Sunday, August 5, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - INI SOAL BESAR, SERIUS dan GAWAT !

Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 15 Mei 2007

INI SOAL BESAR, SERIUS dan GAWAT !


Ini soal besar! Ini betul-betul soal serius dan gawat!
Karena ia menyangkut masalah fundamental negeri dan bangsa. Apakah negara ini benar-benar HENDAK DITEGAKKAN SEBAGAI NEGARA HUKUM? Sesuai dengan cita-cita perjuangan melawan kolonialisme untuk kemerdekaan nasional? Soalnya menyangkut kepedulian kita: -- Apakah benar-benar kita berkehendak menghakiri keadaan negara di mana masih berlangsung 'Impunity', ketiadaan hukum. Yang lebih gawat lagi, yaitu, mau dan mampukah negeri dan bangsa ini MENYETOP KULTUR KEKERASAN yang ditegakkan dan dikembangkan oleh Orba?

Marilah ingat-ingat lagi, pada masa-masa ketika menjadi populernya kata 'GEBUK'. Kata 'Gebuk' tsb sering dan suka sekali digunakan oleh para petinggi aparat Orba ketika itu. Kata 'gebuk' itu sering digunakan sebagai 'jimat' atau 'mentera', sebagai 'pentung politik' untuk menakut-nakuti setiap orang yang berani menentang politik dan kebijakan Orba. Kata 'gebuk' tsb mulai digunakan dan disosialisasikan oleh Menko Hankam 1998-1999 ketika itu, Jendral Faisal Tanjung (yang mengutip kata-kata yang diucapkan oleh Pak Harto). Orang pasti tidak lupa. Masih jelas dalam ingatan jawaban yang diberikan oleh Presiden Suharto, ketika ditanyakan oleh salah seorang menteri yang oleh Rosihan Anwar dititipi, untuk ditanyakan kepada Presiden Suharto ketika itu, kapan s.k. 'Pedoman'. yang dibereidel Orba ketika itu, boleh terbit lagi. Jawaban tegas dan dingin Jendral Suharto, ialah: 'PATÉNI WAE'! Artinya, 'kok tanya sampai kapan dibereidel?', solusinya ialah, tutup saja s.k. 'Pedoman' .

Tapi yang membikin orang tak habis géléng-géléng kepala, ialah, digunakannya perkataan: 'Paténi waé!'. Notabene oleh seorang pejabat negara yang tertinggi, Presiden Republik Indonesia ketika itu. Satu kasus lagi. Ketika Kol. TNI, Yazir Hadisubroto, yang bertugas menangkap Ketua PKI, DN Aidit, menanyakan selanjutnya mau 'diapakan' DN Aidit yanag sudah ditangkap. Jendral Suharto menjawab dengan dingin: BÉRÉSKAN! Artinya DN Aidit harus ditembak mati tanpa proses pengadilan apapun. Memang, Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan apapun.

Kata-kata yang digunakan Jendral Suharto dan Jendral Faisal Tanjung itu tidaklah kebetulan. Ia mencerminkan watak dan kecenderungan beliau-beliau itu dalam mengambil kebijakan untuk solusi sesuatu soal, yaitu: GEBUK! atau PATÉNI WAÉ, atau BÉRÉSKAN! Ini adalah ciri KHAS watak pengemban kekuasaaan ketika itu. Ciri dari rezim Orba. Yang jadi problim, sekarang ini, meskipun Orba resminya sudah tiada, para pengemban rezim Orba, secara perorangan sudah tidak lagi berkuasa atas nama Orba, tetapi kultur dan cara menyelesaikan soal yang diberlakukan pada periode Orba, MASIH BERLANGSUNG TERUS. Dan orang-orangnya masih saja duduk di lembaga-lebaga kekuasaan negara!

* * *

Lalu kasus kampanye 'PETRUS', 'pembunuhan misterius', terhadap setiap orang yang 'tercatat' sebagai kriminil dalam buku dosir di kantor polisi atau kodam, tanpa proses peradilan apapun yang bersangkutan begitu saja disérét dari tempat tidurnya pada tengah malam buta, dan kontan 'di-dor'. Mayatnya sengaja dijejer dipinggit jalan, atau di tepi sungai, dengan maskud bisa segera dilihat orang. Lagi caranya ialah 'menakut-nakuti'. Menggunakan cara TEROR. Memang kriminil harus dikenakan tindakan hukum, tetapi itu semua harus melewati proses peradilan yang benar.

Belum lagi kasus 'orang hilang', diantaranya 'hilangnya' penyair populer di kalangan rakyat 'WIJI THUKUL". Yang sampai kini belum diketahui dimana rimbanya. Ataupun bila sudah tewas, dimana kuburannya.

Sehingga masyarakat didorong untuk mendirikan LSM - IKOHI, Ikatan Orang Hilang. Selain kasus kekeraan/pembantaian masal pada Peristiwa 1965, dalam ingatan kita masih segar kasus kekerasan dan penggerebegan Kantor PDI-Mega, 1996, dimana jatuh puluhan korban, tewas dan atau hilang. Kasus kekerasan yang besar setelah Peristiwa Pembantaian Masal 1965, ialah Pristiwa Mei 1998, sekitar jatuhnya Presiden Suiharto. Kekerasan, kekerasan dan sekali lagi kekerasan! Dalam kasus-kasus tsb selalu terlibat elemen-elemen, sering disbut 'oknum', dari kalangan aparat negara.

Peristiwa-peristiwa dan kasus-kasus yang disebut diatas, menunjukkan ciri khas kekuasaan dan kultur yang berlangsung dizaman Orba, selain kultur KKN, menonjol sekali adalah KULTUR KEKERASAN. Kekerasan itulah ciri kekuasaan Orba.

* * *

Bersangkutan dengan cara-cara kekerasan, cara preman, cara teror yang digunakan untuk mencapai tujuan politik tertentu, kemarin, menyolok sekali pemberitaan/ulasan yang dibuat oleh 'Suara Pembaruan Daily'. Baik ikuti pemberitaan 'Suara Pembaruan Daily', a.l. sbb:

OKNUM TNI SERANG KANTOR PAPERNAS SULTENG.
PALU. Sebanyak tiga aktivis Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) Sulawesi Tengah (Sulteng) dipukuli orang yang diduga sejumlah oknum anggota TNI yang secara tiba-tiba menyerang kantor partai itu, Minggu (13/5) dini hari, di Jl Raja Moili Palu. Ketiga aktivis itu adalah Moh Iksan dan Moh Wira Arezki sampai Senin (14/5) masih dirawat di RS Bhayangkara Polda Sulteng dan Eko Haryanto dirawat di rumah. Iksan dan Wira mengalami luka parah di wajah, bola mata dan kepala belakang yang bengkak kebiru-biruan karena terkena pukulan, sedang Eko menderita sakit di dada karena ditendang dengan sepatu. Belum jelas apa motif penyerangan.

Menurut Ketua DPD Papernas Sulteng, Martin Sibarani, jumlah penyerang sekitar 50 orang.

* * *

Berkali-kali di negeri ini berlangsung aksi kekerasan dan teror. Kali ini ditujukan terhadap parpol baru, PAPERNAS, Partai Persatuan Pembebasan Nasional. Lagi-lagi di situ terlibat elemen-elemen aparat kekuasaan negara, TNI. Hal ini dikemukakan dalam surat terbuka Papernas, tertuju kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan anggota-anggota pimpinan Lembaga Negara lainnya. Surat terbuka tsb ditandatangani oleh Ketua Umumnya Agus Priyono dan Ketua Bidang Politik dan Demokratisasi, Dominggus Oktavianus.

Sebagai informasi baik kiranya kita ikuti SURAT TERBUKA PAPERNAS, yang a.l. berbunyi sbb:

'Tanggal 13 Mei 2007 pukul 01.00 WIT dini hari, sekitar 30 massa, termasuk anggota TNI Angkatan Darat (salah seorang yang tertangkap bernama Makmur dengan pangkat Prajurit Satu, dari Kesatuan Yonif 711 Raksatama, Palu) melakukan serangan terhadap Kantor Dewan Pimpinan Daerah I Partai Persatuan Pembebasan Nasional (DPD I PAPERNAS) Sulawesi Tengah di Kota Palu. Setidaknya tiga kader PAPERNAS mengalami luka-luka serius dan dirawat di rumah sakit. (lihat lampiran kronologis).

'Peristiwa kekerasan ini menguatkan indikasi keterlibatan signifikan dari unsur dalam institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI) atas rangkaian teror dan kekerasan yang dialami oleh PAPERNAS; Surabaya (17 September 2006), Yogyakarta (18-20 Januari 2007 dan 1 Mei 2007), Batu - Malang Raya (4 Maret 2007), Jakarta (29 Maret 2007), Tuban, Sukoharjo, Tangerang, dan banyak peristiwa sejenis lain di berbagai tempat, pada waktu yang sama atau berbeda. Berdasarkan pengamatan langsung dan tidak langsung, serta bukti-bukti yang terkumpul, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan tersebut telah berlangsung secara sistematis. Artinya, TNI secara institusional seharusnya dapat mendeteksi atau mengetahui gerak-gerik dari unsurnya, pada setiap struktur teritorial, yang melakukan tindakan atau langkah yang bertentangan dengan semangat demokratisasi. Komandan Korem 132/Tadulako dapat menyatakan bahwa tindakan tersebut bukan atas perintahnya. Tetapi dengan memperhatikan pola yang berulangkali terjadi di lapangan, dengan tegas kami katakan bahwa terdapat unsur signifikan dan berpengaruh dalam TNI yang ingin membawa TNI secara institusional, langsung atau tidak langsung, kembali masuk dalam kancah politik praktis. Lebih jauh lagi, politik yang dimainkan adalah politik teror, intimidasi, kekerasan terhadap rakyat sendiri, dan TNI telah terjebak dalam skenario memecah belah bangsa/rakyat Indonesia.

Selanjutnya SURAT TERBUKA PAPERNAS itu menyimpulkan sbb:
'Persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini membutuhkan solusi-solusi yang demokratis dan menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Upaya rakyat untuk berorganisasi dan menguatkan diri, antara lain melalui pendirian partai politik, sepenuhnya dijamin sebagai hak mendasar yang harus dihormati oleh siapapun. Satu kali tindak pelanggaran terhadap hak tersebut dibiarkan, maka akan menjadi preseden bagi tindakan-tindakan sejenis. Tidak saja terhadap PAPERNAS, tapi terhadap seluruh kegiatan demokratis yang tidak disukai oleh pihak lain yang berbeda kepentingan. Karena itu kecenderungan fasisme ini harus disikapi secara serius oleh seluruh kalangan.
'Di samping itu, bagi kami, pengorganisasian perjuangan rakyat dalam wadah persatuan adalah kebutuhan mendesak untuk mencerdaskan kehidupan politik, yang selama ini didominasi oleh segelintir orang tanpa pertanggungjawaban yang jelas kepada rakyat, bangsa, dan negara. Karena itu, tindakan sewenang-wenang, baik yang baru saja terjadi di Palu, maupun rangkaian kejadian sebelumnya, adalah manipulasi dan upaya mengalihkan perhatian rakyat dari persoalan-persoalan konkret yang sedang dihadapi. . .

'Atas dasar pandangan yang disampaikan di atas, Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembebasan Nasional (DPP PAPERNAS) dengan ini menyatakan:
Pertama, . . . kami mendesak kepada seluruh lembaga tinggi negara (Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia) untuk secara terbuka menyatakan komitmen sebagai negara demokrasi, dengan memastikan hak kami sebagai bagian dari rakyat dan warga negara untuk berserikat, berkumpul, merumuskan dan mengeluarkan pendapat, sebagai bentuk upaya menyampaikan solusi persoalan bangsa secara damai, terbuka, dan demokratis.
'Kedua, . . . agar pihak-pihak yang selama ini telah diperalat untuk menyerang PAPERNAS disertai berbagai fitnah dan tuduhan harus ditindak secara hukum.. . .
'Ketiga, terhadap kasus terakhir di Palu, kami mendesak pelakunya dibawa ke pengadilan sipil untuk mendapatkan hasil yang adil . . .

'Keempat, mendesak institusi dan para prajurit TNI di seluruh jajaran untuk secara konsisten menjalankan doktrin Tri Dharma Eka Paksi yang lepas dari politik praktis, dan tidak tergoda untuk terjerumus kembali dalam kesalahan masa lalu, dengan mengatasnamakan demi keselamatan negara, dsb.

'Kelima, kami senantiasa menyerukan kepada seluruh elemen bangsa ini, kaum buruh, petani, mahasiswa, dan rakyat yang tertindas untuk menyatukan barisan bersama seluruh unsur demokratis, nasionalis, dan kerakyatan, menghadapi segala jenis eksploitasi imperialisme yang menyengsarakan dan berpotensi menghancurkan bangsa ini. Dengan demikian juga berarti kita menghindari upaya memecah belah dari pihak-pihak yang hendak terus membodohi bangsa ini, dan pada akhirnya menjerumuskan rakyat ke dalam penderitaan tidak berujung.'

* * *

Demikianlah antara lain bunyi SURAT TERBUKA PAPERNAS, bersangkutan dengan peristiwa kekerasan dan teror yang ditujukan belakangan ini terhadap parpol baru PAPERNAS.

Seyogianya pemerintah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memberikan perhatian yang sewajarnya terhadap digunakannya KEKERASAN dan cara-cara TEROR demi kepentinan politik tertentu, dimana terlibat aparat kekuasaan negara TNI.

Bila pemerintah benar-benar dan sungguh-sungguh dalam usaha besar bangsa menegakkan NEGARA HUKUM REPUBLIK INDONESIA, maka salah satu langkah penting yang perlu diambil, ialah segera mengurus kasus-kasus kekerasan dan teror seperti tsb diatas. Mengadili dan menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada pelaku-pelaku pelanggaran hukum dan hak-hak demokrasi.

* * *

No comments: