli 2002, pejabat di State Departement di Washington menarik kembali peredaran dokumen tersebut. Dokumen ini sempat di upload di situs National Security Archive (NSA) www.nsarchieve.org. State Departement lalu meminta NSA untuk menutup akses dokumen itu diinternet. Namun penyebaran dokumen via internet sudah tak dapat lagi dicegah. Dari situs inilah Joeosoef Isak men download dokumen ini lalu membuat printout-nya.

Dari periode 1964-1968 tersebut, peristiwa penggulingan Soekarno akibat peristiwa G 30 September 1965 menjadi perhatian penuh pemerintah AS. Maklumlah penggulingan Soekarno menjadi model bagi Amerika Serikat untuk mendukung rezim-rezim otoriter guna menjamin jalan kapitalisme global. Karena itu penarikan dokumen ini diduga untuk mengamankan relasi politik Amerika dan angkatan darat dan pemerintah Indonesia yang telah berjalan sangat dekat sejak tahun 1965.

”Dokumen ini harus segera diterjemahkan bung, Ini bukti bahwa pemerintah Amerika Serikat terkait dengan penggulingan Soekarno dan peristiwa 30 September 1965.” ujar Joesoef.

Saya sepakat seratus persen. Selama ini hanya ’analisa imajinatif’ dan teori konspirasi yang memenuhi tulisan sekitar 30 September 1965. Dokumen ini membuktikan bahwa peristiwa 1965 dan penggulingan Soekarno berkait dengan strategi politik pemerintah AS dan sekutunya Angkatan Darat pimpinan Soeharto di Indonesia.

” Saya tanggung resikonya bila Hasta Mitra nanti dapat masalah hukum dengan penerbit asli dan pemerintah Amerika Serikat nanti. Bung sanggup dalam waktu 2 bulan menyelesaikan terjemahanya kedalam bahasa Indonesia ?”

Dokumen itu cukup tebal. Ketika di cetak menjadi buku tebalnya saja menjadi 648 halaman. Saya pun menyanggupi, tapi akan membentuk tim penerjemah untuk menyelesaikan proyek penting ini secara kilat. Lalu saya menghubungi Megi, Vidi, Irvan, Asep Salmin, Mugiyanto dan Hendra untuk membantu proyek terjemahan yang harus selesai dalam waktu kilat ini. Akhirnya, terjemahan selesai sesuai jadwal dan diterbitkan oleh Hasta Mitra pada bulan Agustus 2002 dengan judul ”Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S 1965”.

Meskipun saya tak begitu puas dengan hasil terjemahan ’keroyokan’ ini, tapi tetap bangga, karena sebuah fakta tentang hubungan antara pemerintah AS dengan politik Indonesia di tahun 1964-1968 dapat dipublikasikan kepada publik. Dengan buku ini maka semakin benarlah ucapan Joesoef Isak dalam pengantar buku ini yang diberi judul ”Abad Intervensi adalah Abad Intelligence !”.

” Kecanggihan intelligence membikin orang-orang sipil dan militer yang digunakan tidak merasa digunakan, atau sebaliknya mereka memang sadar sepenuhnya digunakan, bahkan rela dan mau melayani induk-semang karena merasa sepaham dalam benak dan dalam hati. Di sini kita lihat bukan saja di bidang ekonomi dan kapitalisme berlangsung globalisme, tetapi juga di bidang ke-intel-en, intellegence”

Pekerjaan kedua yang juga secara dadakan ia berikan adalah ketika Hasta Mitra ingin menerbitkan biografi Soemarsono, tokoh dan pimpinan Peristiwa Madiun 1948 pada tahun 2008.

Menjelang bulan puasa pada bulan Agustus 2008 Joesoef Isak menelpon saya untuk datang kerumahnya bertemu dengan kawan dari Belanda katanya. Dia tak memberi tahu tujuan pertemuan itu. Kawan dari Belanda itu ternyata sorang anak muda yang diutus oleh tim penulis biografi Soemarsono untuk menerbitkan naskah itu di Indonesia. Baru saja saya duduk, sebuah fotocopy-an naskah tebal disorong kepada saya.

” Bung coba baca naskah ”Revolusi Agustus” Soemarsono ini. Dalam waktu sebulan bung saya harap bisa selesai membuat pengantarnya,” ucapnya tanpa menunggu jawaban dari saya.

Saya memang pernah mendengar soal proyek biografi ’Revolusi Agustus” Soemarsono ini, namun tak pernah terbayang sekalipun untuk memberikan pengantar. Ini bukan cuma pengantar, tapi ada beban ideologis, politik dan histiografi sekaligus didalamnya.

Saya mencoba mengelak awalnya dengan mempertanyakan pada Joeosoef ” kenapa saya ? Bukankah banyak sejarawan hebat dan terkenal di luar sana yang pastinya akan dapat memberi pengantar ?”

Satu hal lagi yang membuat saya agak ’gugup’ dengan tugas membuat pengantar ini adalah karena Soemarsono secara keras mengritik karya sejarah yang baik dari Hesri, mantan tapol Pulau Buru tentang peristiwa Madiun. Terus terang ,saya juga mengagumi karya ini. Sebuah tulisan yang ditulis dengan metode sejarah dan bahasa yang mudah dicerna. Bagaimanapun saya juga pengagum dan respek dengan karya-karya Hesri. Saya tak mau pekerjaan membuat pengantar ini menciptakan problem baru bagi saya atau menciptakan kesalahpahaman.

Joesoef memahami kegamangan tersebut.

” Itukan interprestasi Soemarsono atas buku Hesri, kamu menulis bebas dan buat juga interprestasi sendiri sebagai sejarawan, ” ujar Joesoef.

Akhirnya, saya memberanikan diri menerima tugas membuat pengantar untuk buku Revolusi Agustus.

Friday, July 9, 2010

FOCUS ON MUHAMMADIYAH

IBRAHIM ISAS – FOCUS ON MUHAMMADIYAH
Friday, July 9th, 2010
----------------------------------------------------------------------------
Muhammadiyah’s century
The Jakarta Post | Tue, 07/06/2010 - Editorial
There are few organizations like it. A sociocultural mass base numbering in the millions. A force of societal stability. A catalyst for cultural change. Indonesia is blessed by the presence of two such mainstream groupings: Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah.
In its centennial year, Muhammadiyah is undertaking its congress to elect its next chairman and ultimately shape the direction of the organization. With a network of schools, universities, hospitals and various institutions under its aegis, few organizations are as well placed and equipped to help determine the direction of this nation.
Since it was formed by Ahmad Dahlan in 1912 in Yogyakarta, Muhammadiyah has been founded on the pillars of reason and progressive change. Rejecting the traditonalist dogmatic approach, it instead advocated for rational reasoning and interpretation, or ijtihad, within its community.
For a lack of a better word, it was already “secular” even before the birth of the state or conservative ulemas decided that secularism was taboo.
From this ideological underpinning, most Indonesian Muslims can be considered Muhammadiyah-ist in their thinking — to be reasoned and utilize common sense in the practice of religion rather than blindly importing Arabism as the basis of practicing their religiosity.
Under the chairmanship of Din Syamsuddin, Muhammadiyah has retained its basic virtues which have allowed its leading figures to become contributing members of the greater society.  The moderate stance of Muhammadiyah has been a bulwark against growing conservatism and those who would corrupt the religion of peace for a personal agenda of intolerance and violence. Greater assertiveness is expected of the organization in this cause.
We are hopeful that Muhammadiyah members once again employ their common sense by electing a chairman, Din or anyone else, who reflects the nationalistic pluralistic values that embody this nation.
To do otherwise would represent a threat to the fine balance of diversity which enriches the world’s greatest archipelago.
Muhammadiyah’s new century presents greater challenges and responsibilities. As Indonesia embarks on an open political system, institutions like Muhammadiyah are a linchpin in the fight against dogma. Voices of unreason will triumph and its caustic message accepted as conventional wisdom if the likes of Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama refuse to challenge them.
We further urge that Muhammadiyah continue its independent stance without bowing to the temptations of being prostrate to the status quo. A position pledged by Din when he opened the congress over the weekend.
In a time when coalitions are formed for the sake of political profit, Muhammadiyah should underline its role as a loyal critic of the government, whoever is in power. A counterweight on the side of the people while at the same time rejecting the temptations of delving into the formal practical political arena.
It is an appeal as beguiling as the menace of Muhammadiyah being infiltrated by those who would seek to exploit it for political ends. But with 100 years of common sense and the wisdom of thousands of learned Muhammadiyah graduates, there should be no reason that it cannot overcome these challenges.
The past century has been an era of teaching and educating. The coming century should be one in which Muhammadiyah raises itself as a pulpit of enlightenment.
Congress promotes ‘need for tolerance’
Slamet Susanto, The Jakarta Post, Yogyakarta | Fri, 07/09/2010
Muhammadiyah, the country’s largest modernist Muslim organization, must develop programs to promote pluralism and religious tolerance, agreed participants Wednesday on the penultimate day of the group’s 46th congress in Yogyakarta.
The congress’ Commission E said it saw a need to promote interfaith cooperation, mutual tolerance and acceptance among different community groups to help create positive social conditions.
“Muhammadiyah supports and promotes pluralism — but we reject pluralism that leads to syncretism and says that all religions are the same,” said recently-re-elected Muhammadiyah Chairman Din Syamsuddin.
As part of the community, people must recognize the existence of other religions and be aware that there is some truth in every religion, he said.
However, people must also remember that all religions do not share the same truths, he added.
“We must recognize diversity in religion and have mutual respect for each other and be tolerant.
However judgments on truth should be made in accordance with an individual’s faith,” he said.
“Lakum diinukum waliyadiin,” he added, referring to a verse from the Koran that is translated as: “To you, your religion, and to me, mine”.
Muslims must be oriented towards the future to meet the challenges of the current age of technological development and Islam must be developed with “deep insight” to adapt to future developments,
he said.
Substantial understanding about Islam must be developed to prevent the religion from becoming a commodity and to stop the destruction of Islam’s meaning and substance, Din added.
Muhammadiyah has been a pioneer and actively involved in creating dialogues between nations and civilizations to promote peace on earth.
Development over time and between civilizations have increased frictions that could lead to the birth of conflict, he said.
“Cooperation and dialogue are needed to minimize the effects of friction between civilizations. Muhammadiyah will actively take part in it,” Din added.
Din said that Muhammadiyah has been actively involved in the resolution of the southern Philippines conflict, together with the UK, Japan and Turkey and other social organizations.
Din added that Muhammadiyah has also been actively consulting with the United Nations on frictions between civilizations to help improve awareness of the importance of dialogue between civilizations.
“We will gather world religious figures, businesspeople and scientists to meet at the World Peace Forum, our third [forum],” he said.
The congress recommended the use of an “inverted evidence” scheme as the most effective way to fight the country’s rampant corruption.
It also recommended reform to make legal institutions independent to help the fight against corruption and other social diseases.
Finally, the congress recommended the establishment of an economic institution to help empower economically challenged people and development of the nation’s religious character.
Muhammadiyah aims to usher in ‘cosmopolitan’ Islam
Sri Wahyuni, The Jakarta Post, Yogyakarta | Wed, 07/07/2010
Entering its second century of existence according to the Islamic calendar, Muhammadiyah vowed to promote what it called a “cosmopolitan” Islam that would open up dialog and build bridges between civilizations.
The pledge was conveyed by Muhammadiyah Vice Chairman Haedar Nashir on Monday evening as he was presenting the organization’s centennial manifesto in front of participants of Muhammadiyah and its women’s group, Aisyiyah.
“Muhammadiyah conveys an Islam that says no to conflicts between civilizations, an Islam that fosters cooperation, dialog. A cosmopolitan Islam is a golden bridge for a dialog between the East and the West,” Haedar said.
The pledge came amid growing anti-Islam sentiment in some countries in Europe, where Islam is portrayed as being incompatible with Western and democratic values.
Muhammadiyah, the country’s second-largest Muslim organization, has over the past years been working to ease tension between Islam and the secular West.
However, theses efforts have recently been criticized as ineffectual, with many traditionalist Muslims still perceiving the West as hostile to Islam.
The centennial manifesto is Muhammadiyah’s beacon that will guide its future programs and actions, Haedar said.
“Suppose we are walking, we need a direction, a road to walk in and idealism or thoughts to hold to so that we will not just walk without purpose,” he said.
The five-point statement, he added, included a statement of gratefulness to God for allowing Muhammadiyah to survive long enough to enter a second century.
It also reflects on what the organization has achieved for the community, the nation and the humanity over the past 100 Islamic years.
Since it was established in 1912, he said, Muhammadiyah has made breakthroughs and reforms in the fields of religion, modern education and had been instrumental in developing social infrastructure, including by building educational institutions and hospitals.
“Entering the second century, we have become a success story,” he said adding that the statement also identified major problems faced by the nation and state.
“All the problems are described to lead to a commitment that in entering this second century, Insya Allah [God willing], we will continue to work without tiredness to enlighten the community, the nation and the world,” he said.
Muhammadiyah also says in the statement that it understands Islam is not just a set of commands and
restrictions but also as a guide for life. “Therefore in the eyes of Muhammadiyah, Islam is a way of life,” he said.
Based on this notion, he continued, Muhammadiyah’s take on Islam was of a progressive Islam that would give birth to Islam as a religion of civilization.
In terms of nationhood and humanity, the statement renews Muhammadiyah’s commitment to the country not just because of nationalism but because of its religious belief.
As such, nationalism is neither a passive nor dogmatic doctrine but must be manifested into love for the country that will transform Indonesia into a developed, prosperous, sovereign and just country.
Through the statement, Muhammadiyah also renewed its pledge to bring enlightenment to society and the nation by practicing the teachings of Islam that are liberating, empowering and developing.
“This must be reflected in the agenda of programs and actions of Muhammadiyah, whose main character is a movement of enlightenment,” he said.

Editorial: Muhammadiyah at Critical Crossroads
Indonesia’s second-largest Muslim organization, Muhammadiyah, has long been a bastion of moderate Islam in this country. Its 30 million members hail from the urban middle class and support many of the organization’s social and educational programs.

Its forward-looking, progressive stance has been at the forefront of improving the lives of its members. Not only does the organization run schools, it has a university with campuses in more than 20 cities.

Acknowledging the role of women in modern society, the socio-religious organization has also established a women’s wing.

In fact, it recently endorsed a decision to allow female motorcyclists to ferry delegates at its congress in Yogyakarta, thus rejecting an earlier fatwa by clerics banning women from riding motorcycles.

As such, Muhammadiyah has always kept pace with the changes in societal norms and has adopted a pragmatic approach to religion.

But as it approaches the end of its first century since being formed in 1912, Muhammadiyah is at a crossroads.

The organization, which has played such a central role in educating and improving the social as well as economic lives of its members, must now decide whether it will stay in politics or refocus its resources on its grassroots work.

This is not an easy decision. The social organization entered the political realm after the 1998 political crisis as many of its members felt that it could achieve much more through the National Mandate Party.

Although PAN is not officially linked to Muhammadiyah, many of its members are sourced from the organization.

All 39 candidates running for Muhammadiyah’s top post have pledged that they will quit politics if elected, thus ensuring that the organization will cut all links to PAN even if those links are superfluous.

By returning to its original mandate, Muhammadiyah can do much more for its members and concentrate on countering the rising threat of radical Islam in the country.

This must be one of the top priorities of the new leadership. Given its reach and the scope of its social activities, Muhammadiyah is well placed to help guide its members in the right direction.

Groups such as Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama, the nation’s largest Muslim organization, have a critical role to play in denouncing violence, even if committed by Muslims.

Both NU and Muhammadiyah have also warned against the imposition of Shariah-based laws, noting that these could lead to the disintegration of Indonesia as a pluralistic society.

Such statements are critical if we are to avoid the kinds of religious and ethnic conflict that seem to affect various parts of the country.

Muhammadiyah has been instrumental in promoting inter-faith tolerance and understanding in the country. It must continue to play this crucial role to ensure that the country’s social fabric remains strong and intact.

* * *