Friday, November 12, 2010

"SYNDROOM MAU KUASA TERUS"

IBRAHIM ISA - Catatan PERISTIWA & REFLEKSI < 3 >
Jum'at, 12 November 2010
----------------------------------------------------------------------------

"SYNDROOM MAU KUASA TERUS"


Penjelasan <3>:
Publikasi kali ini adalah 'Catatan Peristiwa & Reflelso, bagian 3.

Artikel dibuat pada tanggal 12 Novemer 1996. Ketika itu, di negeri kita masih berkuasa rezim Orba di bawah Presiden Suharto. Dunia komunikasi belum berkembang melonjak. Belum ada media internet seperti sekarang. Yang memungkinkan komunikasi dan lalu-lintas informasi lewat internet yang murah, yang boleh dikatakan gratis. Sehingga bisa dicapai dan dimanfaatkan oleh banyak orang.

Dibuatlah catatan 'pribadi' mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak 1996. Mengapa catatan baru dimulai sejak 1996? Karena ketika itu baru ada syarat, kesempatan dan peralatan padaku untuk membuat catatan demikian itu.

Dibaca kembali catatan-catatan tsb, sesudah hampir 15 tahun berlalu, bagiku sendiri catatan itu adalah sesuatu yang menyegarkan kembali ingatan mengenai peristiwa-peristiwa tsb. Di lain segi, dimakudkan sebagai suatu cara untuk menarik manfaatnya dari catatan seperti itu.

Disajikan kembali untuk pembaca sekadar BERBAGI-CERITA. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

* * *

Kali ini tulisan yang disajikan:

"SYNDROOM MAU KUASA TERUS"

Dalam film dokumenter "De Grote Postweg", 1995, Pramudya Ananta Tur mengatakan bahwa dalam keadaan ia menderita 'writer's block', ia mengisi waktu dengan menyusun 'clippings' surat-surat kabar. Bisa menambah pengetahuan mengenai situasi, kata Pram. Aku fikir: Juga bisa menganalisa berita atau artikel-artikel tsb. Sering sangat menarik.

Hari ini, misalnya. Ada tulisan Prof Dr Maarten van Rossem (53 th.). Ia kolumnis surat kabar Belanda, 'de Volkskrant'. Ia juga historikus; terkait dengan Universitas Urtecht. Judul tulisannya hari ini, ialah 'Het onmisbaarheidsyndroom'. Bahasa Indonesianya kira-kira: 'Syndrom Orang yang BeranggapanTidak Bisa Digantikan'. Ini terjemahan bebas saja. Van Rossem mengemukakan bahwa untuk mengatasi syndrom tsb, Partai Republik di AS telah mengajukan usul-amandemen terhadap Undang-Undang Dasar AS. Amandemen ke-22 tsb membatasi masa jabatan seorang presiden sampai dua kali saja. Ini disebabkan , karena, F.D. Roosevelt sampai empat kali terpilih menjadi presiden AS.

Khawatir bahwa Partai Demokrat akan terus-menerus menguasai pemerintahan, Partai Republik mengajukan amandemen tsb. Amandemen ini diterima oleh Congres dan Senat AS.

Maka sekarang ini, di AS seorang presiden hanya bisa dipilih lagi untuk kedua-kalinya. Bagi Presiden Bill Clinton, ini adalah terakhir dia jadi presiden. Apakah ini suatu keunggulan dari sistim pemerintahan AS? Mungkin. Di Eropah tidak ada pengaturan serupa itu. Makanya, Margaret Thatcher (Inggris) bisa sampai lebih 8 tahun jadi perdana menteri. Juga Francois Mitterand bisa lama memegang tampuk pimpinan pemerintahan Perantjis. Kanselir Kohl (Jerman) idem dito. Juga PM Lubers dari Belanda, beberapa kali berurut-turut jadi PM.

Menurut Van Rossem, andai kata tepat pada waktunya, -- Thatcher, Lubbers maupun Mittereand mundur, maka ia bisa meninggalkan warisan pemerintahan dan kebijakan yang bisa dibanggakan. Tetapi, mereka itu ingin terus berkuasa. Jadi, pas pada waktu sudah mulai ada soal, maka baru turun. Begitu Thatcher. Begitu juga Lubbers maupun Mitterand.

* * *

Bagaimana halnya dengan partai Komunis. Yang berhasil memegang tampuk pimpinan kekuasaan negara?

Sering mereka berkuasa lewat suatu revolusi. Atau melalui aksi massa, atau pemilihan umum. Partai Komunis juga punya 'syndrom tidak bisa digantikan'. Teori tentang 'diktatur proletariat' telah memberikan dasar ideologi dan teori bagi partai Komunis untuk berbuat demikian. Celakanya ialah, bahwa, diktatur proletariat berubah menjadi diktatur partai. Kemudian menjadi diktatur klik. Akhirnya jadi diktatur perseorangan!

Sejarah Uni Sovyet dan negara-negara sosialis Eropah Timur, Asia dan Cuba menunjukkan hal tsb. Pas sekali seperti apa yang diungkapkan oleh van Rossem mengenai para pemimpin tsb dan partainya.

Van Rossem: Na al die lange jaren is het politieke aparaat dat de minister-president, de president of de kanselier omringt tot de laatsste man gevuld met zijn eigen politieke benoemingen. Van tegenspraak in de kring dat getrouwen is al lang geen sprake meer. . . . . Ten slotte eindigt de leider eenzaam en cynisch, opgelsoten in de cocon van zijn eigenlijke macht . . . . Voor de eigen politieke partij is de eeuwig regerende politicus een ramp. Potentiƫle opvolgers of concurenten worden beentje gelicht of verdwijn moedeloos in de coulissen. Het debat sterft, en slechts de slaafse meepraters en de baantjesjagers blijven over'.

Terjemahan bebas: Setelah bertahun-tahun lamanya (berkuasa), aparat politik yang mengitari perdana menteri, presiden, atau kanselir sampai orang yang terakhir adalah orang-orang pengangkatan politik yang dilakukan sang pemimpin sendiri. Yang berani menentang sang pemimpin, sudah lama tak ada lagi . . . . Demikianlah, sang pemimpin berakhir dalam suasana kesepian dan sinis, terpenjara dalam kepongpong kekuasaan ciptaannya sendiri . . . . Bagi partai politik sendiri, politikus yang kuasa sepanyang masa merupakan bencana. Penerus potensiil atau saingan disingkirkan atau hilang tak tentu rimbanya. Perdebatan mati tebunuh, hanyalah mereka-merekasaja, yaitu budak-budak tukang ngegongi (sang pemimpin) dan mereka-mereka, pencari kedudukanlah yang tinggal'.

Bagaimana perkembangn fikiran para pemimpin semacam ini yang terkena syndrom tsb? . .

Van Rossem: 'Dan begint hij langzaam te denken dat zijn positie even vanzelfsprekend als noodzakelijk is. Hij is een uitverkorene, hij is de enige die dit werk kan doen, hij wordt omringt door politieke dwergen, zonder hem zou het vaderland verloren zijn'.

Terjemahan bebas: Maka ia (sang pemimpin tsb) lama-lama mulai berfikir bahwa kedudukannya itu adalah sudah semestinya begitu, juga sesuatu yang sudah dengan sendirinya. Ia, sang pemimpin, adalah satu-satunya orang "pilihan", dialah satu-satunya orang yang mampu melakukan pekerjaan itu. Ia dikitari politikus-politikus kerdil. Ia beranggapan bahwa tanpa dirinya, maka negeri ini akan punah'.

* * *

Membaca ini, orang akan mengarahkan pandangan pada apa yang terjadi di Indonesia sekarang. Bukankah cocok sekali sistim pemerintahan Indonesia sekarang dan moralitas pemimpinnya, seperti yang dilukiskan oleh van Rossem?

Suharto dan orang-orang di sekitarnya, para pendukungnya, sebenarnya sudah lama keadaannya lebih parah ketimbang para pasien syndrom. Mereka menganggap negara Republik Indonesia sebagai milik pribadinya sendiri. Lebih celaka lagi. Mereka memperlakukan warganegara RI sebagai 'abdi-dalem' dan 'abdi-luar'-nya. Ketundukan mutlak pada pemimpin/penguasa adalah tugas utama dari setiap warganegara RI. Jendral Suharto memegang kendali kekuasaan negara lebih lama ketimbang Presiden Roosevelt dari AS, PM Thatcher dari Inggris, Presiden Mitterand dari Perancis, maupun Kanselir Kohl dari Jerman.

Tokh, ada perbedan besar!
Karena, para negarawan Eropah itu naik panggung pemerintahan melalui pemilihan umum yang ´luber´: langsung, umum, bebas dan rahasia. Di negeri-negeri tsb tidak ada kekangan terhadap hak-hak demokratis. Sedangkan Jendral Suharto menjadi presiden melalui menggulingan Presiden Sukarno. Melalui pembunuhan ratusan ribu rakyat, melalui penggunaan kekuatan militer. Dan Suharto sampai sekarang masih presiden Republik Indonesia. Tetapi Suharto tidak lagi sekokoh beberapa tahun yang lalu.

'Peristiwa Malari', tahun 1974, masih bisa diatasi oleh Suharto, dalam waktu singkat. Tetapi, belakangan ini keresahan dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan penyalah-gunaan kekuasaan, korupsi dan nepotisme semakin meluas dan mendalam. Ia meledak keluar dalam peristiwa 'Sabtu Berdarah', pada tanggal 27 Juli 1996. Sepintas lalu, di permukaan, tampaknya seperti masalah intern PDI, Partai Demokrat Indonesia. Hakikatnya peristiwa itu merupakan suatu tonggak baru pada jalan menuju Indonesia yang demokratis, adil dan makmur. Apalagi setelah KomnasHam terang-terangan menuding pemerintah dan militer/polisi sebagai penyebab dari Peristiwa 27 Juli 1966.

Baru pertama kali ini, suatu lembaga nasional yang dibentuk dan dibiayai oleh pemerintah begitu berani berterus terang. Selain, karena memang peristiwa itu sendiri begitu jelas duduk perkaranya, siapa yang menjadi dalangnya dan siapa yang jadi korban, dan siapa yang dikambing-hitamkan, yaitu PRD. Dari hari ke sehari bertambah banyak dan luas kaum muda intelektuil Indonesia yang menyadari keseriusan dan kegawatan keadaan negara kita. Keberanian merekapun semakin besar!

Perkembangan ini sangat membesarkan hati. Semakin memperbesar keyakinan, bahwa suatu ketika keadilan akan tegak kembali. Kaum muda dan intelektuil Indonesia selalu ada di barisan depan dalam memperjuangkan keadilan. Jalinan mereka dengan massa rakyat yang luas, i.e. rakyat pekerja di pabrik-pabrik dan di desa-desa, akhirnya memberikan dasar dan syarat tercapainya kemenangan.

* * *

No comments: