Thursday, August 26, 2010

Ber-Soliloquis Pada Umur – 80

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
-------------------------------------------------
Kemis, 26 Agustus 2010

Ber-Soliloquis Pada Umur – 80

< Bg.I >

Semula samasekali tidak ada maksud membuat tulisan seperti ini. Dalam waktu panjang sebelum sendiri berkeluarga, di rumah orangtua kami, sejak 'tempo doeloe', tak pernah ada yang memperingati hari ultah. Dirasakan itu kebiasaan orang-orang Belanda! Ada juga yang dilakukan oleh bangsa kita yang Nasrani. Itupun di kalangan atasannya. Sedangkan keluarga kami tidak tegolong kalangan atas. Lagipula penganut agama Islam.

* * *

Kongkritnya sekarang ini, situasinya jadi lain samasekali. Karena aku menerima tidak kurang dari delepan puluh tujuh (87) – mungkin lebih – ucapan selamat ultah ke-80. Yang disertai harapan terbaik dan doa. Agar panjang umur, bahagia dan meneruskan kegiatan penulisan dengan semangat yang sama! Terus terang, aku sendiri menjadi heran. Tetapi tokh gembira! Tak pernah mengalami situasi seperti ini.

Kenyataan inilah yang menjadi penyebab utama mendorong aku menulis sehubungan dengan mencapai umur 80. Pertama-tama untuk dengan setulus-tulusnya menyatakan banyak-banyak terima kasih kepada para 'well-wishers' itu. Ucapan selamat itu ada yang melalui tilpun langsung, banyak yang lewat e-mail. Yang paling banyak adalah yang dimuat di FACEBOOK.

Sepantasnyalah aku merespons ucapan selamat yang amat bersahabat dan mengharukan itu. Handai-taulan, sahabat lama dan baru, tua dan muda, baik yang di Indonesia, maupun di negeri lainnya, kenalan-kenalan yang baru samsekali (banyak sekali, terutama dari generasi muda di Indonesia) -- sungguh memberikan inpirasi dan dorongan untuk meneruskan apa yang kukerjakan, sejak menjadi 'orang eksil'. Yaitu menulis, merefleksikan sekadar pengalaman masa lalu untuk dijadikan bahan pertimbangan, menyampaikan message dan dorongan kepada generasi muda untuk meneruskan perjuangan yang telah dimulai oleh para founding fathers negara Republik Indonesia tercinta ini. Hal ini selalu diajukan generasi muda di Indonesia kepadaku, Sampaikanlah pengalaman perjuangan masa lalu kepada kami-kami yang muda-muda ini. Begitu selalu seruan mereka.

Sikap mereka itu sungguh menggugah. Menggugah untuk menulis. Mengajukan saran dan fikiran dalam rangka kita membersihkan pengaruh pendidikan periode Orba. Siapa tidak ingat politik pendidikan ORBA. Dicekoki pada generasu muda bahwa 'kebenaran itu ada pada pimpinan, pada penguasa', bahwa sebelum bertindak, harus 'menunggu arahan' . Pokoknya menjadikan kaum muda tidak berani dan tidak mampu berfikir bebas. Tidak berani mengambil tanggungjawab sendiri. Dalam segala tindakan pedomannya 'menunggu arahan' dan 'asal bapak senang'.

Menjadilah tugas bersama untuk -- Mendorong mereka agar berani berfikir bebas dan mandiri. Membebaskan diri dari pandangan 'apriori'. Menanamkan rasa solidaritas bangsa – Membela dengan gairah nasib rakyat miskin. Menegakkan dan membela kebenaran, keadilan, demokrasi dan HAM. Ikut membangun Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauké', memberlakukan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar falsafah bangsa dan negara, sesuai ajaran Bung Karno.

* * *

Dari respons menamggapi tulisan-tulisanku, yang didasarkan pada garis pembangunan nasion Indonesia sesuai ajaran Bung Karno, --- bisa diketahui bahwa artikel-artikel, buku-buku baru yang banyak diterbitkan setelah jatuhnya Orba, banyak membantu usaha pencerahan fikiran. Bahwa generasi muda sendiri menganggap perlu untuk mengadakan pencerahan fikiran secara fundamental, mengenal sejarah dan identitas bangsa sendiri dalam proses pelurusan sejarah bangsa yang dalam tempo begitu lama dibengkokkan oleh rezim Orba ----- Bahwa Proses dan perkembangan pencerahan fikiran ini --- amat melegakan hati. Serta dengan optimis memandang kedepan!

* * *

Menjelang umur 80 th, semakin sering aku ber- SOLILOQUIS. Berdialog dengan diri sendiri. Kadang-kadang bersoliloquis itu melelahkan. Karena mengharuskan diri yang sudah manula ini menyelam jauh ke memori, ke pengalaman masa lampau, ke sanubari dan hati nurani.

Suatu ketika aku melihat keadaan seorang kenalan lama yang paling tidak sudah diatas 75 th. Ia jurnalis pensiunan. Kami sering papasan ketika menuju winkelcentrum di dekat rumah. Jalannya agak pincang. Akibat stroke. Wajahnya tidak cerah. Kusapa dia: Pagi-pagi begini, mau kemana, nih? Sekali tempo dengan gurau ia jawab: Cari pacar! Kami tertawa terbahak-bahak. Tempo lain kutanya lagi: Mau kemana Bung? Dengan muram dijawbnya: Tunggu mati saja lagi!. Pada mukanya ada tanda-tanda luka. Bekas jatuh terjerembab rupanya. Jangan begitu dong!, kataku. Kami terdiam, tidak ada yang tertawa. Tak lama tetangganya yang juga kenalan lama kami, memberitakan, --- bahwa sang jurnalis pensiunan itu, telah meninggal dunia. Inna Lillahi Wa Inna Lillahi Raji'un.

* * *

Soliloquis: Tidak, tidak! Aku tak mau seperti sahabat jurnalis pensiunan tsb. Ia sudah lelah dan kesal hidup! Ia tak mau apa-apa lagi. Ia hanya menunggu mati saja!

Soliloquis lagi: Aku menoleh ke arah lain! Teladanku dalam hidup sejak Orba sampai era Reformasi, a.l yang terpenting --- adalah --- salah seorang sahabat terdekatku, Jusuf Isak.
Jusuf Isak mantan Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika, belakangan Pemimpin Penerbit Buku Bermutu HASTA MITRA, sampai akhir hidupnya. Pada usia lewat 80, penderita sakit jantung dan pernah kena stroke ini terus bekerja, terus melakukan kegiatan. Sampai pada malam menjelang wafatnya, atas undangan Redaksi Tempo, ia aktif ambil bagian dalam diskusi. Soalnya, Tempo menerbitkan nomor istimewa tentang NJOTO. Dalam diskusi itu Jusuf gairah sebagai partisipan dan memberikan masukan-masukan penting.
Jangan dikatakan lagi prakarsa dan peranannya, waktu Orba sedang 'jaya-jayanya', ketika bersama Pram dan Hasyim Rachman menerbitkan karya-karya Pramudya Ananta Tur “Tetralogi Pulau Buru”. Belum lagi puluhan buku-buku bermutu lainnya yang diterbitkannya dengan menantang larangan dan penjara penguasa. Jususf Isak adalah teladan raksasa dalam kegigihan dan konsistensi perjuamgan demi membela hak kebebasan berpendapat, berekspresi dan menerbitkan.

Mari temui UMAR SAID, sahabat kentalku di Paris. Ayik (sapaan akrab) juga adalah salah seorang teladanku dalam kehidupan dan perjuangan. Pada saat Konferensi Tricontinental di Havana, 1966, paspor kami (juga anggota Delegasi Indonesia lainnya) dicabut oleh rezim Orba. Umar Said pernah kena stroke beberapa tahun yang lalu. Lama ia tak bisa bicara. Tetapi lihat sekarang! Ia dengan gairah mengelola WEBSITE UMAR SAID. Tulisannya sa'dabrek! Bermutu, bertanggungjawab dan menggugah! Patriotik dan progresif! Pengunjung Website Umar Said, sudah lebih setengah juta! Pernah kukatakan padanya), -- ketika ia mencapai umur 80 -- : Yik, selama lilin ini masih menyala, biarlah ia ikut menerangi sekitarnya! |Dengan serius Umar Said menganggukkan kepalanya. Kami sependapat!

Terasa ada kekurangan catatan ini bila tidak menyebut teladan penting lainnya. Sahabat karibku, almarhum OEI HAY DJOEN, penyair, budayawan dan mantan pimpinan LEKRA. Keluar dari penjara Orba, Hay Djoen tak pernah melewatkan waktu dalam kegiatan penterjemahan. Ia menganggap tugas pentingnya dalam era pencerahan ini, menerbitkan sebanyak mungkin karya-karya politik, ekonomi dan budaya progresif dan revolusioner. Ini dalam rangka melawan 'pembodohan bangsa' oleh rezim Orba. Selama 32 tahun lamanya generasi muda Indonesia menderita di bawah 'brainwashing' Orba. Tiga jilid karya utama Karl Marx, DAS KAPITAL 1,2, 3. rampung diterjemahkanyal Lalu serenteten karya-karya teori progresif, sosialis dan Marxis, selesai diterjemakannya dan diterbitkan.

* * *

Belum lama kubaca tulisan seorang penulis, aktivis demokrasi dan HAM, Harsutejo.
Pas sekali Harsutejo menulis a.l sbb:
“Setiap orang yang punya kesadaran politik tentu saja tidak bisa tinggal diam, perlu melakukan sesuatu, seorang diri maupun berkelompok atau organisasi, biar kecil pun dengan berbagai macam cara sesuai kemampuan dan keadaan masing-masing.
Saya melakukannya dengn menulis artikel dan buku, perbuatan kecil yang mungkin berguna untuk orang banyak. Saya sendiri merasa belum pernah ikut berjuang. Di masa gerilya 1948-1949 saya yang kelas lima SR bersama seorang kakak menjadi kurir pembawa surat dari basis gerilya ke kota, kembalinya membawa obat-obatan.
Kami tak pernah menyebutnya sebagai berjuang, bagiku kata itu terlalu tinggi, yang kami lakukan sekedar langkah kecil anak kecil yang kebetulan berada di dekat basis gerilya yang belum sepenuhnya sadar akan maut.”

* * *

Penulis Harsutejo, orangnya amat rendah hati! Betapapun yang dilakukan Harsutejo semasa periode perang kemerdekaan, itu dilakukanna sebagai partisipan langsung dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Dalam usia senior sekarang ini ia tidak tinggal diam. Bergiat terus! Yaitu menulis demi usaha demokrasi, HAM dan suatu Indonesia yang bersatu, berkeadilan sosial, makmur dan jaya! Sikap dan pandangannya tsb --- bagiku patut diteladani! Masih banyak lagi dari bangsa kita yang patut diteladani. Yang kusebut di atas, sekadar sebagai contoh yang saat ini sedang memenuhi fikiran dan semangatku!

* * *

Soliloquis: -- Seperti pada banyak orang lainnya yang bertambah umurnya, pada diri sendiri sering muncul pertanyaan: Hidup ini sebenarnya apa? Dan untuk apa? Ini bukan pertanyaan aneh dan tidak dibikin-bikin. Pertanyaan tsb kurasa sudah terjawab dalam jalan hidup dan kegiatan hidup selama imi.

Orang-orang Mesir zaman Kuno, sejak lama sudah memikirkan masalah ini. Maka mereka mempersiapkan tempat pembaringannya yang terakhir. Begitu lahir sudah disiapkan bagaimana nanti, kalau ' m a t i'. Lebih banyak fikiran dan kegiatan ditujukan yang bersangkutan dengan 'kehidupan' nantinya setelah meninggalkan dunia yang fana ini. Mereka percaya ada yang lebih kuasa di dunia lainnya sana. Di dunia ini dan 'disana' nati, terdapat pelbagai dewa atau tuhan yang mengatur peri hidup ini. Diregisirlah tentang bagaimana hidup nantinya. Tampak orang Mesir kuno, lebih condong memikirkan kehidupan 'di sana nanti'. Dari situ muncullah prakarsa membangun kuburan-kuburan raksasa sebesar piramida Guizeh di pinggirra kota Cairo, dan tempat-tempat menyembah dewa seperti yang bisa di lihat sekarang di sepanjang sungai Nil. Antara lain bangunan Abu Simbel. Terasa mereka kurang cukup memikirkan bagaimana memperlakukan dan mengelola hidup di dunia yang nyata ini. Lebih banyak mikir kalau sudah mati! Sampai-sampai menemukan dan mengembangkan pengetahuan bagaimana mengawetkan orang-orang yang sudah mati. Kita kenal itu pada peninggalan mumi-mumi orang-orang Mesir Kuno.
Apakah: Cara berfikir Mesir Kuno ini yang menjadi penyebab mengapa yang dinamakan 'bangsa Mesir' dan 'kebudayaan Meisr Kuno' sudah lenyap samasekali dari kehidupan nyata dewasa ini?. Yang mendiami negeri Mesir sekarang bukan lagi bangsa Mesir Kuno. Sudah sejak lama adalah bangsa Arab dengan kebudayaan Islamnya yang hidup di lembah Nil itu. Tampak tidak nyambung dengan kebudayaan Mesir Kuno.
Mengenai kehidupan dan kebudayaan orang Mesir Kuno, itu hanya bisa kita jumpai di musium-musium dan di literatur kuno dan kemudian..

Itu bangsa Mesir Kuno. Bagaimana dengan bangsa kuno lainnya, seperti bangsa Tionghoa umpamanya.

* * *

Bangsa Tionghoa juga adalah suatu bangsa di benua Asia yang berlatar belakang sejarah dan kebudayaan yang panjang dan kaya. Ribuan tahun yang lalu, seperti halnya bangsa Mesir Kuno, mereka tidak habis-habisnya memikirkan dan menggambarkan tentang kehidupan di 'dunia lain'. Sudatu kehidupan 'setelah mati'. Mereka percaya bahwa ada kehidupan di dunia lainitu. Untuk itu mereka menyiapkan tempat-tempat khusus bagi yang mati. Maka sekarang ini bisa kita temukan kuburan-kuburan kuno yang luar biasa besarnya, seperti yang terdapat di dekat kota Beijing, Nanchang, Xi An dan tempat-tempat lainnya. Para mayat bahkan ada yang merasa perlu 'ditemani' oleh budak-budak hidup atau dikawal oleh serdadu-serdadunya agar yang mati tidak kesepian dan aman. Itu selain sejumlah perlengkapan hidup lainnya dan benda-benda budaya berharga yang ikut masuk liang kubur itu.

* * *

Bangsa Tionghoa, tampaknya dalam menanggapi peri hidup ini, agak lain dari bangsa Mesir Kuno. Bangsa Tionghoa berfikiran berimbang. Selain memikirkan dan mempersiapkan untuk hidup 'di dunia lain' seduah mati, --- bangsa Tionghoa, memberikan cukup perhatian dan persiapan untuk kehidupan yang nyata di dunia ini. Ini bisa ditemukan di banyak literatur kuno Tionghoa yang mempersoalkan bagaimana cara hidup sebaiknya di dunia nyata ini. Baik itu dalam karya-karya falsafah maupun dalam syair dan sajak-sajak kuno.

Dipersoalkan dan dibicarakan di situ bagaimana seharusnya dan sebaiknya bersikap terhadap diri sendiri dan memperlakukan sesama hidup. Mereka tampak lebih realis! Atau menggunakan bahasa sekarang, mereka itu berfikiran pragmatik! Begitu realisnya mereka bersikap terhadap kehidupan dan menghadapi bahaya yang datang dari luar, sampailah memperuntukkan demikian banyak dana, tenaga dan jiwa, dalam waktu yang cukup lama, untuk membangun TEMBOK BESAR TIONGKOK. Demi keselamatan negeri dan bangsanya dari ancaman luar (bangsa Mongolia yang sangat agresif ketika itu).

Ini yang dimaksudkan persiapan berimbang menghadapi dunia yang nyata dan 'dunia lainnya'. Mungkinkah pandangan ini yang menyebabkan bangsa Tionghoa sekarang ini bisa beralih dari sisitim ekonomi sosialis a la Sovyet, ke sistim ekonomi pasar-sosialis, dengan satu negeri dua sistim, sisstim sosialis yang disesuaikan dengan kondisi kongkrit Tiongkok, melalui suatu proses 'keterbukaan' dan 'perubahan'.

Nyatanya Tiongkok sekarang adalah kekuatan ekonomi terbesasr di dunia setelah Amerika Serikat. RRT Mengalahkan Jepang!

Tulisan dalam bentuk SILOLIQUIS ini adalah suatu cara saja. Maksudnya ialah sekadar BERBAGI CERITA!


* * * * *

No comments: