Thursday, July 15, 2010

Amsterdam Menyambut 'Oranje' Sebagai PAHLAWAN Mereka.

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Selasa, 13 Juli 2010

-------------------------------------------


BELANDA – KALAH . . . (1-0)

SPANYOL MEREBUT PIALA EMAS . . . . . . . . .

* * *

Tapi Amsterdam Menyambut 'Oranje' Sebagai PAHLAWAN Mereka.


Pagi tadi, bersama Murti, kami pergi ke Nieuwmark. Sebuah pertokoan di pusat kota Amsterdam. Letaknya satu halte Metro sebelum Amsterdam-Central. Maksudnya menjenguk rumah putri sulung kami, Pratiwi. Rumahnya kosong, karena sekeluarga berkunjung ke Mesir. Sebelum berangkat Pratiwi mencatat alamat kantor pusat Sekretariat Tetap Organisasi Setiakawan Rakyat Afro-Asia di Caro. Itu kantor tempat kerjaku selama tahun-tahun 1960-1965. Ia juga mencatat alamat Sekolah Indonesia, Cairo, di daerah Dokki, dekat rumah kami. Maksudnya dalam kunjungannya ke Cairo itu, mungkin karena nostalgi ingin melihat bekas sekolahnya dulu. Ia juga ingin melihat kayak apa kantor bapaknya dulu di Cairo.


Dari rumah Pratiwi kami pergi belanja di supermark Tionghoa, 'Oriental', pas dekat halte Metro Nieuwmark. Di lapangan muka supermark 'Oriental', sudah dipasang layar TV raksasa. Supaya masyarakat di sekitar situ bisa menyaksikan siaran TV hari ini, 'Amsterdam Menyabut Pahlawan-pahlawannya', yaitu kesebelasan 'Oranje'.


Walikota Amsterdam, Erhard van der Laan, menyatakan sebelumnya, jika 'Oranje' menang akan disambut besar-besaran di Museum Plein. Sebelumnya diarak keliling berlayar di 'grachten' Amsterdam yang terkenal itu. Tapi kalau 'Oranje' menempati nomor dua, kalah dari Spanyol, maka 'Oranye' akan disambut masa di Museumplein. Jadi tidak ada pengaturan berkeliling dengan perahu-perahu menelusuri 'Amsterdamse grachten'.


Tapi dalam waktu 24 jam Walikota Van der Laan mengubah keputusnnya: Di pers muncul berita: 'Amsterdam is trots, dus toch de gracht in'. Artinya 'Amsterdam bangga, jadi tokh akan diatur berlayar di 'grachten'. “Amsterdam bangga dengan pemuda-pemuda dari kesebelasan Nederland. Suatu acara berlayar melalui 'grachten', itu akan memberikan kesempatan indah bagi penggemar (fans) untuk bisa melihat pahlawan-pahlawan mereka dan memberikan dukungan terhadapnya”. Demikian Walikota Amsterdam Van der Laan menjelaskan keputusan terakhir dalam rangka menyambut kesebelasan 'Oranje'.


* * *


Tak terhindarkan ada pers yang memberikan komentar sinis. Bukankah dimana saja di dunia ini selalu ada orang-orang yang sinis. Orang-orang semacam ini sok-soknya mau lucu-lucu. Tetapi tidak jarang 'kebablasan'. Jadi kelewat batas, menjadi tidak etis. Satu contoh: Bert Wagendorp dalam kolomnya di “de Volkskrant” hari ini, a.l. menulis: Kalau sih PM (dimisioner) Balkenende menyambut kesebelasan 'Oranje', itu bisa dimengertilah. Disini yang kalah – dalam hal ini Balkenende yang partainya, CDA merosot dalam pemilu Juni yang lalu – menyambut 'Oranje' yang kalah 1-0 dari Spanyol. Dan kalaulah Ratu Beatrix mengundang 'Oranye' bertamu di Istana dan berfoto bersama, itupun bisa dimengerti. Karena bukankah Sang Ratu, bertindak sebagai sang Ibu, yang ngemong anak-anaknya pulang dengan sedih hati krena kalah itu.


Demikian Bert Wagendorp.

Mana yang cocok apakah keputusan Van der Laan, menyambut besar-besaran kesebelasan 'Oranje' , ataukah Wagendorp dengan komentar sinisnya, mencemoohkan keputusan Walikota Amsterdam. Baik kita liat saja bagaimana jalannya sambutan itu.


* * *


Sungguh diluar dugaanku dan kita semua yang menyaksikan di TV bagaimana orang-orang Belanda menyambut “PAHLAWAN-PAHLAWANNYA kesebelasan ORANJE”. Kurang lebih setengah juta orang yang berkumpul di Musieumplen dan memenuhi tepi-tepi 'grachten' mengelu-elukan kesebelasan Óranje'. Banyak slogan-slogan yan berbunyi: WELKOM THUIS HELDEN. Selamat kembali pulang para pahlawan. Salah satu semboyan besar yang dipasang di Museumplein berbunyi 'GIO' (van BRONCKHORST, kapten kesebelasan 'Oranje' yang keturunan Maluku itu), 'MALUKU IS TROTS'. Maluku bangga. Demikian Giovannie Van Bronckhorst dielu-elukan massa.


Di sepanjang 'grachten' yang dilalui iring-iringan kapal 'Oranje' ribuan massa berwarna 'oranje' – mulai dari topi, T-shirt sampai ke sepatu – mengelu-elukan pahlawan mereka. Tidak ada satupun teriakan ataupun tulisan sinis, seperti komentarnya Bert Wagendorp yang mengéjék kesebelasan 'Oranje' yang kalah dalam babak final kejuaraan dunia sepakbola di Afrika Selatan.


De Telegraaf, sebuah surat kabar liberal Belanda, menulis dengan huruf-huruf besar 'Zij hebben als leeuwen gevochten '. Mereka, kesebelasan Belanda, telah berjuang bagaikan singa-singa. De Telegraaf yang sering suka nyindir dan juga sinis dalam komentar-komentarnya, kali ini tampaknya mengerti perasaan dan semangat massa orang-orang Belanda yang mencintai dan menghargai olahragawan mereka.


Maka mengertilah kita mengapa pemimpin kesebelasan nasional Belanda Bert Van Marwijk mengatakan: Kekecewaan belum sepenuhnya hilang, tetapi kami benar-benar boleh berbangga. Coba lihat massa yang mengelu-elukan, entah bagaimana jika kita pulang dengan kemenangan. Sambutan massa yang luar biasa itu telah membikin para olahragawan 'Oranje'' itu bisa tertawa lagi, begitu komentar salah satu s.k. Amsterdam.


Juga bisa difahami keterharuan pemain 'Oranye' Arjen Robben, yang menyatakan: Spanyol menjadi nomor satu --- tetapi publik Belanda adalah yang terbaik di dunia.


Di sini perasaan olahragawan Belanda itu nyambung dengan perasaan massa pencinta dan penggemarnya. Meerka tahu mereka kalah, tetapi mereka juga tahu dan yakin bahwa mereka telah berjuang demi kemulyaan negeri dan bangsanya


Walhasil -- komentar Wagendorp yang sinis itu meleset jadinya. Ia tidak mengerti perasaan dan semangat para penggemar 'Oranje' yang bangga sekali mengenai kesebelasan nasional mereka.


* * *


Boleh dibilang dinegeri mana saja di dunia ini, olahraga sepak bola sudah begitu populernya, --- 'mengglobalisai', dan 'merakyat'. Itu semua dapat dibaca, didengar dan disaksikan di media komunikasi modern sekarang. Pemberitaan dan liputan mengenai sepakbola kejuaraan dunia di Afrika Selatan, selama sebulan ini mendominasi media internasional. Bahkan jauh sebelumnya dan pasti juga tidak berhenti dengan finale Minggu malam.


Setiap malam, cakap-cakap dan diskusi Kejuaraan Sepakbola Dunia Afrika Selatan, yang diadakan di TV, yang ikut serta -- bukan saja komentator olahraga sepakbola kawakan, mantan pemain-bola kawakan seperti Johan Kruif, Ruud Gulit dan penggemar dan orang-orang biasa, tetapi juga ikut ambil bagian -- seniman dan sastrawan serta budayawan yang sesungguhnya mengenai sepak bola, itu taunya hanya dari dengar-dengar sana sini saja, . . . . bahkan politisi termasuk Perdana Menteri Belanda Balkenende-pun ikut mengomentari Kejuaraan Sepakbola Dunia Afrika Selatan.


* * *


Sesungguhnya tidak mengherankan mengapa negeri Belanda yang kecil ini, begitu keranjingan olahraga sepakbola. Sport tsb memang merupakan olahraga nasional. Keistimewaan kesebelasan nasional Belanda yang menonjol adalah bahwa kapten kesebelasan 'Oranje', Giovannie van Bronchorst adalah Belanda keturunan Indonesia-Maluku. Ini mendemonstrasikan bahwa paling tidak di bidang olahraga sepakbola, 'rasisme' anti-asing, seperti yang disuarakan oleh Geert Wilders, tidak punya pasaran samasekali.


Dewasa ini, tampaknya kejuaraan sepakbola dunia bukan semata-mata suatu 'amusemen' bagi penggemar di banyak negeri. Orang bukan saja ingin tau siapa yang menang, siapa yang kalah, kalah berapa, siapa yang main 'jentelmen' menurut aturan-main. Siapa saja yang main 'curang'. Siapa yang dapat kartu kuning, siapa dapat kartu merah dsb.


Soal bertanding sepak bola menurut aturan main atau 'curang', seorang kawan pernah mengatakan: Tau enggak? Pemain-pemain profesional itu dilatih untuk 'main curang' yang tidak mudah diketahui oleh wasit dan 'tukang kebut'. Merela dilatih bagaimana untuk 'mentackle' lawannya tanpa ketahuan. Bagaimana caranya jatuh dan tampak seperti 'diganjel' lawannya. Sehingga fihak lawan diganjar kartu kunnig atau bahkan kartu merah, dan dia sendiri boleh melakukan tendangan bebas.


* * *


Di Belanda sini begitu keranjingannya, begitu berdominasinya “Oranje gekte”, di masyarakat. Sehingga bahan pembicaraan sehar-hari di rumah, di kantor, tempat kerja, di jalan raya, di cafe-cafe tak tak lain tak bukan adalah mengenai Kejuaraan Sepakbola Dunia Afrika Selatan.


Seorang sahabat menanyakan kesana-kemari, sesungguhnya apa yang mengyebabkan mereka begitu keranjingan dengan pertandingan sepak bola dunia di Afrika Selatan. Gejala apa ini?


Banyak yang memberikan jawaban, begini: Pertandingan sepakbola yang berskala internasional, adalah manifestasi, penyaluran, katalisator dan identitas serta kebanggaan nasional. Sebagaimana halnya dengan Pesta Olahraga Sedunia Olimpiade, kesempatan ini merupakan penyaluran semangat dan jiwa patriotisme dan nasional banyak negeri dan bangsa. Kita lihat saja Olimpiade Beijing dua tahun yang lalu. Betapa pesta olahraga sedunia itu, telah menjadi demonstrasi dan pertunjukkan dunia: INILAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK MODERN, yang tidak kalah dengan negeri maju manapun di dunia ini.


Orang juga menyaksikan betapa pentingnya arti pesta olahraga sedunia seperti itu, ketika musuh-musuh Tiongkok mengerahkan segala sesuatu untuk mencermarkan Olimpiade Beijing dengan kegiatan dan dengan ongkos luar biasa ketika mereka meluncurkan kampanye anti-Tiongkok sekitar masalah Tibet.


* * *


Mungkin luput dari perhatian umum, bahwa juga adalah AFRIKA SELATAN yang menggondol kemenangan dari pesta olahraga Kejuaraan Dunia Sepakbola kali ini.


Afrika Selatan yang baru memerdekaan dirinya 16 tahun yang lalu dari rezim apartheid Afrika selatan dan menegakkan 'Negeri Pelangi' di Benua Hitam, menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa mereka MAMPU DAN DENGAN SUKSES menyelenggarakan salah saatu pesta olahraga dunia yang terbesar.


Dulu, begitu bica dibaca di pers mancanegara, apa yang dikenal mengenai Afrika Selatan, ialah kriminalitas yang merajalela, wabah AIDS dan ketokohan NELSON MANDELA. Sambil mengatasi masalah kriminilitas dan Aids, beberapa tahun belakangan ini mereka kerja keras untuk menyiapkan segala sesuatu untuk Kejuaraan Sepakbola Dunia 2010. Telah dibangun kereta-kereta api baru, sistim pengangkutan bis, lapangan-lapangan terbang baru. Dan yang pokok beberapa stadiun baru telah dibangun/direnovasi pula. Ribuan tamu dan jurnalis telah diatur baik pemondokannya.


Semua itu dilakukan dengan semangat dan kerja yang efisien dan tinggi.

Ketika Kejuaraan Sepakbola Sedunia dibuka sebulan lalu, segala sesuatu sudah siap.


Sehingga seorang jurnalis majalah AS 'Time', July 19, menulis dalam esaynya a.l demikian: AFRICA'S FUTURE – How staging soccer's World Cup has allowed a continent to believe in itself”. HARI DEPAN AFRIKA – Betapa penyelenggaraan Kejuaraan Sepabola Dunia, memberikan peluang pada sebuah benua – untuk percaya pada diri sendiri.


SUATU KOMENTAR YANG TIDAK MELESET!! * *

No comments: