Tuesday, April 27, 2010

BONNIE TRIYANA Memperingati 150 Th “MAX HAVELAAR”

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Selasa, 27 April 2010
-------------------------------------------

Sejarawan Muda -- BONNIE TRIYANA
Memperingati 150 Th “MAX HAVELAAR”
* * *
Notisi:
Buku Mutatuli alias Eduard Douwes Dekker, -- “Max Havelaar, of de Koffiveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappy “,(Edisi Indonesia: “Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia Belanda” ) adalah novel pertama dalam sejarah literatur Belanda, yang begitu jelas MENGGUGAT FEODALISME (mengungkap sistim tanam-paksa) dan KOLONIALISME di Hindia Belanda.
Bicara tentang 'jembatan- awal' yang menghubungkan rakyat Indonesia dengan rakyat Belanda, adalah sikap dan pendirian Eduard Douwes Dekkter yang tercatat hitam diatas putih dalam sejarah hubungan kedua bangsa – – , itulah JEMBATAN-AWAL yang sesungguhnya yang menghubungkan rakyat Belanda dengan rakyat Indonesia.

Karya Eduard Douwes Dekker tsb, yang ditulisnya di sebuah kamar di Brussel (1859) dalam jangka waktu sebulan saja (!!), terbit pertama tahun 1860. Di Belanda novel pendobrak ini dinilai sebagai karya sastra Belanda terbesar. Sebagai mula langkah- pembaruan dalam sejarah sastra Belanda. Khususnya gaya penulisannya yang memelopori suatu pendobrakan terhadap penulisan novel tradisionil. Dunia pendidikan Belanda menjadikan karya Mutatuli itu sebagai bacaan wajib di sekolah-sekolah.

Edisi Indonesia pertama, terjemahan H.B. Jasin, terbit pada tahun 1972 dan dicetak ulang 1973.

* * *
Dalam rangka memperingati 150-th terbitnya buku Douwes Dekker alias Multatuli, “Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia Belanda”, yang diselenggarakan dengan pelbagai kegiatan di Amsterdam, punya gema yangnyata di Indonesia.
Sejarawan generasi baru Bonnie Triyana, mempersembahkan tulisannya sbb:

* * *

"MADU Dan RACUN di Rangkasbitung"
Bonnie Triyana, Sejarawan –
INI bukan roman tapi gugatan," demikian tema peringatan 190 tahun kelahiran Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Acara itu berbarengan dengan perayaan 150 tahun penerbitan Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia Belanda karya Multatuli, yang diselenggarakan di Belanda tahun ini. Dirayakan di tanah kelahirannya, Dekker dan Max Havelaar nyaris dilupakan di negeri yang pernah dibelanya: Indonesia.
Max Havelaar diajukan Universitas van Amsterdam sebagai salah satu warisan dunia. Karya itu pernah dianggap sebagai roman picisan berdasarkan khayalan belaka. Tak sedikit orang yang menganggap Multatuli manusia frustrasi yang menumpahkan kekecewaannya pada sosok Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanagara yang ia benci. Sempat pula muncul pernyataan bahwa Multatuli tak berbeda dengan orang Belanda kulit putih lainnya yang datang ke Indonesia dengan satu tujuan: menjajah.
Dekker alias Multatuli datang ke Rangkasbitung, Lebak, Banten pada pengujung Januari 1856. Posisi sebagai asisten residen ia dapatkan berkat lobi khusus E. de Waal kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist. De Waal-kelak menjadi menteri urusan daerah kolonial-adalah kerabat dekat Everdine Huberte Baronesse van Wijnbergen, istri Dekker.
Sebelum ke Rangkasbitung, Lebak, Dekker telah malang-melintang dalam berbagai penugasan sebagai amtenar-di Sumatera Barat, Karawang, Bagelen, Manado, dan Ambon. Penugasan ke Rangkasbitung adalah pengalaman baru bagi Dekker. Lebak, seperti beberapa daerah di Banten lainnya, adalah daerah minus yang menjadi ladang subur bagi tumbuhnya pemberontakan. Paling tidak ada dua pemberontakan besar yang terjadi pada abad ke-19: pemberontakan Haji Wakhia (1850) dan pemberontakan petani Banten (1888).
Beberapa pekan setelah tiba di Rangkasbitung, Dekker tidak menunjukkan tanda-tanda bermusuhan dengan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanagara. Ia malah pernah menawarkan uang kepada Bupati karena pejabat itu menanggung hidup banyak orang di luar keluarga inti. Hubungan baik yang dijalin oleh Dekker tampak dalam surat yang tak sempat ia kirimkan ke Gubernur Jenderal Van Twist. Kata Dekker, "Bupati adalah orang yang sangat menyenangkan."
Kalaupun Dekker mencium gelagat tak beres dari cara Karta Natanagara memerintah, ia tak langsung menegur. Dekker malah mengajak Bupati bicara dari hati ke hati layaknya sahabat. Patih Lebak yang menyaksikan pertemuan itu mengatakan baru pertama kali melihat pejabat Belanda bicara halus dan ramah. Pada waktu yang bersamaan, Natanagara sedang menyiapkan jamuan besar menyambut kunjungan Bupati Cianjur yang masih kerabatnya. Dekker mengulurkan tangan membantu perhelatan itu.
Tapi hubungan baik itu berubah ketika Dekker mendengar laporan janda C.E.P. Carolus tentang kematian suaminya yang tak wajar. Beredar kabar bahwa C.E.P. Carolus, asisten residen yang digantikan Dekker, tewas diracun oleh menantu Natanagara, Raden Wirakusuma. Sebelum meninggal, Carolus tengah menyusun laporan pelanggaran Bupati Lebak. Dekker menemukan dan membaca laporan itu.
Moechtar dalam bukunya Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Kebenaran dan Keadilan menyebutkan, setelah mendengar laporan janda Carolus dan menemukan laporan asisten residen nahas itu, Dekker menulis surat pengaduan kepada Residen Banten Brest van Kempen di Serang. Inilah awal dari semua konfrontasi.
Dalam surat tersebut Dekker mengusulkan agar Natanagara diberangkatkan secepatnya ke Serang untuk diadili. Raden Wirakusuma, Demang Distrik Parungkujang sekaligus menantu Bupati Lebak, diusulkan untuk ditahan. Dekker juga meminta pemerintah menahan semua orang, termasuk keluarga Natanagara, jika mereka diketahui menghalangi jalannya penyelidikan. Dekker meminta kasus Carolus diselidiki dan laporan atasnya disusun selengkap-lengkapnya.
Siapakah C.E.P. Carolus yang dalam roman Max Havelaar diwakili oleh karakter Slotering itu? Moechtar dalam buku yang sama mengemukakan bahwa Carolus digambarkan sebagai orang yang unik. Ia dapat berbicara dalam bahasa Sunda dialek Banten laiknya penutur asli. Istrinya pribumi yang tak bisa berbahasa Belanda. Kemampuannya berbahasa lokal membuatnya dekat dengan warga Lebak dan warga pun merasa nyaman melaporkan tindakan Bupati yang merugikan rakyat.
Ada versi lain mengenai kematian Carolus. E. du Perron dalam bukunya De Man van Lebak menulis bahwa sebenarnya Carolus telah lama mengidap sakit lever kronis dan pernah dirawat oleh dr Benzen dari Serang. Beberapa bulan sebelum Dekker datang menggantikannya, sakit Carolus bertambah parah. Benzen lantas menganjurkan agar Carolus dirawat di rumah sakit militer di Serang. Pada hari terakhir sebelum ajal datang menjemput, ia dibawa ke Serang dengan menggunakan kereta kuda yang dipacu kencang. Tubuh lemah Carolus semakin parah karena terguncang-guncang dalam perjalanan. Ia wafat tiga jam setelah tiba di rumah sakit.
Cerita orang diracun bukan pertama kali terjadi di Rangkasbitung. Syahdan tersebutlah Muller de Montigny, Asisten Residen Lebak yang bertugas di Rangkasbitung pada 1906-1908. Montigny dipecat karena dianggap tak bisa menjaga relasi baik dengan rekan sekerjanya. Berdasarkan laporan rahasia Residen Banten Overduyn tanggal 7 November 1907 Nomor 234/g kepada Direktur Departemen van Bineland Bestuur (Departemen Dalam Negeri) yang ditembuskan ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, disebutkan Muller de Montigny melakukan tindakan tak terpuji karena setiap hari memerintahkan bawahannya membawa perempuan untuk ditiduri.
Selain dituduh memelihara gundik dan terlibat dalam skandal seksual, Montigny dituduh terlibat dalam peristiwa peracunan seorang pejabat pribumi. Montigny menyangkal tuduhan itu dan balik menuduh ada konspirasi yang dirancang oleh Bupati Serang untuk meracun dirinya. Belakangan hari terbukti bahwa racun yang disebut-sebut oleh Montigny hanyalah obat penyubur jenggot.
Seperti Montigny, Residen Banten Brest van Kempen terlibat skandal perempuan. Berdasarkan cerita dari S. Hasselman-mantan Asisten Residen Pandeglang sebelum Dekker bertugas di Lebak-diketahui bahwa Bupati Lebak selalu mencarikan perempuan cantik untuk Kempen. Agaknya itulah yang membuatnya tak tertarik pada laporan Dekker tentang pelanggaran sang Bupati. Kempen punya kepentingan menjaga kasus itu agar tak melebar karena Bupati memegang kartu truf dirinya.
Dekker akhirnya dimutasi ke Ngawi, Jawa Timur, dengan pangkat lebih rendah. Ia menolak pemindahan itu dan mengajukan berhenti pada 29 Maret 1856 atau dua pekan setelah ia merayakan ulang tahunnya ke-36. Permohonan pensiun dini baru dikabulkan pada 4 April 1856. Setahun kemudian, Dekker kembali ke Eropa mencari pekerjaan yang tak pernah ia temukan. Dekker kemudian menyewa sebuah kamar hotel di Brussel, Belgia, tempat ia menulis roman Max Havelaar selama tiga minggu saja (17 September-3 November 1859).
Semua kejengkelannya di Lebak ia tumpahkan dalam roman tersebut. Besar kemungkinan kabar mengenai penderitaan rakyat Lebak secara lengkap ia ketahui dari laporan Carolus. Sementara itu, konfrontasi yang terjadi antara dirinya dan Bupati menurut hemat saya pertama-tama bukan karena cara Bupati mengeksploitasi rakyat Lebak, melainkan lebih karena perasaan esprit de corps yang muncul saat mendengar kabar peracunan terhadap Carolus. Dari laporan yang disusun Carolus pula Dekker bisa tahu lebih lengkap tentang kekurangcakapan Bupati Lebak menjalankan pemerintahan sehingga rakyatnya sengsara.
Ketika menulis Max Havelaar, Dekker sudah lebih berjarak dengan peristiwa Lebak, yang terjadi tiga tahun sebelumnya. Tampaknya jarak itulah yang membuat ia lebih mampu melihat peristiwa Lebak sebagai bagian kecil dari dampak kolonialisme yang lebih luas lagi. Dalam Max Havelaar ia pun tak hanya menggugat Bupati Karta Natanagara, tapi lebih jauh lagi ia menggugat kolonialisme yang dijalankan oleh bangsa terhadap rakyat di Hindia Belanda.
Penting juga digarisbawahi peran C.E.P. Carolus dalam mengungkap pelanggaran yang dilakukan Bupati Karta Natanagara. Carolus adalah orang yang pertama kali menyelidiki pelanggaran itu untuk kemudian dilanjutkan Dekker ketika Carolus meninggal. Max Havelaar yang ditulis Dekker bak bola salju yang menggelinding-membawa perubahan di Hindia Belanda dan memberi inspirasi banyak tokoh nasionalis dalam perjuangan membangun nation-state Indonesia.

* * *

No comments: