Thursday, February 26, 2009

Kolom IBRAHIM ISA - KEBEBASAN PERS Dan

Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 10 Pebruari 2009
------------------------



KEBEBASAN PERS Dan

'MEDALI EMAS' Untuk PRESIDEN SBY


Hari Pers Nasional 09 Februari kemarin diperingati di Jakarta. Pada kesempatan itu, seorang Presiden, dalam hal ini Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dianugerahi 'MEDALI EMAS KEMERDEKAAN PERS HPN 2009'. Penghargaan itu disampaikan oleh 'seorang tokoh pers nasional' yang juga adalah Pemimpin Umum Harian Kompas, Jakob Oetama. Bersamaan dengan itu juga TNI dapat 'Medali Emas'. Selain itu dua orang wartawan lainnya dianugerahi 'Adinegoro Award', sebagai penghargaan terhadap 'Spirit Junalisme' mereka.


Menurut pemberitaan kalangan yang memberikan penghargaan tsb. : TNI dan Yudhoyono dinilai sebagai instansi dan tokoh berpengaruh sangat luas untuk bangsa dan negara dan s e l a l u menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ketika bermasalah dengan pemberitaan.


Yang mendengar atau membaca beritanya senang mengetahui dinyatakannya komitmen Presiden SBY ketika menerima MEDALI EMAS tsb yang diucapkannya, sbb:


*'Saya ingin menjadi bagian dari makin kuatnya kebebasan pers. *

*Saya akan terus menjadi student of democracy yang baik'.*


Tentu komitmen Presiden SBY tsb disambut baik. Masyarakat mengharapkan komitmen Presiden terhadap KEBEBASAN PERS dan DEMOKRASI di Indonesia benar-benar dilaksanakan dalam praktek kinerja pemerintahannya. Pernyataan tegas seorang Presiden yang sedang berfungsi tsb menggembirakan. Apalagi, karena kita pernah mengalami bagaimana pemerintah Orba dengan sewenang-wenang memberangus semua pers oposisi (sejak akhir 1965), mengontrol pemberitaan, melakukan tekanan dan intimidasi terhadap wartawan, serta memvonis siapa saja jang berani menulis dan/atau bicara kritis terhadap penguasa.


* * *


Bahwa TNI dan Yudhoyono dinilai sebagai instansi dan tokoh berpengaruh sangat luas untuk bangsa dan negara dan s e l a l u menggunakan UU No 40, Th 1999 tentang pers, ketika bermaslah pemberitaan , itu boleh-boleh saja. Itu adalah hak yang memberikan penilaian tsb.


Sepanjang pengetahuan kita, biasanya yang memperoleh Award sebagai penghargaan, khusus mengenai masalah KEBEBASAN PERS dan HAK KEBEBASAN MENYATAKAN PENDAPAT, adalah tokoh-tokoh atau instansi yang dalam kegiatan hidupnya langsung terlibat dalam perjuangan aktuil di masing-masing negeri yang otoriter dan penuh ancaman, termasuk ancaman masuk penjara atau diteror. Rasanya jarang atau bahkan tak pernah suatu penghargaan untuk masalah KEBEBASAN PERS, diberikan kepada pejabat negara yang berkuasa, atau instansi kekerasan seperti tentara atau polisi.


Kebijakan seperti memberikan 'award' kepada tokoh atau lembaga kekuasaan seperti itu adalah suatu kejanggalan, seakan-akan SUATU BREAKING NEWS.


Ini soal besar: Memberikan penghargaan sampai berupa MEDALI EMAS sehubungan dengan KEBEBASAN PERS, kepada seorang Presiden. Notabene Presiden SBY baru saja menandatangani u.u. Pornografi yang oleh sebagian luas masyarakat, termasuk tokoh-tokoh keagamaan sebagai usaha pengekangan hak-hak demokrasi. Menghadiahkan 'Medali Emas' kepada TNI benar-benar menimbulkan macam-macam tanda tanya. Apa maskud sesungguhnya? Masih segar dalam ingatan, bahwa TNI punya latar belakang tanggung jawab besar mengenai pelanggaran hak-hak azasi manusia, seperti dalam peristiwa pembantaian masal dalam Peristiwa 1965 terhadap warga yang tidak bersalah. Demikian juga kerlibatan TNI dalam pelanggaran HAM dalam peristiwa invasi dan pendudukan serta referendum di Timor Timur, dll.


Apakah dengan pemberian penghargaan tsb tidak memburengkan serta mengacaukan pengertian dan pemahaman masyarakat mengenai apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan KEBEBASAN PERS itu.


Memberikan 'penghargaan' atau 'award' adalah hak demokratis seseorang atau organisasi kepada yang bersangkutan mengenai masalah tertentu. Misalnya penulis yang eks tapol pulau Buru, Pramudya Anantra Toer, novelis Tetralogi terkenal dan bestseller, yang oleh kalangan sastrawan mancanegara, termasuk di Indonesia, dianggap novel terbesar Indonesia sampai kini, telah menerima pelbagai Award dari luar negeri. Seperti dari Australia, Amerika, Eropah. Pramudya di antaranya menerima 'WERTHEIM AWARD' (Leiden).


Ketika Pramudya Ananta Tur dianugerahi 'Raymon Magsaysay Award' (Filipina - sering dianggap sebagai Hadiah Nobel Asia), terjadi sedikit ramé-ramé. Sementara penulis Indonesia termasuk mantan wartawan s.k. 'Indonesia Raya' dan penulis Mochtar Lubis waktu itu protes keras terhadap pemberian penghargaan kepada Pramudya. Mochtar Lubis mengembalikan 'Raymon Magsaysay Award' yang pernah diperolehnya. Orang fikir Mochtar Lubis tidak rela, mengapa seorang Pramudya yang adalah mantan pimpinan LEKRA (yang dianggap berafiliasi dengan PKI) kok sampai bisa diberi penghargaan seperti itu. Tapi kalangan 'Raymon Magsaysay Award' di Manila konsisten dengan putusan mereka memberikan Award kepada Pramudya. Mereka tidak menggubris protes Muchtar Lubis tsb.


Tokoh-tokoh nasional jurnalis senior negeri kita yang tangguh, konsisten dan berprinsip dalam memperjuangkan kebebasan pers, seperti budayawan GOENAWAN MOHAMMAD dan JOESOEF ISAK (pemimpin Penerbit Hasta Mitra yang mula menerbitkan karya-karya pulau Buru Pramudya, juga telah memperoleh pelbagai penghargaan dari luar negeri untuk andil mereka dalam perjuangan demi KEBEBASAN PERS di Indonesia. Khusunya pada periode Orba.


Dalam tahun 2005, Goenawan Mohammad dan Joeseof Isak telah dianugerahi 'WERTHEIM AWARD 2005' oleh Stichting Wertheim di Nederland. Masih segar dalam ingatan, ketika kedua tokoh jurnalis senior tsb menerima 'Wertheim Award' bertempat di Kedutaan Besar Republik Indonesia, Den Haag, Holland. Kedua tokoh jurnalis Indonesia tsb diberi penghargaan untuk andil mereka dalam perjuangan aktuil EMANSIPASI BANGSA INDONESIA, teristimewa dalam memperjuangkan kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan pers selama periode rezim Orba.


Juga penyair Indonesia kenamaan RENDRA dan pejuang demokrasi penyair WIDJI THUKU (yang hinga kini menjadi 'orang hilang' tak tau dimana rimbanganya) memperoleh penghargaan serupa dari Stichting Wertheim, untuk andil mereka dalam perjuangan emansipasi bangsa Indonesia.


Terakhir, BENNY G.SETIONO, aktivis HAM dan salah seorang pendiri organisai INTI (Indonesia Tionghoa), telah dianugrahi 'WERTHEIM AWARD 2008' untuk penulisan bukunya 'TIONGHOA DALAM PUSARAN POLITIK'. Buku tsb dinilai telah memberikan sumbangan terhadap pemahaman dan pengertian mengenai etnis Tionghoa di Indonesia dan peranannya dalam pembangunan nasion Indonesia. Buku itu adalah andil Benny G Setiono dalam pejuangan emansipasi nasion Indonesia.


* * *


Dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia, Filipina dan Muangthai, dikatakan orang, dalam beberapa tahun belakangn ini, Indonesia merupakan negeri Dunia Ketiga yang dalam hal pemberlakuan sistim demokrasi parlementer termasuk stabil. Maka ada sementara pers mancanegara, sperti mingguan 'The Economist' (London) pernah mengangkat dan memuji Indonesia. Bahkan dikatakannya situasi politik Indonesia lebih stabil dibandingkan dengan India, yang pernah dijuluki sebagai 'the oldest democracy in Asia'.


Kalau benar keadaan demokrasi di Indonesia seperti digambarkan diatas, seyogianya penghargaan terhadap KEBEBASAN PERS, kiranya lebih pantas dimanifestasikan dengan pemberian award atau bahkan MEDALI EMAS, kepada pejuang-pejuang demokrasi sejati seperti JOESOEF ISAK dan GOENAWAN MOHAMMAD.





* * *




No comments: