Selasa, 03 Agustus, 2010
------------------------------------------------
PDI-P Dan AJARAN BUNG KARNO
(1)
Minggu pagi pekan lalu. Cuacanya persis seperti pagi tadi. Amsterdam cerah. Di sana-sini di angkasa biru tampak gumpalan kecil awan berserakan. Suasananya, -- Seakan-akan hendak ikut memperingati Ultah Ke-10 berdirinya “Forum Diskusi”. Setengah sebelas pagi itu, bersama Murti, kami berangkat dengan Metro. Turun di Sloterdijk. Lalu dengan tram berhenti di halte Haarlemmerweg. Di situlah, di sebuah restoran mungil (Restuarant LEI PING), tempat pertemuan “Forum Diskusi”.
'Orang-orang kita' di Belanda, yang peduli dengan perkembangan situasi tanah air tercinta, pasti tahu. Apa itu “Forum Diskusi”. Namun, baik disampaikan di sini apa yang dijelaskan oleh Sri Isni, pimpinan diskusi hari Minggu itu.
Sri Isni: – “Forum Diskusi”, adalah sebuah wadah didirikan bersama sejumlah kawan. Maksudnya supaya ada forum tempat bertukar-fikiran dan diskusi agar 'kita-kita' ini, orang-orang Indonesia, yang bermukim, atau kebetulan sedang mengikuti suatu program studi, atau bekerja di Belanda, --- tidak terpisah dari perkembangan di tanah air.
Di wadah ini pernah didiskusikan a.l tentang masalah 'sosdem', sosial-demokrasi di Indonesia dan di mancanegara. Situasi gerakan reformasi merupakan acara yang hangat dibicarakan. Krisis monoter yang belum lama melanda dunia, termasuk Indonesia, juga diangkat menjadi masalah yang diinformasikan dan didiskusikan.
Selain itu, 'Forum Diskusi' mendengarkan situasi kongkrit tanah air dari sementara aktivis gerakan demokrasi dan HAM dari Indonesia yang kebetulan sedang berkunjung di Belanda.
* * *
Minggu lalu itu, hadirin yang berjumlah kurang-lebih 40 orang memenuhi ruangan diskusi. Dengan penuh perhatian mendengarkan, kemudian memberikan komentar sekitar penjelasan menarik mengenai situasi tanah air.
Azis Burhan dari PDI-P, menyampaikan kesan-kesannya mengenai isi pokok Kongres Ke-3 PDI-P di Bali, April 2010 lalu. Yang sempat dihadirinya.
Dengan menangguhkan dulu perhatian pada soal-soal menarik dan penting lainnya yang muncul dalam pertemuan Minggu itu, -- soal-coal yang hendak difokuskan dalam tulisan ini adalah saling hubungan PDI-P, --- Kongres Ke-3, dengan masalah 'oposisi', 'koalisi, Majlis Ideologi – partai ideologi, dan last but not least, saling hubungan PDI-P dengan AJARAN BUNG KARNO.
Menngenai masalah-masalash tsb diatas, hadirin mendengar tentang kaitan masalah tsb dengan PIDATO MEGAWATI dalam Kongkres. Dianggap bahwa pidato Mega itu merupakan PIDATO TERPENTING tebanding pidato-pidato beliau di masa lalu.
Disinggung dan disorotinya sekitar isi pidato Mega tsb -- Inilah yang a.l mendorong aku mencari PIDATO MEGA DI KONGRES KE-3 PDI-P. Serta membaca dan mempelajarinya kembali. Benar kata kedua kawan penceramah hari itu. Pidato Megawati kali ini penting artinya bagi gerakan politik di Indonesia, bagi PDI-P dan bagi perkembangan perjuangan yang arahnya didasarkan atas Ajaran Bung Karno. Asal saja isi pokok dan garis politik mengenai pembangunan PDI-P dan saling hubungannya dengan AJARAN BUNG KARNO, benar-benar dilaksanakan dalam kehidupan politik selanjutnya. Maka ini merupakan tiupan angin segar dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara negeri kita selanjutnya.
Nanti dalam tulisan selanjutnya akan dimasuki lagi sekitar isi pidato Mega di Kongres Ke-3 PDI-P. Dan arti pentingnya.
* * *
Cornelis Lay, dari FISIP Universitas Gajah Mada, juga orang LIPI, yang kebetulan sedang mengadakan riset/penelitian dai Belanda, sempat pula memberikan penjelasan mengenai situasai tanah air dewasa ini.
Yang paling menarik (bagiku) -- adalah penjelasdan dua kawan ini mengenai hasil Kongres PDI-P.
Aku tertarik dengan salah satu tema yang disampaikan oleh Azis Burhan bersangkutan dengan Kongres Ke-3 PDI-P. Yaitu mengenai dibentuknya MAJLIS IDEOLOGI oleh Kongres. Dengan ini dimaksudkan bahwa PDI-P, tegas-tegas menggariskan bahwa Partai harus dibangun atas dasar ideologi. Jelasnya IDEOLOGI PANCASILA. Juga ditandaskan bahwa yang dimaksudkan dengan Pancasila adalah PANCASILA 1 JUNI 1945. Pancasila seperti yang dijelaskan oleh Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945.
Dari sejarah perjuangan parpol-parpol Indonesia sejak zaman kolonial, bisa disimpulkan bahwa perjuangan politik yang serius di masa lampau dilakukan oleh partai yang berdiri dan melakukan kegiatannya atas dasar ideologi yang dianut oleh partai. Misalnya ideologi nasionalisme, Islamisme atau Marxisme. Seperti yang diuraikan dalam karya politik klasik Bung Karno: Tentang NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME. Tujuan Bung Karno menguraikan masalah ini, ialah -- agar ketiga gerakan yang didasarkan nasionalisme, Islamisme dan Marxisme itu, bersatu dalam satu perjuangan besar untuk mencapai kemerdekaan nasional, kemakmuran dan keadilan bagi rakyat kita.
Menarik juga penjelasan yang diberikan oleh kedua sahabat dari PDI-P tsb diatas mengenai pengertian OPOSISI dan KOALISI. Ini sehubungan dengan terpilihnya SBY jadi Presiden RI dalam pilpres 2009. Setelah (tampaknya) perjuangan internal yang cukup sengit, akhirnya Kongres Ke-3 PDI-P memutuskan untuk mengambil ancang-ancang sebagai partai OPOSISI mengahadapi pemerintah SBY yang baru. Sedangkan parpol lainnya seperti a.l PKS, Golkar, PKB dan PAN mengambil sikap BERKOALISI dengan SBY. Kekuatan ini tentu akan berhadapan dengan PDI-P yang bertindak serbagai parpol OPOSISI.
Secara umum dikatakan, bahwa, sistim politik kenegaraan yang baik untuk berlangsung prinsip demokrasi dewasa ini a.l ialah adanya partai-partai yang memerintah (Eksekutif) dan adanya OPOSISI. Oposisi dimaksudkan sebagai 'penyeimbang', sebagai suatu alat untuk 'mengontrol' dan pada waktunya 'mengeritik' eksekutif. Dengan demikian akan terdapat susana politik 'check and balance'.
Apa yang dijelaskan mengenai saling hubungan antara sikap suatu parpol yang mengambil sikap ber- OPOSISI, -- dengan kewajiban dari suatu partai politik a.l yang penting untuk mengontrol, mengawasi dan mengeritik eksekutif, -- sayang t i d a k diteragkan bagaimana dengan dengan adanya serta berfungsimya lembaga Dewam Perwakilan Rakyat (DPR). Yang tugas resminya dalam sistim tata negara RI sekarang a.l. sebagai badan legelstatif yang j u s t r u adalah mengontrol dan mengajukan kritik terhadap eksekutif. Selain tugsa legeslatif membuat undang-undang, mengesahkan anggaran belanja negara, dll.
Suatu kenyataan ialah di Indonesia, --- dan di banyak negara, termasuk negara yang sudah tahunan menjalankan sistim demokrasi parlementer dan presidensil, --- sistim politik kenegaraan yang digunakan adalah “TRIAS POLITICA”. Yaitu keterpisahan dan kebebasan masing-masing lembaga kenegaraan eksekutif, legeslatif dan yiudikatif. Maksudnya, ialah, agar sistim demokrasi bisa berlangsung dengan baik. Ada 'check and balance' yang baik. Namun dalam praktek, saling hubungan antara parpol, legeslatif dan eksekutif sudah berubah. Sudah tak sesuai lagi dengan prinsip yang dinyatakan dalam Trias Politica.
Dalam kenyatannya – Suatu parpol, begitu menang dalam pemilihan umum lalu menjadi eksekutif, mengendalikan pemerintahan. Begitu memegang kekuasaan, lalu lupa bahwa wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen itu, termasuk yang menjadi anggota parpol bersangkutan -- seharusnya, tetap memberdayakan fungsi legeslatif, DPR, sebagai suatu lembaga demoktrasi, yang tugasnya, selain membentuk pemerintah, mengesahkan anggaran belanja, mengesahkan program pemerintah atau menolaknya, --- a d a l a h MENGONTROL, MENGAWASI, MENGADAKAN 'CHECK AND BALANCE' terhadap jalannya pemerintahan. Agar eksekutif tidak menyimpang dan merugikan kepentingan rakyat dan negara secara umum. Dan bila diperlukan wakil-wakil rakyat yang duduk di badan legeslatif tsb mengeluarkan 'mosi tidak percaya' terhadap eksekutif, menjatuhkan pemerintah tsb. Atau meng - “impeach” presiden terpilih, bila ia dinilai melanggar UUD atau disebabkan kebijakan politiknya bertentangan dengan kepentingn negara dan umum, dsb. Sehingga presiden pilihan tsb bisa diganti dengan presiden hasil pemilihan berikutnya.
Di dalam praktek, suatu parpol, begitu duduk di badan eksekutif sebagai pemerintah, maka parpol tsb tidak lagi memperhatikan agar anggota-anggotanya yang duduk di DPR sebagai wakil rakyat – melakukan kontrol dan pengawasan terhadap eksekutif. Sehingga membikin DPR tidak lagi berfungsi sebagai legeslatif yang bertindak sebagai pengonrtol dan pengeritik, sebagai suatu cara 'check and balance'.
Di dalam praktek kehidupan politik, parpol yang kalah dalam pemilihan, segera memusatkan perhatian dan kegiatannya, bagaimana melacak kekurangan dan kesalahan eksekutf. Mereka beranggapan bahwa tugas mereka sebagai anggota dewan yang parpolnya kalah dalam pemilu, adalah bertindak sebagai OPOSISI. Tanpa memperdulikan apakah yang ditentangnya itu sesungguhnya menjalankan politik tertentu yang sesuai atau menguntungkan kepentingan umum dan negara. Demikianlah ber-OPOSISI menjadi urusan yang utama.
Dimaksudkan bahwa pengertian OPOSISI itu adalah demi memberlakukan penyeimbangan atau 'check and balance'. Tetapi dalam kenyataannya makna OPOSISI menjadi kabur. Selain itu menjadi sesuatu yang seakan-akan merupakan masalah prinsipil.
Situasi tsb diatas mendorong semakin melemahnya fungsi DPR sebagai badan pengontrol dan pengawas pemerintahan yang sesungguhnya. Mendorong semakin menghilangnya fungsi DPR sebagai suatu lembaga kehidupan politik yang secara transparan memainkan peranannya dalam kehidupan politik menurut sistim Trias Politica. Karena 'salah kaprah' salam praktek demokrsi parlementer, akhirnya kehidupan politik, jalannya pemerintahan, ditentukterutama dalam pertemua-pertemuan antara tokoh-tokoh pimpinan parpol-paprol. Ditentukan oleh hasil kompromi dan dagang sapi parpol-parpol yang berkuasa, atau antara yang berkuasa dengan “oposisi” --- diluar DPR.
Menjadi semakin jauh jadinya, tujuan menegakkan NEGARA HUKUM yang BERDEMOKRASI. Yang antAra lain, menjadikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), wadah dimana rakyat, melalui wakil-wakilnya yang dipilih,. benar-benar ambil bagian dalam proses menegakkan, menentukan kebijakan dan mengontrol pekerjaan dan kegiatan eksekkutif.
* * *
No comments:
Post a Comment