Sunday, August 5, 2007

Press Releases


STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65
Tentang
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN UU KEWARGANEGARAAN
RI/2006
TERHADAP WNI-KORBAN PELANGGARAN HAM ORDE BARU DI LUAR NEGERI


Lembaga Pembela Korban '65 (LPK'65) sesuai visi dan misinya akan
terus memperjuangkan kepentingan korban peristiwa 1965 di dalam dan di
luar negeri. Yang dimaksud korban peristiwa 1965 di luar negeri, yaitu
para warganegara Indonesia yang ketika meletus peristiwa G30S sedang
menjalankan tugasnya di luar negeri (sebagai mahasiswa, pejabat,
wartawan, anggota delegasi di forum internasional) dicabut paspornya
secara sewenang-wenang oleh penguasa Orde Baru/penguasa Negara saat
itu. Bahwasanya mereka berposisi loyal dan mendukung pemerintah
Soekarno sebagai pemerintahan sah saat itu, tidaklah bisa dijadikan
dasar pembenaran untuk melakukan repressi kepada mereka dengan
pencabutan paspor. Akibatnya mereka selama 32 tahun mendapatkan banyak
kesulitan dan tidak bisa pulang ke tanah air, terpisah dengan sanak
keluarganya, menjadi apa yang dinamakan "orang terhalang pulang"
(selanjutnya: OTP). Tindakan penguasa Orde Baru yang demikian itu
menunjukkan identitas sebagai
penguasa diktator yang melanggar hak asasi manusia dan nilai-nilai
demokrasi.

Dengan dikeluarkannya UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 pemerintah RI
menunjukkan suatu langkah penyelesaian masalah para OTP, di samping
masalah orang-orang yang kehilangan kewarganegaraan lainnya yang tidak
ada hubungannya dengan peristiwa 65. Bagi para OTP kebijakan
pemerintah tertuang dalam UU Kewarganegaraan tersebut dirasakan tidak
memenuhi tuntutan keadilan dan tidak manusiawi. Sedang janji Menteri
Hukum dan HAM Hamid Awaluddin di Helsinki (11.09.2006) akan bertemu
dengan para OTP di Amsterdam dan Paris, yang mungkin bisa membuka
jalan dialog positif, ternyata sampai detik ini tidak kunjung kabar
beritanya.


Menyikapi kebijakan pemerintah SBY-Kalla cq. Menteri Hukum dan HAM
berkaitan dengan pemulihan kembali kewarganegaraan RI kepada mantan
WNI (para OTP) tersebut di atas, Lembaga Pembela Korban'65 menyatakan:

Tindakan pencabutan paspor oleh Penguasa Orde Baru/penguasa Negara
pada saat itu terhadap WNI tersebut di atas adalah tindakan politis
yang melanggar hukum dan HAM. Penyelesaian masalah tersebut yang
dilakukan pemerintah dewasa ini melalui UU Kewarganegaraan RI/2006
adalah suatu kebijakan bersifat administratif: tidak dapat dibenarkan,
tidak adil dan tidak manusiawi. Penyelesaian masalah para OTP
seharusnya tidak hanya sebatas pengembalian paspor belaka, tetapi
harus mencakup semua aspek-aspek keadilan dan HAM yang telah dilanggar
penguasa Orba.

Maka kalau pemerintah SBY-Kalla berkehendak melakukan kebijakan
rekonsiliatif untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM bagi para
OTP, pemerintah harus melakukan kebijakan berdasarkan keputusan
politik pula dengan mematuhi prinsip penegakan Kebenaran dan Keadilan.
Sesuai prinsip Kebenaran pemerintah atas nama negara harus mengakui
dengan tegas bahwa negara telah melakukan pelanggaran HAM terhadap
para warganegaranya tersebut di atas. Dan oleh karenanya pemerintah
atas nama negara harus dengan tulus ikhlas meminta maaf kepada para OTP.

Selanjutnya sesuai prinsip Keadilan pemerintah harus mengembalikan
sepenuhnya hak-hak politik dan sosial ekonominya, termasuk hak
mendapatkan kewarganegaraannya kembali. Hal itu adalah prinsip-prinsip
dasar yang harus menjadi landasan kebijakan-kebijakan pemerintah
Indonesia khususnya dan penyelenggara negara pada umumnya dalam
menyelesaikan masalah-masalah warganegara RI di luar negeri yang
karena peristiwa 1965 terhalang pulang dan/atau dicabut paspornya oleh
penguasa Negara/Pemerintah Orde Baru.

Pemulihan kembali kewarganegaraan RI haruslah dipandang hanya sebagai
salah satu konsekwensi penegakan Kebenaran dan Keadilan, di samping
konsekwensi-konsekwensi lainnya: pemulihan penuh hak-hak politik dan
sipil, rehabilitasi penuh, jaminan keamanan-sosial-ekonomi dan tindak
non-diskriminatif.

Kebijakan pemerintah tanpa penegakan Kebenaran dan Keadilan adalah
identik dengan pengingkaran pelanggaran HAM yang telah menyengsarakan
warganegaranya sehingga tidak bisa kembali ketanah air untuk
menunaikan pengabdiannya kepada nusa dan bangsa, kehilangan karier,
terpisah dengan sanak keluarga di tanah air selama tiga dasa warsa,
dan lain-lainnya.

Sedang kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri
Hukum dan HAM No. M.01.HL.03.01 Tahun 2006 tentang "Pernyataan
Kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia", di mana
pernyataan kesetiaan tersebut merupakan persayaratan untuk mendapatkan
kewarganegaraan kembali bagi mereka yang dicabut paspornya tsb. di
atas, adalah tidak tepat dan dirasakan sebagai penghinaan yang
mendalam. Sebab mereka tersebut bukan kaum separatis dan pemberontak
terhadap NKRI, melainkan patriot yang cinta dan membela tanah air
Indonesia, UUD'45 dan Pancasila. Persyaratan pernyataan setia kepada
NKRI hanya patut diberlakukan kepada kaum separatis dan pemberontak
yang kembali kepangkuan NKRI.

Di samping itu perlu ditekankan, bahwa LPK'65 tidak mempunyai hak
untuk menghalang-halangi mereka yang berposisi lain demi mendapatkan
kembali kewarganegaraan RI sesuai ketentuan-ketentuan UU
Kewarganegaraan RI Tahun 2006 dan peraturan-peraturan organiknya. Hak
asasi mereka kami hormati sepenuhnya.

LPK'65 beranggapan bahwa Pemerintah dan Penyelenggara Negara lainnya
diharapkan masih bisa dan punya kesempatan untuk merubah
kebijakan-kebijakan negatif tersebut diatas demi tegaknya kebenaran
dan keadilan yang dijunjung tinggi dalam UUD 45 dan Pancasila. Sedang
kepada semua lembaga/organisasi peduli HAM diharapkan dukungannya dan
kerjasamanya dalam perjuangan menegakkan hukum dan HAM di Indonesia.

Zeist/Nederland, tgl. 27 April 2007

LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65

MD Kartaprawira (Ketua Umum) Suranto (Sekretaris I)

No comments: