Saturday, January 28, 2012

DALAM RANGKA MENYAMBUT BUKU : “SELEPAS BAPAKKU HILANG” Oleh WANI

Kolom IBRAHIM ISA

Sabtu, 28 Januari 2012

-----------------------------


DALAM RANGKA MENYAMBUT BUKU :

SELEPAS BAPAKKU HILANG” Oleh WANI


Menyongsong pembicaraan buku buah tangan Fitri Nganthi WANI, putri penyair yang “hilang” WIDJI THUKUL -- pada periode menjelang berakhirnya rezim kepresidenan Jendral Suharto, --- di bawah ini disiarkan (kembali) sebuah tulisan mengenai MALAM WIDJI THUKUL yang diselenggarakan bersama INDONESIA HOUSE dan STICHTING WERTHEIM, pada tanggal 25 Oktober, 2003, 8 tahun yang lalu, di gedung INDONESIA HOUSE, Amsterdam.


Masih akan dipublikasikan tulisan-tulisan sekitar Widji Thukul dalam rangka menyambut buku indah mungil berjudul SELEPAS BAPAKKIU HILANG – Kumpulan puisi (1999-2007) Fitri Nganthi WANI. Penerbit Pusat Sejarah Etika Politik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Maret 2009.


Silakan baca tulisan di bawah ini:

AMSTERDAM SUKA PADA WIJI THUKUL, . . . .
<Kolom IBRAHIM ISA, Amsterdam, 30 Okt 2003>


Pada akhir MALAM WIJI THUKUL yang sukses di INDONESIA HOUSE, Amsterdam, malam Minggu, 25 Oktober 2003 y.l., hatiku gembira, puas dan lega. Di Belanda sini, suatu malam peringatan, atau malam kebudayaan yang diselenggarakan oleh sesuatu LSM, ornop, perkumpulan kebudayaan ataupun ilmu-pengetahuan, lebih dari limapuluh orang saja yang hadir itu sudah sukses. Temanku, seorang penyair, cerita bahwa pernah ia membacakan sajak pada suatu malam kebudayaan yang hadir hanya tujuh orang.

Tapi pada Malam Wiji Thukul weekend y.l., yang hadir paling tidak 65 orang. Ada yang bilang70 lebih. Gedung “INDONESIA HOUSE”, PENUH SESAK. Malam budaya ini dipandu oleh penyair Mung Murbandono (Radio Hilversum) dan Lea Pamungkas (Indonesia House). Pertemuan diawali dengan kata sambutan Ketua Stichting Wertheim, dr C.J.G. Holtzappel, mengantar peluncuran edisi kedua sajak-sajak Widji Thukul berjudul “HET LIED VAN DE GRASPOLLEN” (NYANIAN AKAR RUMPUT). Edisi kedua ini sebagaimana halnya dengan edisi pertama, juga penerbitan Stichting Wertheim, berisi sajak-sajak Widji yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, disamping masing-masing aslinya dalam bahasa Indonesia.

Suasana khidmat kemudian menjadi santai dan gembira. Khidmat, karena pada mula pertemuan semua tidak lupa bahwa tahun ini, sudah hampir lima tahun Widji Thukul HILANG.

Kemudian menjadi santai dan gembira, karena menyaksikan pemutaran film(video) Widji Thukul, produksi Tinuk Yampolsky, Dawn Buie dan Gita Wiya Laksmini. Sebuah film tentang penyair muda yang menuangkan kepedulian dan keterlibatannya dengan nasib dan perjuangan orang miskin, dengan perlawanan terhadap kemiskinan dan ketidakadilan. Sebuah film yang mencengkam, mengesankan yang menyangkut terus dalam kenangan masing-masing.

Malam itu diliputi suasana gembira, karena sempat menyaksikan (melalui film Tinuk Yampolsky tsb), betapa gaya Wiji berdeklamasi, matanya besinar berapi-api melantunkan suara lantangnya menentang ketidak-adilan dan menuding penguasa. Untuk mensosialisasikan syair-syairnya yang tajam, kritis dan tidak kenal ampun terhadap ketidak adilan, Widji tak segan-segan melakukannya lewat “ngamen”. Sikapnya yang bertolak-belakang dengan penguasa inilah yang menyebabkan akhirnya Widji mengalami nasib sedih menjadi ORANG HILANG, kira-kira pada saat yang bersamaan dengan “hilangnya” beberapa aktivis PRD yang diculik oleh TimMawar dari Kopasus.

Tentu orang ingin tahu, siapa saja yang datang pada malam itu? Ada yang tua-tua, setengah baya dan ada yang muda-muda. Pokoknya mayoritasnya orang-orang INDONESIA yang cinta kebudayaan Indonesia, yang merindukan kebenaran serta cinta pada sajak-sajak Wiji Thukul. Ada anak Maluku, anak Minang, anak Jawa, anak Sunda, anak Manado, anak Batak, ada anak Bengkulu, salah seorang pimpinan Serikat Nelayan Bengkulu, ada yang dari Stichting Indonesia Media, ada yang dari organisasi PERSAUDARAAN, Amsterdam, Utrecht, Zeist, ada yang dari Stichting SAPULIDI, Stichting Azie Studies, Onderzoek dan Informatie, Rotterdam, dan banyak lagi. Dengan sendirinya sejumlah kawan-kawan dari INDONESIA HOUSE dan dari STICHTING WERTHEIM, para organisator MALAM WIDJI THUKUL tsb. Maafkan kalau ada yang terlupa disebut disini.

Tentu juga hadir sejumlah yang lumayan orang-orang Belanda Bulé. Ada yang dari Pengurus Stichting Wertheim, ada putri-putri Prof Dr Wertheim, hadir juga Auke van den Berg dari Rozenberg Publishers, Amsterdam, penerbit Bundel Widji Thukul Edisi Ke-2, 2003. Tampak pula mantan wakil KITLV di Jakarta, Jaap Erkelens, seorang pengenal dan pencinta Indonesia yang hampir tigapuluh tahun lamanya bekerja di Indonesia. Juga datang memenuhi undangan Joop Morriën penulis buku INDONESIA LOS VAN NEDERLAND (Indonesia Lepas dari Belanda), mencerminkan politik CPN yang membela Indonesia Merdeka.

Selain menyantap menu Indonesia yang sedap masakan penyair Heri Latief, yang dinikmati beramai-ramai sampai “ludes”, hadirin juga menikmati deklamasi sajak-sajak yang dibawakan oleh hadirin. Tak ketinggalan juga dibacakan sajak Wiji dalam terjemahan bahasa Belanda oleh Agnes. Rupanya sajak Wiji begitu mencengkamnya sehingga orang-orang Belandapun sampai berkomentar, begitu indah dan kuatnya sajak Wiji, meskipun itu dideklamasikan terjemahannya dalam bahasa Belanda.

Herankah kita jika ada yang nyeletuk, kebetulan terdengar di telingaku:

SIAPA BILANG ORANG-ORANG BELANDA HANYA BISA MENGKRITIK INDONESIA SAJA?

Mengapa ada yang berkomentar begitu?, fikirku. Tentu saja, bukankah belum lama berselang Menkumdang Yusril Ihza Mahendra, Ketua Partai Bulan Bintang, bikin “heboh” berkenaan dengan ucapannya: “I hate them!”, “saya membenci mereka”,“mereka” maksudnya orang-orang Belanda. Pasalnya, orang-orang Belanda, menurut Yusril kerjanya selalu mengeritik Indonesia saja, mencari-cari kesalahan tentang HAM di Indonesia, dsb. Soalnya, wartawan NOS Journal (TV publik Belanda), mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang rada “nyelekit” dan mungkin juga “provokatif” berkaitan dengan rencana u.u. pengganti KUHP, yang diajukan oleh kementeriannya Yusril. Nah, dalam rencana u.u. itu a.l. “kumpul kebo” pria dan wanita (maksudnya tentu yang tidak nikah) akan ditindak secara hukum, begitu juga hubungan-hubungan antara sesama h o m o , dsb itu semua diancam dengan hukuman. Nah, sang wartawan Belanda mempertanyakan apakah rencana u.u. itu tidak mencampuri soal-soal “pribadi” dan dengan demikian melanggar HAM, tambahan lagi bernada hendak memberlakukan syariah Islam ke dalam perundang-undangan Indonesia? Sesungguhnya kritik-kritik semacam itu terhadap rencana u.u. pengganti KUHP produksi kementeriannya Yusril itu, bukan saja dari Belanda, malah lebih banyak kritik dari masyarakat Indonesia sendiri, termasuk para Muslimin.

Walhasil, Yusril, teriritasi dengan adanya kritik-kritik tsb, terus naik pitam, lalu main pukul rata, mengimplikasi bahwa semua orang Belanda itu “anti-Indonesia”. Maka keluarlah pernyataan menteri “kita” ini,yang menurut tata-krama diplomatik adalah “non-etis”, alias “kampungan”.

Nah, tahu sendiri orang-orang VVD (Partai Liberal Belanda, yang paling getol membela individualismenya kapitalisme, dan dikenal sebagai partainya orang-orang kaya) kontan berreaksi. Nyaring suaranya di s.k., TV dan media lainnya. Mereka menuntut agar Kementerian Luarnegeri Belanda memanggil Dubes Indonesia di Den Haag, untuk “dimintai keterangannya”. Walhasil, terjadilah yang menurutungkapan rakyat Belanda “een storm in een glas water”, “taufan di dalam segelas air”. Jadi ribut-ribut seperti “Thaliban kebakaran jenggot”, tetapi . . . . Akhirnya “ramé-ramé” itu reda juga, sesudah Menko Polkam SBY mengeluarkan pernyataan, bahwa soal itu“kan disebabkan oleh kesalahfahaman saja”.

Tapi dari “taufan di dalam segelas air” dalam hubungan Indonesia-Belanda, bisa ditarik pelajaran bahwa sang menteri kita, kecuali cepat naik pitam, juga tidak mengerti sejarah hubungan Indonesia-Belanda, khususnya hubungan antara rakyat Belanda dan rakyat Indonesia. Hubungan ini dijalin oleh pelbagai peristiwa solidaritas antara kedua rakyat.

Siapa tidak kenal MULTATULI dengan a.l. novelnya MAX HAVELAAR, bekas residen Lebak, Banten pada zaman kolonial Belanda, yang hatinya kemudian jatuh pada rakyat Indonesia.

Siapa tidak kenal nama Piet van Staveren yang tidak takut dipenjara oleh pemerintahnya, karena ia menolak memerangi rakyat Indonesia selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.

Siapa pula tidak kenal nama Haji Poncke Princen, yang jadi warganegara Indonesia, “mengkhianati” pemerintahnya sendiri yang memerangi rakyat Indonesia, “nyeberang” ke pasukan TNI. Dan kemudian menceburkan dirinya dalam kegiatan perjuangan demi HAM di Indonesia sampai akhir hidupnya.

Demikianlah MALAM WIJI THUKUL mengingatkan kita lagi, bahwa antara rakyat Belanda dan rakyat Indonesia, sudah lama terjalin hubungan persahabatan dan solidaritas, tidak peduli pemerintah apa yang berkuasa di kedua negeri.

Aku akhiri tulisan ini disini, karena hendak siap-siapbesok berangkat ke Essen, Jerman, untuk ikut berpatisipasi dalam TEMU EROPA-II,
(31 Okt-2 Nov, 2003).

No comments: