Sunday, August 5, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - TEGAKNYA NEGARA HUKUM R.I. ADALAH JAMINAN SURVIVAL

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 11 Juli 2007
==================================
TEGAKNYA NEGARA HUKUM R.I. ADALAH JAMINAN SURVIVAL
==================================

Pertanyaan berikut ini wajar dan relevan:
BAHAYA APA yg MENGANCAM REPUBLIK INDONESIA?
APAKAH JAMINAN TERPERCAYA BAGI PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA DAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA?

Masalah yang konstan menjadi pemikiran terus menerus dihadapi oleh setiap pemeduli KESATUAN DAN PERSATUAN negeri dan bangsa, kiranya adalah sbb: --- Apakah Bangsa dan Negara Republik Indonesia mampu dengan sukses melewati periode 'SURVIVAL' yang harus dilaluiya? Apakah bisa dengan sukses melewati masa yang menentukan berhasil atau gagalnya usaha meneruskan membangun dan memperkokoh nasion Indonesia, mempertahankannya sebagai suatu negara berdaulat, yang wilayahnya sambung menyambung menjadi satu, dari Sabang sampai Merauke? Lebih gamblang: Apakah bangsa, negeri dan negara ini, tidak akan terpecah-belah, porak poranda? Berkeping-keping seperti, misalnya, Yugoslavia, atau Uni Sovyet?

Setiap patriot yang kecintaannya, kepedulian dan keterlibatannya tak diragukan karena ia bersumber pada identitas dan kesadarannya sebagai orang Indonesia, dengan pasti dan lantang menjawab: -- 'YA' ----.

Melalui perjuangan bersama, mempersatukan semua kekuatan besar dan kecil yang harus dipersatukan, KITA PASTI AKAN 'SURVIVE' DAN MAJU TERUS.

Jawaban ini bukan jawaban spontan. Juga bukan jawaban yang emosionil. Juga jauh dari pandangan nasionalisme-sempit! Jawaban yang tegas dan tandas tsb adalah jawaban yang wajar, yang diberikan oleh setiap patriot pencinta Republik Indonesia, yang setia pada cita-cita kebebasan, keadilan dan kemakmuran bagi seluruh bangsa, seperti yang terkandung dalam falsafah dasar negara R.I., PANCASILA dan UUD. Ini adalah jawaban dari siapapun yang PUNYA harga diri dan diilhami semangat dan tekad untuk membela keutuhan dan kesatuan serta persatuan Indonesia.

* * *

Ketika Republik Indonesia diproklamasikan sampai pada saat kedaulatannya diakui mancanegara, negeri ini belum utuh sebagai negara yang wilayahnya sambung menyambung jadi satu, dari Sabang sampai Marauke. Karena, sebagian penting dari wilayah Indonesia, yaitu Irian Barat, ketika itu masih dikuasai Belanda.

Menelaah sejarah negara ini, tercatat bahwa ancaman dan bahaya yang dihadapi negara Republik Indonesia yang baru berdiri itu , datangnya terutama dari luar. Satu ketika ia datang dalam bentuk subversi dan campur tangan kekuatan kolonialisme dan imperialisme. Ini kita alami sendiri. Satu bulan sesudah 'penyerahan kedaulatan' oleh Den Haag kepada Republik Indonesia Serikat, kita dikejutkan oleh meletusnya pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) dibawah pimpinan Kapten KNIL Raymond P. Westerling, yang tujuannya adalah merebut kekuasaan negara. Lalu muncul pemberontakan RMS. Dua-duanya, menunjukkan keterlibatan kekuatan kolonial Belanda. Selanjutnya menyusul pemberontakan DI dan TII, yang hendak menegakkan negara Islam. Diikuti kemudian oleh pemberontakan separatis PRRI/Permesta yang disokong oleh CIA/USA.

* * *

Dari pertemuan Medan bulan lalu, antara petinggi-petinggi PDI-P yang diwakili oleh Taufik Kimas dan Golkar yang diwakili oleh Surya Paloh, dimaklumkan adanya kesepakatan dan kesefahaman kedua parpol tsb. Fenomena ini di kalangan banyak orang menimbulkan kesan, bahwa dua parpol tsb mengasumsikan bahwa, dewasa ini, ancaman atau bahaya utama yang dihadapi oleh bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia, adalah s e p a r a t i s m e dan f u n d a m e n t a - l i s m e Islam .

Perkembangan selanjutnya perpolitikan tanah air, akan menjelaskan apakah benar, atau keliru, konstatasi PDI-P dan Golkar mengenai ancaman terhadap nasib bangsa dan negara kita. Ataukah pernyataan Medan itu sekadar menunjukkan kehendak untuk memberikan 'wajah baru' pada suatu koalisi yang tidak baru? Mengomentari pertemuan Medan, Ketua Umum Golkar, Jusuf Kala, menyatakan bahwa pertemuan itu sekadar 'silaturahmi saja'. Sedangkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, yang merupakan tokoh Islam berpengaruh, boleh dikatakan, tidak menggubris 'koalisi' kedua parpol tsb. Memang bisa timbul pertanyaan, bila benar-benar hendak 'bercancut taliwondo', hendak mempertahankan Republik yang sekular, mengapa tidak, sejak pada awal, diajak Gus Dur yang merupakan tokoh pemimpin Islam yang justru membela sekularisme dan pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Nyatanya, selama ini -- sejak PDI-P bersama Golkar, Poros Tengah dan kalangan militer, terlibat dalam menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid, kemudian menaikkan Megawati Sukarnoputri menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-5, --- sejak itu orang menjadi terbiasa dengan realita perpolitikan, bahwa masalah koalisi antar pelbagai parpol di negeri kita, sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan politik pasca Suharto.

Di dalam sistim demokrasi parlementer, kombinasi koalisi parpol-parpol memang bisa berubah menurut kepentingan pelbagai parpol itu. Tergantung kepentingan apa yang paling mendesak diangap oleh para partner koalisi tsb.

* * *

Setelah pemerintah SBY 'berhasil' mengakhiri konflik bersenjata di Aceh, melalui suatu kompromi dengan kaum pemberontak 'GAM', tampak adanya optimisme bahwa 'separatisme' yang timbul dari jurusan lainnya, yaitu yang menyangkut kasus'OPM' dan 'RMS', juga akan dapat 'dipecahkan' tanpa kekerasan bersenjata.

Kekuatan bersenjata 'RMS' sudah lama dikalahkan, dan gerakan 'OPM' tidak lagi memiliki kekuatan bersenjata yang berarti. Tetapi belakangan ini tampak bahwa gerakan yang dirintis oleh kaum separatis di Aceh, Maluku maupun di Papua, tidaklah berhenti. Gerakan-gerakan separatis tsb tampak mengambil bentuk lain. Seolah-olah hendak menempuh cara yang non-kekerasan.

Mengikuti perkembangan seperti itu, timbul pertanyaan, cukupkah fakta untuk meyatakan bahwa ancaman separatisme terhadap kesatuan dan keutuhan wilayah Republik Indonesia, belakangan ini telah menanjak secara mengkhawatirkan? Rasanya tidak cukup fakta untuk menyatakan, bahwa bahaya separatisme sudah semakin gawat sejak penyelesaian Helsinki terhadap kasus pemberontakan 'GAM' di Aceh. Apakah begitu gawat dan laten, sehingga mengharuskan PDI-P dan Golkar berkoalisi secara formal, untuk berdua menghadapinya bersama?

* * *

Apakah ancaman dan bahaya yang datang dari jurusan fundamentalisme Islam, baik dalam bentuk terorisme maupun membesarnya pengaruh di kalangan masyarakat, untuk menegakkan suatu negara yang didasarkan atas kepercayaan agama, semakin bertambah belakangan ini? Suatu kasus, yang tidak bisa dikatakan sebagai bertambah besarnya ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, adalah kasus pengekangan terhadap aliran 'Ahmadiyah'. Kiranya belum cukup alasan, untuk menjadikan kasus tsb sebagai fakta membesarnya pengaruh fundamentalisme Islam.

* * *

Tibalah kita pada pemikiran berikut ini: -- Kalau bukan 'separatisme', yang merupakan ancaman laten dan akut yang akan membikin negeri dan negara ini berkeping-keping; kalau bukan bahaya fundamentalisme Islam, yang merupakan bahaya laten dan gawat bagi persatuan, kesatuan dan keutuhan wilayah dan kedaulatan Republik Indonesia; --- Lalu apa yang menjadikan orang khawatir mengenai haridepan bangsa dan negara ini?

Baik diingat selalu: Sejak lahirnya cita-cita kebangsaan, seiring dengan itu telah lahir dan tumbuh pula hasrat yang semakin membesar dan kokoh, kehendak mendirikan dan memiliki negara sendiri yang sama sederajat dengan negara-negara lainnya di dunia ini. Menegakkan negara sebagai 'jembatan emas' untuk mencapai kemakmuran dan keadilan bagi seluruh bangsa. Perkembangan menunjukkan bahwa faktor fundamental itulah yang kemudian menjadi kekuatan penggerak, pendorong dan pemersatu dalam perjuangan. Semangat dan kekuatan inilah yang selalu mengilhami perjuangan konsisten para 'founding fathers' nasion Indonesia, sampai kepada pejuang-pejuang kemerdekaan dan para pejuang yang membela kedaulatan dan keutuhan wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Tegak berdirinya suatu NEGARA HUKUM, seperti dikatakan oleh Bung Karno, dalam uraian beliau LAHIRNYA PANCASILA, yaitu suatu RECHTSSTAAT, sudah menjadi kekuatan dahsyat bangsa ini. Namun cita-cita menegakkan NEGARA HUKUM masih jauh dari terrealisasi. Pelaksanaan tuntutan gerakan Reformasi dan Demokratisasi tampak macet. Proses demokratisasi negara ini jalan ditempat.

* * *

Perjuangan dan usaha susah-payah untuk menegakkan suatu RECHTSSTAAT, mengalami banyak rintangan dan kendala. Rintangan dan kendala yang terbesar adalah ketika Jendral Suharto merebut kekuasaan negara dan menegakkan rezim Orba. Sendi-sendi dan Unsur-unsur dasar suatu NEGARA HUKUM yang prinsip-prinsipnya diletakkan dalam UUD RI, telah dirusak dan dihancurkan, sejak diberlakukannya sistim kenegaraan atas dasar konsep DWIFUNGSI ABRI. Yaitu dibangunnya suatu sistim politik dan kenegaraan dimana yang memegang kekuasaan mutlak adalah tentara, yang dipusatkan pada Jendral Suharto.

Adalah pada periode Orba ini, dilahirkan TAP MPRS No XXV/1966, yang memberangus hak-hak demokrasi bagi warganegara yang dijamin oleh UUD 1945. Adalah selama periode Orba ini, berlangsung pelanggaran HAM terbesar, dengan persekusi, penangkapan, pembuangan dan pembunuhan besar-besaran dalam rangka menggulingkan Presiden Sukarno dan membasmi sampai ke akar-akarnya orang-orang Komunis, diduga Komunis, simpatisan Komunis dan kaum Kiri lainnya pendukung Presiden Sukarno.

Adalah dalam periode Orba ini, berlangsung 'pemilu' demi 'pemilu' rakayasa dari daerah sampai ke pusat. Adalah dalam periode Orba berlaku kekuasaan satu partai politik. Suatu partai politik yang diciptakan dan dibina oleh penguasa, yaitu partai politik GOLKAR.

Adalah dalam periode Orba ini terjadi pemberangusan dan pengontrolan penguasa atas media cetak dan elektronik.

Adalah dalam periode Orba ini diinjak-injaknya hak-hak demokrasi yang utama, yaitu kebebasan untuk menyatakan pendapat, kebebasan beorganisasi, membangun parpol sendiri, hak-hak kaum pekerja mengadakan demonstrasi dan pemogokan dalam perjuangan untuk perbaikan hidup mereka.

Adalah dalam periode berkuasanya Orba, ketika berlangsung persekusi dan diskriminasi yang paling biadab terhadap warganegara sendiri yang berasal etnis Tionghoa. Adalah dalam periode ini berlangsung kekejaman biadab terhada etnis Tionghoa seperti yang terjadi dalam peristiwa 'Mei 1998'.

Adalah dalam periode Orba ini, berlangsung korupsi, kolusi dan nepotisme yang tak ada bandingnya dalam sejarah kita bernegara, sehingga akhirnya hal tsb berkembang membudaya, nyaris menghancur-luluhkan samasekali hati nurani bangsa.

Adalah dalam periode Orba ini berlangsung ketiadaan hukum, antra lain seperti tampak pada berlangsungnya 'PETRUS', 'penembakan misterius', yang dilakukan dengan dalih untuk secara radikal memberantas kriminalitas. 'PETRUS' diberlakukan dengan berpangkal dan berpijak pada prinsip dan cara TEROR. Sesuatu yang menjadi cara utama rezim Orba membangun, menyelesaikan soal dan mempertahankan kekuasaanya, sampai pada saatya ia digulingkan oleh gelombang gerakan massa yang menuntut REFORMASI dan DEMOKRATISASI.

Adalah pada periode Orba jutaan warganegara anggota keluarga eks TAPOL, eks korban persekusi terhadap golongan Kiri, dilanggar hak-hak politik dan kewarganegaraanya. Dan di dalam masyarakat di marginalkan oleh penguasa (sampai saat ini), dijadikan seperti golongan paria di suatu masyarakat Hindu.CATATAN BESAR: Para korban Peristiwa 1965 tsb yang jumlahnya meliputi duapuluh juta orang, sampai detik ini kehormatan, nama baik, hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak politik mereka masih dilanggar terus, MASIH MENGALAMI DISKRIMINASI.

* * *

Dalam situasi kepastian hukum masih merupakan problim besar, begitu banyak para pelanggar HAM dan pelaku tindakan korupsi, pencurian dan pencolengan kekayaan negara, masih belum ditindak; masih bebas leluasanya para pelanggar HAM terbesar, yang bertanggungjawab atas pembunuhan masal 1965-66; ---

Dalam situasi seperti itu, bukankah ketiadaan hukum, belum tegaknya NEGARA HUKUM Republik Indonesia, belum tuntasnya pelaksanaan tuntutan REFORMASI DAN DEMOKRATISASI, --- yang seharusnya menjadi perhatian dan kepedulian parpol-parpol besar, termasuk PDI-P dan Golkar?

Ketimbang mendengungkan suatu kesefahaman atau kesepakatan, yang siapa tahu, hal itu sekadar suatu persiapan belaka dalam rangka kampanye menghadapi pemilu yad.

* * *

No comments: