Sunday, August 19, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - OEY HAY DJOEN - 'TOKOH KEBANGSAAN'

Kolom IBRAHIM ISA
17 Agustus 2007
------------------
OEY HAY DJOEN - 'TOKOH KEBANGSAAN'
Kutulis artikel ini,dalam rangka memperingati Ultah ke-62 Hari
Kemerdekaan Indonesia. Dengan memfokuskan pada tokoh Oey Hay Djoen,
dimaksudkan agar, bersama kita mengkhayati dalam fikiran dan pemahaman
tentang makna KEBANGSAAN INDONESIA. Bahwa nasion ini, selain terdiri
dari sukubangsa-sukubangsa, yang sering disebut BUMIPUTERA atau
PRIBUMI, bahwa bangsa yang sedang tumbuh dan berkembang ini,
bagian-bagiannya, anggota-anggotanya juga terdiri dari pelbagai etnik
asal asing, seperti etnik Tinghoa (ini yang paling banyak ketimbang
lainnya), India, Eropah, Arab, Tamil, dll.

Tidak adanya kesatuan fikiran dan pemahaman mengenai sejarah dan
identitas nasion kita, a.l. menyebabkan sementara fihak dari pelbagai
jurusan, dengan maksud jahat,(baik yang datang dari luar maupun dari
dalam negeri), -- menggunakannya untuk mengadu domba
'kita-sama-kita'. Juga untuk mengalihkan perhatian masyarakat umum
dari masalah yang riil (seperti kemiskinan, ketidak-adilan, korupsi,
kesewenang-wenangan aparat dan birokrasi, ketidaksiapan menghadapi
bencana alam, dsb) yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Kasarnya
mencari 'kambing hitam' untuk lepas tangan dari tanggungjawab sendiri.
Catatan sejarah kita menunjukkan 'aksi-aksi atau kekerasan
anti-Tionghoa' sering digunakan oleh penguasa dan sementara kaum
reaksioner untuk 'mengalihkan perhatian masyarakat' dan atau dengan
gampang-gampangan menuding 'kambing hitam'.

Mengenai apa atau siapa yang dinamakan bangsa Indonesia, atau
bagaimana identitas nasion ini, tidak sedikit yang kurang mamahaminya,
atau punya pemahaman dan interpretasi berbeda. Sebagai contoh
sederhana: mungkin tidak banyak yang tau bahwa salah satu tokoh
penting pejuang kemerdekaan Indonesia, tokoh nasionalis Mohammad Husni
Thamrin, kakeknya, adalah seorang usahawan berbangsa Inggris. Pejuang
kemerdekaan Dr Douwes Dekker, adalah asal Belanda. Mantan Menteri
Republik Indonesia, Siauw Giok Tjan (Kabinet Presiden Sukarno, 1945),
adalah keturunan etnik Tionghoa. Tokoh Nasionalis Mr. Utrecht, adalah
asal Indo-Belanda. Dr.Magnus Franz Suseno, asal Jerman, dll.

* * *

Ada pelbagai pertimbangan mengapa kali ini tulisan difokuskan pada seorang
tokoh Kebangsaan Indonesia OEY HAY DJOEN, asal etnis-Tionghoa.
Pasalnya, ialah, karena dalam sejarah kita sejak abad ke-18
berkali-kali terjadi aksi-aksi, gerakan ataupun kampanye anti-etnis
Tionghoa di Indonesia. Sering dalangnya atau sumbernya adalah
penguasa. Menunjukkan bahwa mengenai asal etnis-Tionghoa di Indonesia,
masalahnya tidak sesederhana soal orang-orang asal etnis asing
lainnya. Satu dan lain hal disebabkan oleh jumlah penduduk Indonesia
yang asal etnis-Tionghoa jauh lebih beasr dari yang asal etnis
lainnya. Juga kedudukan asal etnis-Tionghoa dalam masyarakat, di
lapangan kegiatan ekonomi negeri sedemikian rupa, sehingga menimbulkan
macam-macam soal. Amat mudah pula dilakukannya penghasutan rasialis
yang bermuara pada kekerasan dan pembunuhan.

* * *

Penamaan atau titel sebagai 'TOKOH KEBANGSAAN', untuk OEY HAY DJOEN,
bukanlah penemuan atau karanganku sendiri. Penamaan tsb diberikan
oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), suatu parpol yang dibangun
pada awal periode gerakan Reformasi. PKB didirikan dan dibimbing
oleh Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Republik Indonesia. Wahid
juga dikenal sebagai salah seorang pimpinan penting NU. Selain itu
Gus Dur diakui sebagai salah seorang kiayi Islam Indonesia dewasa
ini. Wahid dihargai dan dihormati karena pandangannya yang konsisten
demokratis, pluralis dan sekular.

Penamaan sebagai 'Tokoh Kebangsaan' untuk Oey Hay Djoen, dinyatakan,
ketika PKB memberikan 'GUSDUR AWARD' (Juli 2007) kepada Oey Hay
Djoen sebagai pengakuan dan penghargaan atas peranan positif Oey Hay
Djoen dalam kehidupan dan kegiatan sebagai orang Indonesia.

Siapapun , atau lembaga manapun yang menamakan Oey Hay Djoen sebagai
TOKOH KEBANGSAAN, nama itu sepenuhnya tepat. PAS pada tokoh OEY HAY
DJOEN. Dengan itu dinyatakan (diingatkan) kepada seluruh bangsa,
bahwa sebagai seorang 'keturunan' Tionghoa, jelas, --- Oey Hay Djoen
-- , memang sejak masa mudanya adalah pejuang konsisten demi
kemerdekaan Indonesia, demi keadilan dan kemakmuran bagi bangsa.
Sebagaimana halnya banyak tokoh-tokoh keturunan Tionghoa lainnya,
antara lain, Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Tan Ling Djie, Tan Po
Goan, Oey Tjoe Tat, Tjoa Sek In, Yap Thian Hien, dan banyak lainnya ,
mereka-mereka itu:
----- Adalah bagian dari potensi politik nasion Indonesia, bagian
dari kekuatan REVOLUSI KEMERDEKAAN INDONESIA. Yang telah mengabdikan
bagian terpenting dari kehidupan mereka pada negeri dan nasion Indonesia.

* * *

Sering terjadi bahwa kita mengira telah mengenal baik seseorang
sahabat karib, yang memang sudah lama dikenal. Tetapi, ternyata
pengenalan kita mengenai sahabat lama itu, jauh dari cukup.
Ternyata yang baru dikenal itu hanya 'puncaknya dari gunung és',
seperti kata pepatah. Itulah yang terjadi dengan aku.

OEI HAY DJOEN, yang memang sudah lama kukenal, baru kemudian
bertambah pengenalanku. Adalah sesudah lengsernya Suharto, makin
kukenal siapa OEY HAI DJOEN, siapa dia sebenarnya. Tahun 1960-an,
ketika itu, aku sesungguhnya baru mengenalnya sebagai sebagai salah
seorang tokoh pimpinan Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat. Orangnya
sangat energetik. Luar biasa hangat terhadap kawan, serta punya rasa
solidaritas yang tinggi. Selalu gembira dan antusias. Lebih-lebih lagi
ia optimis terhadap haridepan bangsa dan tanah air.

Kemudian terjadilah 'G30S', 1 Oktober 1965'. Hari itu dimulai kudeta
merangkak Jendral Suharto. Presiden Republik Indonesia Sukarno
digulingkan. Peneliti (Researcher) John Rosa, dalam bukunya yang
terbit tahun lalu, menamakan 'G30S, 'A pretext for a mass murder'.
Dalam peristiwa 1 Oktober itu, enam orang jendral dan seorang perwira
muda TNI dibunuh. 'Gerakan 30 September', menurut pernyataan para
pencetus dan pelakunya sendiri, melakukan gerakan militer mereka
dengan tujuan, untuk menggagalkan rencana Dewan Jendral yang
berrencana mengkup Presiden Sukarno. Tujuan mereka adalah untuk
menyelamatkan Presiden Sukarno.

Dalam serentetan aksi-aksi kekerasan yang didalangi oleh fihak militer
di bawah Jendral Suharto, dengan dukungan lapisan sipil, dilakukan
penangkapan besar-besaran, pembunuhan besar-besaran dan pemenjaraan
dan pembuangan besar-besaran. Itu semua demi menghancurkan dan
memusnahkan samasekali PKI, kekuatan Kiri lainnya, dan semua yang
dianggap pendukung atau simpatisan PKI dan pendukung-pendukung
Presiden Sukarno.

* * *

Oey Hay Djoen, yang ketika itu adalah anggota DPR (sebelumnya anggota
Konstituante RI), juga 'diamankan' dan dikirim ke pulau pembuangan P.
Buru. Empatbelas tahun Oey Hay Djoen dipenjarakan oleh Orba bersama
ribuan warganegara Indnesia tak bersalah dan setia kepada Republik
Indonesia. Apa salah mereka? Sebagian besar dari mereka tidak
mengetahui apa salah mereka, bahkan tidak tahu apa tuduhan yang
difitnahkan pada mereka.

Oey Hay Djoen, sebagaimana ribuan warganegara tak bersalah lainnya,
dibuang ke P Buru pada tahun 1969, tanpa proses pengadilan yang
bagaimanapun. Sesudah 10 tahun meringkuk dan merana di pulau
pengasingan itu, ia 'dibebaskan' dalam bulan Desember 1979. Rezim
Orba melepaskannya dengan dengan pernyataan: Tidak terdapat cukup
bukti akan keterlibatan dengan G30-S (1979-1998). Lepas dari pulau
Buru, Oey Hay Djoen hakikatnya masih tetap tidak bebas. Karena,
sebagai ET – Eks Tapol, duapuluh tahun lamanya, sampai 1998, ia
harus melapor sekali seminggu – kemudian sekali sebulan -- pada
instansi KODIM – sebagai tahanan kota.

Mengapa Oey kemudian tidak perlu lagi lapor sejak tahun 1998?

Sebabnya jelas! Adalah Gerakan Reformasi yang menggelora dan
menggulingkan Jendral Suharto, itulah yang menyebabkan, Oey Hay Djoen
dan banyak ET lainnya tidak perlu melapor lagi kepada aparat.
Sebenarya perlakuan Orba selama lebih dari tigapuluh tahun, merupakan
pelanggaran HAM yang amat biadab, merupakan 'CRIME AGAINST HUMANITY'.
Kejahatan terhadap kemanusiaan. Menahan dan membuang warganegara
sendiri yang tidak bersalah, tanpa proses pengadilan apapun. Membunuh
dan 'menghilangkan' banyak orang tak bersalah.

Namun, 'warisan Orba tsb', yang merupakan kejahatan yang bukan main
kejamnya dan luar biasa luas skalanya, tokh masih belum diurus dan
ditangani pemerintah. Para korban masih belum DIREHABILITASI nama
baik serta hak-hak politik dan hak-hak kewarganegaraannya. Meskipun
pemerintah-pemerintah silih berganti sejak jatuhnya Suharto sering
bicara soal Reformasi, Demokrasi dan Rekonsiliasi.

Nasib Oey Hay Djoen ini, 'masih untung', kata sementara orang di
kampung. Karena Oey tidak 'dihabisi', tidak dibunuh. Pada masa
berkecamuknya teror Jendral Suharto terhadap warganegaranya sendiri,
banyak orang-orang Kiri dan PKI yang pada tengah malam buta, diangkut
dari rumah masing-masing dengan truk-truk militer. Dan . . . . mereka
tidak kembali lagi untuk selama-lamanya. Sampai dewasa ini, ribuan
istri, ibu, bapak, adik dan abang tidak mengetahui dimana orang-orang
yang mereka cintai itu dikubur.

* * *

Tidak sedikit para ET - Eks Tapol -- yang tidak tahu apa yang harus
mereka kerjakan, sesudah mereka dilepas dari penjara. Karena kampanye
Orba terhadap mereka (a.l. peraturan 'bersih lingkjungan'), yang
hakekatnya adalah 'chracter assassination' terhadap orang-orang
Kiri dan pendukung Presiden Sukarno, para Eks-Tapol dianggap manusia
yang martabatnya lebih rendah dari kaum 'kasta Paria', kasta terrendah
di kalangan pengikut Hindu. Mereka sering juga disebut 'the
untouchables'. Sesudah lepas dari penjara, para ET tidak mungkin
mencari pekerjaan di lembaga pemerintahan, meskipun tadinya banyak
yang pegawai negeri , bahkan tidak sedikit yang tadinya pejabat tinggi
kementerian, dsb. Bagi Oey Hay Djoen, kesulitan-kesulian sesudah
'dibebaskan' dari pulau Buru, dihadapinya sebagai tantangan dalam
perjuangan demi cita-cita mulya untuk keadilan dan pembebasan dalam
arti kata sebenarnya dari rakyat Indonesia.

Setelah ia `bebas dari pulau Buru', dengan tekad mantap dan semangat
tinggi, Oey melakukan kegiatan dalam rangka membantu generasi muda
Indonesia untuk memperoleh literatur berguna. Oey mulai secara khusus
menerjemahkan buku-buku pengetahuan dan teori ilmu sosial, politik
dan ekonomi. Umumnya literatur progresif dan sosialis.

Memahami arti penting literatur progresif, Sosialis dan Marxis yang
oleh rezim Orba dilarang dan dimusnahkan, Oey Hay Djoen memncurahkan
segenap tenaga dan fikirannya untuk mengisi kekosongan akan literatur
Sosialis. Tidak kurang dari 29 karya-karya hasil pemikiran para
peneliti ilmu sosial dan ekonomi, teoretikus-teoretiks sosialis dan
Marxis yang telah diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen. Antaranya,
misalnya buku klasik Karl Marx dan Frederich Engels, Das Kapital
Jilid, 1,2 dan 3. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam
literatur sosialis berbahasa Indonesia di sepanjang sejarah kita. Juga
karya Prof. Dr W. F. Wertheim, 'Gelombang Pasang Emansipasi'. Kemudian
karya progresif mutakhir karangan Dan Lev dan Ruth McVey, 'MAKING
INDONESIA', juga sudah diterjenmahkan oleh Oey Hay Djoen. Dan banyak
lainnya lagi.

Apa yang dilakukan oleh Oey Hay Djoen, sesuatu yang memerlukan
ketekunan, ketelitian dan dedikasi yang tinggi serta konstan
terhadap cita-cita untuk ikut menyadikan pemikiran penulis-penulis
dan pejuang sosialisme, dimaksudkan agar pemikiran-pemiliran dunia
progresif menjadi pengetahuan generasi baru, angkatan muda sebagaimana
dikatakan oleh Oey. Untuk itu Oey Hay Djoen dibantu oleh sejumlah
kawan-kawannya, Editor Jusuf Isak, serta dari golongan muda seperti
cendekiawan Hilmar Farid, dll.

Dalam kegiatannya, khususnya untuk menerbitkan, Oey Hay Djoen,
bekerjasama dengan dan mendapat bantuan sejumlah penerbit seperti
penerbit buku bermutu HASTA MITRA.

Kutulis artikel ini untuk menggaris-bawahi, bahwa penganugerahan
'GUS DUR AWARD' kepada Tokoh Kebangsaan OEY HAY DJOEN, SEPENUHNYA TEPAT!

***

No comments: