Thursday, February 26, 2009

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita - 'Imlek', 'Taonbaru Cine'

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Selasa, 27 Januari 2009
-----------------------------

'Imlek', 'Taonbaru Cine', atau

'Tahun Baru Tionghoa!

Suasana di Indonesia kiranya masih diliputi perayaan Tahun Baru Imlek yang meriah. Sahabat karibku di Beijing, menceriterakan melalui e-mail, bagaimana meriahnya rakyat Tiongkok, khususnya penduduk kota Beijing merayakan hari raya Imlek. Ia menyarankan kami, kalau mau, melihat sendiri di siaran TV Beijing.



Murti dan aku beruntung sempat merayakan Imlek di rumah keluarga kawan lama di Amsterdam. Mereka sekeluarga mengundang kami bersama-sama merayakan tahun baru Imlek. Dengan suguhan santapan yang lezat-lezat, termasuk kué ranjang, ba'cang, sekoteng dan buah léngkéng segala! Keesokan harinya di ruma, kami saksikan siaran Garuda TV yang juga mentayangkan acara-acara sekitar Imlek yang dirayakan secara meriah dan besar-besaran di Indonesia, termasuk pertunjukan barongsai dan tari goyang Inul dengan iringan musik dangdut. Pokoknya meriah!



Sejak periode pasca Suharto, hari raya Imlek di Indonesia dirayakan secara nasional. Memang begitulah seyogianya! Sudah waktunya angin Reformasi benar-benar menyapu bersih angin-sakal anti-Tionghoa yang bertiup gemuruh sejak mula berdirinya Orba. Bagaimana memperlakukan hari raya Imlek, sepantasnya tak berbeda dengan sikap kita terhadap Hari Natal, Tahun Baru, dan Idil Fitri. Dengan demikian memberikan makna yang lebih kongkrit pada semboyan BHINNEKA TUNGGAL IKA, pluralisme dan toleransi dalam kemultikulturan Indonesia. Ini dianggap sebagai kelanjutan wajar dari keputusan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid <>



Situasi demikian itu, sungguh menyenagkan, melegakan hati kita. Jug di negeri Belanda sini, koran-koran tidak ketinggalan memberitakan sekitar perayaan Tahun Baru Imlek. Di Den Haag misalnya WalikotaVan Aartsen dan Dubes RRT di Belanda hadir dalam perayaan tsb.



* * *



'IMLEK', 'TAHUN BARU TIONGHOA', 'TAON BARU CINÉ', 'SPRING FESTIVAL', 'CHINESE LUNAR NEW YEAR' ATAU 'CHUN JIE'.



Sahabat-sahabatku orang Tiongkok, yang dalam berkomunikasi berbahasa Inggris, menyebut hari raya Tionghoa itu 'Spring Festival' atau 'Chinese Lunar New Year'. Penterjemah-penterjemah bahasa Indonesia di Beijing yang kukenal, biasa menggunakan kata 'Chun Jie'. Dulu ketika masih anak-anak kuingat, orang-orang Betawi mengenal hari raya Imlek sebagai 'Taon Baru Ciné'.



Dalam tulisanku kali ini satu hal yang ingin dikedepankan. Yaitu mengenai sementara tulisan di pers Indonesia yang dalam suasana Imlek ini. Mereka memperbincangkan masalah 'ETNIS TIONGHOA' di negeri kita. Bagaimana sangkut pautnya dengan masalah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang masih berlangsung terus disana-sini, karena ulahnya sementara pejabat yang bertindak demi mencari keuntungan pribadi. Juga disinggung masalah menggunakan nama apa apa sebaiknya terhadap warga Indonesia yang asal etnis Tionghoa. Apakah menggunakan nama 'Cina' deperti digunakan atas perintah rezim Orba. Atau seperti sebelumnya, yaitu menggunakan nama 'TIONGHOA' untuk etnis Tionghoa. Dan menggunakan nama 'Republik Rakyat Tiongkok' (RRT), bukan 'Republik Rakyat Cina'.


Disinilah aku tertarik pada sebuah tulisan di 'Tarakan Online' , 29 Januari 2009. Judulnya saja sudah menarik : 'Hollands Spreken, Peranakan dan Totok'. Yang dibicarakan artikel tsb antara lain tentang saling hubungan antara tiga kelompok migran Tionghoa di Indnesia. Tentang saling 'prasangka' di kalangan meteka itu.



Kebijakan pemerintah VOC yang diteruskan dan dibakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap kaum migran Tionghoa di Indonesia, menempatkan status soial-ekonomi mereka membawahi penduduk 'pribumi', dengan segala hak-hak istimewa yang mereka peroleh dari pemerintah Hindia Belanda. Tulisan di 'Tarakan Online' itu membagi migran Tionghoa itu dalam tiga kelompok, yaitu: 'Totok', 'Keturunan' dan yang 'Hollands spreken'. Ketiga golongan Tionghoa masing-masing bersikap eksklusif satu sama lainnya. Termasuk di situ pelbagai purbasangka terhadap sesama migran.



Dari situ, saling purbasangka dan ekslusifisme di kalan kelompok migran Tionghoa keseluruhannya semakin keras. Ini di bawa keluar menjadi eksklusif terhadap mayoritas 'pribumi'.Faktor-faktor tsb merupakan ramuan sampai meletusnya peristiwa-peristiwa 'kekerasan anti-Tiomghoa' selama ini. Lebih-lebih lagi sejak beridirinya Orba yang jelas menempuh politik anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa ketika itu . Hal mana sangat merusak hubungan etnis di Indonesia, serta hubungan negara antara Indonesia dan Tiongkok.



Mengenai penggunaan nama, mana yang paling baik dan tepat, 'CINA' atau 'TIONGHOA', artikel di 'Tarakan Online' dengan jenaka tetapi masuk akal memberikan analisis dan jawaban yang baik. Baik ikuti kutipan tulisan itu sbb:



'Dalam bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan Tionghoa adalah yang paling menyenangkan. Tionghoa sudah berarti ’’orang dari ras cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia’’. Kata Tionghoa sudah sangat enak bagi suku cina tanpa terasa ada nada, persepsi, dan stigma mencina-cinakan. Kata Tionghoa sudah sangat pas untuk pengganti sebutan ’’nonpri’’ atau ’’cina’’.

Selanjutnya, tulis artikel itu: . . . 'sejak awal Orde Baru, sejak ada desain dari penguasa waktu itu bahwa penyebutan kata ’’cina’’ bukan lagi untuk identifikasi ras saja, tapi juga untuk ’’menyudutkan’’ ras tersebut. Yakni, untuk ’’mencina-cinakan’’ mereka dalam konotasi yang semuanya jelek . .



'Saya harus mengucapkan terima kasih kepada pemimpin INTI, khususnya Eddy Lembong yang sangat cerdas itu. Entah bagaimana, Eddy Lembong bisa menemukan adanya salah satu ayat dalam ajaran Islam yang kalau diterjemahkan artinya begini: ’’Panggillah seseorang itu dengan panggilan yang mereka sendiri senang mendengarnya’’.

Ini dia. Saya dapat kuncinya. Saya dapat magasin berikut pelurunya. Maka, saya pun menjelaskan bahwa tidak ada orang ’’cina’’ yang tidak suka kalau dipanggil Tionghoa. Sebaliknya, banyak orang Tionghoa yang tidak senang kalau dipanggil ’’cina’’. Dengan logika itu, apa salahnya kita menuruti ayat dalam ajaran Islam tersebut dengan memberikan panggilan yang menyenangkan bagi yang dipanggil?



'Mengapa kita harus memanggil ’’si gendut’’ untuk orang gemuk atau ’’si botak’’ terhadap orang yang tidak berambut, meski kenyataannya demikian?



'Untuk ini, saya harus mengucapkan terima kasih kepada pemimpin INTI, khususnya Eddy Lembong yang sangat cerdas itu. Entah bagaimana, Eddy Lembong bisa menemukan adanya salah satu ayat dalam ajaran Islam yang kalau diterjemahkan artinya begini: ’’Panggillah seseorang itu dengan panggilan yang mereka sendiri senang mendengarnya’’.



I'Ini dia. Saya dapat kuncinya. Saya dapat magasin berikut pelurunya. Maka, saya pun menjelaskan bahwa tidak ada orang ’’cina’’ yang tidak suka kalau dipanggil Tionghoa. Sebaliknya, banyak orang Tionghoa yang tidak senang kalau dipanggil ’’cina’’. Dengan logika itu, apa salahnya kita menuruti ayat dalam ajaran Islam tersebut dengan memberikan panggilan yang menyenangkan bagi yang dipanggil?



'Mengapa kita harus memanggil ’’si gendut’’ untuk orang gemuk atau ’’si botak’’ terhadap orang yang tidak berambut, meski kenyataannya demikian? Atau, kita memanggil dengan ’’si kerbau’’ meski dia memang terbukti bodoh?



'Kini, setelah lebih dari delapan tahun digunakannya istilah Tionghoa, rasanya sudah lebih biasa. Juga lebih diterima.



Demikian artikel yang santai, jenaka tetapi telah menyentuh dengan tepat masalah penggunaan nama untuk etnis Tionghoa. Sesungguhnya menurut catatanku sendiri, bahkan sejak berdirinya rezim Orba yang menginstruksikan penggantian nama Tionghoa dan Tiongkokok, dengan nama 'CINA', satu-satunya s.k pada periode Orba yang konsisten menggunakan nama TIONGKOK dan TIONGHOA adalah s.k. 'Merdeka' .





* * *






No comments: