IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
------------------------------------------
Senin, 30 Agustus 2010
Ber-Soliloquis Pada Umur – 80
Berdialog Dengan Diri Sendiri < Bg 2 – Selesai>
Minggu malam masih kuterima lagi berita gembira melalui e-mail dan Facebook. Isinya, ucapan selamat ultah-80. Yang disertai harapan terbaik dan doa yang tulus. Dikirimkan oleh dua orang sahabat lama. Jurnalis kawakan. Pada umur seperti aku ini, dalam kondisi yang bolehlah dikatakan (Insya Allah) -- masih 'prima' -- banyak yang beranggapan bahwa, -- di Indonesia jarang orang bisa mencapai umur 80, dalam kondisi lumayan seperti itu . Begitu tulis sahabat-sahabat kental itu.
Semakinlah terasa kedekatan dan kehangatan hubungan antar-kawan dengan banyak sahabat. Terkhayati benar arti besar punya sahabat dan relasi, yang dengan tulus menjalin sikap saling-respek dan saling peduli. Lebih-lebih karena itu dijalin kokoh atas dasar kepedulian dan dedikasi pada tanah air dan bangsa, nilai-nili demokrasi dan HAM.
Mempunyai sahabat baik, tulus serta hangat dan saling peduli, --- sungguh suatu aset yang tak ternilai harganya!! Merupakan kebahagiaan yang sulit dicari!!!
Aku lagi-lagi 'nyebut' -- SYUKUR ALHAMDULILLAH!
* * *
Suatu ketika kutanyakan kepada Murti, kawan hidupku lebih setengah abad: Coba katakan 'cekak aos' – Apa kesimpulan yang bisa kau tarik dari perjalanan hidupmu hingga kini.
Murti terdiam. Agak lama berfikir. Lalu pelan-pelan berkata: Terasa ada yang belum cukup kulakukan. Menyangkut masalah membesarkan, mendidik empat orang putri kita. Sebagai seorang ibu, aku merasa seyogianya lebih banyak memberikan perhatian dan waktu untuk mereka. Situasi dan kondisi yang hidup berpindah-pindah, berbagai pekerjaan dan kegiatan kolektif yang sering amat menyibukkan dan menegangkan, memberikan sedikit peluang untuk melaksanakan dengan baik kewajiban sebagai orangtua.
Benar apa yang disimpulkan Murti! Tugas kekeluargaan d a n kegiatan, tidak selalu bisa terurus dengan baik. Menyebabkan kewajiban sebagai orang tua, kurang bisa terpenuhi.
Padahal tak jemu-jemunya dididikkan kepada 'anak-anak' arti penting kehidupan keluarga yang sehat dan harmonis. Keempat putri kami itu, yang kemudian juga masing-masing sudah pada berkeluarga, beranak, bahkan bercucu, -- selalu kami ingatkan agar memberikan perhatian yang maksimal pada keluarga mereka, khususnya pada pendidikan anak-anak mereka. Karena bukankah keluarga itu, -- adalah unit dasar yang paling fundamental dari kehidupan bermasyarakat, bernegeri dan berbangsa? Khususnya yang menyangkut masalah moral, etika, budaya dan rasa cinta tanah air dan bangsa! Termasuk disitu pengetahuan dan kesadaran POLITIK. Politik yang maju dan progresif!
Memang, sejak kami sekeluarga meninggalkan Indonesia karena aku bertugas di Cairo, 1960; kemudian setelah paspor kami dicabut Orba (1966), hidup kami mengembara dan sering dalam suasana tegang. Tanpa paspor, 'stateless', tanpa domisili tetap. Akibatnya keluarga sering terpisah-pisah. Putri-putri pada sekolah ditempat yang cukup jauh dari kami. Hanya si Bungsu yang bersama kami karena masih kecil. Jadi sebagai seorang Ibu, Murti sering hanya bersama si Bungsu. Lagipula aku sering 'ada urusan' ke tempat jauh, bahkan ke negeri lain! Jadi, bisa dimengerti Murti punya perasaan demikian itu. Karena 'urusan pekerjaanku' Murti sering kutinggalkan hanya bersama si Bungsu. Dan kehidupan keluarga yang tidak tergolong normal, menurut ukuran 'biasa', terus berlangsung bertahun-tahun lamanya. Jadinya aku merasa menyesal juga. Kurang cukup memberikan perhatian pada kehidupan keluarga.
Aneh: Yang diajukan Murti itu, segera dapat kujawab, sbb: Empat putri kita, sudah berkeluarga semua. Tumbuh mendewasa dengan baik. Cucu-cucu kita ada 7 orang. Tambah lagi seorang cicit. Mereka semua dalam keadaan baik menurut ukuran sekarang. Mereka respek terhadap orangtuanya. Punya rasa sosial dan kesedaran bermasyarakat! Berusaha dengan baik mendidik anak-anaknya. Bukankah ini suatu hasil pendidikan keluarga dimana kau mengambil peranan terpenting? Belum lagi bila diingat bahwa ke-empat putri-putri itu dilahirkan oleh kau, ibunya. Bukankah melahirkan itu tugas mulya seorang ibu, yang tidak bisa diambil oper oleh sang Ayah? Begitu kukemukakan kepada Murti.
* * *
Tak dapat kami lupakan, betapapun, sulit dan tegangnya hidup sebagai 'eksil', keadaan kami jauh, jauh lebih baik dari situasi kehidupan sehari-hari banyak teman dan rakyat kita umumnya di tanah air.
Banyak teman beserta kelurga mereka jadi korban pembantaian masal dan persekusi 1965/1966/1967, dst oleh rezim Orba Presiden Suharto. Sampai sekarangpun mereka masih menderita diskriminasi dan perlakuan tidak adil penguasa. Sudah lebih sepuluh tahun berlangsung Reformasi, -- Nama baik, hak-hak politik dan kewarganegaraan para korban pelanggaran Ham oleh Orba masih belum dipulihkan. Betapapun, -- situasi mereka jauh-jauh lebih sulit dibandingkan dengan kami yang ada di luar. Hal ini tak pernah kami lupakan. Oleh karena itu betapa kecilnyapun, -- dalam berbagai kesempatan bersama banyak teman lainnya di luar, kami memberikan solidaritas dan bantuan semampunya untuk tanah air.
* * *
Putri-putri kita itu, kataku kepada Murti, berusaha melaksanakan pesan orangtuanya, untuk selalu berani membela yang benar dan melawan yang salah. Memelihara moral tinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Mereka dibesarkan menurut pedoman tsb sampai dewasa seperti sekarang. Bukankah itu usaha mulya dalam mendidik keturunan yang merupakan bagian dari generasi baru Indonesia. Memupuk cinta tanah air Indonesia, agar sebanyak mungkin berbuat baik untuk sesama anak bangsa adalah merupakan kewajiban mendidik generasi baru, yang selalu dikerjakan bersama. Bukankah kewajiban in terus menrus kau lakukan? Begitu kutekankan kepada Murti!
* * *
Pada saat mencapai umur 80, rasanya agak lain, dibanding dengan yang lalu. Penyebab utama: Pratiwi Tjandra Rini, Gayatri Iskandariah, Fauziah Iramany dan Jasmin Meiliani – empat orang putri-putri kami, dengan berrembuk dengan para suami mereka, merencanakan sesuatu yang lain dari yang lain. Mereka mempersiapkan s e s u a t u . Beranggapan bahwa mencapai umur 80 itu tidak biasa. Harus diperingati yang punya arti dan kenang-kenangan indah!
Mereka tanya-tanya, padaku------, mau kado apa? Kujawab kontan: Aku perlu kursi-biro yang bisa kupakai 'enak', ketika bekerja dengan computerku. Kursi-biro yang lama sudah tua dan banyak 'ulahnya'. Bila agak lama duduk berkerja di situ, terasa pegal-pegal. Jadi kalau ditanya mau ' kado' apa, berikanlah KURSI-BIRO yang enak dipakai kerja. Itu telah kuterima pada 'hari jadiku' sebagai kado! Alangkah nyamannya bekerja di kursi-biro baru yang cocok! Yang menyebabkan tidak cepat lelah pada umur selanjut ini.
* * *
Acara peringatan ultah, pada tanggal 20 Agustus 2010, di rumah kami Haag en Veld 76, Amsterdam, dipandu putri sulung Pratiwi. Memang mereka bikin supaya mencapai satu hal utama. Yaitu lebih mendekatkan dan mengharmoniskan hubungan kekeluargaan. Diisi dengan pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran bermasyarakat para anggota keluarga. Pratiwi yang bicara atas nama adik-adiknya, memberikan APRESIASI mengenai sang Ayah.
Selain itu cucu perempuan Maya Keuning, si kembar Brian Cautaerts dan Robin Cautaert juga menyampaikan apresiasi mereka masing-masing mengenai kakeknya. Sedangkan cucu termuda Anusha Zahidi menyanyikan sebuah lagi Indonesia, Burung Kakak Tua! Malam itu dilanjutkan dengan makan-makan masakan yang mereka masak dan bawa sendiri. Keesokannya kami bertamsya ke Sea Life Scheveningen dan menikmati santapan Tionghoa di China Town Den Haag.
Menjadilah malam hari ultah 80 suatu peristiwa mengesankan dan akan terkenang sepanjang masa. Baik bagiku pribadi, maupun bagi segenap anggota keluarga!
Sungguh bahagia, gembira dan lega hati mendengar apresiasi putri-putri dan para cucu kami itu. Halmana merupakan dorongan untuk benar-benar berbuat seperti apa yang mereka fikirkan dan harapkan. Mereka dengan terbuka menerima bimbingan orangtuanya, yang memberikan kebebasan penuh kepada mereka untuk dengan bebas berfikir sendiri dan mengambil kesimputan sendiri. Dengan demikian bertindak atas tanggungjawab sendiri.
* * *
Malam itu aku bicara sepatah dua. Barangkali pembaca ingin mengetahui juga isinya. A.l seperti ini:
Mengapa Ayahnya sudah mencapai umur 80, tetapi masih punya semangat dan hasrat untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi orang banyak, masyrakat, bagi Indonesia --- untuk cita-cita keadilan, kebenaran dan kemakmuran bangsa Indonesia. Itu dalam kondisi relatif masih sehat, --- , Kutekankan, tandaskan dan tegaskan bahwa, satu sebab utama yang fundamental.
Yaitu : Berkat Ibu mereka – berkat Murti. Cinta, kepedulian dan dukungan sepenuhnya dari ibunya anak-anak -, itulah yang menjadi penyebab terpenting, aku sampai bisa mencapai keadaan seperti sekarang ini.
Tentu ada faktor lainnya. Seperti, umpamanya, senang dan biasa berolahraga. Jalan kaki setiap pagi, bersenam setiap menjelang tidur. Dan last but not least, menjadi kebiasaan setiap pagi dan setiap malam menjelang istirahat tidur, membaca bersama. Sekali tempo yang dibaca sebuah artikel menarik dari sebuah majalah. Tempo lain sebuah buku. Buku pertama yang kami pilih untuk dibaca, misalnya, adalah terjemahan : Al Qur'an. Kitab Hadits Nabi, Kitab Injil. Lalu yang lain-lain seperti Buku Bung Karno: An Authobiography As Told to Cindy Adams, Memoire Bill Clinton, dan dua buku terakhir Barack Obama. Kemudian banyak tulisan dan buku lainnya seperti karya penulis Iran, Kader Abdollah: Yang terpenting a.l Al Quran tafsiran K. Abdollah dan tentang Nabi Muhammad SAW; dalam bahasa Belanda. Dan banyak literatur lainnya.
Pengalaman kami membaca bersama sebuah buku atau artikel menarik, memancing diskusi serius. Ini terasa memperluas wawasan pengetahuan masing-masing.
Berulangkali kutekankan bahwa dalam hidup ini amatlah penting menegakkan dan mengembangkan keberanian dan kemampuan berfikir sendiri serta mengambil tanggung jawab sendiril. Selalu dengan tegas dan ketat membedakan antara mana yang benar dan mana yang salah! Mempertahankan yang benar dan melawan yang salah!
Sekali-kali jangan mengambil tindakan apapun yang merugikan atau membikin sedih sesama manusia, keluarga sendiri, sahabat, bangsa sendiri mauupun bangsa lain!
Terakhir aku sampaikan kepada mereka agar dengan serius dan antusias meneruskan kegiatan belajar mereka. Baik yang masih belajar di universitas, sekolah maupun menempuh kursus. Bisa juga belajar sendiri. Tidak sedikit orang yang sukses sebagai hasil dengan serius dan tekun belajar sendiri.
UMUR BUKANLAH RINTANGAN UNTUK BELAJAR, MEMPERLUAS PENGETAHUAN DAN WAWASAN BERFIKIR!
* * *
Monday, August 30, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment