Kemis, 19 Agustus 2010
-----------------------------
URUN MENGANTAR KARYA SUAR SUROSO
Hari ini, 19 Agustus 2010, Jakarta menghadirkan karya Suar Suroso, “PERISTIWA MADIUN: REALISASI DOKTRIN TRUMAN DI ASIA”. Di-edit dan diterbitkan oleh sejarawan muda Bonnie Triyana. Ini berlangsung dengan sebuah diskusi dimana antara lain bicara Teguh Santosa, MA Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka Online, alumnus University Hawaii, Manoa, AS), dan Hendri F. Isnaeni (wartawan Majalah Historia Online).
Dalam sambutannya Suar Suroso menjelaskan a.l sbb:
Naskah tulisan ini saya selesaikan tahun 2008, dimaksudkan untuk memperingati 60 tahun Peristiwa Madiun. Pak Joesoef Isak telah bersedia menjadi editor, mulai mengedit, tapi karena berpulang, Hasta Mitra tak sempat menerbitan.
Syukur sekali Bung Bonnie Triyana bersedia melanjutkan usaha Pak Joesoef Isak yang terbengkalai. Karena itu saya sangat berterima kasih pada Bung Bonnie Triyana yang berhasil mengedit dan menerbitkan buku ini.
Suar menutup sambutannya dengan kata-kata menggugah sbb:
Berbeda dengan berbagai buku mengenai Peristiwa Madiun yang pernah ada, buku PERISTIWA MADIUN: REALISASI DOKTRIN TRUMAN DI ASIA memusatkan studi pada masalah peranan Amerika Serikat, Doktrin Truman di belakang layar. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi pencerahan, penulisan sejarah yang bertolak dari kenyataan. Semoga para sejarawan setia pada kebenaran, menulis sejarah bertolak dari pendirian “cari kebenaran dari kenyataan”.
* * *
Banyak tulisan mempersoalkan Peristiwa Madiun, dengan latar belakang tujuan politik, terutama untuk mendeskreditkan PKI. Tulisan-tulisan tsb tidak dimaksudkan untuk memperoleh kejernihan dan kebenaran, sehingga bangsa ini bisa menarik pelajaran berguna bagi masa depannya, sebagai satu nasion baru yang hendak menegakkan negara Republik Indonesia yang didasarkan atas hukum dan HAM.
Karya Suar Suroso menelaah, meneliti Peristiwa Madiun, dengan DOKTRIN TRUMAN, sebagai latar belakangnya. Cara penelitian dan mempersoalkan seperti yang dilakukan oleh Suar Suroso, bukan saja lain daripada yang lain, tetapi juga menggugah, unik dan serius.
Usaha penelitian yang dilakukan Suar Suroso patut disambut hangat. Karena ia memperkaya khazanah literatur politik kita. Suar Suroso membawa kita ke suatu cara penelitian historis/politis menyangkut sejarah bangsa yang krusial.
* * *
Di bawah ini dipublikasikan 'Sekapur Sirih' yang ditulis menyambut karya Suar Suroso yang penting ini. Bung Suar, Selamat dan sukses!
* * *
SEKAPUR SIRIH,
Urun Mengantar Karya SUAR SUROSO
“PERISTIWA MADIUN REALISASI DOKTRIN TRUMAN DI ASIA”
* * *
Buku berjudul “Peristiwa Madiun Realisasi Doktrin Truman di Asia”, karya Suar Suroso, menampilkan hasil jerih-payah studi sejarah. Penulisnya dengan cermat, sistimatis dan jelas, membeberkan dokumen-dokumen dan fakta-fakta sejarah, meneropongnya diproyeksikan pada situasi internasional pada dewasa itu. Ketika mulai berkecamuknya dengan sengit strategi Perang Dingin AS dan sekutu-sekutunya. Dengan segala dampak dan kelanjutannya bagi banyak negeri. Dalam analisisnya Suar Suroso mengungkapkan bahwa, kasus sejarah yang dikenal sebagai “Pemberontakan Madiun 1948”, itu --- tak lain adalah kelanjutan dari 'Realisasi Doktrin Truman di Asia”.
Buku Suar Suroso adalah karya penelitian sejarah mengenai sebagian penting dari sejarah bangsa kita sejak Proklamasi Kemerdekaan. Dengan demikian merupakan langkah penting serta sumbangsih menuju pelurusan penulisan sejarah, yang terutama dalam periode rezim Orba mengalami rekayasa dan pemelintiran sewenang-wenang. Benar seperti yang disimpulkan oleh penulis Suar Surso, penulisan sejarah bangsa seperti yang berlaku pada periode rezim Orba adalah suatu tindakan 'pembodohan bangsa'.
Terbitnya karya sejarah Suar Suroso bersangkutan dengan Peristwa Madiun 1948, telah mengangkat masalah sejarah bangsa yang krusial ini, ke tahap baru. Yaitu tahap penelitian, studi yang ditujukan pada pelurusan sejarah bangsa.
Apa yang dikenal sebagai 'Peristiwa Madiun 1948', sejak terjadinya peristiwa tsb berbagai versi asal-usul dan jalannya peristiwa yang direkaya oleh penguasa telah disebar-luaskan sebagai suatu 'Pemberontakan PKI' terhadap pemerintah Republik Indonesia yang sah. Bukan fihak lain, tetapi adalah fihak PKI sendiri, melalui ketua CC PKI ketika itu, D.N. Aidit, dalam salah satu sidang pengadilan Jakarta, secara terbuka dan langsung mengajukan saran bahkan tuntutan kepada lembaga negara yang berwewenang, agar yang disebarluaskan sebagai 'Pemberontakan PKI' itu, diajukan ke pangadilan. Agar mantan PM Hatta diajukan sebagai saksi. Sedangkan PKI, mengambil sikap seperti yang diuraikan DN Aidit, dalam pidatonya di DPR (11 Pebruari 1957), sbb:
“. . . . sudah saja njatakan kesediaan saja kepada pengadilan untuk membuktikan dengan saksi2 bahwa Peristiwa Madiun memang provokasi dan bahwa dalam Peristiwa Madiun tsb. tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs. memang berlumuran darah. Dengan ini berarti bahwa Hatta, ketika itu masih wakil Presiden, harus tampil sebagai saksi berhadapan dengan saja. Kesediaan saja ini, jang djuga diperkuat oleh advokat saja, Sdr. Mr. Suprapto, tidak mendapat persetudjuan. pengadilan. Djaksa menjatakan keberatannja akan pembuktian jang mau saja adjukan dengan saksi2. Oleh karena djaksa menolak pembuktian jang mau saja adjukan, maka djaksa terpaksa mentjabut tuduhan melanggar fasal 310 dan 311 KUHP. Djelaslah, bahwa ada orang2 jang kuatir kalau Peristiwa Madiun ini mendjadi terang bagi Rakjat.”
Dari uraian sikap dan pendirian PKI tsb kiranya menjadi jelas, bahwa PKI sebagai tertuduh, justru berinisiatif mengajukan kepada pemerintah agar tuduhan tsb secara resmi, terbuka dan formal diajukan ke pengadilan. Mumpung mereka-mereka yang terlibat masih hidup.
Ikuti selanjutnya apa yang disampaikan D.N. Aidit, dimuka DPR-RI pada sidang yang waktu yang sama itu juga:
“Djadi, mengenai Peristiwa Madiun kami sudah lama siap berhadapan dimuka pengadilan dengan arsiteknja Moh. Hatta. Ini saja njatakan tidak hanja sesudah Hatta berhenti sebagai wakil Presiden, tetapi seperti diatas sudah saja katakan, djuga ketika Hatta masih Wakil Presiden. Saja tidak ingin menantang siapa-siapa, tetapi kapan sadja Hatta ingin Peristiwa Madiun dibawa kepengadilan, kami dari PKI selarnanja bersedia menghadapinja. Kami jakin, bahwa djika soal ini dibawa kepengadilan bukanlah kami jang akan mendjadi terdakwa, tetapi kamilah pendakwa. Kamilah jang akan tampil kedepan sebagai pendakwa atasnama Amir Sjarifuddin . . . . . ”
* * *
Seperti diketahui, mengenai kasus 'Peristiwa Madiun 1948 ', PKI dengan resmi telah mengajukan pendapat dan dokumen, termasuk foto-foto, dalam tiga macam penerbitan mereka. Yaitu:
“Buku Putih tentang Peristiwa Madiun”
“Menggugat Peristiwa Madiun”, dan
“Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948 -- Peristiwa Sumatera (1956)”
Disayangkan bahwa fihak pengdadilan negeri ketika itu, maupun DPR-nya, apalagi pemerintah dan parpol-parpolnya yang getol sekali menuduh bahwa apa yang terjadi di Madiun, 1948, adalah suatu 'pemberontakan', samasekali tidak merespons saran, tawaran bahkan 'tantangan' yang diajukan oleh DN Aidit, untuk membawa kasus Peristiwa Madiun ke penadilan. Bila hal itu terjadi tidak mustahil akan bisa dicapai kejernihan, menuju ke persatuan nasional demi hari depan Indonesia yang lebih baik.
Sekarang ini, mereka-mereka yang menuduh PKI memberontak dalam tahun 1948 itu, samasekali tidak punya alasan yang benar untuk memamah biak tuduhan-tuduhannya itu. Mengingat kenyataan ketika syarat-syaratnya memungkinkan untuk membawa kasus ''Peristiwa Madiun” ke pengadilan, mulai dari lembaga-lembaga negara bersangkutan, parpol-parpol yang terlibat serta pers pendukungnya, para penulis dan peneliti sejarah mereka-mereka itu, nyatanya bungkam seribu bahasa.
* * *
Bicara mengenai saksi hidup, atau lebih sering dikatakan 'pelaku' dalam Peristiwa Madiun, harus memperhatikan dengan seksama apa yang dinyatakan dan dijelaskan oleh mantan Gubernur Militer kota Madiun, Sumarsono.
Baik dalam ceramah-deramah beliau di Diemen, Belanda, beberapa tahun yang lalu, maupun dalam berbagai kesempatan beliau tegas-tegas menyatakan bahwa apa yang terjadi di Madiun dalam bulan September 1948, BUKAN SUATU PEMBERONTAKAN. Tak ada pernyataan yang lebih tegas dari seorang yang ada di tempat dan mengalaminya sendiri.
Dalam ceramahnya di Diemen, Sumarsono menegaskan bahwa beliau sendiri yang mengantar letkol Suharto sebagai perwira yang dikirim dari pemerintah RI di Jogyakarta, berkeliling kota Madiun, untuk menyaksikan sendiri bahwa pembunuhan dan kekacauan apalagi kudeta seperti apa yang diberitakan pers di Jogyakarta dan di luar negeri----, bahwa hal itu SAMA SEKALI TIDAK ADA.
Suharto menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bersama Sumrasono bahwa Madiun aman-damai dan tertib adanya. Entah bagaimana letkol Suharto melapor kepada pemerintah di Jogyakarta, tidak jelas. Tetapi apa yang terjadi sesudah itu, adalah ultimatum dan kemudian operasi militer TNI untuk menghancurkan PKI dan membunuh sebagian besar pimpinan puncaknya.
* * *
Lebih setengah abad telah berlalu sejak terjadinya Peristiwa Madiun 1948. Masing-masing fihak masih berpegang pada versi dan pendiriannya sendiri mengenai kejadian tsb
Karya Suar Suroso, “Peristiwa Madiun, Realisasi Doktrin Truman di Asia”, diharapkan akan menggugah dan mengundang para pemeduli sejarah, pakar dan sejarawan untuk memperbaharui dan menggalakkan usaha dalam rangka pelurusan sejarah. Semua itu demi usaha besar bersama mempersatukan bangsa ini untuk haridepan yang lebih baik. * * *
No comments:
Post a Comment